Sentuhan

1344 Words
Grisse mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Untuk beberapa saat ia bergeming, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Otaknya sibuk bekerja, berpikir keras dan sesekali melakukan penyangkalan tatkala memikirkan pertanyaan, atau tepatnya permintaan, dari Vidwan. Grisse masih tidak percaya bila sang guru dengan gamblang dan tanpa ragu meminta apa yang selama ini ia jaga. Kehormatannya. Kesuciannya. Mahkotanya. Kegadisannya. Ya Tuhan…. Selama ini orang tuanya, terutama sang ibu, selalu berpesan padanya agar tidak sekali pun tergoda pada rayuan lelaki. Tergoda rayuan yang memintanya menyerahkan keperawanan. Grisse menjerit dalam hati. Dipanggilnya ibu dan ayah berkali-kali. Mengapa ketika ia berada sangat jauh dari rumah, ia dihadapkan pada godaan seperti ini. Grisse tidak menyangka bahwa kini, ketika ia berada sangat jauh dari rumah, ia akan menghadapi permasalahan seperti ini. Grisse yang semula cuek serta tidak peduli dengan keperawanan, kini harus berpikir ekstra keras untuk menolak permintaan sang guru. Grisse tengah berpikir bagaimana caranya agar tidak menyinggung gurunya dan mungkin dampak dari penolakannya adalah pemaksaan yang dilakukan oleh sang guru. Perlahan Grisse menggerakkan kedua tangannya yang sebelumnya bebas berada di sisi tubuhnya. Ia pun menyilangkan kedua tangannya guna menutupi dadanya yang polos. Hm, sebenarnya bukan hanya d**a Grisse saja yang polos, namun seluruh tubuhnya kini tidak tertutup apa pun. Grisse berharap Vidwan bisa mengerti penolakannya. Ia berdoa agar Vidwan menangkap makna tangan yang ia silangkan di depan d**a. Namun, sayang. Vidwan yang sepertinya tahu bahwa ia ditolak, bukannya mundur justru semakin mengayunkan langkah pendek, semakin mendekat ke arah Grisse. "Jangan, Sir." Grisse mundur sebagai reaksi. Ia pun menggelengkan kepalanya cepat. "Kumohon, jangan." Pinta Grisse sambil terus mundur seiring Vidwan yang semakin mendekat. "Please, Grisse. Aku menyukaimu." Bisik Vidwan sambil menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung tangan Grisse. Grisse tersentak oleh sentuhan itu. Refleks ia berbalik ke arah dinding. Grisse merasa harus memunggungi Vidwan saat ini juga. Mungkin inilah satu-satunya cara untuk bertahan, setidaknya saat ini. Melihat bagian belakang tubuh Grisse yang berlekuk sempurna, gairah Vidwan justru semakin menyala. Tanpa ragu Vidwan kembali mendekati Grisse. Ia senang karena dengan posisi Grisse sekarang akan lebih memudahkannya untuk menjamah tubuh gadis itu. Perlahan-lahan, Vidwan menempelkan bagian depan tubuhnya, d**a dan perut yang terpahat sempurna, ke bagian belakang tubuh Grisse. Kepala Grisse sejajar dengan d**a Vidwan, sementara perutnya menempel sempurna di punggung Grisse. Vidwan merasakan napas Grisse yang memburu. Ia tahu mahasiswinya itu tengah ketakutan, tapi ia tidak peduli. Toh yang akan ia berikan pada Grisse adalah kenikmatan, bukan ketakutan yang terus membayangi. Kedua tangan Vidwan mendarat sempurna pada sepasang b****g Grisse yang bulat dan penuh. Setelah membelai lembut permukaannya, Vidwan meremas kedua b****g Grisse dengan perlahan. Lagi-lagi Grisse tersentak. Dadanya naik turun dengan cepat seiring napas yang memburu. Ketika ujung jemari Vidwan membelai lembut belahan pantatnya, Grisse menggeliat bertepatan dengan luapan rasa asing yang kembali menyerangnya. Vidwan tersenyum. Ia semakin lihai membuai permukaan tubuh Grisse. Sesekali ia mengecup bahu Grisse. Juga leher, puncak kepala, dan seluruh bagian punggung gadis itu. Grisse semakin intens menggeliat. Dan puncaknya, ia mendesah meskipun dengan suara lirih. Sayangnya, desahan lirih Grisse tetap mampu didengar Vidwan dengan jelas. "Begitulah seharusnya, Grisse. Mendesahlah lagi, Sayang." Vidwan berbisik di telinga kiri Grisse. Setelahnya, lelaki itu menggigit kecil daun telinga Grisse. "Dan seharusnya, bukan ini yang kau tutupi dengan tanganmu, Gadis manis." Kedua tangan Vidwan menyentuh tangan Grisse yang masih menyilang di depan d**a. Sementara dagu lelaki itu menumpu pada bahu kiri Grisse. Pelan-pelan, Vidwan menarik tangan Grisse. Menjauhkan tangan gadis itu dari dadanya. Grisse sempat melakukan perlawanan, tapi dengan cepat Vidwan membisikkan kata-kata yang akhirnya membuat gadis itu pasrah. "Aku akan menunjukkan padamu, mana yang seharusnya kamu tutupi Grisse." Vidwan masih menggenggam tangan Grisse dan membawanya kembali ke samping tubuh gadis itu. Setelahnya, Vidwan melepaskan tangan Grisse. Ia pun mengangkat dagunya dari bahu Grisse. Namun sebelum menegakkan kembali tubuhnya, Vidwan mengecup bahu kiri Grisse. Dengan satu gerakan lembut, Vidwan mendorong tubuh Grisse hingga d**a gadis itu menyentuh dinding kamar mandi yang basah. Setelahnya, tanpa Grisse duga, tangan Vidwan sudah berada di area sensitifnya. Vidwan membelai lembut bagian di bawah perut yang ditumbuhi rambut ikal. Lagi-lagi, Grisse diserang rasa yang sama, yang sayangnya kali ini sangat ia nantikan. "Kau tahu, Grisse? Aku menyukai gadis sepertimu karena beberapa alasan. Karena kau polos, pintar, dan… ternyata sangat seksi. Dan salah satu hal yang membuatmu sangat seksi adalah ini." Vidwan mengusap bagian sensitif Grisse lebih cepat. "Aku suka ini yang berambut, Grisse. Ikal, tapi tidak terlalu lebat dan lembut. Seperti milikmu." Vidwan kembali melancarkan pujiannya untuk Grisse. Sesekali laki-laki itu meniupkan napasnya yang hangat ke arah belakang telinga Grisse. Oh, rasanya Grisse ingin menggeliat lagi dan lagi. Ia merasa miliknya basah. Dan sialnya, Vidwan mengetahuinya ketika tangan laki-laki itu bergerak lebih jauh. Ya, tangan Vidwan telah menyusup di antara pangkal paha Grisse. "Seharusnya, bagian inilah yang kamu lindungi dengan tanganmu, Grisse. Bukan p******a indahmu. Namun sekarang, milikmu sudah mendapatkan pelindung terbaiknya. Tanganku." Vidwan mencoba membuka lipatan bibir bawah Grisse dengan jarinya. "Hey, kamu sudah basah, Grisse. Itu artinya kamu terangsang oleh sentuhanku." Tanpa ragu, Vidwan melesakkan satu jarinya ke dalam milik Grisse. Hal itu sukses membuat Grisse mendesah sambil menengadahkan wajahnya. Leher jenjang Grisse yang terekspos ketika gadis itu menengadah menjadi sasaran bibir Vidwan yang lapar. Dengan cepat, laki-laki itu menghujani leher Grisse dengan ciuman yang sesekali diselingi gigitan. Vidwan tidak peduli jika leher Grisse akan dipenuhi bekas gigitannya setelah ini. "Kumohon hentikan, Sir." Grisse mulai terisak. Bersamaan dengan itu Vidwan menghentikan gerakan jarinya. Masih dengan jari yang berada di dalam milik Grisse, Vidwan mencoba membelai rambut Grisse dengan sebelah tangannya yang bebas. "Hey, kenapa kau menangis?" "Kumohon hentikan semuanya, Sir." Grisse menjawab sambil terus terisak. Ia benar-benar khawatir pertahanan dirinya runtuh karena serangan, berupa sentuhan, dari Vidwan yang bertubi-tubi. Vidwan masih bergeming. Ia seolah tengah memikirkan permohonan Grisse. Perlahan ia menarik jarinya dari inti tubuh Grisse kemudian melangkah mundur, sedikit menjauhi Grisse. Setelah merasa cukup mencipta jarak, Vidwan menyentuh bahu Grisse. "Kumohon berbaliklah." Grisse menurut. Perlahan ia memutar tubuhnya, kembali menghadap Vidwan yang menatapnya lekat. Sesaat kedua mata Grisse bertemu tatap dengan netra milik Vidwan. Dan setelahnya Grisse menunduk. Ia tidak kuasa membalas tatapan Vidwan. "Grisse, kumohon dengarkan aku." "Cukup, Sir. Jika Anda hanya ingin kembali merayu saya, sebaiknya jangan mengatakan apa pun. Saya setuju untuk berkunjung karena saya ingin belajar. Saya ingin pengetahuan saya bertambah. Bukannya diperlakukan seperti ini." "Aku tidak memperlakukanmu dengan buruk, Grisse." "Cukup, Sir. cukup!" Isakan Grisse berubah menjadi tangis yang cukup keras. "Anda telah melecehkan saya, Sir." Vidwan menggeleng tidak terima. Ia bermaksud membantah tuduhan Grisse, tapi gadis itu serta merta menggeleng. Dan di luar dugaan Vidwan, Grisse menempelkan telunjuknya ke bibir Vidwan. "Kumohon jangan katakan apa pun lagi, Sir." Bisik Grisse sambil kembali terisak. d**a gadis itu naik turun dengan cepat. Ia berusaha bernapas dengan normal, namun sulit. Kentara sekali jika Grise sangat tertekan. Vidwan mengangguk sambil menyentuh telunjuk Grisse yang nemepel pada bibirnya. Ia kemudian mengajak Grisse untuk emyudahi aktivitas mandi mereka. Dengan hati-hati, Vidwan menyelimuti tubuh Grisse dengan handuk. Ia sebenarnya ingin menyusut sisa-sisa air yang menempel di tubuh Grisse, tapi ia takut gadis itu akan salah paham lagi. "Pakailah ini." Vidwan mengangsurkan jubah mandi yang segera disambut Grisse. Gadis itu memakai jubah mandi dalam diam. Sementara Vidwan memakai handuk yang sebelumnya Grisse pakai untuk menutup bagian bawah tubuhnya. "Aku minta maaf, Grisse." "Saya juga minta maaf, Sir." "Setelah kita berganti pakaian, kita akan mulai belajar." "Baik, Sir." Vidwan mendahului Grisse keluar dari kamar mandi setelah mengambil kaus dan celana pendek yang tadi ditanggalkannya. "Aku sudah menyiapkan kemeja untukmu. Buatlah dirimu senyaman mungkin. Aku akan menunggumu di ruang kerjaku. Kita akan belajar di sana." Grisse menatap Vidwan yang melangkah keluar dari kamar tidur. Sengaja Vidwan tidak menutup pintu karena ia enggan melihat Grisse saat ini. Vidwan yang kecewa karena gairahnya tidak tersalurkan, mencoba menahan rasa sakit yang tetiba menghantam kepalanya. Sementara Grisse, gadis itu memilih untuk mematung cukup lama. Setelah apa yang dialaminya di kamar mandi, Grisse menjadi gamang. Di satu sisi, ia senang karena berhasil melindungi dirinya. Melindungi miliknya yang berharga. Namun, di sisi lain, tetiba Grisse merasa kecewa karena tidak bisa lagi merasakan sentuhan Vidwan. Diam-diam, di sudut hati kecilnya, Grisse mendambakan Vidwan untuk kembali menyentuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD