Aku dan Guru Vidwan hendak keluar dari ruangan pelatih. Sebelum akhirnya kami memutuskan untuk keluar ruangan, Vidwan memintaku untuk memanggilnya dengan nama saja, tanpa embel-embel guru. Aku mengangguk tanda setuju, tapi nyatanya beberapa kali aku masih saja memanggilnya Guru Vidwan.
"Guru, kumohon biarkan aku memanggil Anda seperti itu khususnya bila kita di keramaian."
Vidwan melangkah mendekatiku, "Oke, tapi ketika kita hanya berdua kamu harus memanggilku Vidwan."
Aku tersenyum sambil mengangkat tangan dengan dua jemari teracung membentuk huruf V, "Janji!"
Vidwan terkekeh perlahan kemudian menunduk. Ia mendekatkan wajahnya ke ujung jemariku yang teracung.
"Cup!" Bunyi kecupan singkatnya pada dua jemariku terdengar sangat jelas karena heningnya keadaan sekitar. Aku tersipu sehingga menundukkan kepalaku cukup dalam.
"Tidak perlu malu. Jemarimu yang lentik begitu menggoda, Grisse." Bisik Vidwan sambil meraih daguku kemudian mengangkatnya perlahan.
"Kamu cantik." Puji Vidwan terang-terangan.
"Grace lebih cantik, Guru." Aku sengaja berkata demikian untuk menggoda Vidwan. Air muka laki-laki itu seketika berubah. Ia sengaja menunjukkan ketidaksukaannya pada pernyataanku.
"Maaf…." Desisku. Aku mengutuk lidah dan bibirku yang telah lancang bicara.
"Kamu harus dihukum!" Vidwan menatapku dingin. Sungguh, tatapannya membuatku bergidik.
"Maaf…." Ulangku lagi. Kali ini aku memasang raut menyesal.
"Tidak semudah itu, Grisse. Aku tidak suka mendengar kata maaf begitu mudah dan ringan diucapkan." Vidwan masih menatapku. Aku ingin berpaling guna menghindari sorot matanya yang dingin, tapi dengan sigap Vidwan mencengkeram daguku. Secepat kilat, bibirnya menyergap bibirku. Tangannya yang tadi berada di daguku pun berpindah ke area tengkuk. Kurasakan Vidwan menahan bagian belakang kepalaku agar ia bisa lebih leluasa mencium. Detik berikutnya, kurasakan tangan Vidwan lainnya menyentuh pinggangku kemudian merengkuhku semakin mendekat padanya.
"Balas aku, Grisse!" Tuntutnya dengan suara berdesis.
"Aku belum pernah berciuman."
Ya, aku tidak bohong. Aku memang belum pernah berciuman sebelumnya. Ini adalah pengalaman pertamaku. Vidwan menatapku dengan sorot lembut. Ia kemudian membenamkanku dalam pelukannya yang hangat.
"Aku menyukaimu, Grisse." Kata Vidwan sambil mengetatkan pelukan. Kurasakan puncak kepalaku diciumnya satu kali.
"Guru..." Aku bersuara lirih. Jujur aku bingung saat ini. Aku bingung dengan perlakuan Vidwan dan aku bingung dengan diriku sendiri.
"Kita ke apartemenku sekarang!" Ujar Vidwan seraya mengurai pelukan. Vidwan lebih dulu berjalan menuju pintu. Setelah pintu terbuka, ia melangkah dengan tergesa, meninggalkanku yang masih terbengong di tempat.
Grace yang tengah memimpin latihan sontak berdiri kemudian menghampiri Vidwan. Sekilas, setelah melihat senyum dan binar mata Grace, aku menduga bahwa gadis di hadapanku ini menyimpan perasaan pada Vidwan.
"Guru, Anda akan memimpin latihan?" Nada bicara Grace yang penuh harap langsung dipatahkan oleh gelengan kepala Vidwan. Dengan enteng, Vidwan menggeleng kemudian mengatakan tidak. Vidwan menjelaskan pada Grace bahwa ia ingin kembali ke apartemen lebih awal karena butuh istirahat. Ya, Vidwan tidak mengatakan jika aku juga akan mengikutinya ke apartemen.
Wajah manis Grace langsung berubah mendung. Diiringi sorot mata khawatir, Grace kembali bertanya pada Vidwan, mengkhawatirkan lelaki itu apakah ia sedang sakit. Lagi-lagi Vidwan menggeleng.
Aku melangkah keluar tempat latihan lebih dulu karena kupikir Vidwan dan Grace butuh ruang untuk bicara berdua. Aku kemudian berpamitan pada Grace. Tak lupa aku meminta maaf pada Grace karena tidak jadi mengikuti latihan. Aku menggunakan rasa sakit pascakram sebagai alasan. Dengan langkah sedikit terseok, perlahan aku meninggalkan gedung tempat latihan yoga.
Tujuanku? Tentu saja asramaku.
Meskipun Vidwan memaksaku untuk berada di apartemennya malam ini, tapi aku lebih memilih untuk kembali ke kamarku. Kuharap Vidwan tidak segera keluar dari tempat latihan kemudian menyusulku.
"Grisse." Suara berat dan tegas milik Vidwan akhirnya menyapa gendang telingaku. Refleks aku menghentikan langkah. Aku sengaja tidak membalik badan agar berhadapan dengan Vidwan. Suara langkah yang samar kudengar semakin mendekatiku.
"Kita pulang ke apartemenku." Vidwan kembali mengulang kalimatnya ketika di dalam tadi.
"Aku hanya ingin mengambil pakaianku, Sir." Aku mencoba mencari alasan. Jujur aku takut kembali berduaan dengan guruku yang tampan. Apalagi ingatan tentang sentuhan Vidwan tadi kembali datang. Menghadirkan gelenyar asing yang belum pernah kurasakan.
"Malam ini kau bisa memakai pakaianku dulu. Lagipula, aku tidak mau kakimu kembali kram akibat menaiki anak tangga sampai ke lantai tiga."
"Sir, Anda tahu aku tinggal di lantai tiga?" Aku langsung menghujaninya dengan pertanyaan. Vidwan mengangguk. Aku memandang laki-laki di depanku tak percaya. Namun, belum sempat aku kembali berkata-kata Vidwan sudah meraih tanganku. Ia kemudian mengajakku untuk mengubah tujuanku sebelumnya menjadi apartemennya.
Apartemen Vidwan berada di lantai tiga. Kami menuju lantai tiga dengan menggunakan elevator. Setelah bunyi khas elevator yang menandakan bahwa kami telah berada di lantai yang sesuai, pintu perlahan terbuka. Aku sengaja menunggu Vidwan keluar lebih dulu. Namun, lagi-lagi dari sikapnya Vidwan seolah tidak ingin membiarkanku tertinggal di belakangnya. Dengan santainya, Vidwan melingkarkan tangannya ke pinggangku. Aku tidak bisa menolak lagi, terlebih rasa asing itu kembali muncul. Menghadirkan desiran di hatiku, yang anehnya tidak membuatku takut atau tidak nyaman. Kami berjalan menuju sayap kanan bangunan apartemen. Sesampainya di depan pintu bertuliskan angka enam belas, kami berhenti. Lagi-lagi aku tercengang karena nomor apartemen Vidwan sama seperti nomor kamarku: enam belas.
"Kamu heran?" Tanya Vidwan sambil tersenyum. Aku mengangguk cepat.
"Awalnya aku juga heran, tapi kemudian aku berpikir bahwa inilah takdir. Takdir kita adalah bersama, Grisse."
Takdir?
Takdir apa gerangan yang dimaksud Vidwan.
"Takdir?" Aku mengulang kata yang tadi hanya terungkap di benak saja.
"Ya, takdir. Kamu dan aku bertemu di sini dan kita terhubung oleh kesamaan-kesamaan yang tidak kita duga sebelumnya."
Aku dan Vidwan.... berjodoh?
Berapa konyolnya diriku. Mengaitkan takdir dengan jodoh. Sepertinya sentuhan dan ciuman Vidwan sudah menghilangkan akal sehatku.
"Hey, wajahmu memerah. Ada apa?" Suara Vidwan membuyarkan lamunanku.
"Oh, eh, tidak ada." Aku menunduk.
"Aku ingin tahu apa yang sedang kamu pikirkan?" Aku tersentak mendengar suara Vidwan yang tetiba sangat dekat.
"Tidak ada." Aku mencoba memalingkan wajahku.
"Gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya, Cantik." Embusan napas Vidwan menerpa pipiku. Aku tidak berani menggerakkan wajahku kembali. Kubayangkan jika aku seperti itu, yang ada Vidwan akan kembali menciumku. Aku memilih diam sambil berusaha menahan gejolak jantungku yang seolah ingin lolos dari tempatnya.
"Hey, Grisse. Apa kamu tidak lelah seperti itu?" Tidak kurasakan lagi napas Vidwan menerpa pipiku.
Ah, akhirnya dia menjauh.
Desahan yang baru saja meluncur dari mulutku membuatku bingung. Entah aku merasa lega atau justru kecewa. Kulihat Vidwan membuka pintu perlahan kemudian menoleh ke arahku.
"Ayo, masuk." Tangan Vidwan kembali meraih tanganku. Aku menggerakkan kakiku perlahan. Vidwan menuntunku pada sofa berwarna hitam yang berhadapan dengan televisi layar datar ukuran sedang.
"Aku ambilkan minum."
"Tidak perlu, Sir."
"Vidwan. Cukup Vidwan saja, Grisse."
"Baik."
"Aku ke kamar dulu. Kamu bisa menonton televisi dulu sebelum kita mulai belajar."
Belajar?
Ah ya, aku lupa kalau tujuanku berkunjung adalah untuk belajar. Belajar bahasa Sansekerta, tepatnya. Mendapati diriku memikirkan hal lain selain belajar, membuatku malu. Entah kenapa setelah masuk ke apartemen Vidwan, aku memikirkan hal lain. Hal lain yang, jujur, tidak hanya kupikirkan tapi juga kuinginkan.
***