Pada sore hari, sekitar pukul 3 sore lewat, Casilda sudah berada di kedai.
Perempuan berkacamata tebal dan bertubuh gemuk ini sibuk menghitung kotak yang akan dimasukkan ke dalam mobil van putih yang ada di luar.
“Bagaimana? Sudah pas, kan?” tanya Bu Hamidah yang berdiri sombong di dekat pintu masuk dapur, bersandar di sana sembari melipat tangan.
Casilda mengangguk, tersenyum dipaksakan.
“Kalau begitu, aku akan mulai memasukkannya ke dalam mobil,” ujar Casilda sembari mulai memindahkan sebagian ke dalam troli di dekatnya.
“Aku bantu biar lebih cepat,” tawar suami Bu Hamidah.
“Tidak perlu, bos! Aku bisa sendiri, kok!” elaknya tidak enak hati.
“Biarkan saja, Cas! Pekerjaanmu akan lebih cepat selesai, kamu juga tidak akan kena macet pulang kantor jadinya,” kata Bu Hamidah ogah-ogahan, mengibas-ngibaskan sebuah lekukan karton sebagai kipas instan ke depan wajahnya, sangat cuek dan santai.
“Eng... baiklah. Benar juga,” Casilda mengalah.
Pukul 5 adalah waktu jam pulang kantor. Ibukota akan semacet di pagi hari, tentu akan membuat siapa pun yang tidak waspada dan berpikir cepat, bisa terjebak macet berjam-jam.
Sebisa mungkin dia harus bisa meluncur ke jalan guna menghindari hal-hal buruk tersebut. Jika tidak, kalau sampai terlambat, aktor sombong itu pasti akan mengerjainya lagi!
Mobil bercat putih dan bergambar ayam potong di sana, akhirnya berangkat.
Syukurlah Casilda tiba dengan cepat, hingga ketika mobil memasuki gerbang perumahan elit, suara azan sudah bergema di udara.
Wanita berkepang satu ini, menyempatkan diri untuk singgah di sebuah pos jaga dan bertanya mengenai masjid terdekat yang ada di kompleks, lalu bergegas ke sana sebelum waktu menunjukkan pukul 7 malam.
Masjid di perumahan Arkan sang Top Star sangat besar dan megah. Saking besarnya, luasnya tidak main-main hingga masih banyak tempat kosong meski sudah banyak orang yang memenuhinya. Mereka berjalan keluar satu per satu setelah melakukan sholat berjamaah, dan Casilda merasa kikuk melewati deretan orang-orang di sana. Meski semua tampak religius, pakaian mereka tampak indah dan bagus-bagus.
Sepertinya masjid itu menerima orang luar juga, terbukti meski pakaian mereka bagus, bersih, dan indah, tapi terlihat tidak begitu istimewa khas orang kaya pada umumnya. Lebih mirip saat suasana sedang hari raya saja.
Mungkin masjid itu adalah primadona lain di perumahan elit di sana, selain punya taman-taman yang indah. Jadi, di banyak yang memilih untuk datang ke sini.
Casilda menggeleng pelan, menghilangkan perasaan terintimidasinya. Dia pun melangkah masuk ke dalam masjid dan segera melaksanakan kewajibannya.
Begitu selesai, Casilda bergegas melihat jam di ponselnya, sudah menunjukkan setengah tujuh lewat sedikit.
“Hah... rasanya, aku tidak sanggup masuk ke perumahan ini lagi...” gumamnya pelan, masih teringat kesialannya saat dikerjai oleh Arkan. Dia harus berjalan pulang sangat jauh menuju gerbang keluar, dan malah tumbang di antara semak-semak di salah satu taman di perumahan ini.
Teringat orang yang sempat menolongnya dulu, mungkin dia bisa menanyakan kepada orang di sekitar sini jika sudah pulang nanti. Mungkin, jika sempat.
Pak satpam di sini pasti akrab dengan para petugas umum yang lalu lalang masuk dan bekerja di perumahan elit ini.
Sambil berpikir demikian sambil menyalakan mesin mobil hingga mulai berjalan pelan, dan sedikit demi sedikit menambah kecepatan menyusuri jalan beraspal.
Detik demi detik berlalu menuju tempat tujuannya, hati Casilda menjadi sedikit terasa aneh, tapi ditepisnya cepat.
Wajah Casilda muram.
Arkan mengiming-iminginya dengan janji uang.
Entah kenapa hatinya resah sejak selesai sholat di masjid tadi.
Apakah ini pertanda buruk?
Semoga saja tidak.
Dalam hati, Ratu Casilda Wijaya berdoa dengan sangat panjang dan berulang-ulang agar malam ini dia tidak mendapat kesialan lain.
Apakah Arkan akan mengerjainya lagi? Dia adalah pria iblis, bisa jadi memang dirinya datang ke perangkap yang telah dibuatnya.
10 juta? Berapa, sih, buat pria kaya dan terkenal sepertinya?
Sekali membintangi iklan dan main film, pasti jutaan.
Jika dirinya di masa lalu, pasti juga akan membuang uang 10 juta demi kesenangan hati semata, apalagi demi balas dendam.
Hati perempuan ini tenggelam, wajah sudah gelap oleh ketakutan yang mencengkeramnya. Namun, apa pilihannya selain mencoba?
Saat ini, Arkan adalah harapan terakhirnya....
Mobil ayam krispi Yummy akhirnya tiba di depan gerbang besi tinggi, bagaikan cakar yang hendak menekan sang pengemudi hingga remuk.
Casilda menelan salivanya, mata melirik ke depan, tampak sudah banyak mobil mewah berbagai merek berjejeran di sepanjang jalan menuju mansion modern tersebut.
“Pesta, kah?” bisiknya pada diri sendiri.
Pantas saja pesan 100 kotak.
Casilda turun dari mobil, memencet bel dan memperkenalkan dirinya pada sebuah suara seorang wanita dewasa dari interkom, dari gaya bicaranya sepertinya adalah pelayan di rumah itu.
“Ah! Anda dari kedai ayam krispi, ya?”
“Benar. Saya datang mengantar pesanan!” balasnya melalui interkom, hatinya sudah deg-degan kecil.
Pintu pagar terbuka secara otomatis, dengan langkah berat dan pikiran dipenuhi oleh banyak hal, Casilda menuju mobil.
Dia tidak boleh ragu! Meski ini adalah jebakan sekalipun!
Kalau perlu, dia akan berlutut kepadanya!
Apa saja agar dia bisa mendapat 500 juta itu demi adiknya!
Casilda sedikit termenung mengamati keramaian di depan sana.
“Wuah... dia pesta apa malam ini? Apa tidak apa-apa pesan ayam krispi?”
Mata Casilda tertuju pada beberapa orang di depan pintu masuk, semuanya berpakaian formal dan mewah.
Hati Casilda tiba-tiba menyusut, sedikit malu dan merasa rendah diri.
Mungkin Arkan sedang menyelenggarakan pesta mewah yang berkelas, tapi kenapa pesan ayam krispi dari kedai mereka? Bukankah itu tidak cocok?
Casilda sibuk menyetir sambil mengamati jalanan di depannya, sesekali masih menatap kagum dan malu-malu ke arah orang-orang elit di sana, lalu gerakan mobil terhenti ketika seorang pria memberikan tanda untuk tidak lanjut berjalan ke depan.
Kepala Casilda melongo keluar jendela, “ada apa, Pak? Saya mau antar pesanan!”
Pria yang mendekat itu ternyata adalah pria yang dulu menyeretnya tanpa ampun. Raut wajah Casilda langsung berubah masam, mata menyipit kesal.
“Ah! Kamu rupanya!” teriaknya dengan wajah agak kaget, lalu melirik logo ayam potong di mobilnya, kening ditautkan.
“Saya sedang antar pesanan, Pak! Kalau tidak percaya bisa lihat isi mobil ini, atau menelepon orang di dalam sana!” jelas Casilda, ada nada marah dan jengkel meski berusaha bersuara tenang dan profesional.
“Baiklah. Tuan muda Arkan juga sudah bilang kamu akan datang. Tidak mengira ternyata itu adalah kamu.”
“Jadi, saya boleh jalan sekarang?”
“Oh! Soal itu, tuan muda memberiku perintah untuk menyuruhmu langsung membawa masuk semuanya lewat pintu utama mansion.”
Casilda tertegun sejenak.
Langsung ke pintu utama?
Dia tidak keberatan melakukannya, tapi bukankah itu akan sedikit mengganggu suasana elit itu?
Alis wanita berkacamata tebal ini mengerut pelan.
“Bapak yakin? Kalau saya dimarahi, bagaimana? Bukankah sedang ada pesta besar?”
Dari jauh, musik mulai terdengar, dan beberapa mobil lain lewat di samping mobil van ini. Mata Casilda melirik sekilas, melihat mobil-mobil itu melaju menuju tempat parkir yang masih kosong.
Pria dalam seragam satpam itu mengangguk cepat, “yakin! Tuan muda yang pesan secara langsung kepadaku. Untuk apa aku repot-repot datang kemari?”
Casilda mengelus dagunya sembari berpikir.
Benar juga. Untuk apa coba? Tapi, mengantarkan masuk kotak ayam itu lewat pintu depan, rasanya kurang etis baginya.
Pesta itu terlihat glamour dengan pakaian indah mereka, kalau lewat begitu saja sambil mendorong troli penuh kotak ayam krispi, seperti merusak kemegahan pesta itu sendiri.
Arkan tidak sedang benar-benar menjebaknya, kan?
Bukankah dia sebaiknya lewat pintu lain saja?
Untuk apa lewat pintu depan?
“Cepatlah! Aku nanti dimarahi jika menahanmu terus di sini!” teriak pria itu, memukul sisi pintu mobilnya dengan satu tangan, kode agar menyuruhnya segera jalan kembali.
Casilda tercenung selama beberapa detik, wajahnya tampak bodoh.
Dalam pikirannya, dia tidak bisa memikirkan hal lain selain benar-benar mengantar masuk kotak-kotak ayam itu.
Hal buruk apa yang bisa terjadi jika dia mengantarkan masuk pesanan tersebut lewat pintu depan?
Casilda mengedikkan kedua bahunya malas dan cuek, lalu meraih sebuah vest kedai mereka dan memakainya, dan mobil pun kembali melaju menuju pintu depan mansion.
***
Banyak pasang mata mengarah pada mobil kedai ayam krispi tersebut, mesin mobil dimatikan.
Casilda menundukkan kepala malu-malu di dalam mobil mendapat tatapan seperti di kebun binatang itu, merasa dirinya sebagai hewan di dalam kurungan, bak tontonan seru oleh mereka.
Kenapa harus lewat pintu depan?
Casilda masih bertanya-tanya dalam hati, tapi sama sekali tidak menaruh curiga apa pun terhadap jebakan yang sedang dibuat oleh Arkan untuknya.
Pikiran tentang masuk lewat pintu depan mengusiknya secara tiba-tiba.
Dengan hati ciut dan merasa sedikit malu, Casilda akhirnya turun dari mobil. Membalas tatapan orang-orang yang ternyata memakai topeng di wajah mereka itu dengan sebuah senyum canggung, kepala ditundukkan pelan, dan bergegas mengarah ke belakang mobil.
Dia belum pernah melihat pesta yang luar biasa indah dan elit seperti itu, kecuali di TV saja.
Musik instrumental klasik mengalun dengan lembut, memberikan suasana kelas atas yang membuat Casilda semakin rendah diri saja. Selintas di pikirannya dulu, sewaktu keluarganya masih kaya, mereka sering menghadiri banyak pesta, bahkan suka menyelenggarakannya sendiri di akhir pekan. Tapi, dari semua pesta yang pernah dilihat atau ditemuinya, belum pernah sebagus ini.
Apakah karena sudah bertahun-tahun lewat, makanya sekarang lebih ‘wuah’ di matanya? Atau karena sudah tidak terbiasa dengan pemandangan kelas tinggi itu?
Casilda tenggelam dalam pikirannya.
'Semuanya memakai topeng? Pesta penting begini kenapa harus masuk lewat pintu depan, sih? Tidak malu apa kalau mengganggu para tamu yang hadir? Kayaknya mereka semua orang penting, deh,' batinnya dengan perasaan sedikit tidak nyaman.
Dengan membawa beberapa kotak ayam di troli, akhirnya Casilda berusaha masuk melewati orang-orang yang kini masih menatapnya aneh. Bukan itu saja, tapi mereka mulai tampak tertawa pelan secara sembunyi-sembunyi.
Casilda memiringkan kepalanya, tanda merasa janggal. Tapi, mencoba menebalkan muka.
Ini, kan, tugasnya?
Pria itu juga yang menyuruhnya, kan?
Harus percaya diri!
Harus!
“Permisi! Pesanan dari kedai ayam krispi, tuan, nyonya! Permisi sekali lagi! Mohon beri jalan!” seru Casilda dengan nada suara terkontrol baik, sangat sopan tapi masih menjaga nada suaranya tetap tinggi, wajah ceria khas pengantar makanan bersinar dari tubuhnya, mendorong troli dengan susah payah sembari tetap memancarkan senyum ramah meski beberapa orang sudah mulai terdengar terbahak keras di belakang Casilda.
Ratu Casilda Wijaya mengerut dalam hati.
Kenapa perasaannya tidak enak begini?
Memang sejak tadi dia sudah merasa tidak enak. Tapi, sejak masuk ke pintu mansion ini, hatinya semakin tidak enak saja, seolah gelisah hebat yang membuatnya ingin lari terbirit-b***t tanpa alasan yang jelas.
Saat Casilda sudah sampai ke dalam, pemandangan mewah dan elegan khas pesta gaya Eropa kelas atas dengan topeng-topeng indah dan misterius, menghiasi ratusan orang di dalam mansion yang sudah disulap menjadi aula besar dengan langit-langit tinggi yang mengagumkan.
Cahaya kuning keemasan megah dari lampu-lampu kristal jatuh ke tubuh Casilda ketika dia masuk dengan wajah terpana pada keindahan aula yang dulu dilihatnya hanya sebagai ruang tamu itu.
Semakin dia masuk ke dalam, semakin banyak mata yang mengarah padanya.
'Aneh. Apa ini hanya perasaanku saja? Kenapa sejak tiba di depan, semua orang seolah melihatku seperti badut sirkus? Atau ada yang aneh dari penampilanku? Apakah ada yang menempel di wajahku, ya?' batin Casilda polos.
Hatinya mendingin hebat.
Apakah Arkan sengaja menyuruhnya lewat pintu depan agar dia ditertawakan seperti ini?