Hati Ratu Casilda Wijaya tenggelam dan mendingin hebat oleh rasa takut dan putus asa yang menerkamnya. Pedih dan perih, tapi tidak berdarah, sangat melemahkan.
“Tapi, kamu tidak bisa masuk dalam keadaan seperti ini. Ruangan itu steril, dan kamu sedang demam. Meski pakai pelindung pun, sebaiknya jangan ambil risiko!”
Casilda paham prosedur itu, dengan cepat mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
Beberapa saat kemudian, mereka berdiri di depan sebuah dinding kaca lebar yang menampilkan sang adik tengah dipasangi banyak alat di tubuhnya, tertidur seolah tidak akan bangun lagi.
Melihat itu, Casilda memejamkan mata menahan rasa pedih di hatinya. Terisak keras dengan air mata kembali menghiasi kedua pipinya yang merona hangat. Satu tangannya menyentuh dinding kaca itu, mengelus sosok adiknya yang beberapa hari lalu masih bercengkerama riang dengannya seperti orang sehat pada umumnya.
‘Kakak! Hari ini ada anak kecil yang datang dan memberiku cokelat! Katanya dia itu fansku, loh! Kalau sudah sembuh nanti, dia mau mengenalkanku dengan kakak perempuannya yang cantik. Dasar anak-anak. Bikin malu saja!’
Kalimat penuh tawa Danish yang memegang sebuah foto anak perempuan cantik, terbayang kembali dalam benaknya. Guratan wajahnya terlihat penuh harap untuk bisa benar-benar sembuh dan bertemu dengan perempuan yang ada di foto itu.
Dunia Casilda seolah runtuh.
Kenapa adiknya begitu malang? Kenapa harus dia yang mengalaminya?
Bukannya sembuh, malah semakin jauh dari kata sehat.
Apakah usahanya tidak cukup untuk menolong sang adik selama ini?
Apakah Tuhan sudah meninggalkan mereka? Tidak pantas dikasihi karena perbuatan masa lalunya?
Apa lagi yang harus dilakukannya selain menjilati sepatu aktor sombong itu dan disiram smoothie olehnya agar bisa mendapat pinjaman uang 500 juta darinya?
Detik ini, Casilda yang sangat menginginkan uang, tidak peduli lagi mau seperti apa Arkan menyiksanya atas dendam masa lalunya, asal bisa mendapatkan uang itu, dia akan rela menerimanya. Disiksa seumur hidup juga tak masalah. Semua demi adiknya!
“Casilda, aku pergi dulu. Maaf, kerjaanku masih banyak. Jika kamu butuh sesuatu katakan padaku. Jangan lupa minum obat demam yang kuberikan,” nasihat sang perawat bertubuh kecil itu, meraih bahunya dengan tatapan kasihan dan berlalu setelah Casilda yang tersedak oleh ingusnya mengangguk dengan sungguh-sungguh penuh rasa terima kasih.
Selama beberapa menit, Casilda hanya berdiri di depan dinding kaca itu, mengamati adiknya dengan tatapan sayang dan sedih, juga kasihan.
“Sungguh malang dirimu, adikku...” lirihnya pilu, mata berkaca-kaca.
Sesekali dia tersenyum kecil mengingat kebersamaan mereka yang hanya pendek di malam hari karena harus bekerja keras mengumpulkan uang demi keluarga mereka setiap hari.
Sangat disayangkan kebersamaan mereka hanya sedikit dibandingkan jam kerjanya.
Padahal sang adik tengah sakit jantung, hal yang terjadi di depan matanya ini sewaktu-waktu bisa terjadi di masa lalu, tapi dia dulu optimis adiknya akan segera sembuh karena begitu rajin melakukan perawatan dan cek berkala. Namun, takdir berkata lain.
Casilda terisak pelan, di tangan kirinya yang memegang ponsel tengah menghubungi seseorang.
Beberapa kali Casilda menghubungi nomor itu baru bisa terdengar suara si pemilik nomor: angkuh, dingin, dan sombong.
“Kenapa? Ini masih pagi. Apa kamu sudah tidak sabar ingin mandi uang?” sindirnya dingin di seberang sana. Tidak ada keramahan sama sekali.
Bibir Casilda gemetar, gigi bergemelutukan menatap sang adik di dalam sana seorang diri.
“Tuan Arkan...” ucap Casilda pelan, mengontrol suaranya agar tidak kedengaran tengah menangis.
“Ada apa? Cepat katakan. Kamu menggangu pagi tenangku.”
“Anda serius, kan, mau meminjamkan uang 500 juta itu kepada saya?”
Saat mengatakan ini, tatapan Casilda menjadi kosong, air mata berhenti, dan tangan kanannya mengelus pelan permukaan kaca yang ada sosok sang adik.
“Semua tergantung sikapmu jika mau bekerjasama. A—“
“AKAN SAYA LAKUKAN APA PUN YANG ANDA PERINTAHKAN TANPA BERPIKIR 2 KALI! SAYA JANJI DEMI IBU SAYA!” seru Casilda tegas, nada begitu kuat dan penuh tekad. Wajah mengeras serius.
Di seberang sana, Arkan yang tengah hendak melepas jubah mandinya di depan kolam renang, tiba-tiba terdiam menatap lantai di bawahnya.
Suara Casilda seperti orang yang sangat putus asa.
Kening sang aktor segera berkerut, tidak peduli dia mau uang 500 juta itu untuk apa, dia senang wanita gendut dan jelek itu akhirnya bisa berada di bawah kakinya.
Keheningan beberapa detik di telepon itu langsung diisi oleh suara Casilda kembali.
“Asal Tuan Arkan sungguh-sungguh memberikan pinjaman 500 juta itu. Semua perkataan Anda adalah mutlak, dan saya hanyalah alat untuk Anda. Bebas mau diapakan, saya akan terima.”
Arkan tertawa elegan dan jahat di seberang sana, lalu menyindirnya dingin penuh hina, “kamu terdengar seperti wanita yang sedang mau jual diri saja. Sangat murahan, tapi tidak tahu diri. Benrr-benar menjijikkan daripada sampah busuk.”
Casilda tertegun syok. Tercoreng malu mendengarnya, tapi tidak membantah sama sekali. Hatinya sakit berpilin kuat dan berdarah, tapi dia bisa apa?
Sendirian berjuang tak ada yang bisa menolongnya, hanya bisa mengemis kepada orang yang sangat benci dan dendam kepadanya.
Pentingkah harga diri di saat seperti ini?
Apa itu harga diri? Sudah seperti kerupuk basi bagi Casilda, tidak ada gunanya untuk dipertahankan.
Mulutnya bergerak terbuka tanpa keraguan sedikit pun, dadanya seolah ditetesi oleh lava panas yang menyakitkan, mendesis menusuk gendang telinganya. Wajah merah dan hangat Casilda terlihat datar tanpa ekspresi.
“Itu pun, jika saya bisa laku dijual, jika Tuan Arkan memerintahkan seperti itu, akan saya penuhi.”
Sudah sangat putus asa. Tidak ada jalan keluar lain lagi.
Jika adiknya tidak tertolong, hidup ke depannya hanya seperti cangkang kosong.
Arkan yang mendengar itu langsung membeku di kedua kakinya, ponsel dicengkeram erat. Entah kenapa dadanya tiba-tiba panas dengan ide gila itu.
Sesaat, pria ini kebingungan dengan perasaan berputar yang menghantamnya, tapi langsung ditepis dengan nada yang jahat: “Menarik sekali. Apa itu hanya kata-kata manismu atau tidak, akan aku nilai kebenarannya malam ini. Kamu ini, sudah jelek tidak karuan, masih percaya diri bicara sembarangan.”
Casilda tidak menanggapinya, malah mempertegas maksudnya menghubungi pria itu.
“Jadi? Anda sungguh akan memberikan saya uang itu, kan? Bagaimana saya yakin Tuan Arkan tidak akan mempermainkan saya seperti di tenda waktu itu?”
Wajah Casilda meringis sedih dan menahan rasa malu seolah ditelanjangi, spontan memejamkan mata ketika mengingat kembali tengah menjilati sepatu lelaki itu dalam posisi yang begitu rendah dan menyedihkan penuh harap seperti orang bodoh.
Itu adalah momen yang tidak akan pernah dilupakan oleh siapapun seumur hidupnya.
Sungguh menyedihkan!
Arkan tiba-tiba marah, suara terdengar mengancam.
“Apa ini? Kamu meneleponku untuk hal seperti ini?”
“Saya hanya ingin memastikannya. Tidak ingin datang sia-sia belaka ke mansion mewah Anda itu. Saya ini orang miskin, Tuan Arkan. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang seperti Anda yang kaya itu. Waktu bukan lagi sekedar uang, tapi nyawa bagi saya.”
Casilda benar-benar harus memastikannya kalau dia bisa mendapatkan pinjaman itu, setengah juga tidak masalah.
Setidaknya, jika dia pergi ke sana sementara adiknya dalam keadaan gawat begini, maka tidak akan percuma sama sekali.
Setidaknya, hatinya bisa sedikit tenang dengan uang yang bisa diberikan ke pihak rumah sakit, dan setidaknya, semua perjuangannya tidak akan lenyap bagai buih di lautan.
“Pidatomu bagus juga. Aku hampir tersentuh, tapi sayang sekali aku jadi jijik mendengarnya.”
Casilda tertawa dingin, “Saya hanyalah orang miskin, tentu saja menjijikkan di mata Tuan Arkan. Maafkan kekurangan saya ini.”
Arkan seolah tidak puas di seberang sana, raut wajahnya penuh konflik mendengar Casilda mencemooh diri sendiri. Kata-kata seolah tertahan ditenggorokannya, jadi hanya bisa mendengar ocehan Casilda lebih jauh lagi.
“Tolong yakinkan saya kalau Anda tidak akan menjebak saya dengan harapan palsu lagi. Jika tidak, saya tidak akan ke sana malam ini, meski Anda menuntut saya dan kedai ayam krispi itu. Saya tidak peduli lagi. Saya tidak takut apa pun saat ini.”
Suara Casilda dingin dan tajam di telinga lawan bicaranya.
Ketenangan, keberanian, dan keyakinan yang terdengar sangat dewasa dalam suara wanita itu membakar hati Arkan bagaikan kobaran api dalam sebuah ledakan, siap untuk membakar Casilda di dalamnya hidup-hidup.
“Kamu sungguh punya nyali berbicara seperti ini padaku, gendut!” geramnya dengan suara rendah mengancam, pandangan menunduk gelap.
Arkan sangat murka!
“Saya hanya ingin kepastian dan jaminan. Apakah Tuan Arkan yang hebat ini tidak punya kemampuan atas hal itu? Sungguh mengecewakan,” sindirnya dengan suara pelan berbisik, acuh tak acuh, wajah terlihat hampa mengarah pada sang adik di balik kaca.
Cara bicara Casilda itu sudah membuat pria di seberang telepon berubah gelap dengan sebelah tangan mengepal hingga buku-bukunya memutih, d**a dipenuhi kebencian dan rasa jijik yang berputar-putar mengacaukan dirinya dari dalam.
Dengan api panas membakar dadanya, Arkan mengomentarinya tajam dan dalam, sangat dingin dan misterius. Ekspresi melunak, senyum jahat tersungging di bibir menawannya. Emosinya langsung terkontrol.
“Baiklah. Jangan khawatir, malam ini kamu akan melakukan tugas yang istimewa. Jangan lupa dengan pesananku. Tidak boleh ada yang kurang sekotak pun. Harus pas 100 kotak ayam krispi dari kedai jelek itu.”
“Tidak masalah, Tuan Arkan. Tolong yakinkan saya dulu.”
“Nomor rekeningmu, kirim sekarang juga padaku!” titahnya dengan nada setengah membentak kesal.
Begitu Arkan mengatakan itu, Casilda mematikan ponselnya.
Air matanya meluruh kembali, dan wajahnya kacau oleh air mata yang membanjiri wajahnya.
Perempuan berkacamata tebal ini tergugu hebat dengan begitu pilu dan menyedihkan, merapatkan dahinya pada kaca tembus pandang di depannya, mata dipejamkan kuat-kuat menahan kepahitan yang dialami saat ini.
“Ternyata semudah ini, kenapa semuanya selalu terlambat di saat situasi sudah gawat begini?” gumamnya berbisik serak, lalu hatinya sakit melihat sang adik di dalam sana sendirian tanpa ada yang menemaninya.
Semakin sakit ketika membayangkan adiknya, menghabiskan sebagian besar hari-harinya di rumah sakit sendirian tanpa ada yang menenaminya seperti orang yang terbuang.
Tangis Casilda semakin deras detik demi detik.
***
Sementara itu, di mansion Arkan, di tepi kolam renang, sang aktor yang baru saja mengirim 10 juta pertama beberapa menit lalu ke rekening Casilda, terlihat sangat gusar penuh amarah mendapat telepon ancaman dan perlawanan dari wanita itu.
Ini tidak seperti rencananya!
Wanita gendut sialan!
Darimana keberaniannya itu berasal?
Sungguh tidak tahu diri!
Sudah jatuh miskin, masih juga berlagak!
“Wanita busuk, lihat saja apa kamu masih bisa bicara seberani itu padaku malam ini. Jual diri? Tentu saja! Kenapa tidak? Dia tidak tahu apa yang sudah diucapkannya itu dengan begitu entengnya. Setelah menjilat sepatuku, maka jilat ludahmu sendiri kali ini. Sampah memang sudah seharusnya diperlakukan seperti sampah.”
Sudut bibir Arkan tertarik jahat dengan mata bercahaya dingin, lalu menghubungi seseorang.
“Halo? Ini aku, Arkan. Lama tidak berjumpa. Aku punya barang menarik untukmu. Tertarik?”