“A-apa?! Kenapa menatapku seperti penjahat? Itu kucingmu? Pantas saja kelakuannya begitu! Ternyata tuannya tidak beda jauh! Aku tertipu! Cih!” sindirnya dengan gerakan membuang muka kesal.
Sudut bibir Arkan berkedut jengkel.
“Apa katamu?”
“Penampilannya saja yang bagus, tapi sifatnya buruk sekali,” ucap Casilda dengan gaya santai, setengah mengejek.
“Jaga mulutmu! Kamu benar-benar suka membuat masalah, hah? Siapa pun dirimu, aku tidak akan melepaskan masalah ini begitu saja!”
Casilda mematung dengan wajah pucat.
Sekali lagi tanpa sadar mulutnya membuatnya dalam masalah besar!
“I-itu... kita anggap saja hari ini tidak ada yang terjadi, ya? Aku hanya berusaha menolong diriku dan kucing itu. Tahu kalau dia kucingmu, aku tidak akan repot-repot naik ke sini,” terangnya gugup, asal bicara.
Penglihatan perempuan ini mulai goyah, panik karena mulai terbayang-bayang denda ratusan juta yang bisa jadi akan dialamatkan kepadanya karena sudah memasuki properti orang tanpa izin dan menghina, serta memfitnah pemiliknya.
Arkan tersenyum sinis, begitu dingin.
“Kenapa? Baru sadar kalau kamu salah? Sudah mau mengakui kalau kamu ini pencuri dan penipu?!”
“Kamu bicara apa, sih? Aku ini adalah tukang pengantar ayam krispi! Tanya saja orang di bawah sana!”
Casilda mengingat sesuatu, merogoh sakunya, mengeluarkan kertas pesanan, “ini! lihat ini! Orang ini yang memesan 50 ayam krispi dari kedai kami!”
Arkan melirik kertas yang berada setinggi mata sang wanita. Dengan cepat merebutnya, lalu membacanya.
“Abian?” bisiknya membaca nama sang pemesan ayam krispi tersebut, dengan kasar mengembalikannya.
Casilda cepat-cepat melepas cengkeraman pria itu lagi. Mengelus hati-hati pergelangan tangannya.
“Kamu bisa segera menanyai orang itu, sekalian tanyakan soal pembayarannya. Aku belum mendapatkan uang atas pesanan itu. Kerjaanku masih banyak, tidak bisa lama-lama di sini terus sampai syuting kalian selesai.”
Arkan menaikkan pandangannya, tatapan semakin dingin.
“Ke-kenapa kamu melihatku seperti itu lagi? Tanya saja orang itu! Aku bukan pencuri atau pun penipu!”
“Meong...” seru Tuan Luis yang kini duduk di dekat kaki Arkan, mengelus-eluskan kepalanya.
“Lalu, kenapa kamu naik ke sini?”
Arkan mendongakkan sedikit dagunya dengan pembawaan angkuh dan arogan.
“I-itu karena kucing preman ini menipuku!” tunjuknya kesal ke arah kucing Arkan yang bernama Tuan Luis.
“Hoi, nama dia adalah Tuan Luis. Tsk!” tegur Arkan mendecakkan lidah kesal.
“Terserah namanya siapa! Gara-gara dia membawa kabur ayam krispi ke kamar ini, aku dituduh yang tidak-tidak! Aku... aku akan menututmu dan kucing preman ini!” tantang Casilda dengan modal gertakan sambal. Sok terlihat tegar dan pemberani, padahal aslinya sangat pengecut.
Arkan mendengus geli, tertawa meremehkan.
“Kenapa? Aku juga punya hak untuk membela diri, kan? Kalian berdua berkomplot untuk memfitnahku! Aku bukan kriminal!”
Tatapan Casilda berapi-api, kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
Lelaki itu tak segera menanggapinya, dan dengan dinginnya berlalu melewatinya.
“Tunggu di situ,” perintahnya dengan nada rendah, seksi dan enak didengar.
Tuan Luis, sang kucing mengeong, bangkit dan mengikuti sang tuan.
“Kamu ke mana saja, Tuan Luis? Kalung belmu sepertinya rusak, ya?” ucap Arkan lembut, meraih sang kucing ke dalam pelukannya.
Casilda berbalik, menganga tak percaya dengan kelakuan pria tampan berjubah mandi itu. Dia bersikap baik pada hewan, sedangkan padanya begitu kasar?
Ugh! Dasar tuan dan hewan peliharaan, sama saja! makinya dalam hati, menggigit bibir kesal.
Pria itu lalu meraih ponsel dalam laci yang terkunci dengan sebuah password digital. Ini membuat perempuan berkacamata tebal itu sedikit merasa tertarik dan penasaran. Dia menjulurkan lehernya, tersentak kaget ketika Arkan mendecakkan lidah kesal, lalu menatap dingin pada Casilda seraya melakukan panggilan di ponselnya.
“Pelit,” gumam Casilda memayunkan bibir. Mata menyipit malas.
“Halo? Ini aku. Apa benar kamu memesan ayam krispi 50 kotak?”
Casilda menunggu dan mengamati dengan sabar, jantungnya berdegup gelisah.
“Baik. Aku akan bayar kalau begitu,” ucapnya dengan masih melirik dingin pada Casilda, panggilan telepon pun ditutup.
Tuan Luis, sang kucing melompat turun dari lengannya, berlari pelan ke arah ayam krispi miliknya, segera keluar ruangan meninggalkan kedua manusia berbeda gender itu dalam keadaan canggung.
“Berapa semuanya?” tanya Arkan, nada suara penuh arogansi yang kuat.
“Karena dapat diskon, maka total 50 kotak ayam krispi itu adalah dua juta lima ratus,” terang Casilda, wajah merajuk kesal, menunjukkan catatan pembelian tadi dengan tangan terentang ke arah sang aktor.
Arkan kembali membuka laci tadi, meraih dompet, dan menghitung uang yang dikeluarkannya.
Casilda memalingkan pandangan, tidak nyaman melihat lembaran merah baru yang terpampang nyata di depan matanya.
Sudah lama dirinya tak pernah melihat uang ratusan ribu dalam keadaan masih baru dan halus, kalau dipikir-pikir semua kemewahan yang diterimanya di masa lalu bagaikan mimpi indah semata.
Ponsel perempuan itu berbunyi.
“Maaf, aku jawab dulu,” katanya pelan berbisik, berjalan menjauh ke sudut ruangan, menghadap ke arah kaca dinding di sana.
Sang pria memiringkan kepalanya dengan tatapan linglung, menatap punggung Casilda dengan perasaan aneh.
Entah kenapa rasa bencinya terhadap perempuan asing itu terasa tidak masuk akal, padahal mereka baru pertama kali bertemu.
Apa mungkin karena dia terlalu menyebalkan dengan sikap barbarnya itu dan bertingkah seenaknya?
'Bikin naik darah saja!' batin Arkan dengan sudut bibir berkedut menahan amarah di dadanya.
Kening Arkan bertaut kesal, merasa sedikit gelisah dengan keberadaan Casilda bersamanya.
Perempuan berkemeja merah kotak-kotak itu sudah berbicara terlalu lama di telepon, dan dia memberikan gerakan aneh seolah tengah mengusap air matanya.
Hati nurani Arkan sedikit tergugah, raut wajahnya melunak. Pria ini berpikir, mungkin perempuan itu baru saja mendapat berita buruk.
“Hei, kamu mau ambil uangnya atau tidak? Segera pergi dari sini, aku tidak akan memperbesar masalah tadi.”
“Baik. Tidak apa-apa. Saya akan segera ke sana,” ucap Casilda lirih seraya berbalik menghadap Arkan, mengakhiri sambungan telepon.
Berbanding terbalik dengan yang dipikirkan oleh Arkan, tatapan mata Casilda terlihat begitu tajam dan sedikit menjaga jarak. Ini membuat hati Arkan menjadi buruk entah kenapa.
Lelaki ini merasa bodoh sendiri selama sesaat karena sudah merasa peduli sedikit kepadanya.
Dengan perasaan merasa kesal, sang aktor memicingkan mata, tersenyum jahat.
“Cepat ambil dan pergi dari sini. Wajahmu membuatku muak,” sorot mata dingin Arkan merendah tajam, berkilat berbahaya.
Uang itu dilempar ke atas tempat tidurnya, hingga membuat kedua bola mata Casilda membesar kaget. Tertegun dengan raut wajah terluka dan merasa terhina. Dia seperti diperlakukan bak seorang wanita panggilan, padahal hanya mengantar pesanan ayam krispi di mansion ini.
“Hei! Kamu tidak perlu melempar uangnya seperti itu, dong! Kamu pikir harta itu akan bertahan selamanya?”
Casilda menekuk wajahnya marah, tapi dia tak mau melanjutkan ceramahnya hanya untuk berdebat dengan orang seangkuh aktor itu.
Percuma tampan dengan tubuh bagus sempurna, tapi kelakuan seperti kotoran!
Ini yang membuat hati sang wanita panas naik-turun oleh emosi.
'Memangnya dia tidak bisa bertanya baik-baik sejak awal? Kita, kan, jadi tidak perlu bertengkar dan salah paham begini,' batin Casilda merajuk.
Setitik jarum panas menusuk hatinya, mengingat kembali perlakuan kasar sang aktor yang menindasnya semena-mena.
Arkan terdiam dingin sesaat, lalu berkata datar kepadanya seraya berbalik menuju lorong di mana walk in closet berada, “kalau tak ingin dapat masalah, harusnya kamu bekerja dengan benar. Dasar bodoh.”
Casilda memberikan gerakan tangan seolah akan memukul pria itu sembari berjalan ke arah uang tersebut berada.
“Dasar orang kaya!”
Ponsel Casilda berbunyi lagi sebelum sempat meraih uang p********n pesanan.
“Ah, ya? Benar. Saya adalah walinya,” jawab Casilda gugup.
Pria berjubah mandi itu berhenti sejenak ketika mendengar sang wanita menjawab panggilan telepon dengan nada suara samar-samar yang melemah. Kepalanya ditolehkan sedikit, melirik dingin dan cuek, lalu kembali melanjutkan langkahnya.
“Eng... iya, benar. Memang tanda tangan saya seperti itu, sesuai dengan tanda tangan dan nama asli saya yang ada di KTP. Memang dari nama pertama saya ‘Ratu’. Iya, baik. Saya ulangi nama saya kalau begitu: Ratu. Casilda. Wijaya. Benar. Ratu Casilda Wijaya. Nanti saya sertakan fotocopy KTP saya supaya lebih jelas.”
Arkan tiba-tiba membeku di tempatnya.
Kedua bola matanya membesar penuh keterkejutan mendengar nama lengkap sang wanita barusan.
'Ratu Casilda Wijaya?' batin sang aktor syok.
Dengan cepat, pria berjubah mandi ini membalikkan tubuh ke arah Casilda, menatapnya gelap dan bengis. Kedua tangan mengepal kuat. Urat-urat hijaunya menonjol hebat.
"Iya. Saya tahu. Saya akan ke sana secepatnya," lirih Casilda dengan raut wajah meratap pilu. "Apakah saya bisa—"
Arkan meraih kasar tangan Casilda dalam kecepatan luar biasa, ponsel yang digenggam oleh sang wanita jatuh ke lantai.
“Hah? Apa yang kamu lakukan?” teriak Casilda marah.
“Kamu bilang apa tadi, hah?” desis sang aktor dengan nada dingin yang mengancam. Keningnya ditautkan kencang. Mata menyipit misterius.
“Apa? Hei! Lepaskan! Sakit! Ponselku jatuh gara-gara kamu, tahu! Kalau rusak, bagaimana?!”
Perempuan itu berusaha melepas cengkeraman tangan Arkan, tapi mau sekuat apa pun sampai dia membenamkan kuku-kukunya, tetap saja cengkeraman itu sangat kuat menyakiti tulang-tulangnya.
Casilda merintih, tapi lelaki itu hanya menatapnya dengan tatapan begitu tajam.
“Apa yang kamu lakukan?! Aku, kan, sudah terbukti bukan pencuri!”
“Coba ulangi yang tadi,” titahnya dingin.
“Apa?”
“ULANGI YANG TADI!” bentaknya kasar dengan suara meninggi.