Ratu Casilda Wijaya bukannya tidak tahan karena apa, tapi tenaganya sudah sangat menipis.
Tidak masalah jika mereka mau mengatainya bagaimana. Tapi, jika harus melakukan hal-hal konyol lagi, seluruh otot dalam tubuhnya pasti akan menjerit penuh protes. Hal itu mengingatkannya seperti efek habis lari keliling lapangan berkali-kali tanpa jeda.
Jika itu terjadi, bagaimana dia bisa bekerja esok harinya? Pasti tepar lama tanpa tahu kapan bisa pulih kembali.
Di dalam kepala kostum babi, air mata Casilda mulai mengalir deras, tapi tidak membiarkan suara isak tangisnya keluar, bibir bawah digigit kuat-kuat.
Dengan menelan ludah berat, tersenyum getir, Casilda menghibur diri sendiri dalam hatinya: “Ini akan berlalu, Casilda. Ini akan berlalu. Bertahanlah sedikit lagi. Kamu juga tidak akan melihat mereka lagi untuk selamanya setelah semua ini selesai. Pikirkan keluargamu. Mereka yang paling penting.”
Lalu, wajah sang adik terbayang di dalam benaknya, kemudian berganti dengan wajah sang ibu yang tersenyum bodoh, sangat bangga dirinya mendapat banyak pesanan ayam krispi.
Hati Casilda tertusuk perih, tertawa miris.
Seandainya ibunya tahu untuk apa dia membawa pesanan itu, masihkah ibunya segembira dan sebangga itu padanya?
Tekanan kaki di bahu Casilda semakin kuat hingga membuat tubuhnya separuh menyentuh lantai, membuatnya kembali ditarik ke dunia nyata mendengar paksa pengakuan sang tamu wanita sebelumnya yang sudah maju mendekat.
Nada bicaranya dibuat semanis dan semenyedihkan mungkin agar mendapat simpati dari tamu lainnya, dan itu berhasil. Mereka mengerang sedih dan kasihan mendengar kalimat-kalimatnya.
“.... Kejam, kan? Apa kalian bisa bayangkan? Dia marah karena aku tidak sengaja menginjak sepatu barunya! Padahal! Padahal... aku.... aku sudah minta maaf dan bilang itu tidak sengaja, karena lorong sekolah saat itu sempit! Aku harus apa saat itu? Coba pikir! Dia malah bersikap seperti pemilik sekolah, dan bersikap semena-mena! Kalian tahu, kan, kalau kita melawan, apa yang akan terjadi nantinya?”
Kedua tangannya diletakkan di dadanya, sebuah gerakan sedih dan tertindas, melanjutkan dengan nada mengiba di balik topeng pelikannya, suaranya mirip lolongan anjing jelek yang dilempari batu, “tapi, dia malah menyuruh orang mencari tahu apa kelemahan saya, dan mengancam saya melakukan hal yang memalukan demi kepuasannya semata!”
Arkan mendengus dingin, menginjak kuat bahu Casilda sekali lagi, lalu menarik kakinya. Dia berjalan ke depan beberapa langkah dari sang wanita yang tertunduk lemas dalam kostumnya.
Pria bertopeng iblis ini mengeluarkan suara penuh keprihatinan di mic, ”kalian dengar? Ratu nguik ini sudah berlaku buruk pada wanita ini. Hanya masalah kecil dan bisa dimaafkan, tapi apa yang dilakukannya? Dia sangat jahat! Berbuat hal yang tidak perlu untuk dilakukan!”
Telunjuk kiri Arkan mengarah pada Casilda, menunjuknya seperti tersangka yang tak bisa diampuni.
Kepala perempuan berkepang satu itu ditegakkan melihat gerakan menuduh itu, mata mengikuti gerakan tubuh Arkan yang berjalan dari kanan ke kiri dengan perlahan, masih dengan telunjuk dan tatapan tajam mengarah padanya.
“Tuan Arkan!” ucap si tamu wanita cepat dengan nada ragu-ragu, mendekat sedikit malu-malu.
“Ada apa?”
Arkan membalikkan tubuh.
“Sa-saya sebenarnya malu mengatakan ini, ta-tapi dulu dia pernah menyuruh saya menjilat lantai toilet sekolah.”
Suara terhenyak kaget dan syok menghiasi sebagian reaksi para tamu yang hadir.
“A-Apakah dia bisa disuruh merangkak lalu setiap 1 meter wajib menjilat lantai 3 kali?”
“...”
Arkan sesaat terdiam, mata dingin dan kejamnya yang ada di balik topeng iblis menatap tamu wanita itu tanpa kedip.
Ketika tubuh sang tamu ini mulai gemetar dan ingin mundur begitu saja, tiba-tiba rasa takutnya hilang melihat reaksi lawan bicaranya.
Sebuah senyum dipaksakan hingga terlihat sangat alami di wajah tampan Arkan, nada suara kerasnya dibuat sangat stabil dan penuh semangat, pria ini langsung bersuara tegas tanpa ragu, “tentu. Tentu. Kenapa tidak? Aku membayar mahal badut ini untuk bisa melakukan apa saja agar kalian senang, bukan?”
“Terima kasih! Terima kasih, Tuan Arkan!”
Wanita itu menundukkan kepalanya berkali-kali, lalu ketika mundur dengan kepala masih belum ditegakkan, sebuah senyum licik terbit di balik topengnya secara diam-diam.
Ya. Tamu wanita itu sedang berbohong, wahai para pembaca!
Dia sengaja berbohong untuk membuat semua orang semakin membenci Casilda lebih kuat daripada sebelumnya.
Dengan memakai topeng seperti ini, semua orang akan kesulitan mengenali satu sama lain saat mengatakan hal-hal memalukan yang sudah didapatnya akibat ulah Casilda di masa lalu, dan ini dilihatnya sebagai peluang bagus untuk membalas Casilda berkali-kali lipat.
Toh, tidak ada yang tahu siapa dirinya di balik topeng yang dikenakannya saat ini, bukan?
Itulah salah satu alasan pesta ini para tamunya wajib memakai topeng sebagai syarat utamanya, melindungi identitas mereka agar tidak merasakan malu saat mengatakan hal memalukan di masa lalu.
Casilda tercengang mendengarnya!
Kapan dia menyuruh seseorang menjilat lantai toilet sekolah?
Dia tidak pernah melakukan hal semacam itu kepada siapa pun!
Dasar wanita gila!
Casilda sudah tidak punya tenaga, bahkan untuk mengucapkan sepatah kata pun untuk membantah hal itu, memelas dengan kedua bahunya, kening bertaut sedih, ingin protes, tapi hanya bisa menyalurkannya melalui air mata yang berjatuhan.
Memang ada yang akan percaya kepadanya jika melawan pengakuan itu?
Lelah, sangat lelah. Biarkan saja apa kata mereka.
Dadanya sudah sesak melihat apa yang ada di depannya ini, antara nyata dan tidak.
Bahkan ingin pingsan pun untuk melarikan diri tidak bisa dilakukannya.
Haha. Sungguh menyedihkan....
Demi 500 juta.... Demi 500 juta dia sudah seperti bukan manusia lagi sekarang....
Kehilangan harga diri dan tidak punya rasa malu....
Apa yang tersisa dari dirinya sekarang? Tapi, apakah tubuhnya mau diajak kerjasama sampai akhir untuk melalui semua ini?
Casilda sama sekali tidak tahu.
Sangat takut Arkan berubah pikiran, dan mempermainkannya lagi lebih buruk daripada ini. Hatinya sakit berpilin dalam diam.
Rasa menusuk-nusuk di dalam kepalanya mulai membuat kening Casilda mengernyit semakin keras. Tidak pernah dalam hidupnya, berharap dia ingin mati rasa di sekujur tubuhnya dengan apa yang sedang terjadi padanya sekarang.
Air matanya meleleh semakin banyak, dan dengan gerakan tanpa suara, bibirnya berucap pelan memohon kepada Arkan, “sudah cukup... aku mohon... aku mohon... aku ingin istirahat.....”
Kedua mata beda gender ini saling terkunci.
Casilda menatap Arkan dengan tatapan tidak percaya, bahwa pria yang bahkan tak diingatnya itu, mempermalukannya habis-habisan hanya karena ditolak dan disiram es kelapa di masa lalu?
Apakah sedalam itu luka akibat perbuatan yang dianggapnya tidak seberapa dibanding saat ini?
Dalam diam, air matanya terus jatuh tanpa henti.
Tidak berkedip pada sosok arogan yang menatapnya penuh kebencian di balik topeng iblisnya.
Suara lantang dan bengis Arkan kembali masuk ke gendang telinga Casilda, bagaikan gerigi tajam yang membuat telinganya panas berdarah.
“Mungkin kalian berpikir...” ucapnya lambat-lambat penuh minat, mata masih tertuju pada Casilda, “... apakah kita sama jahatnya dengan dia karena melakukan ini?”
Arkan memicingkan mata, menatap tajam Casilda sesaat, lalu tanpa perasaan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah para tamu.
Di bawah topeng iblisnya, senyum Arkan sangat lebar dan percaya diri, berteriak keras di mic, suara membahana seperti seorang aktivis dengan segala kebenarannya:
“KITA JELAS BERBEDA DENGANNYA! INI ADALAH HUKUMAN DEMI SEMUA DOSA-DOSANYA DI MASA LALU! KITA HANYA MENUNTUT KEADILAN! JIKA KEADILAN TAK DATANG KEPADA KITA, MAKA KITALAH YANG AKAN MENDATANGINYA! BUKANKAH BEGITU?”
Suara tepuk tangan kagum dan setuju berbunyi di udara, sangat berisik dipadu dengan suara teriakan mereka yang memuji-muji sang pemilik pesta, sebagian lagi ada yang hanya mengolok-olok Casilda, beruhu keras dengan cibiran wajah jelek di balik topeng mereka.
“Tuan Arkan yang terbaik!”
“Anda benar, Tuan Arkan! Keadilan harus ditegakkan! Jangan lemah kepada orang sepertinya!”
“Dia pantas mendapatkannya! Siapa yang sudi kasihanke padanya? Cuih!” ujar seorang wanita dengan nada geram, nyaris menjerit gila.
“Benar! Dia pantas mendapatkannya! Kita hanya membalas apa yang diberikan olehnya kepada kita! Keadilan demi kita semua!”
“Hidup, Tuan Arkan!” teriak seorang pria dari sudut ruangan, sangat jelas tengah menjilat.
“Hidup, Tuan Arkan!” balas semua para tamu hampir serentak mengikuti ucapan teriakan sebelumnya.
Suara-suara itu berulang-ulang terdengar di sekeliling Arkan dan Casilda yang berada di tengah-tengah ruangan. Persis sebuah parade kemenangan sebuah pertandingan.
Sudut bibir Arkan terangkat mendengarnya, memutar tubuhnya perlahan bagaikan seorang raja berkuasa sambil melihat semua tamu dengan tatapan arogan yang dingin dan bangga. Tiba-tiba saja hatinya sedikit tenang.
Ya! Inilah yang seharusnya dirasakan olehnya!
“Ayo, Ratu pesta, mulailah merangkak seperti kata wanita tadi,” sinis Arkan, maju ke depan, dan dengan sengaja menginjak satu tangan sang wanita kuat-kuat.
Hati Casilda memekik keras, mata membesar kaget dan bibir mengatup rapat dengan tindakan kejam itu. Dadanya naik-turun menahan rasa sakit yang menyerangnya.
Dia bilang tidak boleh ada luka fisik, tapi dia sendiri sudah menyiksanya kelewat batas berapa kali?!
'Sialan! Sialan! Demi 500 juta, ini bukan apa-apa, Casilda! Kamu kuat! Kamu kuat! Selama ini, kamu sudah tahan banting atas hidup yang sangat susah selama bertahun-tahun! Mereka yang menyedihkan, bukan dirimu!' hiburnya membatin pada diri sendiri, air matanya meluruh kembali, tapi gigi digertakkan kuat-kuat, seketika kekuatan baru muncul dari dalam tubuhnya.
“Buka kepala babimu dan mulai merangkak mengelilingi ruangan ini, bersuara babi, bergoyang, dan jilati lantainya 3 kali setiap 1 meter,” titah Arkan dingin, mendorong bahu Casilda dengan kakinya hingga tubuh Casilda kembali menyentuh lantai, nyaris tengkurap.