*** WARNING: RATE 21 PLUS ***
BIJAKLAH DALAM MEMBACA!
SEMUA INI HANYALAH IMAJINASI DAN KARANGAN AUTHOR.
YANG J E L E K DAN BURUK, JANGAN DITIRU!
MOHON MAAF ATAS KETIDAKNYAMANANNYA!
----------------------------------------------
Ratu Casilda Wijaya mengatakan hal itu hingga membuat Arkan membeku linglung. Tidak tahu harus berkata apa dengan sikap sang wanita yang tiba-tiba jadi sangat aneh tersebut.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, usai mengusap sebelah pipinya yang basah oleh air mata, Casilda yang tatapannya nyalang, menyentak lepas tangan yang dicengkeram erat oleh sang aktor.
Wanita berkacamata dan berkepang satu itu, akhirnya berlalu dari hadapannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Arkan Quinn Ezra Yamazaki membisu melihat sikapnya yang berubah drastis hanya dalam sehari.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Ketika menjelang tengah malam, Arkan menggeliat gelisah resah di atas kasur.
Pria tampan berpakaian training serba putih ini merasa gerah meski suhu pendingin ruangan sudah mencapai minus beberapa derajat.
Karena tidak kunjung juga jatuh ke alam mimpi, dia pun menggertakkan gigi kesal. Pikirannya yang bagaikan telur kocok sepertinya sudah membuatnya hampir gila!
“Sialan! Apa maksud ucapannya itu? Kenapa dia selalu berkata hal-hal yang tak bisa kupahami sama sekali?” koarnya marah kepada diri sendiri, bangkit dari tidur sembari memukul bantal di dekatnya.
Wajah pria ini kusut dan tidak karuan.
Perasaannya masih belum bisa tenang meski Casilda sudah kembali ke mansionnya.
Sang aktor kembali menggerundel dengan wajah ditekuk suram.
“Apa maksudnya aku lebih jahat daripada dirinya? Siapa yang dimaksud olehnya? Apa ada yang pernah berbuat buruk kepadanya sebelum ini?” pikir sang aktor dengan sorot mata linglung. Terngiang-ngiang ucapan Casilda beberapa saat lalu hingga hatinya terasa dipuntir.
Pertanyaan itu mengusiknya cukup sering beberapa kali usai didengarnya dari mulut sang wanita. Lalu, sikapnya yang tidak masuk akal hari ini yang berhasil kabur dengan liciknya entah ke mana, tiba-tiba mengatakan hal konyol sekali lagi yang tidak dipahami oleh Arkan.
Kenapa Casilda berkata kalau keinginannya yang ingin melihatnya hancur total, tidak lama lagi akan menjadi kenyataan?
Kenapa juga wanita itu berharap dirinya akan puas melihat kehancuran hidupnya kelak?
Apa maksud ucapannya itu semua?
Arkan menghela napas berat, mengusap separuh wajahnya dengan kening bertaut kesal. Dia merasa kalimat itu seperti ancaman sekaligus kepasrahan di saat yang sama.
“Apa-apaan dia jadi sok misterius begitu? Dia pikir dirinya keren?” gerutu Arkan malas, masih ada perasaan jengkel dengan sikap Casilda yang sangat membingungkan.
Belum lagi dengan air matanya yang terus mengalir tanpa henti.
Kalau benar itu adalah akting, dia sudah layak bersanding dengannya dalam sebuah film layar lebar kelas internasional!
Sialan!
Kenapa dia jadi kepikiran terus seperti ini?
Karena percuma saja menggeliat di kasur tanpa bisa memejamkan mata, sang aktor akhirnya turun dari ranjang. Kemudian keluar kamar sembari mengendap-endap seperti seorang pencuri di lantai dua mansion itu.
Hening.
Tidak ada satu pun suara pelayan yang terdengar di mana pun. Tentu saja karena Arkan memberikan aturan ketat jika ingin bekerja di tempatnya.
Sang aktor mengerucutkan bibir, mata menyipit sebal, merasa bodoh sudah mengendap-endap takut ketahuan oleh orang lain. Ini, kan, rumahnya sendiri? Kenapa harus begini, sih?
Decakan lidah kesal terdengar dari mulutnya, segera bergegas menuju arah tangga dengan pembawaan cuek dan berjalan cepat, sangat arogan dan angkuh. Raut wajahnya ditekuk suram.
“Aku hanya ingin memeriksanya, apakah dia masih ada di kamarnya atau tidak. Bukan karena mencemaskannya,” omelnya kepada diri sendiri, seolah-olah mencari pembenaran atas apa yang sedang dilakukannya sekarang.
Begitu tiba di depan pintu kamar Casilda, dengan perasaan takut-takut dan kedua pipi merona malu-malu, Arkan mendekatkan telinganya canggung ke permukaan pintu tebal.
Pria ini berharap bisa mendengar apa pun yang ada di dalam sana, tapi sudah lewat 5 menit, hasilnya sangat nihil.
Di dalam sangat tenang, sampai-sampai kecemasan baru muncul di hatinya.
“Dia tidak pingsan lagi, kan? Atau jangan-jangan mati tenggelam gara-gara air matanya sendiri?” bisiknya, meracau konyol kepada diri sendiri.
Lewat 5 menit lagi, pria ini jadi semakin gelisah.
Ketika dia iseng ingin membuka pintu kamar, ternyata pintunya tidak terkunci. Kedua alisnya naik karena kaget menyadari wanita itu sangat ceroboh.
Bagaimana kalau ada yang masuk tanpa diketahuinya?
Pria ini mengomel dalam hati, akhirnya menemukan sebuah alasan bagus untuk berdebat dengan Casilda. Wajahnya tersenyum dengan penuh kejahatan super licik. Padahal, dirinya sendiri kalau tidur suka lupa mengunci kamar sendiri.
Jelas-jelas apa yang dipikirkannya sekarang hanyalah alasan yang dibuat-buat untuk bisa berbicara dengan budaknya itu.
Pintu dihempaskan super kencang dengan bunyi keras memekakkan telinga.
“Dasar bodoh! Kalau pintumu tidak dikunci begini—“
Arkan seketika diam setelah sok galak membanting pintu kamar terbuka bagaikan seorang polisi yang tengah menggerebek seorang tersangka.
Hening.
Di atas ranjang tunggal kecil, dilihatnya Casilda tertidur nyenyak sembari memeluk guling dengan wajah sembab dan kacau.
Dia masih menangis sejak pergi meninggalkan ruang tamu?
Kalau tidak, mana mungkin wajahnya jadi seperti itu, kan?
Arkan melangkah memasuki kamar kecil Casilda. Melihat sekeliling sejenak di mana hampir tidak banyak barang-barang di sana, padahal ibu wanita itu menyuruhnya membawa beberapa perabot sebagai hiasan.
Arkan tahu karena dia sempat mengecek isi tas wanita itu hanya untuk mengolok-olok selera berpakaiannya yang sudah ketinggalan jaman. Sudah tidak cocok lagi dengan Casilda yang dulu dikenalnya.
Aktor ini berdiri di dekat sang wanita yang tertidur bak bayi tanpa dosa.
“Kenapa dengannya?” gumam Arkan dengan wajah bingung, tapi terlihat ekspresinya melunak dan sangat penasaran.
Sepertinya, saking capek dan lelahnya hari ini, Casilda tertidur sangat nyenyak. Bagi orang normal, sudah pasti kaget ketika mendengar suara pintu tadi.
“Hei, bangun!”
Hening.
“Gendut! Jangan pura-pura tidur!”
Hening sekali lagi.
“Kamu benar-benar tidur, hah?!”
Hening cukup lama.
Arkan mengerjapkan mata takjub dengan pemandangan di depannya. Dia pasti sangat lelah sampai tidur pun seperti orang mati!
Wajah sang aktor berubah datar sembari mengamati wanita berpipi bakpao itu. Lalu, sekilas senyum geli terbit di bibirnya.
Detik berikutnya, Arkan berlutut di dekat ranjang tersebut, dan mulai mengamati wajah sang wanita lekat-lekat bagaikan kelinci percobaan.
Bahkan saat dia sudah menyentuh rambutnya untuk melihat mata bengkaknya gara-gara menangis, wanita di depannya tidak bergerak sedikit pun.
“Apa yang kamu lakukan seharian sampai jadi begini, um? Hal bodoh apa lagi yang kamu lakukan?” bisiknya dengan perasaan kacau, tapi dia kemudian terdiam cukup lama sambil menatap wajah Casilda. Ekspresi datarnya sulit ditebak.
Selama beberapa saat, sang aktor menikmati sepuasnya memandang wajah Casilda secara diam-diam. Raut wajahnya tidak berubah. Mata tidak berkedip sekali pun, seolah sekali kedip, maka Casilda mungkin akan kabur lagi darinya.
Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, Arkan sendiri juga bingung.
Seharusnya, dia tidak terbawa perasaan seperti ini saat sedang balas dendam. Tapi, sekali ini saja bisa, kan, dia menjeda niat balas dendamnya sesaat?
Ketika pikiran ini muncul di otaknya, sang aktor memajukan tubuhnya, dan wajahnya dimiringkan menutupi penuh wajah sang wanita. Suara cecapan mulai terdengar lembut di udara.
Di alam mimpi, sungguh aneh, Casilda yang sedang gembira menari-nari di bawah hujan uang, tiba-tiba tubuhnya disentak begitu kuat.
Entah datang dari mana, seekor kucing orange raksasa menekan tubuhnya dengan satu tangan berbulu imutnya ke tanah, dan mulai menjilati muka dan bibirnya secara serampangan sesuka hati.
Wajah kucing itu sangat galak khas preman bercodet, matanya sangat sinis seperti kucing milik sang aktor. Casilda merasa sesak napas, meronta kuat, tapi sia-sia belaka.
Hal itu terbawa ke alam nyata, atau sebenarnya malah sebaliknya?
Membuat wanita ini mengeryitkan kening tak nyaman, tapi masih dalam keadaan terpejam dengan wajah sang aktor menekan wajahnya lebih mesra. Suara cecapan juga semakin liar dan keras.
“Le-lepas... lepas... dasar kucing preman... ugh....” racau Casilda mengigau lemah seolah dihimpit batu besar, kening ditautkan kuat-kuat, tapi tidak bergerak sama sekali.
Arkan syok, kedua alisnya naik menyadari dia terbawa suasana, buru-buru menarik bibir dan lidahnya dari mulut Casilda. Wajahnya memerah hebat setelah melakukan French Kiss diam-diam kepada budaknya yang suka membangkang itu.
Aktor ini dengan sekujur tubuh tercoreng memerah dan malu, kontan saja segera berdiri dengan hati deg-degan. Kaget sendiri dengan apa yang baru saja nekat dilakukannya!
Apa-apaan dirinya ini?! Dasar bodoh!
Kenapa dia malah menikmati bibir jeleknya itu sampai lupa diri?!
Sang aktor mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat hingga buku-bukunya memutih, gigi digertakkan, wajah meringis menahan malu dengan perbuatan konyolnya barusan.
“Sialan! Jangan bangun! Awas kalau kamu bangun!” desisnya kesal dengan perasaan gugup, menunjuk penuh kejengkelan ke arah Casilda yang mulai menggeliat tak nyaman seperti ulat bulu di atas kasur.
Sikap aktor ini persis anak kecil tidak tahu malu!
Melihat tanda-tanda sang wanita akan terbangun, cepat-cepat aktor ini kabur dari tempat itu dengan pikiran panik dan kacau.
Pintu ditutup dengan sangat keras sampai membuat Casilda bangun terduduk dengan wajah linglung.
Di salah satu sudut bibirnya, saliva menetes pelan akibat kemesuman sang aktor. Mata minus wanita ini menatap tak fokus ke arah pintu kamar yang tadinya seperti baru saja dibanting keras.
Hening.
Dengan perasaan nyawanya belum terkumpul penuh, mata dikerjap-kerjapkan pelan mencoba mencerna situasi yang ada. Bingung dengan kejadian tadi dan mimpi yang aneh, detik berikutnya, Casilda hanya bisa menunduk dengan tangan kanan meraba bibirnya sendiri.
“Aneh... kenapa mimpinya terasa sangat nyata? Lidahku juga seperti mau copot dihisap oleh kucing preman bercodet itu,” bisiknya serak dan lemah kepada diri sendiri.
Benar-benar sangat mengherankan bisa merasakan sensasi mimpi yang begitu nyata, sampai-sampai mengira dirinya ileran dicium oleh kucing preman di alam mimpi.
Casilda yang polos dan lugu ini, sama sekali tidak curiga kalau semua itu adalah perbuatan licik Arkan sang Top Star, karena yang diketahuinya adalah memang ada kondisi khusus di mana saat seseorang bermimpi, hal itu benar-benar terasa nyata seperti asli. Tapi, dia tak menyangka sensasinya akan seperti ini.
Dengan suara serak setengah mengantuk, Casilda bergumam kesal, “sialan... apa aku bermimpi seperti ini gara-gara sudah dicium berkali-kali oleh aktor sialan itu? Ciumannya ternyata punya kutukan seburuk ini. Ugh... apa aku harus ke ustadz supaya diruqyah saja, ya?”
Casilda memejamkan mata kuat-kuat, sisa-sisa French Kiss dari Arkan terasa sangat jelas di dalam mulutnya hingga wajahnya memerah malu. Dia sangat kesal, pikirannya malah melayang kepada ciuman panas dan liar sang aktor yang tak diakuinya memang sangatlah hebat itu.
Tidak heran Arkan mendapat julukan playboy super!
Masih kesal karena malah teringat ciuman tidak bermakna mereka, Casilda segera mengusap bibirnya keras-keras secara bergantian menggunakan kedua tangan, lalu menarik selimut menutupi tubuhnya. Kembali mencoba tidur dan melupakan semua masalahnya.
Cukup!
Ini bukan saatnya memikirkan ciuman terkutuk pria itu!
Dia punya masalah lebih gawat daripada sekedar ciuman!
Kedua orang tuanya akan menikahkannya dengan pria asing yang belum pernah dilihatnya seumur hidup ini!
Tubuhnya merinding disko ketika membayangkan pria gendut pendek dengan wajah berminyak super jelek dan botak, muncul di depan rumahnya sambil membawa iring-iringan lamaran. Hidung besar pria itu kembang kempis dengan mata berkilat jahat memandangi tubuhnya.
Hiiiyyy!
Dia tidak mau menikah dengan pria tua bangka dan jelek!
Setidaknya kalau jual diri, walaupun harus melayani pria seperti itu, dia tidak akan jadi istrinya, kan?
Wajah Casilda memucat kelam dan pucat bukan main.
Malam itu, cinta pertama Arkan ini tidak bisa tidur dengan tenang sampai matahari terbit.
***
Esok paginya, suasana hati sang Top Star tampak sedikit stabil.
“Ke mana dia?” tanya Arkan, begitu melangkah masuk ke ruang utama setelah baru saja berenang di pagi hari, mendinginkan isi kepalanya.
Pengikat handuk kimono putihnya dikencangkan di pinggang. Air menetes-netes dengan indahnya bagaikan mutiara dari ujung-ujung rambut hitam Arkan yang memesona.
Pelayan yang baru saja menyiapkan sarapan di atas meja makan, mengangguk sopan sembari menjawab, “Nona Casilda masih belum bangun, tuan muda.”
“Belum bangun? Ini sudah jam berapa? Paksa dia bangun! Dasar tidak tahu malu,”omelnya kesal, duduk sembari meraih roti bakar dalam mode kening bertaut tak suka.
Sang pelayan keringat gelisah, melirik ke arah lantai di mana mangkuk bekas makanan kucing sudah berisi sarapan pagi untuk Casilda, tergeletak tepat di dekat kursi pria itu.
Tuan mudanya ini benar-benar kejam!
Sang pelayan pikir, rumor di antara para pengurus mansion itu tidak benar kalau sang aktor bersikap buruk kepada Casilda, tapi ternyata lebih buruk daripada dugaannya!
Rasa kasihan timbul di hati sang pelayan, segera undur diri setelah Arkan memperlihatkan ekspresi tidak senang, tangan kanan bergerak-gerak di udara sebagai tanda menyuruhnya bergegas pergi ke kamar Casilda.
Saat tiba di depan pintu, sang pelayan mengetuk beberapa kali. Karena tidak ditanggapi, akhirnya berani membuka pintu.
“Permisi! Saya masuk, ya, Nona!”
Alangkah syoknya pelayan ini mendapati Casilda malah meringkuk di lantai dengan wajah pucat, dan mengerang lemah dalam gulungan selimut tebalnya.
“Astaga! Anda kenapa, Nona?!” panik sang pelayan, buru-buru mendekat.