Hati Casilda gemetar takut luar biasa, karena dia tahu, jika dia saat ini sudah diam-diam jatuh cinta kepadanya.
Jika tidak menahan diri sekuat tenaga dan menolak pesonanya mati-matian, maka balas dendam Arkan dengan mudahnya akan terwujud dalam sekejap mata.
Tidak! Dia tidak akan membiarkan Arkan tahu isi hatinya sampai kapan pun!
Tidak akan pernah! Tidak akan pernah mau memohon juga kepadanya untuk disentuh!
Arkan mendengus dingin lalu berjalan meninggalkannya seperti orang bodoh.
Selama sesaat ketika Arkan sibuk berpakaian, Casilda hanya duduk termenung di lantai. Masih bersandar di tepi tempat tidur dengan selimut dipeluk kuat menutupi tubuh polosnya.
Dalam pernikahan rahasia mereka berdua, tidak ada cinta dan kasih sayang setetes pun.
Kenapa harus merasa sakit hati jika Arkan bermain dengan banyak wanita di luar sana?
Lagi pula, yang seharusnya kasihan dan menyedihkan bukanlah dirinya yang merupakan orang ketiga di antara Lisa dan Arkan, bukan?
Dia hanyalah cinta masa lalu Arkan yang telah padam, dan kebetulan muncul lalu menjadi alat pelampiasan balas dendam sang aktor.
Kalau sudah bosan sendiri, dia pasti akan berhenti menyiksanya.
Manusia mana di dunia ini yang tidak pernah menyentuh titik jenuh dan bosan akan suatu hal?
Dia juga pasti akan lebih memperhatikan dan peduli kepada Lisa ketimbang dirinya suatu hari nanti setelah keduanya menikah, dan pasti dirinya akan diabaikan olehnya seolah kehadirannya tidak pernah ada sejak awal.
Arkan juga pasti tidak mungkin menyimpannya terus di sisinya sebagai istrinya yang memalukan dan jelek. Di mana dia menaruh harga dirinya sebagai seorang aktor top dan supermodel? Apalagi punya pasangan sempurna seperti Lisa yang super cantik?
Suatu hari, mereka pasti akan bercerai, atau diabaikan olehnya. Entah kapan, tapi Casilda akan menunggu hari itu tiba dengan sangat sabar.
Tidak peduli Arkan tidak mencatatkan pernikahan mereka secara negara dan membuatnya kesulitan untuk menikah lagi, toh, saat Arkan menceraikannya kelak, dia memang sudah tidak mau jatuh cinta lagi. Jadi, tidak perlu pusing memikirkan soal administrasi pernikahan kedua yang sama sekali tak ada dalam rencana masa depannya.
Untuk apa dia menikah lagi?
Untuk apa jatuh cinta lagi?
Untuk sakit hati kesekian kalinya? Tidak sudi!
“Besok adalah hari pertama untuk syuting wawancara pribadiku dengan statiun TV BCD, kalau ingin bermalam di rumah orang tuamu, segeralah bersiap-siap, dan jangan buat keributan. Syutingnya akan berlangsung selama 3 hari 3 malam. Setelahnya, kamu harus pulang ke mansion ini begitu aku meneleponmu. Paham?”
Arkan muncul dalam balutan pakaian training serba putih. Head phone tergantung di lehernya dengan gaya yang sangat keren. Tampaknya, dia berencana untuk lari pagi di luar sana seperti kegiatan sehari-harinya.
Casilda yang masih berada di lantai seperti tertimbun oleh salju putih dalam balutan selimut tebal, menatap ke arahnya di seberang sana dengan wajah memelas sedih.
Tentu saja Arkan akan setuju dengan permintaannya itu, karena tidak boleh ada yang tahu hubungan mereka berdua.
Bukankah sangat mencurigakan ada wanita asing tidak sesuai standar Arkan berada di dalam kamarnya seharian penuh?
Jika ada yang tahu soal dirinya satu kamar dengan Arkan, mereka juga tidak akan pernah menyangka kalau bukan kesenangan yang didapatkannya seperti para wanita yang pernah tidur bersamanya selama ini, melainkan hanya mendapat penderitaan dan hinaan darinya.
Dia sendiri tidak mau mendapat tatapan iri dan dengki dari wanita di luar sana, sementara sama sekali tak ada kebanggaan sebagai pasangan Arkan selama ini.
Apalagi pria itu sangat sensitif jika terkait lantai dua mansionnya, hanya Lisa sang tunangan dan beberapa pelayan yang diizinkan khusus naik ke tempat itu dari penuturan pelayan yang pernah didengarnya.
Ketika Arkan sudah berlalu dari ruangan, Casilda mencoba berdiri perlahan, dan rasa sakit di antara kedua pahanya benar-benar membuatnya meringis kelam.
“Sialan... apa dia tidak bisa kena hidayah jadi manusia yang sedikit berperikemanusiaan? Berhenti bersikap tiran seperti raja gila kekuasaan dan tukang perintah?” gerutunya sebal.
Casilda lalu terdiam.
Apa yang sebenarnya terjadi di gudang itu sampai dia dan Arkan berakhir di kamar ini?
Kenapa pula dia sampai bersamanya semalaman, dan tidak bersama wanita genit yang dipeluknya sangat mesra itu sampai keduanya sudah mau meleleh seperti lava tidak tahu diri?
Tidak ingin memikirkannya lagi, dan membuatnya pusing, Casilda segera menggelengkan kepala menghapus semuanya dari pikirannya.
“Percuma mengomel dan mengeluh begini. Buang-buang energi...” bisiknya kemudian dengan wajah memelas pasrah.
Casilda berjalan tertatih menuju kamar mandi dengan selimut di tubuhnya.
Hatinya sangat sedih dan perih, tapi begitu ingat dia tidak punya hak atas tubuh dan cinta suaminya, Casilda langsung menegarkan hatinya bergegas memasuki kamar mandi.
Sebenarnya, kamar mandi itu cukup memberikannya trauma akibat pelecehan dan sikap kasar Arkan berkali-kali di dalam sana, tapi dia tidak punya pilihan lain selain segera bersiap dan pergi dari tempat ini agar tidak menjadi gila betulan.
***
“Jadi, begitu, ya?” tanya Bu Hamidah di telepon.
Casilda mengangguk pelan begitu sudah duduk di dalam bus di bagian sudut paling belakang.
“Saya mau mengunjungi adik saya dulu di rumah sakit, dan melihat perkembangannya setelah operasi. Jadi mau tidak mau harus izin 3 atau 4 hari ke depan ini. Apakah boleh?”
“Boleh! Boleh! Asalkan kamu tidak akan berhenti kerja di tempat kami, kamu boleh izin kapan saja! Bukankah Arkan sang Top Star sudah memberimu dukungan? Malah kalau kamu sampai berhenti bekerja, yang rugi adalah aku, bukan? Kalau cuma sekedar izin seperti itu. Aku sama sekali tidak keberatan.”
Sudut bibir Casilda berkedut kesal, mata mendatar malas. Detik berikutnya, hanya bisa menghela napas berat. Dia sudah tahu akan seperti ini reaksi Bu Hamidah kepadanya, makanya berani untuk meneleponnya dan meminta izin tidak masuk kerja.
Perlakuan Arkan sejak mereka menikah, benar-benar menguras mental dan emosinya, pun membuatnya sangat lelah secara fisik.
Bagian pribadinya ternyata benar sudah diolesi salep saat dia terbangun pagi tadi bersama Arkan, tapi dia tidak tahu apakah ada dokter yang memeriksanya seperti dulu, atau Arkan sendiri yang mengoleskannya secara pribadi.
Usai berbicara dengan Bu Hamidah, Casilda menggelengkan kepala keras-keras, menyingkirkan kemungkinan adanya setetes kebaikan di hati suaminya yang kejam nan sadis itu mau repot-repot memberinya salep dengan penuh perhatian.
Bikin merinding saja!
Namun, dia tidak melihat ada jejak dokter yang sudah memeriksanya semalam.
Apa jangan-jangan salah satu pelayan yang melakukannya?
Casilda mengelus dagunya, sorot matanya sangat bingung. Tapi, dia segera menggelengkan kepala sekali lagi.
Memikirkan hal tidak berguna seperti itu, hanya akan membuatnya stres tidak jelas!
“Assalamualaikum...” sahut Casilda lirih ketika tiba di rumah kedua orang tuanya.
Dia baru pulang sekali semenjak menikah dengan Arkan, dan itu pun hanya interaksi kecil dengan ayah dan ibunya karena mereka sibuk menemani adiknya di rumah sakit untuk pemulihan, sementara dirinya harus tetap pulang ke mansion agar tidak mendapat murka dari suaminya karena disangka mungkin akan kabur lagi darinya.
“Oh! Casilda! Putriku! Kenapa kamu datang ke sini sendirian? Ke mana suamimu, nak?” tanya ibu Casilda bingung, menatap tas kecil yang dibawa oleh sang putri.
Wajah wanita tua polos dan lugu itu tampak syok, menutupi mulutnya dengan cepat.
“Ka-kamu ditalak olehnya?! Kejam!”
“BUKAN BEGITU, BU!” pekik Casilda cepat, panik melihat ibunya sudah duduk terhenyak di kursi, memucat kelam dengan wajah sudah mau pingsan.
“Ka-kalau begitu kenapa kamu ada di sini?”
Casilda menghela napas berat, kemudian menjelaskan soal syuting wawancara Arkan yang akan dilakukan 3 hari 3 malam.
“Oh! Begitu rupanya? Untunglah. Kalian memang belum boleh ketahuan sudah menikah, ya? Kasihan tunangannya nanti,” ucap ibunya lega, tersenyum lebar.
Casilda keringat dingin, membalas senyumnya kikuk.
Dia tidak tahu bagaimana mengatakan kepada kedua orang tuanya kalau dia sebenarnya sudah tidak sabar ingin bercerai dengan Arkan, tapi pria itu malah menawannya sebagai alat pemuas dan balas dendam kejamnya entah sampai kapan.
“Ibu sendiri kenapa masih ada di sini? Kenapa tidak berada di rumah sakit?”
Ibu Casilda terkekeh lembut.
“Ayahmu mau makan masakan buatan ibu, jadi ibu berniat pulang untuk memasak makanan spesial untuknya.”
“I-ibu mau masak?” gagap Casilda pucat.
Dengan lugu, ibu Casilda mengangguk cepat.
Untung saja dia pulang tepat waktu, kalau tidak mungkin rumah sewa mereka akan terbakar habis sampai rata dengan tanah.
Walaupun ibunya lumayan dalam hal memasak, dengan sifat polos dan suka melamunnya itu, bisa membuat seluruh kelurahan mereka panik bukan main!
Alhasil, pada akhirnya, Casilda sendiri yang turun tangan membuat masakan bersama ibunya di dapur sederhana mereka.
“Nak, kamu jalannya kenapa seperti penguin begitu?” tanya ibunya polos, sedang membawa sayuran yang baru dipotong ke arah Casilda, dan berhenti berjalan mengamati putrinya yang tampak kesulitan berpindah dari kompor ke bak cuci piring.
Jantung Casilda tertegun dingin, memucat kaget hingga tidak bisa berbalik bertatapan mata dengannya.
“Ah! Aku tahu! Kalian bulan madu setiap malam, ya?!” seru ibunya dengan wajah ceria penuh kebahagiaan, sangat polos dan berseri-seri.
Kontan saja Casilda berbalik dengan wajah memerah hebat.
“Bu-bukan seperti itu, Bu!”
Wanita tua itu hanya tertawa-tawa kecil, menatapnya dengan kode-kodean tertentu di wajahnya yang membuat Casilda mati kutu. Tapi, dia hanya menghela napas untuk kesekian kalinya hari ini.
Biarlah ibunya salah paham mengira pernikahannya sangat bahagia. Jauh lebih baik daripada dia tahu kalau putrinya hanya menderita batin dan fisik dengan status suami istri yang disandangnya bersama sang aktor.
Beberapa saat kemudian, ibunya sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit bersama Bu Juli.
“Wuah! Kamu makin cantik dan berseri, ya, Casilda. Pengantin baru memang beda,” puji Bu Juli dengan wajah penuh senyum.
“Terima kasih, tante,” balasnya dengan senyum dipaksa ceria.
Tentu saja harus begitu! Semuanya hanyalah akting untuk menutupi perbuatan jahat suaminya!
Keduanya berbincang-bincang sejenak sebelum akhirnya ibu Casilda membawa sebuah tas yang akan dibawanya bersama makanan yang sudah disiapkan sebelumnya.
“Kamu akan menyusul kami setelah ini, kan?” tanya ibunya cemas, menatapnya prihatin, takut membiarkan putrinya sendirian di rumah.
“Ibu bicara apa, sih? Aku, kan, sudah biasa sendirian di rumah. Bukan anak kecil lagi.”
“Tapi...”
Kening ibunya bertaut kencang.
“Ibu ini ada-ada saja. Sebelum menikah, aku sudah biasa menjaga diri sendiri tanpa bantuan siapa pun. Tidak apa-apa. Ibu segera berangkat saja dengan Bu Juli. Nanti aku kabari, ya. Jangan lupa aktifkan ponsel pemberian yang telah aku berikan itu setiap saat. Jangan seperti 2 hari lalu malah lupa diisi ulang baterainya,” bujuk Casilda sembari mendorong ibunya penuh bujukan meninggalkan teras rumah.
“Oh, ya! Suamimu itu benar-benar sangat baik, ya, Casilda. Dia bahkan rela membeli rumah sewa ini untuk kalian. Katanya biar kalian bisa merenovasinya sebaik mungkin dan lebih layak huni.”
Langkah kaki Casilda yang sedang mendorong ibunya, mendadak berhenti. Tertegun kaget menatap Bu Juli, mendengar apa yang baru saja dikatakannya.
“A-apa maksud, tante?” tanya Casilda linglung.
Ibu Casilda tertawa senang, mengelus-elus sebelah lengan sang anak.
“Ini pasti kejutan untukmu. Dia belum bilang, ya, kalau dia sudah membeli rumah ini atas namamu?”
Casilda semakin kaget.
Dia? Membeli rumah sewa ini untuknya?
Dia sedang menghinanya sebagai istri, atau memang sedang bersedekah kepada istri gendutnya yang miskin?
Walaupun di mata kedua wanita dewasa di depannya itu mengecap sikap Arkan membeli rumah sewa mereka adalah sebuah tindakan romantis, tapi bagi Casilda, itu adalah sebuah penghinaan!
Rumah sewa mereka adalah rumah yang sudah bisa dikatakan bobrok, dan beberapa bagiannya sudah sering diperbaiki terus hingga membuatnya kadang mengeluarkan uang tidak sedikit.
Biasanya, kalau seorang suami kaya benar-benar cinta kepada istrinya, dia pasti akan membeli sebuah rumah baru, atau minimal memberi sang istri rumah yang sudah ada.
Ini malah membelikannya semua rumah sewa jelek, kecil, dan sudah pasti akan langsung roboh begitu terkena angin topan!
Apakah karena statusnya sebagai istri siri dan rahasia, makanya hanya hal-hal buruk yang diberikan kepadanya?
Semua sikap baiknya di depan keluarganya pasti hanyalah kedok untuk menahannya di sisinya agar bisa disiksa selama mungkin dengan label istri yang dicintai!
'Pria sialan! Kamu pikir aku akan terharu dengan kejutan sampahmu itu, lalu jatuh cinta? Mimpi! Dia pikir juga, kalau aku ini benar-benar mata duitan dan gila harta?' batin Casilda geram.
Dia benar-benar bertekad tidak akan terpengaruh oleh bujuk rayu aktor playboy tidak tahu diri itu!
Hanya karena dia sudah jatuh cinta kepadanya secara diam-diam, lantas akan mendambakannya sampai gila seperti wanita bodoh di luar sana dan menginginkan dirinya?
Ethan Aldemir Raiden saja yang merupakan cinta pertamanya selama bertahun-tahun, tidak sudi diterimanya lagi meski pria itu merangkak mengemis cintanya bak anjing bodoh di kakinya, apalagi aktor berengsek seperti playboy itu!
'Kamu sungguh ingin menempuh jalan ini, Arkan sang Top Star? Jangan memancingku untuk benar-benar menjadi seorang penjahat cinta di hatimu!' batin Casilda sekali lagi, hatinya terbakar oleh rasa muak dan amarah.