“Terima kasih sudah datang mengantarnya! Apa kamu tidak tersesat kemari?” tanya seorang perempuan berambut pendek, bertopi baseball hitam dan berpakaian kasual.
Casilda terbengong berdiri di belakang pintu van yang terbuka. Kedua bola matanya membesar kaget dan sekaligus terpesona.
Rupanya, di dalam rumah mewah itu alias mansion bak istana modern itu dipenuhi dengan banyak orang. Mereka sepertinya tengah melakukan syuting film menggunakan setting di tempat itu.
“Ah, iya. Saya sedikit kesulitan menemukan tempat ini, tapi tidak begitu lama.”
Casilda pun kaget menyadari sesuatu, buru-buru membantu mengeluarkan kotak-kotak ayam krispi pesanan mereka.
“Ma-maaf! Saya malah melamun! Hahaha! Baru kali ini saya melihat tempat syuting secara langsung,” ujarnya meminta maaf seraya menurunkan beberapa kotak sekaligus dari dalam mobil, meletakkannya pada meja yang ada di teras mansion.
“Hahaha! Bagaimana? Kamu suka melihat keramaian di sini?”
“Eng... ya, sepertinya menarik,” jawabnya pendek, mengintip takut-takut ke dalam mansion yang sangat sibuk melalui pintu ganda besar yang terbuka.
Ada banyak orang yang lalu lalang, berteriak dan sibuk berbincang satu sama lain. Peralatan syuting tergeletak banyak sekali di sana.
“Aku suka ayam krispi kedai kalian,” puji sang wanita bertopi baseball itu dengan ramah, membawa kotak-kotak ayam dalam pelukannya.
“Terima kasih.”
“Seniorku merekomendasikan tempat kalian dan aku mendukungnya. Apa aku bisa dapat bonus nantinya jika pesan secara pribadi suatu waktu?” kekehnya riang.
“Eh? Ah! Itu...” Casilda salah tingkah, toh, itu bukan wewenangnya.
“Aku hanya bercanda,” ujarnya cerah, tersenyum lebar dengan mata jahilnya. “Oh, ya! Semua orang sedang sibuk mempersiapkan adegan berikutnya, dan aku seorang diri yang harus menyiapkan semua ini. Apa kamu bisa membantuku membawa semua ini masuk ke dalam?”
“Iya. Tentu saja.”
Casilda mengangguk cepat, sedikit tak nyaman, tapi membantu pembeli membawa makanan yang banyak termasuk pelayanan yang tak bisa diabaikan.
“Maaf, ya, merepotkan! Hari ini ada dua syuting, jadi kami harus kejar tayang untuk menyelesaikan semuanya. Ayo! Sebelah sini!”
Wanita bertopi baseball itu memeluk lima kotak sekaligus, memimpin jalan masuk ke dalam mansion dengan gerakan memberi isyarat agar menutup mulut kepada Casilda.
Casilda menganggukkan kepala risih, juga memeluk lima kotak dalam pelukannya.
Keduanya berjalan pelan dan hati-hati memasuki lorong pintu masuk mansion, kemudian berbelok ke arah kiri.
Casilda bersemu merah, kagum melihat keindahan isi mansion yang penuh barang mewah dan berkilauan, serta orang-orang yang sibuk tengah melakukan persiapan syuting.
Langit-langit mansion itu tinggi-tinggi dengan pilar-pilar unik menghiasi beberapa sudut ruangan.
Nun jauh di sana, tepatnya pada halaman belakang mansion, seorang pria tengah duduk di sebuah kursi khusus dan mengenakan jubah mandi putih, tampak tengah dipersiapkan oleh ahli rias mereka.
“Wuah... dari jauh saja auranya terasa sampai ke sini.”
Casilda bergumam berbisik tanpa sadar.
“Sebelah sini!” seru wanita bertopi dengan suara rendah berbisik.
“Baik!”
Keduanya menuju sebuah meja marmer putih besar pada sebuah ruangan tak kalah indahnya.
Suara statis bergeresek mengagetkan Casilda, menoleh ke arah wanita bertopi.
“Di mana Yenny? Yenny? Kamu di mana?”
Sebuah suara pria terdengar dari alat komunikasi dengan nada statis mengikutinya, berbunyi di belakang pinggang wanita bertopi.
“Ya?” jawabnya.
“Tolong kamu kemari secepatnya! Aku butuh bantuanmu!”
“Baik, Pak sutradara!”
Wanita itu memutus percakapan pada alat yang terlihat seperti handy-talkie.
“Aduh, bagaimana, ya, aku dipanggil oleh Pak Sutradara. Apa kamu bisa membawa masuk semua sisa kotak pesanan ayam itu kemari?”
“Y-ya. Tidak apa-apa. Bukan masalah.”
“Terima kasih! Nanti aku beritahu seniorku agar kedai kalian mendapatkan rating bintang lima! Aku pergi dulu! Oh! Untuk uangnya tolong tunggu sebentar, ya! Aku akan segera memberitahu seniorku kalau kamu sudah datang. Dia sedang keluar, tidak lama lagi akan kembali.”
Wanita bertopi baseball bergegas pergi meninggalkan Casilda setelah menepuk pundaknya dengan perasaan lega.
Perempuan berkacamata tebal ini sempat bengong beberapa saat, kemudian kedua bahunya terlonjak panik.
“Aku harus segera menyelesaikan ini semua! Dan menunggu uang pembayarannya dengan tenang!”
Casilda meletakkan kotak-kotak yang dibawanya ke atas meja, menyusunnya dengan rapih dan sangat baik, lalu bergerak cepat keluar mansion untuk segera mengambil kotak pesanan lainnya.
Selama beberapa saat, Casilda bolak-balik membawa kotak ayam krispi tersebut, selama itu juga matanya sibuk melihat syuting yang sudah dimulai.
“Baiklah! Semuanya jangan ada yang berisik!” teriak seorang pria bertopi baseball abu-abu di kursi yang bertuliskan kata ‘sutradara’.
Casilda yang melihat hal itu tiba-tiba menahan napas saat membawa kotak terakhir yang ada di mobil van putih yang dikendarainya.
Di dekat tangga, melalui kacamata tebalnya, Casilda menonton sejenak kesibukan mereka di sana. Dia memeluk dua kotak ayam krispi dengan perasaan takjub.
Mesk tidak begitu jelas melihat sosok bintang utama, Casilda bisa melihat sang aktor dengan gerakan anggun dan gentle, berakting memukau sangat baik bersama lawan mainnya.
Wajah Casilda bersemu merah ketika melihat adegan mesra yang tiba-tiba terjadi di dekat kolam renang, dan setelah itu sang pria terjun masuk ke dalam air di depannya.
“Wow! Badannya bagus sekali dari jauh, bagaimana dari dekat, ya?”
Casilda terbengong tanpa sadar.
Detik berikutnya, bulu kuduknya berdiri. Sesuatu mengelus kakinya dan bergerak bolak-balik.
“Meong...” sahut seekor kucing. Suaranya rendah berbisik.
“Aduh! Bikin kaget saja! Aku kira apa!”
Casilda tertawa dalam mode berbisik, duduk di anak tangga dan mengelus pelan kepala kucing orange yang memakai bel di lehernya.
Kotak pesanan ayam diletakkan di anak tangga lebih tinggi, dan meraih kucing tadi.
“Halo! Kamu manis sekali! Kenapa orang-orang suka mengatakan kamu ini kucing barbar, ya? Sampai mengatakanmu sebagai preman segala?”
Casilda merajuk dengan kedua pipi yang digembungkan, tidak terima makhluk menggemaskan dalam pangkuannya dicap dengan hal yang tidak semestinya.
Kucing orange itu melingkarkan tubuhnya di pangkuan Casilda, tidur memejamkan mata dengan nyamannya.
“Hahaha. Kucing baik,” bisiknya gemas, mengelus bulu lembutnya hingga ekornya yang panjang bergerak-gerak gembira di udara lepas.
“Sayang sekali, ya, aku tidak bawa makanan kucing, soalnya aku sedang bekerja. Takut terbawa baunya.”
“Meong...”
Kucing itu meresponnya seolah tahu apa yang tengah dibicarakan oleh Casilda.
“Ngomong-ngomong, di mana tuanmu, kucing manis?” tanyanya lembut.
Kucing tersebut hanya mengeong, mendengkur lembut dan tenang mendengar pertanyaan itu.
Casilda terkekeh pelan.
“Apa mungkin kamu ini hewan peliharaan pemiliki mansion ini, ya? Tuanmu pasti sangat baik, bahkan bersedia meminjamkan mansionnya sebagai tempat syuting. Siapa pun dia, orangnya pasti sangat penyayang. Dia merawatmu dengan sangat bagus. Bulu-bulumu begitu halus dan sangat indah berkilau.”
Mata Casilda tersenyum senang.
“Cut! Baik! Kita ke adegan berikutnya!” teriak sang sutradara, kali ini melalui alat pengeras suara.
Keributan tiba-tiba itu membuat sang kucing yang nyaman di pangkuan Casilda kaget, langsung menegakkan bulu-bulunya, berdiri dan melompat dari pangkuan sang wanita dan naik ke anak tangga.
“Ah! Kucing manis! Kamu kaget, ya?!”
Casilda berbalik cepat ke arah kucing tersebut, dan betapa kagetnya melihat kucing itu mengendus kotak pesanannya, mendorongnya terjatuh hingga isinya berhamburan keluar.
“Tidak! Tidak! Astaga! Kucing baik! Kamu tidak boleh seperti ini!”
Perempuan ini panik, bergegas memungut ayam yang jatuh itu dan memasukkannya kembali ke dalam kotak.
'Tidak ada yang lihat! Aman! Aman!' batinnya dengan perasaan gelisah hebat.
“Loh?”
Kedua bola mata Casilda membulat besar.
Di mulut kucing orange itu menempel paha ayam krispi super besar, ekornya yang panjang menjuntai bergerak-gerak tinggi dan angkuh di udara. Senang mendapat tangkapan bagus.
“Tuan kucing! Kembalikan itu!” serunya berbisik panik, berusaha meraih ayam tersebut dari mulut sang kucing, tapi kucing itu melompat dua anak tangga ke atas.
Casilda berubah pucat, berkeringat dingin.
“Jangan bilang kamu menipu, ya, demi mendapat paha ayam itu!” ucap Casilda dengan sudut bibir berkedut kesal.
Sang kucing berbalik arogan, menunjukkan bagian belakangnya seolah mengejeknya.
“Dasar kucing barbar! Kemari kamu!” ujarnya menahan emosi dalam suaranya, kesal merasa seolah ditipu mentah-mentah oleh sang kucing orange.
Tangannya berusaha meraih sang kucing kembali, tapi makhluk gesit itu lebih hebat dari dugaannya.
'Gawat! Mau kucing itu menipuku atau tidak, kalau sampai ketahuan pesanannya kurang dan malah diambil kucing, aku bisa dalam masalah!' batin Casilda resah.
“Ayo, kucing baik! Kembalikan ayamnya, ya! Nanti aku beri yang lebih enak!” bujuknya pelan, tapi kucing itu langsung berlari ke atas.
“Sial!” umpatnya, berlari mengejar sang kucing, menahan kekuatannya agar langkah kakinya tak bergema di mansion mewah tersebut.
Sementara itu, beberapa menit setelah Casilda naik ke atas, di dekat kolam renang.
“CUT! Baiklah! Untuk sekarang adegannya sudah bagus! Semua sekali take langsung dapat! Tuan Arkan memang hebat!” puji sang sutradara dengan wajah riangnya.
“Kalau begitu aku ingin istirahat di lantai dua.”
“Baiklah! Silakan! Silakan!”
Aktor bernama Arkan itu pun melenggang anggun melewati deretan para kru dan peralatan syuting yang ada di sekitarnya.
Rambut basah menghiasi wajah tampannya, terlihat seksi dan mempesona di balik jubah putih mandinya. Tangan kanan menyugar rambut ke samping hingga membuat beberapa kru perempuan menahan napas melihat adegan indah itu.
Arkan tersenyum lembut ke arah mereka yang membuat mereka semakin menjadi-jadi.