“Dia sudah bangun?” tanya Arkan kepada salah seorang pelayan wanita muda yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan, sang aktor sibuk mengoles selai di roti.
“Nyonya Casilda sudah bangun, Tuan. Sekarang sedang membersihkan diri di kamar mandi.”
“Sarapannya?”
“Sudah siap di kamar. Tinggal disantap oleh Nyonya, Tuan.”
“Bagus. Satu lagi, ingat apa yang sudah aku beritahukan kepada kalian berdua.”
Lawan bicara Arkan adalah pelayan yang merupakan salah satu dari pelayan yang hadir di pernikahan mereka, langsung keringat dingin menjawabnya, “ba-baik. Tuan Arkan!”
“Cek kembali keadaannya. Kalau baik-baik saja, kembalilah ke dapur.”
Segera setelah berbicara demikian, sang pelayan mengangguk sopan, bergegas pergi melaksanakan perintahnya.
Setelah beberapa saat, Arkan tidak selera melihat banyak sarapan di depannya, roti yang sudah diolesi oleh selai pun diletakkan kembali ke atas piring.
Wajahnya merumit luar biasa, kening ditautkan kencang.
Pria berkaos putih lengan panjang polos ini segera bangkit dari kursi, tapi begitu tiba di depan tangga, tubuh dibalikkan lagi dengan wajah bingung.
“Naik atau tidak?” bisiknya kepada diri sendiri.
Cukup lama sang aktor bertingkah seperti ini di depan tangga sampai akhirnya Casilda muncul dengan wajah cemberut di atas anak tangga, melihatnya di bawah sana. Salah paham mengira sang aktor sedang berjaga agar dirinya tidak kabur lagi.
“Kamu sedang apa?” tanya Arkan spontan, kaget melihat Casilda menuruni tangga dengan susah payah.
“Tidak lihat aku bawa turun nampan berisi piring kotor?”
Arkan menggertakkan gigi, segera naik melompati beberapa anak tangga, meraih cepat nampan kotor itu, menatapnya galak, “aku tanya kamu sedang apa di sini? Kenapa tidak tidur di kasur saja?”
“Aku tidak akan kabur lagi, Tuan Arkan yang terhormat! Kenapa kamu begitu berpikiran sempit?! Aku bukan wanita yang tidak tahu hutang budi!” kesalnya dengan wajah sudah mau menangis.
Sekujur tubuh Casilda memang sudah segar setelah membersihkan diri, tapi masih terasa remuk oleh perbuatan brutalnya semalam di kamar mandi.
Kedua bola mata Casilda membola kaget, tubuh sang aktor mendekat hingga membuat sang wanita terdesak ke susuran tangga, dan seiring Casilda hendak mendorongnya suara isi nampan yang jatuh ke lantai menghiasi perlawanannya.
Casilda bergumam keras, memejamkan mata menolak ciuman dari sang suami.
“Mulai sekarang, belajarlah bicara yang baik kepadaku jika tidak mau dihukum seperti kemarin. Paham?” titah Arkan dingin, melepas bibirnya dari bibir sang istri.
Air mata kesakitan dan kesal Casilda tergenang di sudut-sudut matanya, kedua tangan mencengkeram bagian depan kaos sang aktor.
“Kenapa? Tidak suka? Merasa jijik berciuman dan disentuh olehku? Jangan khawatir, mulai detik ini, aku akan menciummu setiap hari, membuatmu jijik oleh sentuhanku sampai kamu yang akan memintanya duluan karena ketagihan.”
Dagu Casilda dicubit keras, mata saling tatap dalam diam selama beberapa sesaat, lalu sang aktor berkata dingin, mengedikkan kepala arogan, “naik. Kembali ke kamar. Jangan membantah, atau kamu akan menyesalinya.”
“Itu bukan kamarku! Aku tidak sudi tidur di sana!” geram Casilda marah, menahan tarikan sang aktor untuk naik ke lantai dua.
Wajah Arkan menggelap tak menyenangkan, menariknya lebih kuat.
“Aku bilang naik! Aku yang tentukan di mana kamu tidur, dan kapan harus tidur di kamarku.”
Casilda ditarik sesuka hatinya, membuat 7 pelayan yang sudah mengintip dari tadi di balik dinding hanya bisa menggigit kuku melihat sikap semena-mena sang aktor.
“Mereka sebenarnya ada hubungan apa, ya? Kenapa wanita itu diperlakukan istimewa? Bukankah rumornya dia itu wanita yang sudah jadi badut di pesta reuni dulu?” tanya seorang pelayan tua kepada beberapa pelayan di dekatnya.
“Mana aku tahu. Kalau kita menyebarkan hal ini, sudah pasti cari mati sendiri, kan?” balas salah seorang pelayan di dekatnya, merinding sembari melanjutkan, “kontrak jadi pelayan di sini sangat mengerikan. Tapi, sepadan, sih, dengan gajinya. Asal tutup mulut, tidak akan ada masalah yang berarti, kan?”
Beberapa pelayan di sana setuju sembari mengangguk serius. Tapi, ada dua pelayan muda yang tampaknya gelisah dan resah usai melihat adegan ciuman suami istri di tangga sebelumnya.
“Kira-kira, tuan muda kita suka dengan wanita itu, tidak, ya?”
“Jangan-jangan dia disihir oleh perempuan itu karena disiksa bertubi-tubi? Bukankah hukuman yang paling kejam itu adalah hukuman cinta? Bertepuk sebelah tangan?”
“Ei... mana mungkin. Sifat galak dan arogan tuan muda masih tidak berubah, tuh. Dia juga masih sangat kasar kepada wanita gendut itu. Tidak lihat tadi dia diseret seperti barang?”
Beberapa pelayan mengangguk setuju dengan wajah serius.
“Lalu, bagaimana dengan tunangannya?” celutuk pelayan lainnya.
Semuanya memasang wajah penuh konflik.
“Sangat tidak bisa ditebak. Nona Lisa pasti akan sangat murka jika tahu tuan muda kembali lagi pada kebiasaan lamanya. Parahnya lagi malah seleranya turun drastis begitu.”
“Ta-tapi, nona Casilda itu cukup cantik, kok! Cuma gendut saja!” bela salah satu pelayan yang aslinya sudah lihat wajah Casilda saat dirias sebagai pengantin.
“Kamu mendukung tukang selingkuh, ya?” tuduh pelayan wanita senior di dekatnya, menatapnya tajam.
“Se-selingkuh atau tidak, tetap saja itu masalah mereka, kan? Kita mana punya hak untuk ikut campur? Tidak ingat isi perjanjian pelayan kita di mansion ini? Kalau ikut campur, riwayat kita bisa tamat, kan? Lagi pula, kalian memang tidak perhatikan? Walaupun Tuan Arkan memperlakukan wanita itu kadang sangat buruk, kenyataannya dia masih terus menjaganya di sisinya dengan caranya sendiri. Itu artinya, wanita gendut itu berharga, kan? Tidak pernah dengar, ya, istilah tsundere?”
“Tsu-tsundere? Apa itu?”
“Ehem! Dengar, ya! Orang yang tsundere itu, sebenarnya adalah orang yang menyukai orang tertentu, tapi mungkin karena malu atau ada alasan lain karena gengsi, maka cara menampilkan kasih sayangnya adalah dengan cara mengganggu orang yang disukainya itu. Entah menyiksanya atau mengganggunya hingga kesal bukan main.”
Semua yang mendengar penjelasan dari pelayan yang hadir di acara pernikahan rahasia Casilda dan Arkan terbengong menatapnya bingung.
Pelayan senior lalu bersidekap sembari mengelus dagunya, berpikir serius, “jadi, sebenarnya, Tuan Arkan itu menyukai si Gendut, ya? Apa karena dia sangat gengsi, makanya tidak mau mengakuinya? Atau malu menyukai wanita gendut, makanya caranya begitu?”
“Bi-bisa jadi. Itu hanya teoriku saja, kok. Jangan terlalu dipikirkan. A-ayo kembali bekerja! Jangan sampai kita dimarahi!”
“Tapi, dari penjelasannya, masuk akal juga jika kita melihat sikap dan sifat tuan muda kita itu,” imbuh seorang pelayan senior lain di sana.
Semuanya yang sibuk berpikir serius mengangguk setuju.
“Padahal, kan, bisa dibuat kurus. Kenapa dia harus kejam begitu, ya? Gengsi itu, kan, tidak baik,” tambah seseorang di sana.
“A-aku bereskan dulu pecahan di tangga. Kalian lanjutkan saja gosipnya kalau masih mau,” ucap pelayan sebelumnya, langsung kabur dari sana begitu merasa dirinya bisa saja keceplosan soal pernikahan rahasia kedua orang tersebut.
***
Casilda menatap malas pada selang infus yang sudah dipasang oleh Arkan sendiri, duduk di kasur sembari menatap suaminya sibuk menelepon di seberang ruangan.
“Apa? Aku tidak mau. Kalau ingin wawancara itu dipercepat, aku ingin melakukannya di rumah saja,” koar Arkan kesal.
“Baiklah. Asal kamu setuju aku tidak masalah. Untuk kontrak baru dan juga jadwal syutingmu akan aku berikan setelah perekaman acara spesial tentang masa lalumu itu. Mungkin ada baiknya jika kedua orang tuamu terlibat di dalamnya. Minimal ibumu.”
“Jangan memberikan ide yang mustahil. Kamu tahu sendiri aku tidak akan setuju.”
“Kenapa? Aku tahu kalau ayahmu itu super sibuk, tapi ibumu di Jepang, kan, tidak begitu? Sekalian saja ini adalah momen yang tepat untuk mempertemukan antara calon menantu dan calon mertua, kan? Kalau hubungan kedua wanita itu kuat, aku rasa gosip apa pun yang menimpa kalian tidak akan berarti apa-apa.”
Arkan memuram kelam.
“Aku bilang tidak setuju, ya, tidak setuju! Apa kamu tidak mendengarku? Atau sudah bosan menjadi managerku?”
Rena tertawa canggung, menenangkannya lagi, “ok. Ok. Jangan marah begitu. Aku hanya tidak mau hubungan kalian berdua yang sudah mendapat status luar biasa senasional hancur gara-gara gosip murahan. Dengan kalian berdua menjadi lambang cinta sejati, tentu akan menjadi hal yang sangat menarik perhatian. Nilai kalian berdua juga tentu akan naik, itu artinya akan lebih banyak kontrak yang masuk, kan?”
“Aku tidak butuh cara murahan seperti itu. Kalau kamu berani menjualku lagi dengan cara yang tidak aku sukai, maka aku akan pindah agensi.”
“Berani sekali mengancamku, Arkan sang Top Star. Memangnya ada agensi yang bisa menghadapi segala tingkah lakumu itu? Lain kali, berpikirlah sebelum berbicara. Dasar aktor gila!” maki Rena sang manager kesal, lalu menutup sambungan telepon.
Arkan menatap layar ponselnya kesal.
Merasa tertampar dengan ucapan Rena barusan, seolah-olah apa yang diucapkannya kepada Casilda kembali kepadanya.
“Apa lihat-lihat?” makinya kepada Casilda yang menatapnya datar dan sebal.
Casilda segera menjulurkan lidah, lalu bergegas baring menyelimuti diri pura-pura tidur.
“KAU!” gerungnya marah, tapi segera saja wajahnya melunak dengan amarah mereda.
Sebentar lagi akan ada syuting di mansion ini untuk membahas hal yang sempat jadi kontroversial di panti asuhan. Hal itu, sebenarnya ada kaitan utamanya dengan wanita yang tengah pura-pura tidur di atas kasurnya itu.
Wanita yang sudah membuat hidupnya berubah drastis hanya karena sebuah kalimat dari mulutnya.
Ratu Casilda Wijaya terkejut merasakan sebelah kasurnya menjadi berat. Tiba-tiba ketika hendak berbalik, Arkan sang Top Star sudah menyilangkan satu kakinya di tubuh sang istri.
“A-apa yang kamu lakukan?” tanya Casilda kesal, sudut bibirnya berkedut menahan perasaan ingin meledak dengan sikap sang suami kembali semena-mena.
“Apa kamu pernah mendengar ada bantal guling yang bicara? Diam, aku mau tidur sejenak. Kepalaku pusing,” balas Arkan datar, wajah menahan amarah, langsung meraih tubuh Casilda dengan satu lengannya.
Casilda hanya bisa diam tak bisa protes, wajah pucat gelisah merasakan beban berat menimpa tubuhnya.
Jadi, dia memaksanya naik ke lantai dua hanya untuk dijadikan guling seperti ini? Berengsek! Terlalu cepat 1000 tahun berharap dia berubah!
“Jangan banyak bergerak. Aku ingin menikmati tidurku sebentar. Kalau sakit kepalaku semakin parah, kamu yang harus menanggungnya,” peringat Arkan dengan mata terpejam santai.
Ucapan itu sukses membuat Casilda akhirnya tidak bergerak lagi, mulut bungkam.
Arkan mendengus geli dalam hati.
Pria ini kemudian mempererat pelukannya kepada sang istri, dan ucapan tentang dirinya sebagai ‘aktor gila’ dari dokter Ken dan Renata, diam-diam dibenarkannya dalam hati.
Dia memang sudah gila, berani menikahi wanita yang dipeluknya saking takutnya kehilangan dia.
Wanita aneh yang sudah membuat dunianya masih saja kacau balau. Bedanya, saat ini dia adalah pemiliknya, tuannya yang bisa melakukan apa pun kepadanya. Tidak seperti dulu di mana dia sangat menyedihkan hanya bisa melihatnya dari jauh seperti menatap bintang di langit.
***
Begitu sinar matahari siang hari sudah menerpa jendela-jendela kaca di mansion Arkan, pria ini dan istrinya baru saja terbangun bersama-sama.
Keduanya terbangun bukan karena sinar hangat matahari, melainkan karena suara telepon di atas meja kecil.
“Halo?” ucap Arkan malas, meraih ponselnya sembari kembali memeluk Casilda yang hanya bisa diam dengan wajah memucat kelam.
“Ini aku, Lisa. Kamu sudah dengar jadwal syuting terbaru kita?”
“Lisa?” ulang Arkan dingin.
Tubuh Casilda menegang mengetahui siapa lawan bicara suaminya.
Bukankah itu adalah tunangannya?
Siapa lagi Lisa yang berani meneleponnya langsung seperti itu?
Pikiran Casilda melayang kembali tentang percakapan telepon yang pernah didengarnya dulu. Percakapan di mana dia mengira keduanya bermesraan panas di atas ranjang.
Casilda memuram sedih.
Walaupun dia tidak begitu senang menikah dengan Arkan, tapi hatinya entah kenapa terasa perih ketika teringat suaminya sudah tidur dengan tunangannya yang cantik itu.
Arkan memang playboy, jelas sudah tidur dengan banyak wanita, tapi jika teringat salah satunya adalah supermodel cantik itu, rasa percaya dirinya tiba-tiba seolah jatuh ke jurang.
Di belakangnya, terdengar percakapan mesra keduanya, dan dengan sangat percaya diri tanpa sungkan kepadanya sebagai istri sahnya, Arkan menenangkan Lisa dengan banyak kata-kata manis.
Casilda merasa sangat bodoh sekarang, memutuskan memejamkan matanya dengan wajah memerah malu. Dadanya sesak.
Dia dan Arkan sudah menikah. Resmi sebagai suami istri meski belum tercatat oleh negara, tapi dia merasa asing dan terbuang meski sedang dipeluk oleh suaminya sendiri. Parahnya, suaminya malah sedang berbicara mesra dengan wanita lain tepat di belakang telinganya.
“Aku mencintaimu...” ucap Arkan mesra dan lembut, membuat Casilda tiba-tiba menegang kaget, tapi segera dilanjut oleh sang pria, “... Lisa sayangku....”
Mata dingin Arkan melirik ke arah tubuh Casilda yang mengerut memunggunginya, tampak agak sedikit berusaha menjauhkan dirinya lepas dari kaki dan tangan Arkan yang sedang memeluknya.
“Um. Baiklah. Sampai jumpa besok,” ucap Arkan dengan nada tegas, lalu menarik Casilda kuat-kuat sebagai bantal guling.
“Kamu mau ke mana, Gendut?” imbuhnya dengan nada dingin menyindir.
“Sampai kapan....” balas Casilda lirih.
“Apa?!” koar Arkan galak, memeluknya lebih kuat.
“Sampai kapan... permainan suami istri ini akan berlangsung? Aku tidak mau tunangan tercintamu sampai tahu tentang pernikahan kita. Apa kita bisa bercerai setelah semua hutangku lunas?”