Bab 115 Malam Pertama yang Menyedihkan 1

1419 Words
Arkan yang melihat kebodohan istrinya itu, hatinya terkesiap kaget, kedua tangan mengepal kuat. Sedetik, dia ingin segera menuju ke sana menolongnya, tapi entah kenapa tubuhnya macet tak bisa digerakkan sama sekali. Pupil pria ini menyusut berhias kebingungan dan tatapan linglung pada sosok Casilda. “Aku tidak apa-apa?!” kekeh Casilda, berbalik ke arah Alexander yang sudah maju selangkah untuk menghampirinya, lalu wanita ini menggeleng dengan wajah dipaksa tertawa lembut. “Kalian lanjutkan saja. Dah!” Casilda bergegas masuk ke dalam rumah, air matanya tidak bisa dibendung lagi begitu sudah berbalik memunggungi kedua pria tadi. Menetes bagaikan mutiara putus. “Wanita yang hebat. Masih saja tidak mau mengakui semuanya.” Dengusan Alexander membuat sang aktor tersadar kembali, segera menatapnya tajam. “Kamu sengaja menjebakku?!” “Menjebak? Kata itu hanya cocok bagi siapa pun yang merasa dirinya tidak percaya diri, bukan? Kalau hubungan di antara kalian sekuat yang kamu jelaskan sebelumnya, tentu saja tidak akan ada jarak seperti sekarang ini yang terjadi di antara kalian berdua.” “ALEXANDER!” raung Arkan geram, segera meraih kerah bajunya, menggertakkan gigi marah menatap pria di depannya. Alexander tidak terlihat takut, malah tersenyum dingin yang lebar penuh kemenangan. “Dugaanku benar. Kalian berdua tidak saling mencintai. Apa pun alasan di balik kamu melakukan semua ini kepadanya, aku tidak akan membiarkan hubungan suami istri kalian bertahan lama. Kamu tidak tulus menginginkannya, Arkan sang Top Star. Kamu tidak pantas mendapatkan setetes pun cinta darinya. Sebuah hal sia-sia Casilda bersama dirimu sebagai istrinya!” Alexander melawan, menyentak lepas cengkeram tangan sang aktor, berkata tajam kembali, dan kini giliran dia yang meraih kerah lawan bicaranya, mata memicing tajam, “jangan coba memainkan trik berbahaya jika kamu tidak sanggup menahan penyesalan di kemudian hari. Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya, Arkan sang Top Star. Cepat atau lambat, dia akan menjadi milikku.” Alexander memiringkan kepalanya dengan senyuman dingin yang mengejek, “oh, ya, aku rasa kita satu pemikiran kalau bibir Casilda itu sangatlah enak, bukan? Sebagai pria dewasa satu sama lain dengan banyak pengalaman wanita, aku rasa sekalipun kamu tidak mencintainya, aku yakin kamu akan setuju dengan ucapanku. Bibir Casilda memang tidak begitu seksi seperti tunangan super cantikmu itu, tapi rasanya ketika mencicipinya sulit dijelaskan dengan kata-kata, bukan? Ingin lagi dan lagi sampai rasanya otak mau meledak gila.” Arkan ditarik lebih mendekat hingga wajah dingin penuh ancaman dan mengejek Alexander membesar penuh intimidasi, membuat Arkan keringat dingin dan gelisah luar biasa melihat sikap posesifnya kepada Casilda mulai muncul tiba-tiba ke permukaan. Suara Alexander kembali datang lambat-lambat dan penuh tekanan, wajah menggelap dingin dan kejam, tapi masih elegan dan menawan khas seorang pemimpin mafia berkharisma. “Jika kamu tidak bisa menghargainya, jangan salahkan aku atau pria lain akan mencicipinya berkali-kali saat tahu betapa uniknya rasa wanita itu. Aku membayangkan, bagaimana jika sudah memasukinya kelak? Pasti sangat hangat dan sempit. Tentunya, kamu tidak akan menyentuh wanita yang bukan seleramu, bukan, Arkan... sang playboy? Atau kamu akan merendahkan seleramu dan menyentuhnya karena penasaran?” Alexander menarik kerah baju Arkan lebih kuat, menatapnya tajam penuh hina, mendesis semakin dingin penuh keseriusan, “jujur saja, bagiku, selain terpesona kepadanya, setelah mencicipi bibirnya yang sangat lezat itu, aku selalu terbayang ingin meniduri istri malangmu itu. Dia pasti akan menjerit keenakan dimasuki olehku berkali-kali yang sangat mendambakannya, bukan? Kepuasan yang aku jamin tidak akan pernah didapatkannya dari pria yang mengaku sebagai suaminya, dan hanya dianggap sebagai benda semata demi tujuan licik pribadinya.” Pukulan keras segera mendarat di wajah Alexander! Tidak sempat menyeimbangkan tubuhnya, sebuah pukulan datang kembali kepadanya, membuat pria berjas hitam elegan mewah itu seketika terjatuh ke tanah. “KURANG AJAR! JAGA MULUTMU ITU!” raung Arkan dengan wajah gelap sangat mengerikan, memukul tanpa ampun berkali-kali kepada wajah tampan Alexander. Saat menyentuh Casilda kali pertama, Arkan tidak begitu memerhatikan bagian pribadi wanita itu karena pencahayaan di dalam mobil tidak begitu terang. Salah satu alasan yang sebenarnya membuatnya ragu-ragu ingin memasukinya saat itu. Barulah saat di ruang kerja Elric dulu, saat sedang mencicipinya seperti orang kehausan menggunakan ujung lidahnya pada bagian ‘pintu masuk’ itu, dia baru yakin dengan apa yang dilihat dan dirasakannya sendiri. Casilda masihlah memang sempit. Ciri khas seorang wanita murni yang belum pernah disentuh oleh pria mana pun. Berbekal statusnya sebagai seorang playboy dengan jam terbang tinggi, sekali lihat saja milik Casilda, dan merasakannya dengan ujung lidahnya, dia sudah sangat yakin kalau si Gendut yang dikiranya suka tidur dengan banyak pria di masa lalu itu, memanglah masih murni seperti yang diakuinya selama ini. Perkataan Alexander yang ingin sekali memasuki Casilda dengan wajah dingin mengancam penuh intimidasi, yang disertai sorot mata lapar seperti ingin mencuri Casilda terang-terangan darinya, membuat Arkan menggertakkan gigi dan semakin memukulnya keras tanpa ada niat untuk berhenti! Dia benar-benar sangat marah! Sangat, sangat marah! Casilda adalah miliknya! Tidak ada yang boleh menyentuhnya selain dirinya! Wanita gendut dan jelek itu adalah istri sahnya! Miliknya! Miliknya! Berani sekali dia bicara begitu di hadapannya! Semakin waktu berlalu, semakin kuat pukulan Arkan kepada Alexander. Adegan itu baru berhenti ketika seorang bawahan Alexander melihat ke arah mereka, dan bergegas meminta bantuan kepada yang lain untuk memisahkan keduanya. Semua orang yang ada di rumah kecil itu sangat kaget dengan tindakan Arkan yang hampir membuat Alexander pingsan! “Bos, kenapa Anda tidak melawan? Bukankah Anda punya bela diri bagus?” tanya sang bawahan kepada Alexander ketika mereka sudah berada dalam perjalanan pulang beberapa jam kemudian. “Aku suka melihat pria itu marah dan cemburu. Tidak ada rasa yang lebih kuat daripada rasa takut, bukan?” ledeknya dengan senyuman misterius, lalu terdiam teringat wajah sedih Casilda saat dirinya ditolong oleh para bawahannya. Bulu mata Alexander melambai lembut dan sedih. Dia sungguh ingin memiliki wanita itu. Tidak peduli bagaimana pun caranya. Alexander kemudian memejamkan matanya dengan raut wajah gelisah tertahan. Memaksa dirinya berhenti membayangkan hal buruk apa saja bisa terjadi di malam pertama Casilda bersama pria jahat itu. *** Di saat yang sama, kamar kecil Casilda yang sudah menjadi kamar pengantin seadanya, pasangan suami istri baru itu sedang duduk saling berhadapan. Arkan di tepi ranjang, Casilda di sebuah kursi kayu. “Pelan-pelan sedikit! Apa kamu tidak bisa lebih lembut lagi?” koar Arkan kesal, menatap galak kepada Casilda yang tengah merawat tangannya yang lecet. Hendak mengganti perban usai pria itu baru saja selesai membersihkan diri. Casilda dengan sengaja menekan kapas berhias obat di tangannya, membuat sang suami meringis kesakitan. “Apa kamu gila?! Minta dihukum?” desis Arkan kesal, menarik bagian depan daster sang istri. Mata melotot tajam penuh amarah. Casilda yang kesal dan masih sakit hati mendengar ucapannya tadi siang, menanggapinya malas. “Sudah tahu akan jadi begini, kenapa kamu malah memukulnya seperti itu? Apa pun alasanmu, tidak seharusnya kamu melakukannya! Kalau sampai ada paparazzi yang melihat tingkah barbarmu itu, bagaimana dengan imagemu kelak? Apa kamu ingin menghancurkan karirmu dalam sekejap mata?” Arkan yang semula masih menahan amarah meledak-ledak, seketika terdiam mendengar ucapan istrinya yang penuh kepedulian dan perhatian yang dalam. Kenapa Casilda masih peduli kepadanya? Bukankah dia suka menyiksanya sampai melewati batas? Tidakkah wanita itu membencinya? “Kenapa kamu berkata begitu? Ingin menarik simpatiku?” tuduhnya dingin. Casilda menatapnya kesal, kening bertaut dalam. “Untuk apa menarik simpatimu? Memang kamu ini akan menyukaiku seperti tunanganmu itu walau sudah berusaha mati-matian? Lagi pula, apa aku menyukaimu? Tidak, kan? Pekerjaan sia-sia!” Arkan bingung, lalu segera didengarnya lagi penjelasan sang istri. “Kalau sampai kamu terciduk paparazzi, satu keburukanmu itu sudah pasti akan jadi bola panas yang akan semakin membesar ke mana-mana. Jika benar begitu, bukankah pada titik tertentu, hubungan aneh kita sekarang akan ketahuan oleh semua orang? Aku tidak mau menjadi musuh satu negeri hanya karena menjadi istri terpaksa darimu. Kebencian darimu saja sudah cukup banyak untuk bisa aku terima.” Ekspresi Arkan menggelap kelam. Oh... jadi, wanita ini tidak peduli kepadanya, melainkan kepada keselamatannya sendiri? Bagus! Bagus! Dadanya memanas seketika! Ingin rasanya merobek wajah wanita itu! Sang aktor mendengus geli, mencubit dagunya kesal, “kenapa? Meskipun seandainya kita menikah tanpa dasar cinta satu sama lain dan karena terpaksa, bukankah sekarang kamu adalah istri sahku? Ke mana taringmu yang suka menyerang mental seseorang hingga ciut? Apa sekarang kamu sudah jadi singa betina ompong? Tidak bisa melawan siapa pun?” Casilda kesal mendengar ocehannya. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, dan kedua orang tuanya khusus menginap di rumah sakit agar memberikan mereka kebebasan melakukan apa pun sebagai pengantin baru di rumah kecil mereka, tapi malah perdebatan yang hanya menjadi santapannya hingga merasa perutnya sudah mual! “Mau ke mana?!” hardik Arkan marah, menahan sebelah tangan sang istri yang sudah berdiri di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD