“Mereka bukan tukang pukul, mereka teman-teman ayah!”
Sang ayah tertawa canggung, lalu segera menarik tangannya sebelum sempat mengelaknya lagi. Casilda sempat adu tarik tangan beberapa detik, tapi begitu melihat mata lebam ayahnya, hatinya langsung melembek.
“Kenapa dengan mata ayah?” sinis Casilda dingin.
“A-ah... ini bukan apa-apa! Ayo, kita bicara baik-baik dulu, ya!” gagap sang ayah salah tingkah.
“Benar apa kata ayahmu, Casilda. Makan dulu. Bukankah kalian lama tidak bertemu?”
Bu Hamidah semakin menambah suasana ganjil itu.
“Bu Hamidah, kenapa memberinya ayam? Saya tidak akan bayar makanan mereka,” jelas Casilda dingin, lebih dingin dibandingkan perkataan sebelumnya.
Perubahan suasana dan sikap Casilda itu, cukup membuat Bu Hamidah terkejut dalam hati. Langsung paham kalau terkait ayahnya, Casilda sepertinya tidak akan melembek seperti yang dikenalnya selama ini.
Ayah Casilda tertawa senang, tapi sedikit kaku, “tidak masalah! Tidak masalah! Aku yang akan bayar semua ini! Duduk dulu! Kita makan, baru pulang bawakan ibumu beberapa kotak. Kita belikan juga adikmu nanti kue yang super enak di jalan. Bagaimana?”
Casilda yang sudah duduk paksa di kursi, menyentak tangannya kesal.
“Apa yang sudah ayah lakukan sekarang? Cepat katakan!” tuntut Casilda lagi, wajah menahan amarah.
***
Beberapa saat kemudian. Kedai ayam krispi itu hening cukup lama. Di seberang ruangan, para pria berjas hitam yang ikut dengan ayah Casilda duduk berkumpul bagaikan orang-orang yang tengah sibuk mengamati semuanya secara bersamaan sambil menikmati ayam kripsi dan kacang goreng. Mirip sebuah adegan nonton bareng acara sepak bola tengah malam.
Wajah kaku dan tegang mereka sudah membuat punggung semua orang jadi dingin bagaikan es beku hanya sekali lihat.
Di sisi lain, Casilda dan ayahnya duduk berdua saling berhadapan dengan ekspresi berbeda satu sama lain. Casilda menautkan keningnya sambil melipat tangan di dadanya, sedangkan ayahnya mencoba tersenyum ramah, tapi malah seperti orang sakit gigi. Kedua bahu ringkihnya melorot seperti tidak makan 2 hari saja.
Dari arah tangga, tepat di depan pintu masuk dapur, Bu Hamidah berdiri dengan wajah penuh rasa penasaran. Sebelah keningnya naik seolah antena gosipnya siap menyaring semua informasi di udara.
“Jawab dengan jujur. Ayah berhutang berapa banyak kali ini?” tegas Casilda dengan nada cukup keras, menatap ayahnya yang mulai salah tingkah melihat ke kiri dan ke kanan, mengecek jaga-jaga kalau ada yang mendengarnya.
“Kecilkan suaramu!” desisnya takut-takut, tubuh menciut maju ke depan dengan telunjuk di depan mulut.
Sebelah alis Casilda bergerak-gerak menahan rasa jengkel. Mata menyipit tajam.
Ayahnya baru saja menjelaskan siapa orang-orang itu. Mereka adalah kenalan ayahnya dari Kalimantan dengan alasan akan bekerjasama dalam bisnis terbaru. Tapi, Casilda jelas tidak percaya. Mana ada penampilan seperti mafia begitu bakal baik-baik saja?
Casilda baru ingat, terakhir kali, memang yang didengar dari ayahnya, katanya ingin merantau ke pulau seberang untuk mendapatkan uang lebih banyak. Tapi, tentu saja niat ayahnya itu tidak semurni yang diucapkannya.
Tukang judi dan mabuk-mabukan, apa lagi yang bisa diharapkan darinya?
Sang ayah tertawa cengengesen. Kedua tangan yang dipenuhi plester digosok-gosokkan sembari mencoba mengatur perkataan yang hendak dikeluarkan dari mulutnya.
Jantung Casilda berdetak kencang. Apa yang akan didengarnya kali ini?
Sang ayah memajukan tubuhnya lebih dekat, nyaris menyentuh permukaan meja dengan tangan kanan memanggil-manggil sang anak untuk mendekat.
Kening Casilda mengerut lebih dalam. Lalu, dia memajukan tubuhnya dengan firasat buruk.
Begitu sang ayah menutupi sebelah mulutnya dengan tangan, Casilda memekik tinggi seperti orang gila penuh amarah
“APAAA?!”
“PSSSTTT!!! Diamlah, Casilda! Jangan berteriak begitu!” tegur sang ayah, sedikit kelabakan dengan syok yang diterima oleh sang anak setelah mengatakan berapa jumlah hutang yang kini harus mereka semua tanggung saat ini.
Ratu Casilda Wijaya rasanya ingin pingsan!
Hutangnya kepada Arkan sang Top Star saja tidak beres! Ini malah ada tambahan dari ayahnya lagi?!
Gila! Benar-benar gila!
Dunia ini sudah gila!
Dia juga ingin gila rasanya!
Casilda ingin meledak hebat saking emosinya dengan apa yang baru saja didengar dari mulut sang ayah!
Spontan saja wanita berpipi bakpao ini berdiri tegang, dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang berputar dalam dirinya.
“Apa ayah sudah gila?! Ayah pikir kita ini apa, hah?! Ke mana otak ayah itu?! Aku setengah mati menggantikan tanggungjawab ayah selama ini! Tapi, apa yang ayah berikan kepadaku sebagai gantinya? HANYA BEBAN!”
Air matanya sudah mau merebak. Ingin sekali menangis sesenggukan sambil menjerit gila!
Bagaimana reaksi ayahnya seandainya tahu kalau anak gadisnya sudah dipermalukan dan dihina tidak manusiawi oleh banyak orang demi uang yang bernilai seharga nyawa adihnya dan harga dirinya?
Apakah ayahnya masih berani muncul seperti ini? Masih punya muka?!
Pfft! Tapi, seorang pemabuk dan kepala keluarga yang meninggalkan keluarganya begitu lama, apa akan sempat merasa simpati ketika mendengar keluh kesahnya itu?
Tidak!
Ayahnya memang raja tega!
“Casilda... tenang dulu, nak...” bujuknya, mencoba menghampiri sang anak. Namun, Casilda menatapnya nyalang, menggertakkan gigi sembari menepis tangan yang hendak maju meraih lengannya.
“Benar, kan, kalau mereka itu semuanya tukang pukul? Apa ayah tidak puas sudah menghancurkan kami sekeluarga selama ini? Di mana hati nurani ayah?!” jeritnya kesal.
Bu Hamidah cukup terkejut mendengar pengakuan itu, tangan kanan menutupi mulut. Malah merasa ini jadi semakin menarik. Maklum saja, dia sama sekali tidak tahu banyak soal karyawan pembawa hokinya itu. Toh, selama ini, dia hanya peduli kepada keuntungan semata.
Kuping Bu Hamidah bergerak-gerak penasaran, kembali menajamkan pendengarannya.
Ayah Casilda mencoba membujuk sang anak dengan nada rendah yang hanya diperdengarkan untuk keduanya, jadi terdengar bagaikan dengungan lebah di sekitar mereka.
“Jangan berpikir negatif begitu. Ayah sudah bilang kalau mereka itu adalah teman-teman ayah. Mereka bukan tukang pukul. Kalau tidak percaya, tanya saja mereka satu per satu,” ujarnya dengan nada pongah dan sedikit kikuk kepada sang putri, hendak berniat mengatakan maksudnya dengan cepat, tapi Casilda terlihat murka luar biasa dengan hutang yang dikatakannya tadi.
“CUKUP! Jangan melangkah lebih jauh lagi!” koar Casilda, memajukan telapak tangannya, tanda untuk menyuruh sang ayah berhenti maju.
“Putriku sayang, kamu belum mendengar semua penjelasan ayah. Ayah memang punya hutang sebanyak itu, tapi bukan berarti tidak punya solusinya.”
Casilda tertawa miris, menggelap suram menatap sang ayah.
“Solusi? Solusi apa? Ayah pikir bisa menjual apa lagi dari harta yang kita miliki sekarang? TIDAK ADA, AYAH! KITA SAMA SEKALI TIDAK PUNYA APA-APA LAGI?!”
Sang ayah yang berdiri gelisah, melirik sekilas kepada sekumpulan orang di seberang meja. Semuanya tampak angkuh dan meremehkannya. Senyum mereka nyaris serupa, penuh hinaan dan merendahkan seolah menginjak harga dirinya. Hal itu sudah termasuk ancaman tidak langsung kepadanya jika gagal membujuk putrinya.
Ayah Casilda kontan saja menelan ludah gugup, sekali lagi menatap putrinya. Wajah gelisah dengan banyak keringat dingin.
“Kamu benar. kamu benar. Kita memang sudah tidak punya harta lagi. Tapi, bukankah hutang tidak perlu selamanya dibayar dengan uang?”
“Apa maksud, ayah?!” bentaknya kesal, tidak habis pikir cara berpikir ayahnya yang tidak kehabisan ide untuk membuat keluarga mereka menderita seumur hidup!
“Dengar, nak... jangan marah-marah dulu. Ada solusi yang sangat bagus untuk kita semua. Bahkan, ini bisa mengubah masa depan kita semua menjadi lebih baik,” ujar sang ayah gugup, gerakan tangan di depan tubuhnya yang saling mengusap menunjukkan kalau dia sedang bersiap-siap mengatakan semuanya dalam sekali ucap.
Casilda menggelengkan kepala, menatapnya tak percaya.
“Jangan bicarakan hal tidak masuk akal lagi kepadaku, ayah! Hutang Ayah terlalu gila!”
“Ca-Casilda sayang... ayah tidak ada niat buruk sama sekali. Ayah hanya berniat membuat kita semua kembali berjaya seperti dulu. Ha-hanya saja malah tidak berjalan sesuai apa yang ayah rencanakan.”
Casilda mendengus geli.
“Apa kata, ayah? Apa ayah sudah gila?!” bentaknya lagi murka, menatap kesal dengan air mata mulai menetas bagaikan mutiara kecil-kecil di pipi bakpaonya.
Hutang ayahnya lebih dari 1 milyar. Sialnya lagi, dia tidak tahu rinciannya seperti apa. Bagaimana dengan bunganya? Tidak mungkin hutang itu tidak memiliki bunga, bukan, jika pinjam dari tempat kotor seperti itu! Pastinya juga akan mencekik!
Ayahnya sungguh bodoh! Padahal dulu adalah CEO super hebat dengan otak cemerlang!
Siapa sangka malah akan jatuh seburuk dan semenyedihkan seperti sekarang ini?
Sang ayah, tiba-tiba berlutut di depan putrinya, meraih satu tangannya sambil memohon dengan sangat menyedihkan. Suara seperti kambing dengan leher disembelih, berkata dalam mode super cepat, nyaris tidak berputus.
“Putriku! Kumohon! Tolonglah ayahmu kali ini saja! Ayah sangat memohon kepadamu! Anggap saja ini permintaan terakhir ayah! Setelah ini, ayah bersumpah akan berubah dan hidup lebih baik lagi! Ayah juga sudah rindu dengan kalian semua sekeluarga! Khususnya kepada adikmu! Ayah akan berada di sisi kalian dan merawat adikmu bersama-sama!”
Casilda menggelap kesal, menggertakkan gigi marah.
Seorang pemabuk dan penjudi yang kecanduan, kata-katanya tidak bisa dipercaya!
“LEPASKAN!” teriak Casilda marah, mencoba lepas pegangan sang ayah, tapi ayahnya tidak mau lepas. Malahan, pria tua itu mulai mendepetkan tubuhnya sambil memeluk lengan putrinya, mendengking penuh tangis.
“Aku mohon! Aku mohon, Casilda! Tolonglah ayah sekali ini saja! Ayah janji tidak akan macam-macam lagi! Sumpah demi, Tuhan!” pintanya dengan nada cepat dan terisak seperti orang yang meregang nyawa.
“AYAH!” teriak Casilda dengan perasaan sudah ingin meledak gila melihat kelakuan tidak biasa ayahnya itu.
Sang ayah yang merasa nyawanya berada di ujung tanduk, dan mengingat kembali semua perlakuan kejam orang-orang di casino, langsung mendongak melihat putrinya dengan bibir gemetar. Terdengar sangat memilukan dan kasihan.
“Casilda, kalau kamu tidak menolong ayah kali ini, ayah akan dibunuh oleh mereka, atau sekarang juga ayah akan bunuh diri agar tidak menjadi beban bagi kalian semua! Apa itu yang kamu inginkan?”
Hati Casilda geram mendengarnya.
Apa sekarang dia mengancamnya?
Dasar pria tua licik!
“Ayah jangan bicara yang tidak-tidak! Aku tidak akan percaya sedikit pun! Mau mati atau tidak, aku tidak peduli!”
Sang ayah syok dingin mendengarnya, lalu wajahnya menjadi murung dengan cepat. Gelap bagaikan dihiasi awan mendung. Kekuatan pelukannya pada lengan Casilda melemah.
“Apa kamu sangat membenci ayah sampai tidak peduli lagi hidup mati ayahmu sendiri?”
Casilda tertohok sejenak, lalu mengeraskan ekspresi wajahnya.
“Iya! Benar! Aku tidak peduli! Memangnya ayah sendiri peduli kepada kami selama ini? Tidak, kan? Lantas, buat apa aku peduli kepada ayah?”
Sang ayah terdiam dengan wajah kuyu. Kedua pupilnya menyusut gemetar. Tidak semangat dan sangat sedih.
Pemandangan itu membuat hati Casilda tergores diam-diam. Tapi, mengingat ayahnya suka berulah, sesekali dia ingin memberinya pelajaran!
“Kamu... sungguh tidak peduli kepada ayah, Casilda?” tanyanya pelan.
Wajah kelam menahan amarah Casilda, kini menatap angkuh ayahnya yang tengah berlutut di lantai, mendesis kejam tanpa perasaan, “benar. Sangat tidak peduli. Mulai sekarang, ayah tidak ada hubungannya dengan kami semua.”
“Casilda...” pilunya dengan suara bergetar tak percaya.
“Sebaiknya sekarang, kalian semua pergi dari sini. Jangan menarik orang tidak bersalah dalam masalah yang sudah ayah buat sendiri.”
Perkataan dingin itu menghujam jantung ayah Casilda. Dengan perasaan lemas dan loyo, kepalanya menunduk pelan. Dengan cepat, Casilda menjauhkan diri darinya, memiringkan tubuh tidak mau melihatnya yang sangat menyebalkan.
“Pergilah. Kami bisa hidup tanpa ayah selama ini, bukan? Lakukan apa saja semau ayah, asalkan jangan memberi kami beban dan masalah lagi. Sudah cukup penderitaan dan kesulitan yang kami hadapi gara-gara kesalahan ayah selama bertahun-tahun.”
“Casilda... putriku... ayah... ayah hanyalah manusia biasa... kesalahan di masa lalu, itu terjadi karena ayah dijebak oleh mereka. Semua orang itu mengkhianati ayah.... Ayah... ayah bahkan tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kebenarannya kepadamu agar tidak sakit hati....”
Casilda mengerutkan kening.
Kenapa dia harus sakit hati dengan masalah perusahaan ayahnya yang bangkrut itu?
“Selama ini, ayah pikir bisa mencoba membangun semuanya dari nol. Tapi, ternyata sangat sulit. Ayah pikir, jika bisa menang super banyak dari permainan judi meski hanya sekali, sudah bisa memberikan modal untuk memulai semuanya kembali. Sayangnya, semuanya malah jadi berantakan begini.”
“Apa ma—”
Saat mata Casilda secara alami melirik ke samping, berniat meminta penjelasan akan kata-kata ganjil itu, kekagetan menghantam dadanya melihat sang ayah meraih pisau di atas meja.
“APA YANG AYAH LAKUKAN?!”