Esok paginya, subuh pagi-pagi sekali. Casilda baru saja selesai sholat subuh, duduk di teras dekat tepi kolam renang demi menyengarkan pikirannya sebelum berdebat kembali dengan Arkan sang Top Star.
Subuh ini sangat bagus untuk berpikir mengulik ide baginya.
Biar bagaimanapun, Arkan tidak bisa menawannya terus di sini! Dia punya pekerjaan lain!
Helaan napas wanita berpakaian kasual ini terdengar berat.
Kedua pipi bakpaonya merona kecil saat meraba bibir bawahnya.
Dekat-dekat dengan seorang playboy seperti Arkan, meski tak disukai pun ternyata sangat berbahaya. Dipikirnya, karena menjadi objek kebenciannya, maka akan dijauhi seperti penyakit menular. Tapi, apa ini? Mereka sudah ciuman berapa kali? Saking terlalu seringnya, Casilda sampai lupa sudah berapa kali mereka ciuman.
Yang paling penting dari semua itu, sang aktor menatapnya seperti wanita yang akan mengemis cintanya gara-gara pertemuan bibir tanpa ada rasa itu.
“Aku harus bagaimana? Aku tidak mau tinggal di sini terus seumur hidupku dan diperbudaknya,” gumamnya sembari melihat pesan dari dokter yang sudah setuju menjadwalkan jadwal operasi adiknya untuk minggu depan.
Hari ini atau besok, Casilda hanya perlu ke rumah sakit untuk menyelesaikan sisa dokumen operasi yang ada, maka dia bisa bernapas lega sedikit. Tapi, bagaimana akan menjelaskannya kepada ibunya soal kondisi adiknya itu?
Tidak mungkin, bukan, mendiamkan masalah ini sementara nyawa adiknya bertaruh di meja operasi? Ibu harus tahu sebelum jadwal operasi itu diadakan.
Helaan napasnya berat sekali lagi. Bingung bagaimana menyampaikannya kepada sang ibu.
“Kamu sedang apa di situ?”
Sebuah suara mengagetkan Casilda dari belakang.
“Tu-tuan Arkan?”
“Tu-tuan Arkan...” ledek Arkan dalam mode pakaian training putih elegan, handuk kecil diusapkan di kedua sisi pelipisnya. Pria ini baru saja selesai berolahraga pagi di lantai dua.
Casilda menggembungkan kedua pipi bakpaonya, kesal mendengar nada penuh ejekan itu. Mata mendatar malas.
Apa-apaan dia itu? Dasar kekanak-kanakan!
“Kamu sedang apa, hah?” tanyanya lagi, kali ini agak kasar.
“Untuk apa Tuan Arkan tahu? Urusan pelayan kecil tidak perlu ditahu oleh majikan, bukan?”
Nadi di pelipis Arkan berdenyut kesal, “karena akulah majikanmu, makanya aku harus tahu apa yang sedang kamu kerjakan, bukan?!”
Casilda mendecakkan lidah malas, membuat hati Arkan berpilin jengkel.
“Sikap macam apa itu?!” koarnya kesal, menghampiri Casilda dengan langkah-langkah besar.
“Bukankah kita sudah sepakat kalau jam kerjaku dimulai jam 7 pagi? Ini saja belum pukul 5.30, kan?”
Arkan yang berdiri tinggi di sisinya menatapnya dingin, menyindirnya malas, “awas jika kamu mencoba macam-macam di rumahku ini.”
Casilda yang memeluk kedua lututnya, menatapnya penuh protes, “apa maksudmu berkata begitu?! Aku bukan pencuri!”
Sang aktor kemudian segera berlutut satu kaki di lantai, mencubit dagunya, “oh, ya? Bukan pencuri? Lantas, bagaimana kamu dulu bisa masuk ke kamar orang tanpa izin jika tidak punya bakat seperti itu? Apa kamu tahu kalau mencuri itu bukan karena ada niat, melainkan karena ada kesempatan?”
Sang wanita hendak melepas cubitan dagunya yang terasa ingin menghancurkan, “aku, kan, dulu tidak sengaja masuk ke kamarmu itu! Kalau memang tidak suka aku ada di sini, ya, sudah, aku akan pulang hari ini juga!”
“KAU!” gerung Arkan kesal, meski di hatinya deg-degan parah dengan jarak sedekat ini dengannya. Keinginan mendesak dalam diri prianya kembali bergejolak parah.
Sang aktor ingin melumat bibir wanita di depannya... lagi....
Entah apa yang membuatnya seperti itu. Mungkin dirinya sudah kecanduan pada bibir wanita gendut super mata duitan di depannya.
Semalam pun, gara-gara ciuman mereka di belakang mansion, sang aktor tak bisa tidur karena terus terngiang-ngiang betapa lembut dan kenyalnya bibir jelek Casilda. Padahal pecah-pecah begitu! Sialan!
Arkan mendesis kembali, mendekatkan wajahnya hingga dahi mereka saling bertemu, “jangan lupa soal surat yang kamu tanda tangani, Gendut! Kalau kamu berniat mencari surat itu, maka buang segera niatmu! Mau kamu jungkir balikkan mansion ini, tidak akan pernah kamu temukan!”
“Aku sudah bilang tidak ada niat seperti itu! Ada apa, sih, denganmu ini?!”
“Oh, ya?!” desisnya penuh keraguan, memicingkan mata curiga.
“Kenapa? Apa perjanjian satu minggu kita tidak ada artinya?”
Arkan tertegun.
“Perjanjian?”
“Jangan pura-pura lupa! Aku sudah bilang akan mengembalikan uangmu dalam waktu satu minggu, kan? Jika aku berhasil, maka kita tidak akan ada hubungan apa pun, dan aku akan mengabulkan 1 permintaanmu sebagai ucapan terima kasih! Ini baru hari ketiga, masih ada 4 hari lagi.”
Arkan lupa soal itu. Sekarang, percakapan mereka berdua beberapa saat lalu bermain cepat di benaknya.
Dengan kasar, sang pria melepas cubitan dagunya sambil mendengus geli.
“Kamu sungguh serius dengan ucapan bodohmu itu? Kamu pikir dirimu itu siapa, Ratu Casilda Wijaya? Tubuhmu seperti ini, mana ada yang mau!”
Casilda mendorongnya keras hingga jatuh terduduk ke lantai teras.
“Aku harus bilang berapa kali? Kalau tidak dicoba, mana ada yang tahu, kan? Aku juga masih perawan! Walau jelek, tetap saja akan laku tidak peduli berapa pun harganya!”
Mendengar itu, Arkan emosi luar biasa, bangkit dan mendorong punggung sang wanita hingga menabrak pilar di belakangnya. Casilda mengerang kesakitan.
“Sakit!” keluh Casilda mulai merasakan tekanan cengkeraman tangan Arkan di dadanya.
Sang aktor mengabaikan keluhannya, mendesis dengan mata memerah yang tak bisa dilihat baik oleh Casilda karena situasi di halaman belakang ini masihlah remang-remang, “kalau kamu memang sebegitu percaya diri, maka buktikan ucapanmu itu, Gendut! Kita lihat, siapa pria bodoh yang mau membelimu dengan uang sia-sia mereka! Kamu pikir jual tubuh itu semudah menjual kacang di pinggir jalan?!”
“Perawan? Kamu pikir, dirimu itu masih perawan setelah aku menyentuhmu di mobil dulu? Pakai otakmu, Gendut! Kamu hanyalah bekas meski aku tidak memasukimu!” lanjutnya lagi, mata menggelap menahan badai.
Usai mengatakan itu, dia menghentak lepas tubuh sang wanita hingga terbatuk-batuk karena membuat lehernya tercekik kerah baju sendiri.
Sang aktor berdiri, menatapnya dengan wajah suram penuh kebencian, “kamu tidak boleh keluar mansion hari ini, paham? Kerjakan sisa semua pekerjaanmu yang tertunda kemarin. Jika tidak becus, maka makananmu akan aku kurangi separuh lagi dari yang semalam.”
“KAU!” Casilda terbatuk-batuk keras, mengelus tenggorokannya marah, tapi tidak bisa mendongakkan kepala menatap pria itu. Sudut-sudut matanya berair menahan rasa sesak di leher.
Sewaktu habis menciumnya kemarin, dan menyuruhnya makan, karena terlambat 5 detik saja, separuh jatah makan malamnya dikurangi. Syukur-syukur tidak dihapus seperti ancamannya!
Itu pun dirinya tidak makan di meja yang sama, melainkan di lantai di dekatnya seperti di kamar dulu. Mirip hewan piaraan. Tanpa sendok, tanpa garpu. Untungnya meski bentuknya jelek, tapi rasanya sangat enak.
Perut Casilda seketika berbunyi.
Arkan tertawa keras penuh ejekan mendengar perutnya yang minta diisi, membuat Casilda yang masih terbatuk menyedihkan, memerah sekujur tubuh menahan malu.
“Dasar babi, masih pagi sudah lapar saja.”
Selesai mengatakan itu, sang aktor mendengus penuh hina lalu berlalu dari sana.
Tangan kanan Casilda yang ada di lantai mengepal kuat.
Dia harus pergi dari mansion ini! Kalau tidak, dia bisa gila seumur hidupnya gara-gara dihina terus olehnya setiap hari!
***
Di kamar sempit Casilda, sederhana dan hanya diisi sebuah lemari, meja belajar dan sebuah ranjang tunggal. Wanita berkacamata bulat tua itu duduk di tepi kasur, menatap kartu nama klub yang dulu pernah Arkan berikan kepadanya saat dipermalukan di depan ratusan tamu bertopeng.
“Dia pikir aku tidak akan laku, apa? Aku pasti bisa dapat 1,5 milyar itu! Aku juga cantik, kok!” gumamnya berisik serak kepada diri sendiri, menatap sendu kartu klub yang digenggamnya. Di tangan satunya terlihat ponsel miliknya.
Sebenarnya, dalam hati, Casilda hendak menghubungi klub itu setelah sang aktor keluar. Tapi, di dalam hatinya ada keragu-raguan akan ditolak.
Karena harus meyakinkan pemilik klub untuk menerimanya, maka nomor telepon klub itu disimpan lebih dulu di kontak telepon.
Dia harus memikirkan banyak hal, bukan? Jaga-jaga kalau misalnya ditolak, dia masih bisa mengajukan tawaran lain agar bisa menerima gaji tinggi untuk menjual tubuhnya dalam bentuk lain.
Di klub malam, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang. Tidak hanya dengan cara menjual tubuh untuk ditiduri oleh seorang pria di sana.
Hal ini diketahuinya dari sang ayah yang suka berjudi dan berhutang.
Memikirkan sang ayah, Casilda termenung kembali untuk kesekian kalinya setelah terbangun pagi ini
Di saat-saat terjepit, dirinya kadang sangat rindu akan perhatian dan perlindungan dari seorang ayah.
Dulu, ketika dia ada banyak masalah, seperti lampu jin ajaib, ayahnya pasti akan menyelesaikan semuanya tanpa sepengetahuannya.
Sekarang?
Di hatinya malah tergenang dengan kebencian untuk pria tua yang entah sekarang ada di mana.
“Ayah... kapan kamu akan sadar dan menjadi kepala rumah tangga yang baik lagi untuk kami semua?”
Kekesalan dan kemarahannya kepada sang ayah benar-benar membuat wanita berkepang satu ini kadang menjadi gunung berapi yang mendidih.
Di dalam hatinya, ada pergolakan batin antara tidak ingin ayahnya pulang, dan ingin sekali pria itu kembali menjadi panutan yang membanggakan.
Sayangnya, kecenderungan agar ayahnya tidak usah kembali jauh lebih kuat.
Soalnya, kalau pria itu pulang, biasanya akan membawa beberapa orang yang suka menagih ke rumah.
Walaupun ayahnya suka judi dan pemabuk, setidaknya dia bukanlah pria yang main tangan. Itulah satu-satunya yang disyukurinya sejauh ini. Seolah-olah pria itu tahu kalau menjauh dari rumah adalah pilihan yang tepat.
Casilda tidak tahu bagaimana agar ayahnya bisa menjadi seperti dulu lagi: penyayang, baik hati, peduli, dan bertanggungjawab.
Tidak seperti sekarang, sangat tidak jelas apa maunya.
Merasa tenggelam dalam pikiran rumit dan nyaris baper seperti wanita menyedihkan, Casilda menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak boleh terbawa perasaan sedih seperti ini!
Beberapa saat kemudian.
Dari arah tangga, suara tirani terdengar sementara Casilda dalam pakaian training tua abu-abunya sibuk menyapu lantai yang sebenarnya sudah sangat besih berkilau.
“Aku akan keluar sekarang dan akan pulang sekitar pukul 2 siang atau 3 sore. Ingat! Kamu tidak diperbolehkan makan sampai aku pulang. Hukumanmu karena sudah melawanku subuh tadi.”
Sang aktor berjalan menuruni tangga dengan pakaian kemeja biru langit super mewah. Tangan satunya tengah mengancing lengan bajunya yang tampak acak-acakan, tapi sangat keren. Sepertinya dia akan bertemu orang penting? Apa dia mau pergi kencan lagi?
Dalam hati, Casilda hanya bertanya-tanya.
Seorang pelayan sudah menjelaskan keseharian sang aktor kepadanya demi kelancaran tugasnya sebagai ‘asisten pribadi’ alias pembantu yang khusus untuk ditindas sesuka hati oleh sang aktor.
“Apa kamu tidak dengar apa kataku?” koar Arkan kesal, menoleh ke arah Casilda yang menyapu sembari setengah melamun.
“Baik, Tuan.”
Jawaban super pendek itu membuat sang aktor kesal, dia pun menghampirinya.
“Aku dengar nada suaramu tidak puas. Apa tadi kamu hanya makan selembar roti, hah? Aku sudah memberimu 3 sandwich ukuran besar! Masih lapar sampai tidak bertenaga menjawabku begitu?”
Casilda ingin mengomel panjang lebar, tapi segera menahan diri.
Dia memang sudah memberinya 3 sandwich ukuran besar, tapi tentu saja cara penyajiannya tidak layak!
Dia memberinya sandwich itu dari bekas makan milik Tuan Luis.
Iya, Tuan Luis yang itu! Si kucing orange barbar sialan!
“Baik! Tuan Arkan! Siap laksanakan!” teriak Casilda bak seorang prajurit kepada komandannya, memberi hormat bendera sok serius.
Sang aktor tampan kaget bukan main, hampir terjengkang ke belakang.
“Siapa yang menyuruhmu berteriak seperti itu, hah?!”