Selama hampir 5 jam penuh setelah membereskan barang-barangnya di kamar paling kecil di mansion Arkan, Casilda sekarang ngos-ngosan dalam pakaian training abu-abunya gara-gara membersihkan kolam renang yang ada di halaaman belakang.
Wanita gendut dengan kepang satu berkacamata ini sibuk menggosok lantai kolam renang super luas di sana.
Kedua tangan dan kaki pakaian training sudah digulung semua, keringat berkilau menghiasi wajah bulat menggemaskannya.
“Sialan! Baru juga tiba di tempat terkutuk ini, sudah disuruh kerja rodi! Apa dia sengaja melakukannya agar membunuhku perlahan alih-alih mencekikku seperti kemarin?” gerundel Casilda sembari menggosok keras lantai kolam renang yang sebenarnya tidak begitu kotor, tapi sang aktor menyuruhnya agar menggosoknya keras-keras. Jika tidak sesuai harapannya, maka dia akan mendapat hukuman.
“Pria sialaaan!!!” makinya kencang di udara, menggertakkan gigi seolah lantai yang digosoknya adalah muka sang aktor yang menyebalkan itu. Mata wanita ini melotot merah penuh kemarahan!
Sejak tadi, Casilda sibuk membersikan mansion yang dengan sengaja sudah dibuat berantakan melalui perintah telepon Arkan sebelum mereka tiba di tempat itu.
Sementara Casilda sibuk bersih-bersih seperti dikejar oleh hantu dengan tenggat waktu yang diberikan olehnya, sang aktor sendiri sibuk berkencan dengan tunangan super cantiknya di sebuah kafe terkenal.
“Sayangku, bagaimana? Apakah kamu puas dengan isi kontraknya?”
Lisa bertanya dengan perasaan was-was tentang kontrak pemotretan pasangan yang pernah dibahasnya dulu. Kali ini, sang tunangan tidak ingin membuat prianya marah dan menilainya aneh seperti terakhir kali, maka dia pun bersikap sangat sopan dan elegan, meski di depannya Arkan sibuk meminum kopinya sambil berseluncur di ponselnya.
Sang aktor tidak menggubris Lisa.
“Ba-bagaimana dengan syuting film itu? Aku dengar, gara-gara gosip terakhir kali di panti asuhan, mereka menunda jadwal syuting selama 2 minggu. Apa kamu baik-baik saja?”
Pertanyaannya kali ini juga tidak digubris olehnya.
Wanita dengan dres merah anggun sangat seksi dan elegan, tapi sopan itu, menyisipkan anak-anak rambutnya di balik telinga, sedikit canggung dengan sikap cuek Arkan yang dirasanya sangat menyebalkan.
Hening sesaat.
“Arkan... apa kamu masih marah kepadaku gara-gara sikapku yang buruk?”
Kali ini, dia berhasil menarik perhatiannya dari layar ponsel.
Mata mereka bertemu.
“Maaf, kamu bicara apa tadi?” tanyanya dingin, pikirannya sebenarnya melayang pada wanita berpakaian training abu-abu di mansionnya. Sibuk berselancar untuk mencari hal-hal baru untuk menyiksa wanita pemberontak itu.
Lisa yang tidak percaya Arkan semakin tidak peduli kepadanya, tertawa kikuk. Tapi, dia memiliki kontrol diri yang baik kali ini.
Dengan suara pelan dan sangat lembut, dia menjelaskan: “Aku tanya, apakah kamu puas dengan isi kontrak pemotretan itu? Bagaimana dengan jadwal syuting kita? Dan.... apakah sikap cuekmu ini gara-gara aku yang tidak masuk akal akhir-akhir ini? Aku sungguh minta maaf, Arkan!”
Nada suaranya terdengar mendesak dan memohon di saat yang sama di ujung kalimat, keningnya samar-samar mengerut dalam di wajah cantiknya.
“Oh... masalah itu. Aku serahkan semuanya kepada Rena. Biarkan saja dia yang urus sampai selesai.”
“Kamu sungguh tidak peduli? Bagaimana dengan gosip yang sudah terlanjur viral itu?”
“Aku yakin kedua orang tua kita pasti akan melakukan sesuatu, bukan?”
Lisa sedikit kaget dengan sikap cuek Arkan, seolah-olah dia tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Padahal, kalau terkait keluarganya, biasanya dia cukup tidak terlihat ramah. Apa yang membuatnya tiba-tiba berubah begini? Apakah benar karena ada wanita lain?
Lisa yang semula tidak mau ambil pusing, sekarang disisipi rasa takut kehilangan.
Mereka memang sudah bertunangan, tapi itu hanya status di antara mereka. Aslinya, Arkan masihlah milik dirinya sendiri. Salah langkah, maka pria itu pasti akan mengabaikannya lebih parah daripada sekarang.
Bagi para pria, hanya ada dua hal yang membuat mereka berubah.
Pertama adalah wanita.
Kedua adalah hal yang berkaitan dengan kesenangan pribadi, seperti hobi, judi, atau minum.
Lisa mencoba menenangkan hatinya diam-diam.
“Kalau kamu tidak masalah, bagaimana kalau kita berangkat bersama saja untuk pemotretan di luar negeri nanti? Aku akan memberitahu Rena agar bisa menyesuaikan semuanya.”
Arkan kembali cuek, dan hanya ber ‘um’ pelan kepadanya, mata tertuju kepada hasil pencarian ‘cara membuat wanita liar menjadi patuh’.
Ada banyak hasil yang keluar dari pencarian itu, tapi hati pria ini masih belum puas.
Siksaan apa yang bagus diberikan kepada wanita itu untuk seminggu ke depan?
Pikiran ini lebih membuatnya tertarik daripada apa pun.
Lisa yang melihat Arkan mengabaikannya sampai akhir, kini terdiam dengan kening mengencang menahan kekesalan dalam hati.
***
Menjelang magrib, Casilda masih saja belum selesai dari kerjaannya sebagai pembantu instan. Katanya jadi asisten pribadi, malah dikerjai seperti ini olehnya!
Sialan! makinya dalam hati untuk kesekian kalinya sepanjang hari itu.
Kali ini, Casilda sibuk berjongkok di depan sebuah rimbunan tanaman hias, kedua tangan sibuk menggunting mengikuti pola tertentu.
“No-nona... Anda belum istirahat sejak tadi. Makan hanya sedikit. Sebaiknya berhenti dulu. Masih ada hari esok.”
Seorang pelayan bertubuh kurus dan terlihat lebih tua darinya, menghampiri Casilda dengan tatapan cemas.
Dia sudah melihat wanita berpakaian training abu-abu itu sibuk bekerja seperti gasing di dalam mansion luas ini.
Dengan tubuh berisi sepertinya, sudah jelas itu adalah penyiksaan!
Casilda menoleh ke arahnya sambil masih menggunting dedaunan di depannya, “tidak apa-apa. Saya masih kuat, kok. Lagi pula, nanti Tuan Arkan marah jika saya tidak segera selesai.”
“Tapi...”
Sang pelayan mengerutkan kening tak setuju, melihatnya dengan tatapan prihatin.
“Tidak apa-apa. Sungguh! Saya baik-baik saja!” serunya sembari menaikkan tangan kirinya seperti seorang binaragawan memamerkan otot mereka, tersenyum lebar dengan gigi-gigi putihnya.
Melihat tekad Casilda, sang pelayan akhirnya hanya bisa mengangguk pelan mengiyakannya saja, lalu berlalu dari sana dengan wajah bingung.
Casilda menghela napas lelah, mengelap keringat di kedua pelipisnya.
Sejujurnya, dia sangat lelah.
Pantatnya dirobohnya ke tanah berumput, menarik dan mengeluarkan napas dengan mata terpejam. Kacamata tuanya berembun oleh hawa panas tubuhnya, membuat sosok berisi ini terlihat menyedihkan.
Meskipun pada kenyataan dia mendapat perintah dari Arkan, dia tidak berlama-lama protes kepadanya. Ini adalah terapi yang baik untuk mengalihkan pikirannya atas pelecehan yang dilakukan oleh sang aktor.
Setitik air mata jatuh di sudut matanya tanpa sadar, diusap dengan cepat.
Dia pernah sangat mencintai seorang pria, sampai sudah menganggapnya sebagai dunianya satu-satunya. Tapi, pria itu malah mengkhianatinya sangat kejam.
Demi pria yang dicintainya itu, dia menolak semua pria yang mengejarnya, dan juga menjaga harga dirinya hingga menjadi penganut prinsip tradisional bahwa hubungan panas antara wanita dan pria seharusnya dilakukan setelah menikah.
Sayangnya, takdir mempermainkannya.
Ciuman pertama dan juga hal yang dianggapnya paling spesial, kini diambil semua oleh pria yang sangat membencinya.
Casilda pikir, melupakan kejadian di mobil itu akan dengan mudah dilakukannya seiring waktu berlalu, apalagi tenggelam dalam kesibukan kerja, atau pura-pura semuanya baik-baik saja, tapi potongan-potongan dan juga sensasi yang diberikan oleh Arkan kepadanya, selalu terasa dan terbayang jelas meski hanya lewat sedetik di otaknya.
“Kenapa aku harus mengalami semua ini, Tuhan?” gumamnya sedih, mendongak ke langit yang sudah mulai berubah warna. Sorot matanya berkaca-kaca, dan setetes air matanya kembali meluruh. Diusap cepat sekali lagi, dan terisak pelan.
“Harus segera selesai! Lupakan hal tidak penting itu, Casilda! Lagi pula, mana ada pria yang mau denganmu, kan? Tidak perlu cemas akan masa depan! Kamu akan selamanya jadi perawan tua!” omelnya galak kepada diri sendiri, mulai kembali menggunting daun di depannya dengan gerakan penuh semangat.
Beberapa detik berikutnya, gerakannya melambat lesu.
“Perawan... apa aku... masih termasuk kategori seorang perawan...? Disentuh, tapi sama sekali tidak dimasuki...” gumamnya dengan bulu mata merendah sedih, termenung dalam memikirkan statusnya yang aneh.
Wanita ini, sebenarnya diam-diam ingin melajang seumur hidup andai kata memang tidak ada pria yang akan mau menjadi suaminya. Tubuh berisi dan juga harus kerja keras banting tulang demi keluarganya, membuat Casilda memiliki banyak nilai minus sebagai wanita yang layak dijadikan istri idaman.
Kedua bahunya melorot, menghela napas berat untuk kesekian kalinya dalam sehari.
“Hei... menurut kalian, apa aku sebaiknya benar-benar jual diri saja?” tanyanya pada tanaman hias di depannya, atau lebih tepatnya bertanya kepada sekumpulan daun yang tanpa sadar sejak tadi ditebasnya sebagai salah satu pelampiasan amarah terhadap sang aktor.
Kening Casilda mengencang sedih, sorot matanya penuh konflik menatap gunting kebun di depannya.
“Aku benar-benar benci pria itu...” bisiknya serak, meneteskan air mata kembali dengan perasaan pilu tertahan.
Ratu Casilda Wijaya, dulunya memang adalah primadona banyak pria. Sesuai dengan namanya ‘Ratu’, dia selalu dipuja di mana-mana. Tapi, tidak banyak yang tahu kalau wanita ini menyimpan luka hati yang sangat dalam gara-gara dicampakkan begitu saja oleh pria yang sangat dipercaya dan dicintainya.
Perlakuan kasar Arkan selama ini, perlahan membuka luka lama Casilda yang tak akan pernah sang aktor bayangkan sebelumnya.
“Aku benci... aku benci pria tampan....” bisiknya terisak perih, mengusap kedua matanya dengan lengan kanannya yang kotor, menggigit gigi menahan rasa sakit di hatinya karena dipermainkan begitu kejam berkali-kali tanpa ampun oleh banyak orang.
Sementara Casilda mulai menata hatinya, dan menghentikan tangisnya beberapa menit kemudian, dari arah depan, mobil sang aktor sudah berhenti di depan teras.
Pria ini dalam balutan kemeja hitam keren, tampak gelisah dengan sorot mata bergelenyar misterius.
“Di mana dia?” tanyanya kepada seorang pelayan wanita yang kebetulan bertemu dengannya saat baru saja keluar dari mobil.
“Dia ada di belakang, tuan muda. Masih sibuk menggunting tanaman hias,” balasnya sopan, kepala tertunduk hormat.
Arkan memberikan gerakan tangan menyuruhnya pergi, dan melempar kunci kepada seorang satpam yang buru-buru datang menghampirinya.
Sang pelayan menaikkan pandangan, menatapnya heran dengan tatapan setengah takjub pada punggung sang tuan muda.
Ini adalah kejadian bagaikan de javu untuknya.
Tuan mudanya itu sebenarnya adalah pria yang kurang peka dan juga kejam, tidak akan peduli kepada siapa pun termasuk sang tunangan yang super cantik. Tapi, sungguh aneh dengan wanita gemuk berkacamata itu.
“Benar-benar aneh...” komentarnya dengan kepala dimiringkan heran. Semakin heran ketika mendengar gosip tentang sang tuan muda yang katanya sibuk mencari wanita itu selama ini hingga membuat para pelayan ketakutan diam-diam dengan amarahnya.
Apa, ya, kira-kira hubungan mereka berdua?
Kalau sebagai pasangan kekasih, rasanya itu mustahil!
Sang pelayan terkikik sendirian dengan tangan kanan menutup mulutnya memikirkan hal konyol itu.
Sangat mustahil!