Bab 43 Memohon kepada Sang Aktor 3

1300 Words
#WARNING SERIUS UNTUK PARA PEMBACA: BEBERAPA BAB UNTUK SELANJUTNYA MENGANDUNG ADEGAN YANG MUNGKIN TIDAK MENYENANGKAN BAGI BEBERAPA PEMBACA. SELAIN ITU, CERITA INI JUGA MENGANDUNG ANGST DAN KDRT, HARAP BIJAK MEMBACANYA. JIKA TIDAK SUKA, MAKA PILIHAN PEMBACA UNTUK BERHENTI DI TENGAH JALAN. TIDAK SEMUA JENIS CERITA COCOK UNTUK SEMUA PEMBACA, YA, GUYS! DAN ITU WAJAR DAN SAH-SAH SAJA. SAYA SUDAH BERITAHUKAN SEJAK AWAL KALAU n****+ INI CUKUP KEJAM SEPERTI KISAH RUBY DI n****+ SAYA YANG BERJUDUL: "DIKEJAR-KEJAR OLEH 5 MANTAN SUAMI", MESKIPUN TETAP ADA ADEGAN BUCIN DAN KADANG BIKIN KETAWA. MOHON KEBIJAKAN PARA PEMBACA SEKALIAN. TERIMA KASIH. …………… . . . Senyum jahat Arkan tertarik lebar, “ah, lupa. Kamu yang seperti ini mana laku kalau dijual? Kenapa tidak jual ginjal saja kalau begitu? Lumayan dapat 2 milyar lebih, bukan? Alih-alih hanya 500 juta?” Sekujur tubuh Casilda bagaikan disisipi es beku yang menusuk tajam, hatinya berdarah. Apakah dia sejak awal memang sudah tahu niatnya untuk pinjam uang, dan dengan puasnya menikmati permainannya yang kejam ini padanya? Begitukah? Dalam hati, Casilda menertawai diri sendiri yang begitu bodoh dengan harapan kecilnya. “Arkan... tolong pinjami aku uang... hanya 500 juta. Pasti aku akan kembalikan dengan bunganya...” mohon Casilda dengan perasaan lemas. Arkan sepertinya menganggapnya sedang ingin menipunya, tapi dia tidak punya waktu menjelaskan hal yang sama sekali tidak akan dipercayai oleh pria itu bagaimanapun dia mengatakannya. Casilda melihat pria itu di atasnya, sangat dingin dan terlihat acuh tak acuh. “Arkan... aku mohon... apa pun yang kamu katakan untuk membuatmu puas dengan dendam dan kebencianmu itu padaku, aku akan melakukannya tanpa menolak sedikit pun!” “Jilat sepatuku.” Syok! Mata Casilda membola hebat, hati gemetar. “A-apa?” “Kamu tidak tuli, kan? Aku bilang jilat sepatuku,” ulang Arkan dengan senyum dingin menindasnya. Casilda ingin menangis, tapi dia paham posisinya saat ini seperti apa. Jadi, dengan gerakan pelan, dia melepas pelukannya dari kaki Arkan, membungkukkan tubuhnya dan dengan hati begitu sedih, dadanya naik-turun, melakukan apa yang diperintahkan oleh Arkan padanya. Lidah dingin dan basah Casilda menyentuh permukaan sepatu kulit itu. Ketika melakukannya, dalam diri Casilda seolah ada yang pecah berkeping-keping. Sakit menusuk jantung, tatapan matanya menjadi hampa. Apakah yang dilakukannya di masa lalu sungguh melukai banyak orang seperti Arkan? Begitu dendam dan benci padanya hingga membalasnya sekejam ini? “A—“ Kalimat Casilda terpotong ketika hendak meluruskan punggungnya, langsung merasakan sesuatu yang dingin menjatuhi tubuhnya, membuatnya basah seketika. Aroma manis menguar di udara. Casilda bagaikan disambar petir di siang bolong, jantung seolah diremas. Bukannya merasa tersentuh atau pun kasihan, Arkan malah meraih smoothie miliknya, dan langsung menuangnya ke atas kepala Casilda. “Menjijikkan,” sinis Arkan dengan wajah datarnya. Bahkan gelas plastik itu dengan sengaja dijatuhkan di atas kepala sang wanita, membuatnya membeku kaget, mata membesar syok. “Kamu pasti lelah, kan? Sekarang pasti sudah merasa segar kembali. Ups, sayang sekali bukan air mineral.” Casilda terlihat begitu menyedihkan dan bodoh. Dia ingat kalau alasan Arkan membencinya, salah satunya karena mempermalukannya dengan cara menyiramnya dengan es kelapa di depan banyak murid sewaktu di bangku SMA. Masih syok dengan apa yang menimpanya, perempuan berkepang satu ini tertegun dalam diam. Air matanya mengalir, tapi tidak kentara karena wajah basahnya ditutupi oleh kacamatanya yang kotor. Tubuhnya terasa lengket dan berbau manis. Tahu dia salah, maka dia tidak membantah. Membiarkan saja agar hati Arkan merasa puas dan senang. “Apa... sekarang kamu mau memberiku pinjaman itu?” gumam Casilda berbisik rendah, hampir menertawakan diri sendiri dengan ekspresi mirisnya yang ditahan. Kepala menunduk dengan tatapan kosong, tidak berani melihat Arkan yang berdiri di depannya. Suara benda jatuh terdengar. “Ini sisa uangmu. p********n pesanan 200 kotak itu sudah aku bayar melalui managerku.” Satu ikat lembaran uang berwarna biru dijatuhkan ke tanah, terlihat jelas angka di kertas pengikat itu pas berjumlah 5 juta rupiah. Dengan gerakan pelan dan patah-patah karena canggung, Casilda meraih uang itu dan memeluknya. “Terima kasih,” ucap Casilda lemah, suaranya mulai terdengar pecah Kepala Casilda yang terus menunduk membuat raut wajah Arkan dipenuhi konflik. “Kamu benar-benar menjijikkan sekarang ini,” desis Arkan, satu kakinya kembali mendorong bahu Casilda hingga perempuan itu jatuh terduduk di tanah berumput. “Apa sekarang kamu sudah malu memakai nama Ratu? Makanya memakai nama Casilda? Bahkan nama Casilda itu pun masih terlalu baik untukmu. Tidak secantik dirimu.” “Arkan... pinjamannya?” bisik Casilda menahan suaranya kuat-kuat agar tak terdengar suasa isak tangisnya. Uang 5 juta digenggam kuat-kuat di dadanya. Perlahan mendongak dengan wajah dan penampilan kacau, begitu menyedihkan, begitu kuyu. Arkan mendengus kecil, sangat angkuh. “Sejak kapan aku bilang akan memberimu pinjaman?” Mendengar itu, Casilda bagaikan ditarik ke dalam lautan gelap. Wajah memucat, napas terasa sesak. Dia ingin marah, tapi yang dikatakannya benar. Sudah tidak kuat untuk menatap wajah Arkan di atasnya, air matanya memenuhi kelopak matanya, jatuh membasahi tanah. Tidak tahu lagi harus bagaimana membalas ucapan menyakitkan itu. Dalam sekejap, Casilda patah semangat. Jika dia bisa jual diri, maka mungkin lebih baik jual diri saja daripada harus mengemis pada Arkan yang sifatnya seperti iblis ini! Sayang, apa yang dikatakan oleh pria itu benar. Dia dijual saja mana laku? Siapa yang mau memakainya? Sama sekali tidak menarik. Walau jual ginjal sekalipun, hanya akan memberikan kesengsaraan baru untuk mereka sekeluarga di masa depan. Dia pasti tidak akan bisa bekerja keras lagi. Sementara hanya dirinyalah satu-satunya tulang punggung keluarganya. Dalam hati, Casilda jadi serba salah dan sangat kebingungan. “Jadi... kamu tidak akan meminjamkan uang padaku meski aku sudah seperti ini?” lirih Casilda pelan, kepala kembali tertunduk. “Kalau mau uang, kamu harus bekerja,” cemoohnya dingin. Ah.... Casilda ingat apa yang didengarnya saat di telepon dulu. ‘Huh! Aku tidak bekerja keras dan buang-buang uang untuk kebahagiaan orang lain. Mau uang, ya, kerja. Aku benci orang yang pemalas.’ Sudah tahu Arkan tidak sebaik yang kelihatannya, tapi masih saja dengan bodohnya berharap seperti ini. Apakah salah dia berharap dengan sedikit harapan bodohnya demi sang adik? Dia mengerti. Berlama-lama menghadapi Arkan hanya buang-buang waktu saja. Dengan rasa sakit di hati dan seolah ada batu besar menekan dadanya, Casilda berkata pelan, “begitu. Baiklah. Aku mengerti. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu, Tuan Arkan yang berharga. Sepertinya, apa pun yang saya katakan tidak akan ada artinya sama sekali. Saya benar-benar minta maaf sudah melukai hati Anda di masa lalu. Semoga ke depannya, kita tidak bertemu lagi.” Casilda menggenggam uang sisa pembayarannya, hendak bangkit tapi kelamaan di tanah, dan tubuh sudah semakin lemas oleh rasa lelah fisik dan mental, membuatnya jatuh terduduk kembali, terpaksa perempuan ini merangkak ke kursi pantai lain untuk menopang dirinya agar bisa berdiri dengan susah payah. Masih tidak melihat Arkan dan air mata menggenangi kelopak matanya, Casilda pun pamit dan berterima kasih sekali lagi: “Maaf. Kamu pasti sangat membenciku. Terima kasih atas uang 5 jutanya.” Dengan tertatih, Casilda berjalan hendak keluar tenda itu, air matanya mengalir deras. Dia bodoh jika tidak mengambil uang 5 juta hasil dari siksaan neraka yang sudah dilaluinya. Jadi, uang itu pun dihargainya dengan sangat tak ternilai. Arkan masih berdiri dingin, meliriknya tanpa perasaan. “Aku bilang, kalau mau uang, ya, harus bekerja. Tidak bilang kamu tidak bisa mendapat uang 500 juta itu.” Punggung Casilda menegang, lalu tawa lemas keluar dari bibirnya, berbalik dengan wajah sedih yang sembab: “Untuk apa kamu mengatakan itu? Apa ini permainan barumu lagi? Apa kamu masih belum bisa melepasku karena perbuatan masa laluku itu?” “Sabtu malam besok, di mansionku, pukul 7 tepat. Datang ke sana dengan membawa 10 kotak ayam krispi bersamamu.” Casilda mengedipkan matanya dengan cepat, seolah baru saja salah dengar. “A-apa?” “Aku tidak akan mengulanginya. Datang ke sana, baru tahu apa tugasmu.” Arkan segera meraih tas miliknya di bawah kursi pantai, berjalan elegan dan dinginnya melewati Casilda, meninggalkan perempuan berkacamata tebal itu membeku hebat di kedua kakinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD