"Arkan?" bisiknya pelan dan lembut, sedikit ragu apakah benar pria yang ada di kasur empuk itu adalah calon suaminya? Pakaian yang dikenakannya terlihat sangat murahan, khas jaket yang sering dilihatnya digunakan oleh para kru di sekitarnya. Tapi, celana yang dikenakannya jelas sama dengan yang dikenakan oleh sang tunangan kemarin.
Sebagian tubuh pria itu tertutupi oleh selimut dengan asal-asalan, hanya menampilkan sebelah kakinya saja. Sepatunya pun belum sempat dibuka. Jadi, Lisa berjalan ke kaki ranjang dan membukannya pelan-pelan.
"Ada apa dengannya kemarin? Dia ini benar-benar bikin malu saja! Untung Abian memberitahuku lebih dulu," keluhnya dengan ekspresi menahan amarah, sepatu yang dibukanya menjadi pelampiasannya dengan dilempar begitu saja ke lantai.
Bagaimana tidak marah?
Mereka pergi berdua, tapi tunangannya tiba-tiba menghilang dari ruangan?
Ingin bertanya kepada para kru, tapi dia malu jika mereka tahu Arkan pergi tanpa memberitahunya sama sekali, padahal mereka adalah pasangan kekasih yang sangat dipuja-puji dari Sabang sampai Merauke. Simbol akan perubahan akan pencarian cinta sejati dan saling percaya. Tapi, kabur diam-diam dari wartawan dan pergi berbelanja gilan-gilaan tanpa mengajak dirinya?
Semua orang pasti akan berpikir ada yang aneh.
Itu sama saja mengatakan kalau Arkan tak puas dengan dirinya!
"Untung saja aku sangat mencintainya!" ujarnya mencebik, kedua tangannya berada di pinggang, menatap sayang dan lega pada sosok di atas kasur itu.
Lisa tahu peringai Arkan.
Tentu saja dirinya tak bisa langsung mengendalikan binatang buas sepertinya.
Dalam sejarah masa lalunya, ada banyak wanita yang sudah menghangatkan ranjang pria itu. Jadi, kalau ingin berada di sisinya dan membuatnya hanya menatap padanya, dirinya harus benar-benar sabar dan pelan-pelan meluluhkan hati sang aktor.
Mereka bertunangan saja sudah sangat luar biasa, apalagi aksi liarnya sudah sedikit berkurang semenjak mereka bersama.
Berdasarkan perkataan wartawan kemarin, hatinya sebenarnya lemah.
Mau benar atau tidak, dirinya tak punya pilihan selain hanya bisa memberinya kepercayaannya semata. Lisa juga tak mau repot-repot menyewa detektif yang hanya akan membuat marah pria itu jika sampai tahu rasa tidak amannya terhadap hubungan mereka mengusik kehidupan pribadinya dan bersikap melewati batas.
Arkan mungkin saja akan langsung menjadi jijik, karena sudah menjadi begitu paranoid.
Suatu hari nanti, Lisa yakin, setelah menikah dan melihat ketulusan dan pengorbanannya, pria Cassanova itu pasti akan takluk di kakinya. Dia cantik. Tak ada yang melebihi dirinya. Juga kaya dan memiliki pengaruh besar. Apa kurangnya di mata Arkan?
Semua pria di negeri ini, bahkan di luar negeri juga sangat memujanya.
Sudah seharusnya tunangannya itu berbenah diri, bukan? Menjaga diri dan mulai belajar untuk hanya melihatnya seorang, bukannya malah bermain-main dengan wanita tidak jelas di luar sana hanya untuk kehangatan satu malam yang tidak ada maknanya sama sekali.
Lisa duduk di tepi ranjang, mengguncang pelan tubuhnya untuk membangunkan pria itu, "Arkan? Sudah pagi. Ayo bangun! Kita sarapan dulu. Hari ini bukankah kita akan pergi untuk menemui ayahku?"
Pria itu sama sekali tak memberikan respon apa-apa.
Lisa menghela napas kasar.
"Kamu sudah berbuat seenaknya lagi. Setidaknya berikan aku penjelasan setelah itu. Bukannya malah membuatku seperti orang bodoh dan asing," suaranya berubah sedih, lebih diucapkan untuk dirinya sendiri ketimbang untuk pria itu.
Lisa kemudian tersenyum jahil, melepas sepatunya, dan merangkak naik ke atas kasur. Tangannya menghalau bantal di atas kepala Arkan hingga menampilkan wajah tampan berantakan pujaan hatinya itu. Detik berikutnya, Lisa membaringkan tubuhnya di sisi Arkan, memeluk punggungnya lembut dengan senyum di wajah cantiknya.
Di saat tidur serampangan saja, Arkan begitu indah bagaikan karya seni yang membuat orang terdiam membisu oleh pesonanya.
Tangan kiri Lisa merapikan sedikit anak-anak rambut yang menghiasi wajah sang aktor, lega karena kepergiannya yang tiba-tiba sepertinya bukan karena urusan ranjang. Pakaiannya saja terlalu sederhana dan terlihat jelas belum membersihkan diri sama sekali.
Pria yang dipeluknya ini memang adalah seorang pemain-wanita yang sangat terkenal, tapi mereka berdua belum pernah melakukannya walau sekali saja. Ciuman pun belum pernah. Jika Arkan belum menunjukkan ketertarikan fisik yang lebih padanya, dia tak mau mendahuluinya.
Kelasnya tentu saja berbeda dengan wanita yang dikencaninya sebagai pelampiasan semata.
Kalau hanya sekedar memeluknya saja tidak apa-apa, kan? Dirinya tidak murahan, kan?
Lisa ingin dirinya menjadi wanita paling istimewa di hati pria itu, mengikatnya dengan kemurnian miliknya.
Bahkan seorang pemain-wanita pun, masih lebih suka seorang perawan untuk dijadikan istri daripada yang sudah bukan perawan. Lisa juga tak ingin setelah kencan semalam, Arkan tiba-tiba jadi kehilangan minat dan bosan padanya, lalu memutuskan pertunangan mereka secara sepihak.
Tidak! Itu adalah mimpi buruk!
Untungnya sebelum mereka akan menikah, keduanya sudah menyetujui untuk membuat surat perjanjian, dan itu akan digunakan olehnya nanti sebagai salah satu senjata pamungkasnya menaklukkan Sang aktor.
Sejujurnya, sewaktu kemarin dia menolaknya, ada rasa takut yang menjalar di hatinya.
Biasanya Arkan tidak seperti itu.
Meski pria itu hampir selalu bersikap pasif menerima pelukannya, tapi dia tak pernah menolaknya.
"Kamu adalah milikku, Arkan. Mereka boleh saja tidur denganmu, tapi tak boleh memiliki hatimu. Jangan buat aku menjadi iblis demi mempertahankanmu, sayangku. Aku akan sabar menunggumu..." bisiknya pelan dan merdu di belakang kepala Arkan yang masih terlelap dalam tidurnya.
***
Tubuh Casilda gemetar di kursi kayu yang didudukinya.
Gemetar antara kelelahan hebat dan karena ketakutan aneh menyalip di hatinya.
Sore hari setelah selesai bekerja dengan memaksakan diri dengan tubuh remuknya, Bu Hamidah memberinya secarik kertas berisi nomor telepon Arkan.
Kedai hanya berisi 2 pengunjung setelah jam-jam sibuk lewat, jadi keduanya sibuk berbincang kecil di dekat pintu dapur sembari beristirahat.
Kemarin, saat mengantarnya ke kedai, pria itu berpesan kepada bosnya jika ingin p********n tambahannya dilunasi, maka dia harus menghubunginya sendiri.
"Casilda, sepertinya kamu sedikit akrab, ya, dengan aktor tampan itu? Apa kamu bisa membujuknya untuk jadi model iklan kita? Aku yakin, omset kita pasti naik di semua gerai yang ada! Bagaimana? Ideku hebat, kan?" tanya Bu Hamidah dengan berbisik, memajukan tubuhnya dengan wajah penuh harap.
Ekspresi Casilda memucat kelam, rohnya seolah ditarik keluar. Semangatnya hilang entah kemana, atau mungkin sudah mati?
Pesanan mereka kemarin sudah dibayar langsung oleh Arkan sendiri, termasuk biaya menjadi tenaga tambahan di panti. Namun, untuk biaya menjadi asisten budaknya yang disiksa tanpa ampun, pria kejam itu malah menundanya?
Apakah sengaja?
Alasannya karena limit penarikannya terbatas, dan tidak sempat ke Bank?
Bukankah dia orang kaya? Masa limit kartunya sedikit? Tidak masuk akal!
Ah! Apa karena kemarin dia juga membayar tunai belanjaannya yang harganya selangit itu, makanya uangnya tidak cukup untuk membayar jasanya?
Kenapa dirinya harus dikorbankan, coba?
Alis Casilda seketika berkedut kesal, selain menunda pembayarannya, 2 hari lagi, dia harus mengantarkan sendiri pesanan baru ke lokasi syuting pria itu.
Sialan!
Rupanya, perkataannya kemarin sewaktu di taksi saat dia sesak napas bukan hanya sekedar candaan di matanya!
"Cas? Casilda?" tegur sang bos, memainkan tangan di depan wajah pegawainya yang menatap kertas itu dengan mode bengong.
"Bos, soal pesanan 2 hari ke depan, apa bisa Ryan saja yang mengantarnya?" suara Casilda mencicit ragu. Ekspresinya antara rela dan tak rela.
"Apa maksudmu?" ujarnya dengan nada iseng dibuat-buat, melipat tangan di dadanya dengan tampang penuh tanda tanya. "Tuan Arkan memesan 200 kotak kali ini. 200 KOTAK! Dan dia ingin kamu sendiri yang mengantarkannya."
Sudut bibir Casilda berkedut aneh. 200 kotak?
Apa tidak salah? Dia mau apa dengan ayam sebanyak itu? Apa dia maniak ayam krispi?
"Bu Hamidah serius sedikit, dong. Masa dia kasih perintah seperti itu? Ada Ryan, kan, yang bisa bawa semuanya? Dia pasti suka ke lokasi syuting di sana. Kinerjanya juga bagus, kan? Sama sekali tidak seburuk yang bos kira?"
Bu Hamidah terlihat tidak senang, wajahnya tertekuk sebal.
"Kamu tidak mau uang? Sudah tidak suka lagi?"
Keringat dingin membanjiri punggung Casilda. Dirinya harus mengumpulkan uang demi biaya operasi adiknya. Tentu saja dia suka uang, tapi... bagaimana, ya?
Hatinya menjadi penuh keraguan jika berkaitan dengan Arkan.
Dia rela berguling di lumpur sembari menyalak seperti anjing demi uang, itu lebih baik daripada harus berhadapan dengan iblis seperti Arkan. Amit-amit ketemu pria itu terus-terusan, macam kutukan berjalan saja!
"Tuan Arkan itu adalah pembeli potensial kita! Semakin dia sering membeli di tempat kita, semakin bagus, bukan? Semua orang akan melirik apa yang dimakan dan dipesan oleh pria tampan itu. Apalagi jika benar-benar bisa menjadi.... ehem... model iklan kita. Poster depan kedai ini, ehem..." kepalan tangannya menutupi mulutnya yang berdeham dibuat-buat, satu tangan berada di dalam saku celemek yang dipakainya. Terlihat bersikap sedikit canggung dan memberikan kode lirikan mata agar memahami apa maksudnya. "Lagi pula, aktor tampan itu sepertinya suka dengan ayam krispi di sini. Kalau tidak suka, tidak akan pesan, kan?"
Sayang, otak Casilda sibuk mengkerut. Pikirannya tiba-tiba kosong.
Pria itu mungkin bukannya suka pada ayam krispi mereka, tapi menggunakannya sebagai alasan untuk bisa mengikatnya dan menyiksanya terus-menerus selama belum merasa puas membuat hidupnya sengsara hingga akhir.
Jika benar begitu, bagaimana nasibnya?
Tubuh Casilda yang remuk redam, sudah bekerja seharian melayani pembeli di batas tertinggi, meski Ryan yang menggantikannya dengan paksa untuk melakukan pengantaran di luar, tetap saja pengunjung kedai itu ramai bukan main hingga membuatnya kewalahan. Sekarang saja, dia hanya bisa duduk di kursi dengan kedua kaki yang belum berhenti gemetar.
Kalau setiap hari disiksa seperti ini oleh pria penuh dendam itu, bisa-bisa dia sama saja menggali kuburannya sendiri! Apa itu tujuannya? Membunuhnya secara perlahan dengan cara halus agar terhindar dari endusan polisi?
Kejam sekali pria itu! Benar-benar jahannam!
"Sudah! Jangan pikir macam-macam. Memang apa alasanmu menolak menuruti permintaan aktor itu? Pesanan itu akan diantar 2 hari lagi, kalau kamu capek, kamu masih bisa istirahat, bukan? Atau... apa karena kamu takut dia adalah seorang pemain-wanita? Jangan cemas, kamu itu bukan tipenya. Hahaha! Tunangannya sangat cantik dan kaya. Dia tidak akan melirik tipe sepertimu. Dasar kegeeran! EH?!"
Bu Hamidah spontan menutup mulutnya, melotot kaget, sadar sudah keceplosan di hadapan Casilda.