"Ya urusannya Mas Nurhan sama Pak Susilo itu kan cuma kerjaan, Mbak. Buat apa juga Mas Nurhan cerita soal keluarganya," kata Betari menyahuti keluhan Gumilar.
"Iya juga, ya," sahut Gumilar sambil tertawa kecil menutupi keresahan hatinya, mungkin memang seperti yang Betari bilang kalau dirinya yang terlalu over thinking tapi wanita itu benar benar memiliki perasaan tidak nyaman di hatinya. Dia yakin kalau suaminya menyembunyikan sesuatu.
Gumilar tahu orang luar pasti tidak akan merasakannya karena memang semua terlihat seperti biasa, semuanya baik baik gumilar sendiri juga tidak tahu mengapa perasaan perasaan aneh itu terus menyiksa hatinya.
"Ya udah, pulang, yuk. Galuh jadi mau ikut budhe?" tanya Gumilar pada bocah yang sedang sibuk memasak es krim cone nya.
"Iya," jawab Galuh sambil menggandeng tangan Gumilar seolah takut di tinggalkan, Gumilar dan Betari tersenyum melihat tingkah bocah itu.
"Minta ijin dulu sama Ibu dong," kata Gumilar pada bocah bersenyum manis itu.
"Boleh ya, Bu?" tanya Galuh sambil menatap Betari dengan penuh harap.
"Iya, boleh," jawab Betari lembut membuat Galuh melonjak kegirangan, "kamu ikut budhe Gum dulu ke rumah Mbah Uti nanti setelah Ibu taruh belanjaan di rumah ibu nyusul kalian ya."
"Oke, Ibu," Jawab Galuh sambil mengacungkan jempol tangan kirinya yang semula menggandeng tangan Gumilar.
"Sampe ketemu di rumah ibu ya, Tar," kata Gumilar Betari mengangguk sambil tersenyum, mereka lalu pergi mengendarai sepeda motor masing masing.
***
"Kenapa, Nduk? kayaknya ada yang mengganggu pikiran kamu," tanya wanita anggun dengan lembut, dari wanita itulah Gumilar mewarisi sifat lemah lembutnya. Gumilar tersenyum, itu lah yang membuatnya tidak mau bertemu sang ibu jika sedang ada beban pikiran karena tanpa Gumilar katakan sekali pun ibunya pasti bisa merasakannya.
"Masalahnya sih udah selesai, Buk, emang masih keliatan kalau aku kepikiran?" tanya Gumilar, sejak tadi wanita itu duduk di teras sambil mengawasi Galuh dan keponakan Gumilar yang lain bermain, kedua Kakak laki laki Gumilar sudah menikah dan masing masing memiliki dua orang anak. rumah mereka tidak seberapa jauh dari rumah ibu mereka hingga cucu cucu Bu Wati selalu bermain di rumah Mbah mereka.
"Ada masalah apa? sama suami kamu atau masalah kerjaan?" tanya Bu Wati penasaran, wanita itu lalu duduk di sebelah sang putri.
Bu Wati dengan seksama mendengarkan cerita sang putri mengenai kejadian ban bocor dan dia yang mencari sang suami di jalan Belimbing.
"Ealah, ibu kira ada masalah besar apa, itu cuma masalah kecil. Kesalahan pahaman, kalian juga udah baikan toh, jadi enggak usah kamu pikirkan, bikin stress aja," sahut Bu Wati ringan, Gumilar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum mengerti.
Bu Wati masih menatap putri bungsunya itu lalu mengelus lengannya dengan lembut, "Nduk, laki laki itu egonya tinggi, harga dirinya juga, mereka tuh enggak suka di curigai. Makanya Nurhan kesel, tapi ibu juga bisa ngerti perasaan kamu. Ibu tau posisi kamu, ibu tau ketakutan kamu. Nurhan itu terlalu baik, tapi juga terlalu lemah kamu harus ekstra jagain dia."
"Maksudnya terlalu lemah?" tanya Gumilar tidak mengerti, wanita ity menatap sang ibu yang tampaknya tidak tega memberi sang putri jawaban.
"Walaupun Nurhan bisa menerima kamu apa adanya dan dia tetap mencintai kamu sepenuh jiwa tapi rasa itu pasti ada, Nduk. Rasa ingin memiliki seorang anak dan itulah yang bisa membuat Nurhan lemah," kata Bu Wati dengan hati hati walaupun ia tahu apa yang dia katakan tetap akan membuat Gumilar sakit hati, walaupun Gumilar merasa itu sudah biasa.
"Kalau begitu aku yang lemah, bukan Mas Nurhan!" jawab Gumilar cepat.
"Enggak, kamu wanita yang kuat, kamu hebat," jawab Bu Wati sambil mengelus kepala sang putri, "karena sekali pun kamu enggak pernah menyalahkan keadaan, kamu selalu menerima takdir dengan lapang dada."
"Terus menurut ibu aku harus bagaimana?" tanya Gumilar meminta saran sang ibu, Bu Wati malah tertawa kecil.
"Ya saran apa, wong enggak terjadi apa apa, kamu harus yakin itu, tapi tetap waspada. Jadilah istri yang baik selama suamimu baik, tapi tetap awasi dia karena kalau pun suamimu bisa di percaya belum tentu orang yang ada di sekitarnya juga bisa di percaya," kata Bu Wati, Gumilar mengangguk paham sambil tersenyum manis.
Ting ... ting ....
Bunyi nyaring dari bel sepeda yang Betari naiki menarik perhatian Gumilar dan Bu Wati juga anak anak yang sedang bermain boneka di teras.
"Ibu ...." sapa Galuh dengan gembira melihat sang ibu datang.
"Hay, main apa, Sayang?" tanya Betari sambil menyandarkan sepedanya di pohon jambu air yang ada di halaman rumah Bu Wati, sepeda motor Gumilar juga ada di sana.
"Main boneka," jawab Galuh yang langsung asik bermain lagi Betari lalu berjalan menghampiri Gumilar dan Bu Wati di sisi teras yang lain, wanita itu duduk di sebelah Gumilar di kursi panjang yang terbuat dari bambu.
"Kamu kok naik sepeda?" tanya Gumilar pada sahabatnya, Bu Wati hanya diam mendengarkan.
"Iya, motor ibu di bawa ke pengajian. Susah juga ternyata enggak punya motor," jawab Betari sambil tertawa kecil.
"Ibukmu juga kalau mau ke mana mana susah pas motornya kamu bawa kerja, Nduk," timpal Bu Wati karena kerap kali Bu Siti ke rumahnya untuk meminjam sepeda motornya kalau ada keperluan.
"Tar, kenapa kamu enggak beli motor aja?" tanya Gumilar, Betari tersenyum kecut.
"Aku mana ada uang, Mbak, kamu tau kan gaji guru berapa buat biaya hidup aku sama Galuh aja pas, ada sih aku sisihin dikit demi dikit tapi itu tabungan untuk Galuh," jawab Betari yang terlihat bingung.
"Gimana kalau kamu pake uang Mbak dulu, kamu bisa bayar nyicil kalau kamu gajian dari pada kamu ambil kredit di dealer, riba," kata Gumilar memberi ide, Bu Wati hanya diam mendengarkan tanpa komentar karena dia tahu sang putri memang sebaik itu.
"Duh, makasih Mbak, tapi aku udah banyak banget ngerepotin Mbak Gum. lagi pula uang Mbak Gum kan semuanya dari Mas Nurhan, aku enggak enak. Aku tau niat Mbak baik tapi aku enggak mau ngerepotin Mbak Gum lebih banyak lagi," kata Betari tidak enak hati, wanita itu tidak ingin merepotkan hingga berusaha menolak bantuan Gumilar dengan begitu halus.
"Ngerepotin apa sih, Tar, aku tuh enggak pernah ngerasa di repotin loh sama kamu, ini buat Galuh juga biar dia enggak di antar jemput ke sekolah atau ngaji pake sepeda terus," kata Gumilar juga dengan lembut meski yang dia ucapkan sebuah paksaan, Betari menatap Bu Wati dengan ekspresi sungkan walau Bu Wati kemudian tersenyum manis tanda tidak keberatan.
"Oh kalau kamu enggak enak, nanti aku kasih tau Mas Nurhan dulu ya. Aku ijin dulu sama Nas Nurhan walau pun aku yakin seratus persen Mas Nurhan pasti ngijinin, lagi pula aku tuh ngasih pinjem loh bukan ngasih cuma cuma kamu enggak perlu sungkan begitu," kata Gumilar, Betari tersenyum bingung.
"Yo wes kamu pikir pikir aja dulu, Nduk. Tapi kalau kata Budhe sih kamu terima aja tawaran Mbakyu kamu daripada kamu utangnya ke dealer," kata Bu Wati menengahi.
"Iya Budhe, Mbak, aku pikir pikir dulu ya," jawab Betari membuat Gumilar dan Bu Wati tersenyum.
"Besok berangkat jam berapa kamu?" tanya Gumilar pada wanita yang duduk di sebelahnya.
"Pagi banget, mungkin abis subuh karena kan biar jam tujuh udah sampe sana," jawab Betari, Gumilar mengangguk paham karena dulu dia juga berprofesi sama dengan Betari. Mereka bahkan kuliah dan ngekost di tempat yang sama untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan mereka.
"Kamu mau ke mana, Nduk?" tanya Bu Wati penasaran.
"Ke Bandaran Budhe ikut studi banding, kan perjalanan ke sana sekitar dua jam lebih," jawab Betari.
"Oh iya, itu anaknya si Tri Rt sebelah juga mau ke sana katanya," kata Bu Wati, Betari sedikit kaget lalu berusaha tersenyum manis.
***
Gumilar sudah memasak untuk makan malam, wanita itu bahkan belum makan karena menunggu sang suami padahal sekarang sudah jam sembilan malam.
Wanita itu masih menatap chat roomnya dengan sang suami membaca ulang pesan yang laki laki itu kirimkan untuk menjawab pertanyaannya kapan sampai di rumah.
[Sebentar lagi, sayang, masih di jalan]
Entah di jalan mana tapi sampai lebih dari setengah jam berlalu Nurhan belum juga sampai di rumah, Gumilar tahu Nurhan bekerja keras mengurus segala bisnis dan usahanya hingga seperti ini. Wanita itu juga merasa mereka karena sudah berpikir buruk tentang suaminya itu tapi perasaan aneh itu selalu datang tanpa bisa dia kendalikan.
Gumilar akhirnya bisa tersenyum saat mendengar suara mobil sang suami, wanita itu menaruh ponselnya di atas meja lalu mengambil teh yang sudah dia siapkan dari tadi di ruang makan agar sang suami bisa langsung minum.
Namun, setelah kembali dari ruang makan pun sang suami belum juga masuk ke rumah. wanita itu menaruh teh di atas meja lalu keluar, ternyata sang suami sedang berbincang dengan Bu Sari. Sepertinya ibu dan anak itu sedang membicarakan sebuah hal yang serius, Nurhan tersenyum tipis melihat kedatangan sang istri yang lalu mencium punggung tangannya.
"Sayang, Mas pengen mandi pake air anget, kamu bisa tolong rebusin Mas air?" tanya Nurhan pada sang istri, Bu Sari tersenyum pada menantunya itu.
"Iya, Mas, aku siapkan airnya dulu," jawab Gumilar patuh.
"Aku masuk dulu, Buk," kata Gumilar pada sang ibu mertua dengan sopan.
"Iya, Nduk," jawab Bu Sari, Gumilar akhirnya kembali memasuki rumah dan kedua orang itu kembali berbincang bincang.
"Kok kayak ada yang aneh, ya?"