"Budhe, cerai itu apa?" tanya Galuh dengan polosnya, Gumilar yang sedang memangkunya dan Nurhan yang sedang mengendarai mobilnya saling pandang dalam diam.
"Galuh, dari siapa kamu denger kata itu?" tanya Gumilar pelan agar Galuh tidak merasa kata itu adalah suatu hal yang buruk.
"Kata budhe Sri, aku enggak sengaja denger Budhe Sri ngobrol sama Eyang putri, katanya Ibu sama ayah cerai," jawab Galuh menceritakan apa yang dia dengar dari kakak Betari itu.
"Cerai itu maksudnya, ayah dan ibu Galuh udah enggak bisa tinggal satu rumah lagi, udah enggak bisa bobok satu kamar lagi," jawab Gumilar yang sebenarnya agak bingung memberi bocah itu penjelasan, "jadi, Ibu tinggal di rumah eyang putri dan Ayah enggak ikut, ayah tetap tinggal di rumah ayah."
"Terus aku enggak punya ayah lagi? kata teman aku di sekolah dia enggak punya Papa karena Mama sama Papanya cerai," tanya Galuh lagi membuat Gumilar semakin bingung menjawab pertanyaan bocah itu.
"Punya dong, Sayang, kan walaupun udah enggak tinggal sama sama lagi tapi ayah Dana tetap ayah kamu. Kalian masih bisa ketemu, Ayah kamu juga masih bisa ngajak kamu jalan jalan atau nginep di rumah ayah kamu. Enggak akan ada yang berubah, kecuali ibu sama ayah kamu yang enggak bisa tinggal sama sama lagi. Galuh tetap punya orang tua yang utuh, ibu dan ayah," jawab Gumilar memberi Galuh pengertian. Nurhan hanya mendengarkan dengan perasaan trenyuh melihat kepolosan Galuh yang sudah menjadi korban permalasahan kedua orang tuanya.
"Tapi kata temen aku dia enggak punya Papa gara gara cerai," kata Galuh yang masih tidak mengerti.
"Mungkin Papa temen kamu itu tinggalnya jauh, dan mereka enggak pernah ketemu makanya dia bilang enggak punya Papa. Tapi kalau Galuh kan rumah ayahnya deket dan kalian bisa ketemu kapan aja, jadi Galuh tetep punya ayah, dong," kata Nurhan membantu sang istri memberi Galuh penjelasan, bocah itu mengangguk meski mereka tahu dia tidak begitu memahami. Usianya masih terlalu kecil untuk mengerti soal ini.
"Lagi pula, Galuh kan juga punya Budhe dan Pakde, kami kan juga sayang sama Galuh seperti orang tua Galuh," kata Gumilar sambil memeluk gadis kecil itu dengan erat dan mencium pipinya.
"Oh iya, jadi aku punya dua ibu," kata Galuh sambil tertawa kecil lalu mencium pipi Gumilar.
"Pakde, kalau aku enggak punya Ayah karena ibu sama ayah cerai, Pakde mau kan jadi ayah aku?" tanya Galuh, kedua mata jernih gadis itu menatap laki laki yang sedang menyetir itu dengan penuh harap. Nurhan dan sang istri saling pandang sambil menahan tawa mendengar permintaan polos gadis kecil itu.
"Iya, Sayang," jawab Nurhan ringan, laki laki itu tidak ingin membuat gadis kecil itu merasa kecewa. Nurhan dan Gumilar hanya ingin menghibur hati Galuh di hari ini, hari di mana ayah dan ibu gadis kecil itu resmi berpisah.
Setelah proses beberapa bulan, akhirnya hari yang telah di jadwalkan tiba. Hari sidang terakhir yaitu sidang putusan pengadilan Agama untuk putusnya ikatan pernikahan Betari dan Dana. Betari memang meminta Gumilar dan Nurhan membawa Galuh bersama mereka karena kedua orang tua Betari mendampinginya di pengadilan agama.
"Asik kita sampai," kata Galuh saat mereka telah sampai di sebuah pusat perbelanjaan, mereka akan mengajak Galuh bermain di zona bermain yang ada di sana.
Gadis kecil itu melangkah riang dengan tangan kanan dan kirinya yang di gandeng Gumilar dan Nurhan, mereka langsung menuju tempat permainan yang ada di lantai tiga.
Nurhan begitu memanjakan Galuh, menuruti semua yang bocah itu inginkan mendampinginya di setiap wahana yang ingin Galuh mainkan dan layaknya seorang wanita, Gumilar sibuk mengabaikan setiap momen dengan ponselnya.
"Yah, baterainya habis," gumam Gumilar karena tidak sadar keasikannya merekam video membuat ponselnya mati, sudah beberapa kali peringatan dia abaikan karena tidak ingin kehilangan momen berharga keceriaan Galuh.
"Bu Gumilar?" sapa seorang wanita yang terlihat lebih dewasa darinya.
"Bu Retnowati, ya ampun, Bu, udah lama banget kita enggak ketemu ya," kata Gumilar dengan senyum sempringahnya bertemu dengan mantan rekan kerjanya dulu.
"Iya, sebelum Bu Gumilar menikah dan saya pindah ke luar kota," jawab wanita itu setelah sesaat mereka berpelukan.
"Bu Retno kapan pulang, mau ngajar di sini lagi?" tanya Gumilar penasaran.
"Enggak saya cuma pulang karena ada urusan aja, saya juga enggak lama. Itu suami dan anak kamu? seneng banget ya punya anak perempuan, anak saya tiga laki laki semua," kata wanita itu, Gumilar hanya tersenyum tidak ingin panjang lebar menjelaskan.
"Dulu waktu baru nikah suami saya bilang bahagia sekali hidup sama saya, terus setelah punya anak ternyata dia jauh lebih bahagia. Saya tau suami saya pasti akan lebih bahagia kalau punya anak perempuan, tapi sayangnya anak kami laki laki semua," cerocos bu Retno yang memang Gumilar kenal sejak dulu suka mengobrol.
"Anak kamu baru satu?" tanya Bu Retno, Gumilar mengangguk pelan.
"Bikin lagi, kamu kan masih muda siapa tau yang kedua cowok," kata Bu Retno sambil tertawa kecil, Gumilar hanya tersenyum pedih mendengarnya.
"Cowok atau cewek sama saja bu, anak kan anugerah yang begitu berharga," kata Gumilar, wanita itu berusaha menahan ekspansinya agar biasa saja tidak terlalu larut dalam kesedihan hatinya.
"Iya, sih, kamu bener, anak itu anugerah dan pilar terkuat dalam rumah tangga," kata Bu Retno sebelum seorang wanita lain menghampiri dan mengajaknya pergi. Senyum sempringah Gumilar berikan pada wanita itu untuk menutupi hatinya yang sudah ingin sekali menangis.
Gumilar menatap Sang suami yang sedang menemani Galuh bermain capit boneka, beberapa kali gagal membuat gadis kecil itu merajuk lalu Nurhan menghibur hatinya sambil tertawa kecil, mungkin geli akan sikap menggemaskan Galuh.
Wanita itu berusaha tersenyum, membuktikan pada dunia juga mungkin membuktikan pada dirinya sendiri. Rumah tangga mereka memang tidak memiliki pilar kuat berupa keturunan seperti yang Bu Retno katakan tadi, tapi dengan sepenuh hati Gumilar yakin kalau rumah tangga memiliki pilar yang begitu kuat yaitu cinta dan kasih sayangnya dan sang suami yang begitu besarnya, juga rasa ikhlas dalam hati sang suami dalam menerima dirinya apa adanya.
sebuah hal yang membuat Gumilar mencintai suami begitu besar tiada tandingannya.
"Sayang," sapa Nurhan pada sang istri yang menatapnya tapi dengan pandangan kosong, wanita itu bahkan tidak menyadari kalau dirinya sudah mendekat.
"eh, iya, Mas," jawaban Gumilar sedikit terkejut, tersadar dari lamunan lalu tersenyum manis pada sang suami.
"Kenapa melamun?" tanya Nurhan dengan lembut seperti biasanya.
"Enggak, siapa yang melamun," kilah Gumilar sambil tersenyum, "Galuh kenapa kok di gendong?"
Gumilar mengelus rambut lembut Galuh yang kini berada di gendongan Nurhan, bibir mungil gadis kecil itu sedikit merengut.
"Galuh kesel karena main capit boneka enggak dapet dapet," kata Nurhan sambil tertawa kecil merasa lucu dengan tingkah bocah itu, "gimana kalau sekarang kita beliin Galuh boneka aja?"
"Beneran Pakde?" kata Galuh penuh semangat, Gumilar tersenyum seperti sang suami yang geli karena tingkah bocah itu.
"Iya, tapi Galuh jangan cemberut lagi, ya," jawab Nurhan.
"Asik ... kalau gitu aku turun aja, aku mau jalan sendiri kan aku udah gede," kata Galuh sambil memerosotkan diri dari gendongan Nurhan. Gumilar dan Nurhan tertawa melihatnya, mereka lalu berjalan mencari toko mainan.
"Sayang, kamu milih milih boneka aja dulu sama Galuh, Mas angkat telepon dari Pak Susilo dulu," kata Nurhan sambil menunjukkan ponselnya pada sang istri, Gumilar menganggukkan kepalanya melihat salah satu rekan kerja sang suami menelepon.
"Ayo, Galuh, kita milih boneka," ajak Gumilar, mereka memasuki toko boneka sementara Nurhan berdiri di luar menjawab telepon dari rekan kerjanya.
Hanya beberapa menit pembicaraan kedua laki laki itu berlangsung, Nurhan berencana menyusul sang istri setelahnya jika saja ponselnya tidak berbunyi lagi.
"Halo, Tar, gimana?" tanya Nurhan begitu mengangkat panggilan dari Betari.
"Mas, aku telepon Mbak Gum kok enggak aktif, ya? Aku mau nanyain Galuh," jawab Betari, Nurhan jadi mengurungkan niatnya memasuki toko mainan.
"Oh, Mas enggak tau mungkin hape Gumilar Lowbatt, kalau Galuh sih happy, dia abis main di zona bermain, seru banget. Walau pun tadi dia sempet ngambek karena main capit boneka tapi enggak dapet dapet," kata Nurhan yang tampak penuh semangat menceritakan tentang Galuh, Betari tertawa kecil mendengarnya, "makanya sekarang Gumilar lagi beliin dia boneka biar enggak ngambek lagi."
"Ya ampun, Mas, aku jadi enggak enak hati sama Mas Nurhan, aku sama Galuh ngerepotin terus," kata Betari, wanita itu memang benar benar merasa sungkan.
"Stop, Tari, stop bilang enggak enak hati, stop bersikap sungkan begitu. Gumilar sayang banget sama Galuh dan Mas juga enggak pernah mempermasalahkan apapun," kata Nurhan serius.
"Iya, Mas, makasih buat semuanya," jawab Betari, Nurhan tersenyum mendengarnya.
"Oh iya, gimana sidangnya?" tanya Nurhan yang baru teringat hal itu.
"Lancar Mas, semuanya udah selesai. Aku tinggal nunggu surat cerai keluar aja," jawab Betari.
"ya udah syukur deh kalau semuanya lancar, kamu mau ngomong sama Gumilar atau Galuh?" tanya Nurhan.
"Enggak usah deh Mas, aku udah di tunggu. Nanti aja aku jemput Galuh di rumah. Makasih ya Mas," pungkas Betari, Nurhan masuk ke toko mainan untuk menemui Gumilar dan Galuh setelah mengantongi ponselnya.
"Sayang, hape kamu mati? tadi Betari nelpon Mas katanya mau nelpon kamu enggak bisa," kata Nurhan pada sang istri, Galuh tampak sedang sibuk memilih boneka.
"Oh iya, hape aku lowbatt, Betari bilang apa?" tanya Gumilar Khawatir ada hal penting yang akan sahabatnya itu sampaikan.
"Enggak ada yang penting sih, cuma mau nanyain Galuh aja," jawab Nurhan, Gumilar hanya membulatkan bibirnya.
"Kita makan abis ini, ya, kamu pasti udah laper jalan dari tadi," kata Nurhan sambil mengelus sayang kepala sang istri.