Bagian 6

6994 Words
Mereka sampai di apartemen lima belas menit kemudian. Setelah Raveen memarkirkan mobil, Diane segera menyambar masuk ke dalam suitenya. Namun, dengan ragu-ragu ia berhenti di depan pintu. Mencoba berpikir dengan akal sehat bahwa sebaiknya Raveen memeriksa keadaan suite untuknya lebih dulu. Tapi ketika Raveen mendekat, semua pemikiran itu buyar seperti ribuan bakteri yang mengambang di udara. Diane tidak mampu membuat dirinya terlihat lebih bodoh lagi, maka ia memutar kenop pintu dengan gerakan cepat dan berharap bahwa suatu hal yang lebih buruk tidak akan terjadi. Diane tersentak ketika dua ekor kucing berhamburan mengitari kakinya yang panjang. Jika Raveen tidak segera menyanggah bahunya, mungkin Diane sudah jatuh kena serangan jantung. “Oh, sial!” Diane merunduk lalu memboyong dua kucing itu dengan dua tangannya. Segera setelah keadaan tebukti aman, Diane melangkah masuk. “Kalian tidak seharusnya keluar dari kandang. Apa kau lapar, Finggo?” Dua detik kemudian Raveen menyusul Diane di belakang. Pria itu memperhatikan Diane bicara dengan dua makhluk berbulu lebat. Kemudian Raveen menyerahkan seluruh perhatiannya ke sekitar suite. Tatapannya mencari-cari ke berbagai sudut. Seperti anjing pelacak yang suka mengendus-endus, pria itu berjalan dari satu sisi ke sudut ruangan. Tanpa mengacuhkan tindakan Raveen, Diane meletakkan dua dua sahabat sejawatnya ke dalam kungkungan. Ia bernjak ke dalam konter lalu kembali dengan semangkuk makanan kucing. Satu dari kucing berbulu lebat yang berwarna kelabu itu mengeong. Nampak tidak sabar dengan sarapannya yang sedikit terlambat. Diane menyukai kucing jantan dengan warna mata hijau itu. Tapi jika disetarakan dengannya, Minnio si kucing betina berbulu putih memiliki warna mata yang hampir serupa dengan Diane. Biru pekat. Selain Jules dan Regan, bisa dibilang dua peliharaannya ini adalah mahkluk kecil yang paling dekat dengan Diane. Usianya dengan dua kucing itu hanya terpaut lima belas tuhun. Jadi Finggo dan Minnio bukan anak kucing kecil seperti yang dulu lagi. Dua kucingnya sudah cukup tua. “Disini tidak ada apapun,” suara Raveen menjadi satu-satunya latar di dalam suite yang senyap itu. “Tidak ada yang kelihatan mencurigakan. Siapapun yang mengirim surat itu padamu telah berhasil menyembunyikan jejaknya dengan sangat baik.” “Mungkin ada sidik jari di kenop pintu,” Raveen beranjak mendekat ke ambang pintu. Ia memperhatikan kenopnya lamat-lamat sebelum menjawab, “Kemungkinan itu selalu ada. Tapi aku tidak begitu yakin. Kalau dia bisa menutupi jejaknya dengan sebaik ini, dia pasti orang yang cukup memperhatikan detail dan berhati-hati. Akan kupastikan Trent memeriksa sidik jari di kenop pintu ini. Sementara itu, kau tidak boleh menyentuh kenopnya lebih dulu.” Anggukan lemah yang dipilih Diane sebagai respon. “Apa aku perlu menghubungi Sam?” Mendengar nama kakaknya disebutkan seperti mendengar berita bencana yang memporak-porandakan seisi dunia. Diane lekas beranjak menjauh dari kungkungan kucingnya sekaligus mendekat untuk mempertegas bantahannya. “Jangan! Sam tidak perlu tahu. Astaga, dia hanya akan membuat aku gila.” Ketika Raveen menjawabnya dengan tatapan dingin yang menyelidik, seisi perut Diane serasa habis dikocok. “Baiklah, untuk sementara ini aku akan menurutimu, Miss Hampton. Tapi aku tidak bisa jamin untuk yang selanjutnya. Kami akan meminta dan menerima keterangan dari siapapun, bahkan termasuk Sam. Tak satupun dari kita tahu siapa dan apa motif teror ini, jadi bekerja samalah.” Seharusnya Diane tidak mempedulikan Raveen. Tapi kehendaknya bicara lain. Ia membutuhkan bantuan Raveen untuk segera menyingkirkan orang gila sialan yang suka meneror itu. Kalau Diane mau bekerja sama, maka kasusnya akan semakin terbuka lalu pelan-pelan terungkap. Satu-satunya yang ia inginkan saat ini hanyalah penyelidikan dapat selesai dengan cepat. Setelah itu, Diane akan melanjutkan kehidupannya, tanpa ganguan, tanpa seorang pengawal, tanpa Raveen. Entah bagaimana ia bulu kuduknya meremang hanya dengan membayangkan kehidupan yang nyaman seperti itu. Selama ini Diane memiliki segalanya. Memiliki kehidupannya yang nyaman tanpa ganguan. Dan sekarang ia harus melakukan banyak cara untuk mendapatkan kembali hidupnya yang dulu. Sekarang, semua teror ini terasa seperti seriphan keramik yang yang bertaburan di jalurnya. Sekali saja Diane mengambil langkah yang salah, maka ia akan terluka. Jadi, pilihan yang paling bijak adalah bekerja sama. Meski Diane meragukan bahwa dirinya bisa bekerja sama, tidak ada yang salah dengan mencoba. “Aku mengerti.” “Bagus. Bisa kau tunjukan padaku dimana kau menemukan surat terakhir ini?” Diane memberi anggukan singkat sebelum berjalan mengitari ruangan untuk masuk ke dalam ruang paling pribadi miliknya yang seharusnya tidak pantas dimasuki oleh seorang laki-laki. Tapi semua kasus ini telah menyeret sejumlah polisi untuk masuk ke dalam kamar tidurnya dan menjadikan tempat itu sebagai TKP. Diane membenci hal ini, tapi ia harus melakukannya. Begitu mereka sampai di dalam ruangan kecil yang hanya dipadati oleh ranjang empuk beralaskan beludru berwarna merah pekat, serta beberapa almari dan sebuah sofa ringan, Diane segera mengunjukkan tempat dimana penyusup itu meletakkan surat teror. Raveen bergeming di sudut ruangan untuk memperhatikan pengakuan Diane secara detail. Sesekali ia mengitari ruangan untuk mencari barang bukti, namun hasilnya sia-sia. “Tempat ini harus diperiksa.” “Yah, silahkan. Geledah saja kamarku sampai kalian menemukan sesuatu.” Tiga buku yang berserakan di bawah rak penyimpanan telah menyita perhatian Diane. Ia bergegas merunduk untuk meraih tiga buku bertema hukum itu kemudian meletakkannya kembali di atas rak. Tiba-tiba Diane teringat catatan penting yang terakhir ia bawa dalam seminar. Catatan itu berada dalam satu map biru berukuran kecil. Diane memutar kembali ingatannya, namun ia tidak bisa memikirkan hal lain selain acara seminar. Ia ingat betul kapan terakhir kali ia melihat map itu. Jika tidak salah, map tersebut ia letakkan di atas meja penerima tamu ketika Diane merogoh ponsel yang berdering di dalam tas. Kemudian ia pergi keluar untuk menerima panggilan dari Sam dan melupakan mapnya begitu saja. Untuk memastikan dugaan itu, Diane menggeledah seisi rak buku. Kemudian ia beralih pada tas yang dikenakannya malam ketika seminar. Map yang dimaksud tak kunjung ditemukan. “Oh, sial.” “Ada apa?” “Aku meninggalkan mapku di gedung seminar yang kuhadiri dua malam lalu.” Merasa tertarik, Raveen berbalik untuk menatap Diane secara langsung. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku jaket. “Apa isinya?” “Sebenarnya,, hanya beberapa catatan kecil tentang kerangka skripsi yang akan aku buat.” “Kau bilang kau menemukan surat kedua itu saat kau menghadiri seminar, kan?” Diane mengangguk. “Biar ku antar kau kesana.” “Tapi, itu sudah lama sekali. Sekitar dua hari yang lalu. Mungkin mapnya sudah benar-benar hilang.” “Kalau begitu kenapa tidak kita buktikan saja? Masih ada waktu dua jam sebelum kau datang ke kantor penyelidikan untuk memberi keterangan. Sementara kau berganti pakaian, aku akan menunggu di ruang depan.” Tanpa harus diberi perintah, Diane segera menutup pintu kamar tidurnya segera setelah Raveen keluar dari ruangan tersebut. Untuk sampai di gedung penyelenggaraan seminar mereka hanya butuh waktu tiga puluh menit. Raveen memilih tempat parkir di samping gedung yang sunyi dan aman. Tentunya aman jika seseorang tidak berusaha menyusup masuk ke dalam mobil dan menyelipkan sepucuk surat di setir. Tapi ia sengaja melakukannya. Barang kali penguntit Diane itu berniat melakukan hal yang sama seperti dua hari sebelum ini. Jadi, setelah mobil terparkir di samping gedung, Raveen membimbing Diane untuk masuk dan bertemu dengan petugas penerima tamu di lobi utama. Seorang wanita muda berambut pirang menyambut kedatangan mereka dengan sinis. Terutama ketika Diane mulai mengajukan sejumlah pertanyaan tentang keterangan map biru kecil berisi catatan-catatan yang dirangkum dalam tulisan tangan. Namun dengan tegas pramutamu itu mengaku bahwa tidak ada map apapun yang tertinggal di meja lobi dua hari lalu. Mata peraknya membesar saat si pramutamu muda mulai gusar. “Tidak ada map apapun yang tertinggal disini,” Wanita itu menyibukkan diri dengan beberapa kertas kecil yang dikira Diane benar-benar tidak begitu penting. Kemudian memeriksa beberapa angenda yang kelihatannya sudah diperiksa selama berulang kali. Jelas jika Diane merasa diabaikan. “Bisa kau bantu aku untuk menanyakannya pada petugas yang berjaga dua hari lalu?” Ketika dua pasang mata perak yang terlalu cekung itu menatapnya, harapan Diane mulai pupus. “Kenapa kau ingin sekali aku menghubunginya? Sudah kubilang tidak ada map apapun yang tertinggal.” “Kalau begitu biar aku saja yang menghubunginya. Boleh ku meminjam daftar nama petugas serta nomor ponsel yang bisa kuhubungi?” “Tidak ada.” Jawab si pramutamu, ketus. Ia memalingkan kembali wajahnya pada setumpuk buku agenda di meja. “Tapi kau baru saja memeriksanya,” sanggah Diane. Semakin lama ia semakin kikuk. Suaranyapun melemah. “Agenda itu. Isinya daftar nama petugas yang berjaga.” Ketika Diane mengacungkan jarinya pada salah satu buku besar di seberang meja yang baru saja diperiksa, pramutamu itu berdecak masam. “Tidak bisa. Itu peraturan gedung. Tidak boleh ada yang melihat catatan apapun selain petugas.” Diane harus berusaha menahan keinginan kuat untuk mencekik pramutamu itu. Disaat seperti ini Raveen justru tidak ada di sampingnya. Kemana pengawal sialan itu? Seharusnya ia ada di samping Diane untuk membelanya dan melaporkan sikap buruk petugas sinis ini pada atasannya. Kalau sampai Raveen datang, Diane pastikan pria itu akan mendapat masalah besar. Beruntung seorang lelaki dengan setelah denim yang sama persis dengan si pramutamu wanita segera datang dan menengahi perdebatan mereka. Diane mengingat pria berambut gelap dan berkulit putih itu. Dia adalah pramutamu yang bertugas dua hari lalu. Perlan-pelan harapannya berkumpul kembali. “Maaf, nona. Jessie tidak bermaksud bicara begitu.” Pria itu tersenyum kemudian berpaling pada rekannya yang sudah mendelik seperti sosok predator berbahaya. Diane bersyukur atas kehadiran pria ini. Setidaknya ia bisa mendapat perlakukan yang lebih baik. Dan kemungkinan besar, mapnya akan segera kembali. Tanpa membuang-buang waktu, Diane segera mengatakan maksud kedatangannya. “Aku ingat kau petugas yang berjaga dua hari yang lalu, bukan?” Pria itu diam sebenatar, mencoba mengulang kembali ingatannya sebelum mengangguk dengan tegas. “Aku meninggalkan sebuah map biru berukuran kecil di meja ini. Saat itu aku harus menerima panggilan telepon dan aku lupa membawa mapnya lagi.” “Oh, ya. Kau wanita itu,” Harapan Diane kian membuancah. Sepertinya pria ini benar-benar menyimpan mapnya. Ketika pria itu beranjak ke meja seberang untuk membuka laci, Raveen tiba dan berdiri di sampingnya. “Kemana saja kau?” “Aku harus memastikan mobilmu aman.” Raveen menyeringai lebar, Diane mengerling jengkel. “Bagaimana soal map itu?” Jawaban Diane tertahan di tenggorokan ketika diam-diam ia memperhatikan bagaimana pramutmamu wanita bernama Jessie itu menatap Raveen dengan begitu ramah, sementara kurang dari semenit yang lalu bicara dengan begitu sinis pada Diane. Ya ampun, Diane sadar seharusnya ia menunggu Raveen sebelum bicara dengan Jessie. Jika ada Raveen, mungkin semuanya akan lebih mudah. Tidak perlu menunggu pramutamu yang berjaga dua hari lalu untuk mendapatkan mapnya. Diane hanya perlu memanfaatkan Raveen untuk membujuk Jessie. Tentu saja ia akan senang jika hal itu terjadi jauh sebelum ia berdebat tadi. Tapi sekarang, Diane merasa jengkel. Bagaimanapun Jessie tidak bersikap dengan baik. Pandangannya beralih ketika si pramutamu itu kembali dengan sebuah map kecil yang dimaksud Diane. “Ini yang kau maksud?” Diane hampir memekik kegirangan. Ia menerima mapnya dengan senang hati. “Oh, tentu saja. Aku berterima kasih sekali kau mau menyimpannya.” “Sebenarnya malam itu aku berusaha mengejarmu,” sata si pramutamu dengan tutur kata yang santun. “Tapi sepertinya kau sedang terburu-buru.” Selama beberapa detik Diane dan Raveen saling bertukar pandang. Diane tahu bahwa pikiran mereka sejalan. Tapi ketika Raveen tidak bicara apa-apa, Diane mmutuskan untuk mengambil alih pertanyaan. “Jadi kau orang yang mengejarku malam itu?” Si pramutamu mengangguk sambil tersenyum. Giliran Raveen yang bertanya. “Kau ada di area parkir saat itu?” “Ya.” Semakin jauh dua pasangan itu bertanya, si pramutamu semakin ragu untuk menjawab mereka. “Apa kau melihat ada orang berlalu lalang di area parkir malam itu?” pertanyaan Raveen selanjutnya segera dipertimbangkan oleh si pramutamu. Ia mencoba mengingat-ingat beberapa orang yang berlalu lalang di area parkir pada malam yang sama. “Ya, sebenarnya aku lihat dua orang yang berlalu-lalang saat aku mengejar mobilmu,” pramutamu itu menatap Diane. “Hanya ada seorang pria dengan setelan jas yang sepertinya sedang sibuk dengan bagasi mobilnya dan yang satu lagi seorang... umm... aku tidak bisa memastikan, tapi mungkin pria dengan mantel hitam sepanjang lutut, mengenakan jins longgar dan kepalanya di tutup dengan tudung mantel. Aku melihat pria itu berjalan keluar lewat belakang gedung. Aku pikir dia hanya petugas keamanan.” Penjelasan si pramutamu telah memberi sebuah asumsi dalam benak Raveen. Pria bermantel hitam ini mungkin bisa menjadi target yang tepat. Sayangnya si pramutamu tidak melihat bagaimana wajah pria itu. Maka, Raveen hanya dapat memanfaatkan keterangan seadanya yang diketahui oleh si pramutamu. “Apa kau lihat salah satu dari mereka memasuki mobil yang dibawa wanita ini?” “Aku tidak lihat itu, Sir.” Jawab si pramutamu, yakin. “Aku hanya melihat pria bermantel hitam itu berjalan lewat bekang gedung.” “Jadi bagaimana posturnya?” “Tingginya kurang lebih seratus tujuh puluh lima. Tubuhnya tidak begitu besar dan mantel yang dia kenakan kelihatan kebesaran. Dia sepertinya tidak membawa apa-apa saat itu.” “Apa pria itu sering berkeliaran di sekitar gedung ini?” “Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tidak pernah melihatnya selain malam itu.” “Hanya itu yang kau tahu? Apa ada informasi lain?” “Hanya itu, Sir.” Sebelum mengakhiri pembicaraan mereka, Raveen bertemu pandang dengan Diane. “Baik. Aku berterima kasih sekali atas informasinya,” Raveen meraih-raih ke dalam saku kemejanya dan mengeluarkan kartu nama yang kemudian ia berikan pada si pramutamu. “Bisa aku minta kau untuk menghubungiku ketika kau melihat pria bermantel itu lagi?” Si pramutamu menerima kartu namanya lalu membaca sekilas sebelum mengangguk pasti. “Tentu saja, detektif. Akan aku lakukan.” Setelah memberi anggukan kecil, Raveen membimbing Diane untuk keluar dari area gedung itu. Mereka segera kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanannya menuju kantor penyelidikan.  ... Samuel berusaha menghubungi Diane, namun selang beberapa detik tidak kunjung ada jawaban. Akhirnya Sam memutuskan untuk menghubungi Raveen. Pada deringan ketiga, hubungan telepon telah tersambung. Ia mendengar suara Raveen di seberang sana. Sam tidak mengambil waktu panjang untuk sapa menyapa dan langsung masuk pada topic perbincangan. “Apa kau bersamanya?” “Ya, dia ada bersamaku sekarang.” “Berikan ponselmu padanya, aku ingin bicara dengannya.” Terjadi kerenggangan selama kurang dari sepuluh detik, kemudian, entah dengan bujukan apa akhirnya suara Diane masuk. “Ada apa?” “Apa kau baik-baik saja Diane?” “Ya, seperti yang kau tahu. Katakan saja ada apa?” “Dengar, sepertinya aku tidak akan bisa menemuimu selama dua hari ke depan. Aku harus keluar kota untuk mengadakan pertemuan. Akan ku sampaikan pada Raveen untuk menjagamu, aku janji akan pulang secepatnya.” Entah karena apa atau mungkin pendengarannya sedang terganggu, Sam mendengar suara pekikan riang di seberang. Tapi ia menduga bahwa suara itu milik Diane. Tentu saja. Hanya Diane yang senang dengan kepergian Sam. Bukankah itu yang diinginkan oleh adik bungsunya yang keras kepala itu? Pada detik berikutnya, dugaan Sam terjawab. “Tidak perlu buru-buru,” kata Diane. “Semoga kau menikmati liburanmu.” “Ini bukan liburan, Diane. Aku pergi untuk masalah bisnis.” “Yah,, sama saja, kan. Tidak masalah, Sam. Aku jamin tidak akan ada masalah. Setidaknya sampai kau kembali. Jadi selesaikan saja perkerjaanmu dengan santai dan berlibur boleh juga. Aku pikir kau butuh liburan yang panjang.” Rahang Sam mengeras. Suaranya kini lebih mantap dari yang sebelumnya. “Dengar, Diane! Aku tidak main-main. Aku akan pergi menyelesaikan urusanku, dan aku akan kembali dalam waktu dua hari. Aku pastikan Raveen menghubungiku setiap jamnya untuk mengabarkan kondisimu. Kalau sampai sesuatu terjadi, aku janji akan segera pulang. Akan ada pesta peresmian bisnis baruku tiga hari ke depan, aku ingin kau menjadi pendampingku disana jadi sebaiknya jaga dirimu baik-baik.” Hubungan telepon terputus. Sam mengumpat kasar atas tindakan bodoh adiknya. Berani-beraninya Diane memutuskan telepon sebelum ia selesai bicara. Lihat saja apa yang bisa dilakukan Sam. Mungkin ia akan menyeret adiknya untuk kembali ke rumah dan meninggalkan apartemen kecil itu. Tapi persetan, Diane akan merengek seperti bayi seandainya ia berani melakukan hal itu. Hal terakhir yang diinginkan Sam adalah bermasalah dengan adiknya. ...  Diane mengembalikan ponsel tersebut pada Raveen. Ia tidak bisa menahan senyumnya karena kegirangan. Sam akan pergi ke luar kota dan Diane akan menikmati kebebasannya. Yah, walau hanya dua hari, setidaknya ia diberi kebebasan. Sekarang tinggal bagaimana Diane mengendalikan Raveen. Kakaknya memang akan pergi ke luar kota, namun Sam pasti meminta Raveen untuk mengawasi Diane lebih ketat atau bahkan lebih buruknya membacakan rentetan peraturan gila yang dibuat Sam itu. Tidak boleh keluar sampai larut malam, tidak boleh pergi tanpa izin, jangan makan sembarangan, dan hal-hal gila lainnya. Diane tidak akan membiarkan Raveen mengendalikannya seperti Sam mengendalikannya. Setidaknya detektif ini bukan Sam. Diane yakin dapat menyingkirkan Raveen selama dua hari lalu mendapatkan kebebasannya untuk bersenang-senang dengan Jules dan Regan. “Ada apa?” Ketika Raveen memperhatikannya, Diane hanya menggeleng singkat. Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke kursi penumpang dalam posisi rileks. Kantor penyelidikan ternyata tidak sejauh yang Diane pikirkan. Merka hanya butuh waktu kurang dari setengah jam untuk sampai disana. Suasananya seperti yang Diane bayangkan. Menjenuhkan. Terlalu banyak penyelidik yang berlalu lalang di sekitarnya ketika ia dibimbing Raveen untuk masuk dan mengisi formulir identitas. Hampir setiap sorot mata terarah padanya. Diane menyaksikan kesibukan para penyelidik dengan beberapa kertas dan tumpukan map di atas meja. Ia bertanya-tanya bagaimana Raveen bisa bertahan dalam kondisi pekerjaan yang begitu bising dan tidak kondusif seperti itu. Pekerjaan kantor tentu bukan tujuan yang dipilih Diane. Diane lebih suka menghabiskan waktu dilingkungan kerja yang terbuka. Dan tentunya tidak terlalu banyak orang dalam satu ruangan. Ketika merasakan sorot tatapan tajam dari berbagai penjuru, nyali Diane mulai ciut. Ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan para penyelidik itu padanya setelah ini? Mengorek informasi jelas bukan ide yang bagus. Diane sudah bosan diwawancarai. Astaga, harus berapa kali ia meceritakan ulang kejadian bodoh tentang teror itu? Kapan ini akan segera berakhir? Raveen membuka sebuah pintu di sebelah ruang arsip untuk Diane. Ia membiarkan Diane masuk beberapa langkah lebih dulu sebelum menyusul dan menutup pintu di belakangnya. Ruangan itu nampak senyap. Dekornya sangat sederhana. Hanya ada sebuah meja berbentuk persegi panjang yang dikelilingi oleh beberapa kursi. Sementara di pojok ruangan terdapat ventilasi udara tertutup sehingga memungkinkan sinar matahari sulit untuk menembus masuk ke dalam. Hasilnya ruangan nampak gelap karena hanya diterangi oleh cahaya redup dari bercak sinar matahani yang berhasil menerobos ventilasi udara. “Kemari, Diane!” Raveen menarik satu kursi di sudut meja untuk Diane kemudian menarik satu kursi lain yang berada tepat di sampingnya. Sebelum duduk ia meraih secarik kertas kosong dan pena yang disediakan di laci meja. Setelah itu Raveen bergabung bersama Diane. Ia mendorong kertas kosong itu kearah Diane. “Kau akan membutuhkan ini!” Suasana begitu senyap sampai bunyi jarum jam dinding yang berputar menjadi satu-satunya latar suara di ruangan tersebut. Diane akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan mereka. “Sebenarnya apa yang kita tunggu?” “Ian dan Trent sedang menyiapkan dokumen untuk kasusmu. Mereka janji akan tiba lima menit lagi,” sahut Raveen sambil memandangi kedalaman mata biru milik Diane. Raveen beringsut mendekat ketika menyadari betapa gugupnya wanita cantik itu. Diam-diam ia memperhatikan garis wajah Diane yang anggun, bulu matanya yang lentik, rambut ikal berwarna hitam pekat yang digerai. Raveen menelan ludah saat keinginannya untuk menyentuh rambut gelap itu kian membuncah. Ia bertanya-tanya apa rambut Diane begitu lembut seperti kelihatannya? Peralih, Raveen hanya berdeham. Ia tersenyum sesekali saat Diane merunduk. “Jangan gugup begitu, Manis.” Diane menyematkan jari-jemarinya dengan perasaan risau. Ia tidak bicara apa-apa selama beberapa detik. Bahkan tatapannya tidak bertemu pandang dengan Raveen. “Sebenarnya aku sedikit khawatir,” aku Diane dengan suara pelan. “Apa yang kau khawatirkan?” “Yah,, aku tidak biasa dimintai keterangan.” Raveen tertawa kecil. Suara tawanya bisa dibilang lebih mirip dengusan. Tapi Diane melihat lesung pipi itu dan langsung memutuskan bahwa ia mengaguminya. “Tidak perlu khawatir,” ujar Raveen. Entah bagaimana kalimat itu bisa membuat ketegangan yang dialami Diane sedikit berkurang. “Kau hanya perlu memberi keterangan lengkap dan polisi akan menyelidikinya.” Diane mengangguk setuju. Ia menyipitkan kedua matanya tiga detik kemudian. “Detektif, menurutmu kenapa pria itu melakukan teror ini padaku? Aku tidak ingat punya masalah pada siapapun.” “Menurutku pria ini tidak waras karena berani melakukan teror itu padamu. Kau puteri seorang hakim dan kakak-kakakmu memiliki citra baik di masyarakat. Jadi aku bisa mengambil kesimpulan kalau pria yang melakukan teror padamu ini memiliki motif terselubung. Dia mungkin ingin memanfaatkanmu untuk menjatuhkan hakim Maccon atau mungkin Sam.” “Tapi kenapa harus aku? Kalau pria itu ingin menjatuhkan Sam, kenapa dia tidak meneror Sam saja?” Tawa Raveen yang selanjutnya menyusul. Kali ini terdengar lebih keras dari yang sebelumnya. “Sam dan Hakin Maccon menyayangimu, Manis. Kau mengerti maksudku?” Diane mengernyitkan dahinya penuh prasangka. “Apa kau bermaksud mengatakan bahwa dia ingin membuat Sam atau papa gelisah karena pria gila ini mengincar nyawaku?” “Sepertinya begitu.” “Tapi detektif, ini sangat tidak adil. Kau tahu? Aku tidak punya masalah apapun tapi aku yang harus menanggungnya. Maksudku, Sam mungkin lebih pantas. Biar dia tahu bagaimana rasanya ditekan dan diteror secara bersamaan.” Raveen tidak bisa menahan tawanya lagi. “Sepertinya bukan hanya aku yang kau benci, ya?” “Tentu saja. Sam ada di urutan nomor satu kalau kau bertanya.” “Kau tidak semestinya membenci Sam.” “Dan kau tidak tahu apa-apa” sergah Diane sambil mencondongkan badan. Wajah mereka hanya berjarak dua puluh senti jauhnya. Ketika sensasi biru pekat bertemu dengan mata keemasan itu, suasana berubah jadi tegang. Raveen mengangkat satu alisnya, memperpendek jarak sambil mengatakan, “Itu memang benar, tapi caramu itu salah. Kau selalu salah paham, Manis.” “Tidak ada yang salah denganku,” nada suara Diane berkesan ketus dan menantang. Dengan sikap keras kepala yang dimilikinya Diane tidak pernah mau kalah dalam hal apapun. “Kau dan Sam sama saja. Kalian para pria selalu bersikap menjengkelkan dengan berusaha mengatur urusan orang lain.” “Tidak semua pria seperti itu.” “Ya, semuanya.” “Ah, kau salah paham lagi.” “Aku tidak salah!” Suara kenop yang diputar memecah situasi tegang diantara mereka. Diane segera menjauh dari posisinya, kemudian berusaha keras untuk tidak bertemu pandang dengan Raveen. Tidak saat kemarahannya masih menggantung di udara. Ian bersama Trent masuk ke dalam ruangan dengan membawa beberapa dokumen. Dua penyelidik itu segera bergabung di kursi lain. Mereka memilih kursi yang berhadap-hadapan dengan Diane. “Maaf kami datang terlambat,” Ian memulai pembicaraan mereka. Raveen menanggapinya dengan lambaian tangan dan senyum lebar sementara Diane diam merunduk. Ketika Diane merasakan tangan Raveen di lengannya, amarah yang dialaminya karena perdebatan beberapa detik lalu serasa pudar. Diane menatap Raveen yang mengangguk pelan dan bicara, “Santai saja, Miss Hampton. Aku akan menunggu diluar.” Kemudian Raveen melenggang pergi. Mau tidak mau, Diane akan menghadapi interogasinya seorang diri. Setidaknya itu jauh lebih mudah ketimbang mengakui bahwa ia lebih suka jika Raveen tetap tinggal. Dan semua berjalan seperti apa yang ia duga. Dua polisi itu mengajukan begitu banyak pertanyaan yang Diane anggap tabu. Namun entah bagaimana mereka dapat memperoleh informasi penting dari pernyataan yang ia berikan. Selama sepuluh menit Diane masih sanggup untuk duduk tenang, mengikuti saran Raveen untuk menjawab setiap pertanyaan dengan santai. Sepuluh menit yang menyusul kemudian keadaan menjadi semakin mencekam, begitu tegang, dan pada lima menit terakhir Diane mau muntah. Ia segera keluar begitu dipersilahkan oleh Ian dan Trent. Seolah tidak mau menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan berbagai pertanyaan yang membosankan tentang bagaimana ia mendapat surat ketiga, kapan ia mendapatkan surat itu, apa saja yang ia lakukan selama seharian penuh, orang-orang yang ia jumpai dalam beberapa hari terakhir dan bla bla bla... Diane mempercepat langkahnya untuk keluar dari ruangan. Tatapannya terpusat pada Raveen begitu ia sampai di depan ruangan. Diane melihat pria itu tengah berbincang dengan seorang penyelidik lain di meja kerja mereka. Kelihatannya begitu serius, karena itu Diane tidak bergerak sampai Raveen ikut menyadari kehadiran Diane. Raveen segera menghentikan pembicaraannya sebelum kembali ke samping Diane. Senyumnya merekah tepat ketika melihat wajah kusut Diane. “Katakan padaku apa yang dilaukan Ian dan Trent padamu, Manis? Kau kelihatan kacau sekali.” “Aku mau muntah.” Jawab Diane. Ia tidak menyadari betapa netralnya suara itu sampai Raveen mendelik hebat dan menganggap bahwa pernyataannya dibicarakan dengan sungguh-sungguh. “Apa kau serius?” “Oh, demi Tuhan, Detektif. Kalau aku harus diinterogasi lagi, maka aku akan memastikan eksekusi mati untukmu. Kau seharusnya tidak membiarkan aku sendirian menghadapi dua polisi itu.” Selama sepersekian detik tidak ada yang bicara, kemudian suasana tegang itu pecah ketika Raveen mulai terkekeh puas. Detektif ini sepertinya tidak sadar sejauh apa tindakannya menyulut amarah Diane. Jelas Raveen menjadi satu-satunya orang yang menikmati penyiksaan Diane. Betapa bodohnya Diane bicara seperti itu di depan orang yang jelas-jelas bisa membuat keadaan menjadi lebih kacau. Peralih, Diane melambaikan tangannya dengan acuh. “Lupakan saja! Kalau kau keberatan, ada tugas yang harus ku selesaikan siang ini. Aku bisa pergi sendiri seandainya banyak tugas yang harus kau selesaikan.” “Aku ikut bersamamu, Miss Hampton.” Ujar Raveen, suaranya serak lantaran nyaris kehabisan napas.  ... Dokter Meilyn sedang menikmati sarapan yang disiapkan oleh pelayannya-Mrs. Lina sebelum kehadiran Shimon mengacaukan semua itu. Entah bagaimana adiknya bisa menerobos masuk lalu mengancam Meilyn akan membunuh Emma jika Meilyn tidak segera memberinya sejumlah uang. Tapi nominal yang diminta Shimon terlalu besar. Dokter Meilyn tidak pernah mengambil keputusan nekat untuk membiarkan adiknya bertindak kejam pada Emma, tapi keadaannya juga mendesak. Kondisi materil Meilyn benar-benar buruk dan sekarang adiknya datang untuk melakukan pemerasan. Kekacauan yang tak diinginkanpun terjadi di kediamannya. Ia tidak pernah menduga kalau Shimon membawa sebuah senjata. Sebuah pisau lipat yang kini ditodongkan pada kakaknya sendiri. Wajah adiknya sudah seperti setan. Mata Shimon terbuka lebar dan pria berambut gelap itu terus melontarkan umpatan kasar. Meilyn berusana meneriakkan nama pelayannya, sayangnya Mrs. Lina telah menghilang entah kemana. Satu-satunya harapan Meilyn semoga saja pelayannya itu sedang meminta bantuan keamanan lokal. Adiknya sudah tidak waras. Fakta itu juga yang membuat Meilyn khawatir. Terutama akan kondisi Emma. Shimon tidak membawa Emma bersamanya, tapi Meilyn bisa menebak bahwa kondisi Emma sama terpuruknya seperti apa yang dikatakan Shimon. Meilyn melangkah mundur ketika Shimon maju mendekat. Pisau tajam yang mengarah padanya begitu runcing dan siap untuk menembus kulit seseorang. Satu-satunya yang dipikirkan Meilyn hanyalah keselamatannya sendiri. Kalau ia tidak bisa menghentikan Shimon saat ini, setidaknya ia harus keluar dengan selamat. “Jauhkan senjata itu, Shimon!” pinta Meilyn. Nada suaranya tinggi dan tegas. “Tidak. Tidak sampai kau membuat kesepakatan.” Meilyn melihat ada api yang berkobar di mata gelap adiknya. Akal sehat mengatakan bahwa sebaiknya ia menyetujui permintaan Shimon, tapi keadaan berkata lain. Meilyn tidak mungkin menjual kliniknya hanya untuk menutup utang-utang Shimon yang ia tahu tidak akan pernah tetutup rapat. Tapi keputusannya kali ini menyangkut nyawanya sendiri. Kalau ia mau keluar dengan selamat, maka ia harus membuat kesepakatan-dan Lina belum datang juga. Meilyn berharap petugas keamanan segera datang sebelum ia membuat kesepakatan. Tapi sejauh ia mengulur waktunya, tidak ada siapapun yang datang. Tidak ada waktu lagi. Adiknya semakin murka. Meilyn tahu Shimon tidak pernah main-main dengan ancamannya. Jadi ia mencoba menggunkan akal sehat. “Baik-baik. Aku akan mengirim uangnya. Tapi aku butuh waktu.” “Sial, aku butuh uang itu secepatnya. Apa kau ingin kematian Emma dipercepat?” “Demi Tuhan, kau akan ke neraka, Shimon!” “Aku tidak peduli. Dengar! Aku tidak peduli sedikitpun! Yang aku butuhkan saat ini adalah uang. Jadi sebaiknya cepat katakan kapan kau akan memeberi uang itu.” Meilyn mendesah frustasi. “Aku harus menjual klinikku untuk jumlah nominal yang kau minta. Tidak mudah. Butuh proses.” “Sampai kapan?” “Mungkin satu bulan ke depan.” Shimon menyentak maju. Pergerakannya sekaligus membuat Meilyn waspada dan mengambil beberapa langkah mundur, tapi langkahnya lenyap di halangi oleh meja yang terbuat dari kayu ek di belakang. Pinggul Meilyn membentur lengan meja itu. “Sialan, itu terlalu lama!” seru Shimon. “Aku tidak bisa menunggu selama itu. Kau bisa mengurusnya dalam waktu seminggu.” “Tidak semudah itu. Aku harus menangani beberapa aset yang ku milikki kalau kau mau tahu. Beri aku waktu dua minggu.” “Masih terlalu lama.” “Dua minggu atau sebulan?!” “Baik. Dalam waktu dua minggu, aku ingin kau sudah mempersiapkan uangnya. Kau bisa mengirim uangnya melalui jasa pos. Ingat! Aku tidak ingin kau meliibatkan polisi. Kau tahu nyawa Emma ada di tanganku. Kalau kau berani bertindak gegabah, maka aku juga tidak main-main dengan ancamanku.” Shimon melangkah mundur. Pelan-pelan menjauh dari tatapan tajam kakak perempuannya, lalu meraih kenop pintu, memutarnya dan menghilang di balik pintu. Meilyn cepat-cepat meraih ponselnya di dalam ruang utama. Kemudian ia menghubungi Diane. Suara Diane muncul dalam dua nada dering sambungan. “Diane? Apa kau dengar aku?.. Shimon baru saja datang ke rumahku... Oh ya?.. sekarang dia sudah pergi. Aku yakin dia masuk ke kilometer 87. Ya mobilnya melintas ke jalur itu. Baik.” ...  Begitu Raveen bergabung dengannya di area parkir, Diane segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas kemudian menunggu Raveen masuk ke kursi kemudi sebelum bicara. “Kemana tur kita selanjutnya, Miss Hampton?” Raveen melilitkan sabuk pengaman pada tubuhnya dalam bentuk ikatan melintang. “Cepat kemudikan mobilnya ke rumah Dokter Meilyn. Ambil jalan pintas. Keadaan benar-benar darurat.” Tanpa menunggu instruksi lanjut, Raveen menstarter mobil kemudian menginjak pedal gas. Mobil mereka melaju keluar dari gedung penyelidikan. Jalanan nampak sepi tak seperti dugaan Diane, maka Raveen memilih jalur tercepat. Ia mengemudi dalam kecepatan normal. Sesekali memandang Diane dan melihat wanita itu mulai gelisah, lalu ia tersenyum. “Jadi, bisa kau katakan padaku apa itu ‘keadaan darurat’?” “Tidak.” Diane menggingit ibu jarinya dengan pandangan yang tak fokus. Ia melihat keluar jendela sambil memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi. Mrs. Lina-salah seorang pelayan Meilyn telah menghubunginya melalui telepon rumah jauh sebelum Meilyn menghubungi Diane. Mrs. Lina mengatakan bahwa keadaan menjadi kacau ketika Shimon datang untuk memeras Meilyn dengan menodongkan senjata tajam. Lalu lima menit kemudian Meilyn menghubunginya dan mengatakan kalau Shimon sudah pergi. Pikiran Diane jelas kalut. Kalau sampai ia terlambat, ia akan kehilangan Shimon. Sementara Diane perlu bicara dengan pria itu. Shimon bukan pria yang mudah. Sudah sangat jelas, jika lelaki itu berani menodongkan senjata tajam pada kakaknya sendiri-coba bayangkan apa yang bisa dilakukan Shimon pada Diane? Mungkin menggorok lehernya karena terlalu berani ikut campur dalam masalah itu. Atas dasar pemikiran itu, Diane butuh rencana. Ia tidak bisa bicara apa adanya dengan Shimon. Ia hanya akan mendapat hasil yang sia-sia. Shimon tidak mungkin mau bekerja sama dan menyerahkan hak asuh atas puterinya begitu saja. Jadi sekarang Diane butuh strategi. Dan Raveen ada disana. Bersamanya. Ia mungkin bisa meminta bantuan pria ini. Tapi persetan, Raveen belum tentu menyetujui rencana yang akan dibuat. Tidak ada salahnya jika mencoba, kan? “Aku butuh bantuanmu, Detektif.” Ujar Diane akhirnya. Ia berusaha menyingkirkan kesan arogan dalam suara itu. “Kau tidak mau menceritakan apapun dan sekarang kau butuh bantuanku? Mengejutkan sekali, Manis. Apa yang bisa ku bantu?” Diane memutar pandangannya. “Apa kau bisa menjadi mata-mata?” Ban mobil mulai bergerak dengan tidak beraturan. Nampak kontras dengan raut wajah netral yang dipasang Raveen. Diane menunggu jawabannya, tapi pria itu tetap tidak bicara selama semenit penuh. Kemudian Diane mengguncang lengan Raveen. “Ya?” “Apa kau mau melakukannya untukku?” “Demi Tuhan, Diane. Apa yang kau pikirkan? Menjadi mata-mata bukan ide yang bagus. Kau bahkan tidak mengatakan apa masalahnya padaku.” “Aku harus mengejar Shimon. Aku harus mendapatkan puterinya. Dokter Meilyn baru saja menghubungiku. Pria itu nekat datang ke rumahnya beberapa menit yang lalu untuk memeras Dokter Meilyn dengan mneggunakan senjata. Shimon tidak akan bisa dihentikan kecuali kita bertindak tegas. Aku berpikir kalau kau jadi mata-mata, kau bisa membantuku menemukan akses untuk sampai pada Shimon. Dan begitu kita sampai, aku akan merebut puterinya.” “Bukankah itu sama saja dengan penculikan?” “Itu berbeda!” tegas Diane. “Aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin menyelamatkan Emma dari orang sinting seperti Shimon.” “Ya, benar sekali. Kau berniat baik. Tapi setelah kau mendapatkan Emma, Shimon akan melaporkan tindakanmu pada polisi dan mengajukan tuntuan balik. Dan begitu hal itu terjadi, maka posisimu dan Dokter Meilyn akan terbalik di pengadilan. Kau adalah tersangka dengan tuduhan penculikan, dan kau bekerja untuk Dokter Meilyn. Hakim tidak mungkin menyerahkan Emma pada tersangka. Lalu tuntutanmu akan sia-sia. Apa kau mengerti?” Tidak ada fakta yang dapat membalikkan pernyataan itu. Diane mendesah ketika tahu bahwa Raveen benar. Tuntutannya akan jadi sia-sia kalau ia bertindak gegabah. Memangnya siapa bilang menuntaskan kasus pertama itu mudah? Diane tidak punya banyak pengalaman. Ia selalu memutuskan sesuatu dengan cepat dan tidak menyadari kalau tindakan itu mungkin menjadi langkah yang gegabah. Sekarang Diane belajar. Segala fakta bisa saja diputarbalikkan dalam hukum. Tapi, Diane tidak bisa memikirkan cara yang jauh lebih baik dari semua ini. Kemungkinannya memenangkan hak asuh atas Emma bisa menjadi sangat tipis jika Diane tidak punya cukup bukti. Jadi ia sudah memutuskan untuk menemui Shimon dan bukti sebanyak-banyaknya. Perjalanan mereka kemudian berlangsung dengan tegang. Hanya butuh waktu lima menit bagi mereka untuk sampai di kediaman Dokter Meilyn. Diane meminta Raveen untuk menunggu di mobil sementara ia keluar dan bicara dengan sang dokter. Dua menit kemudian Diane telah kembali. Entah bagaimana caranya wanita itu sudah berdiri di samping sambil mengetuk-ketukan kaca mobil. Raveen hampir tersentak. Ia menurunkan kaca mobilnya sehingga bisa melihat wanita itu secara langsung. Seringaian lebar mengambang di wajahnya yang memesona. “Sudah dapat mangsamu, Manis?” “Diam!” kalimat yang terhantur itu lebih terdengar seperti kecaman ketimbang perintah. Raveen segera membungkam setelahnya. “Cepat keluar, Detektif!” “Apa?” “Kau mendengarnya. Keluar dari dalam mobil dan biar aku yang mengendarai mobilnya!” “Kau bercanda,” Raveen belum menuntaskan kalimatnya ketika Diane membalas dengan pelototan sengit. Kemudian ragu-ragu ia membuka pintu mobil dan turun dari kursi pengemudi. Tubuhnya mencoba menghalangi jalur masuk Diane. “Apa lagi sekarang? Kau mau mendatangi Shimon untuk membunuhnya?” Diane mengulas senyum kecut yang dengan cepat berganti raut arogan. “Akan ku lakukan jika aku punya kesempatan. Tapi sayangnya tidak. Jadi sebaiknya tutup mulutmu dan biarkan aku menyelesaikan tugasku.” “Dengar, kau tidak bisa bertindak gegabah. Kau akan celaka, apa kau tahu?” Dengan sinis, Diane mengacungkan satu jarinya tepat di depan wajah Raveen. Ia mencondongkan tubuhnya hingga bertemu pandang dengan intensitas mata emas Raveen. “Kau yang harus dengar, Detektif Alex! Aku tidak membayarmu untuk bicara atau mencampuri urusan pribadiku dengan klienku. Aku membayarmu untuk memastikan keamananku. Jadi kita sama-sama tahu bahwa menceramahi tindakanku bukan merupakan tugasmu. Sekarang, aku bilang menyingkir dari mobil ini dan silahkan duduk di kursi penumpang atau kau memilih untuk tetap tinggal disini.” “Ya, Ma’am.” Tatapan Raveen sedingin salju. Rahangnya sekeras baja. Entah mengapa semua itu membuat Diane senang. Terutama ketika Raveen dengan enggan menyingkir, memutari mobil untuk duduk di kursi penumpang. Bagus, Diane sudah berhasil mengendalikan detektif itu. Sekarang ia tinggal memuluskan rencananya. Mobilnya maju dengan kecepatan di atas rata-rata. Raveen menggertakkan gigi ketika ia tidak bisa memberi saran atau sebut saja komentar sinis. Tapi, memikirkan bahwa dirinya terlibat dalam situasi yang sama, mungkin membuat Raveen memiliki sedikit hak untuk meminta Diane mengurangi kecepatan laju mobil. “Sebaiknya kau tidak terburu-buru, Miss Hampton.” “Kenapa? Kau takut?” pandangan Diane terfokus pada jalan lepas. Raveen tertawa rendah. Tawanya berkesan meremehkan meski gelombang adrenalin berpacu dengan sangat kuat dalam aliran darahnya. “Aku hanya memikirkan apa kita akan selamat sebelum tiba di tempat tujuan.” “Jangan khawatir. Aku ini pembalap yang andal. Aku harus mengejar ketertinggalanku dengan mobil Shimon. Jaraknya pasti tidak jauh lagi.” “Jadi apa yang akan kau lakukan kalau kau bertemu Shimon?” “Bicara tentunya.” “Setelah itu?” “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Detektif! Berhentilah menanyaiku seperti orang tolol.” Diane melempar tatapan sinis. Wajahnya berkerut tipis. Ia cepat-cepat menambahkan, “Dan jangan ganggu konsentrasiku!” Belum lama permbicaraan itu berlalu, Diane menginjak pedal rem secara tiba-tiba hingga membuat tubuh mereka tersentak ke depan. Raveen kembali menggertakkan giginya sambil menahan amarah. Persetan, ia sudah ada di ambang batas kewarasannya saat ini. Diane benar-benar telah menjatuhkannya. Raveen tidak bisa tinggal diam sekarang. “Sudah cukup, Miss Hampton! Kita tidak akan selamat kalau kau mengemudi dengan ugal-ugalan. Aku minta maaf, tapi berhubung nyawaku juga dipertaruhkan disini, jadi sebaiknya kau tidak bertindak gegabah.” Tanpa mengacuhkan Raveen, Diane memutar setirnya, berbalik arah begitu melihat sebuah mini van berwarna hijau gelap yang melaju ke arah yang berlawanan. Ia tidak membuang-buang waktu dan segera mengikuti laju mini van tersebut. Dalam sepuluh detik terakhir kecepatan lajunya kembali melampaui batas normal. Raveen yang merasa frustasi hanya dapat mempererat genggamannya pada pintu mobil sambil berharap kalau ia akan kembali dengan selamat. Kalau beruntung ia tidak akan kehilangan satu kaki dan dua tangannya. Sial. Mobil mereka berhenti di perempatan jalan ketika mini van tersebut melewati sebuah garis penggaja untuk masuk ke area kompleks. Diane melihat lelaki dengan gesture tinggi dan wajah yang benar-benar mirip dengan dokter Meilyn turun dari mini van untuk bicara dengan salah seorang petugas penjaga. Diane segera menyimpulkan bahwa lelaki berusia awal empat puluhan itu adalah Shimon. Dari kejauhan Shimon terlihat memiliki tubuh tegap dan bidang. Kerutan di wajah lelaki itu menegaskan usianya yang sudah berkepala empat. Rambutnya gelap, dan kalau tidak salah Shimon mungkin memiliki mata cokelat gelap yang begitu pekat hingga nyaris terlihat seperti hitam. Pembicaraan Shimon dengan petugas keamanan berakhir dengan cepat. Ketika pria itu kembali masuk ke dalam mini vannya lalu melaju masuk ke area kompleks, Diane segera mencatat alamat perumahan itu di otaknya. Sampai ia benar-benar memikirkan strategi yang tepat, Diane kembali memutar haluan mobil dan kembali melintasi jalur semula. Ia menatap Raveen sesekali melalui spion dalam mobil, Diane terheran-heran ketika pria itu hanya memalingkan wajahnya yang netral dan tidak bicara apa-apa. Suasana tiba-tiba jadi mencekam. Diane tidak suka dipojokkan. Tuhan tahu Diane tidak begitu suka suasana yang tegang. Jujur saja ia lebih nyaman dengan sikap Raveen yang blak-blakan. Tapi sekarang siapa yang tahu kalau ternyata Raveen punya kepribadian ganda? “Detektif, apa kau baik-baik saja?” tegur Diane. Ia melihat Raveen hanya mengulas senyum kecil sekaligus memilih untuk tetap membungkam. Demi Tuhan, pria ini terlihat semakin menjengkelkan saja. “Baik, aku minta maaf atas sikapku,” “Bukan salahmu, Miss Hampton.” Nada suara Raveen terdengar begitu dingin. “Bagaimana kalau makan malam sebagai gantinya? Aku yang menelaktirmu.” “Tidak, terima kasih banyak.” “Jadi apa kau masih marah?” “Aku tidak marah.” Jawaban Raveen singkat serta mampu memblokir semua pernyataan Diane, namun mimik wajahnya tidak mengatakan demikian. “Demi Tuhan, jangan bersikap seperti pria yang membosankan, Raveen!” Diane tidak sadar dengan apa yang dibicarakannya sampai membuat pria itu mengulas senyum lebar. Mungkin ia salah bicara. Tapi siapa peduli. Setidaknya Raveen sudah tidak bersikap dingin lagi, dan Diane bisa meminta bantuan pria itu. Egois sekali rasanya jika ia bersikap manis hanya untuk simpati Raveen atas kasus ini. Tapi Diane hanya mencoba menawarkan semacam kerja sama. Tidak ada yang salah bukan? Ia tidak berniat memanfaatkan Raveen hanya berusaha untuk bekerja sama. Tapi jika ditelaah lebih jauh, ada yang aneh dengan senyum itu. Terlihat lebih puas dari yang biasa ia lihat. “Kenapa kau tersenyum begitu?” “Ah, kau menyebut namaku, Manis.” “Apa ada yang salah dengan itu?” “Aku hanya memikirkan situasi yang... langka.” Diane tidak serta merta menggubris pernyataan itu. “Semuanya sama saja, bukan? Alex, Raveen, atau Clay. Kedengarannya sama saja.” “Uh-uh, tidak. Tidak begitu,” Raveen menggerakkan satu jarinya dengan sangat cepat kemudian ia menyangkal pernyataan Diane. “Ada semacam situasi khusus.” Penyataan teakhir Raveen akan ‘situasi khusus’ membuat Diane mengernyitkan dahinya. Bibirnya mengerut hingga membentuk garis tipis yang tanpa disejanga membuat Raveen terpesona. “Situasi khusus?” ulang Diane. Ia dikejutkan ketika kaki Raveen yang panjang menjulang hingga berhenti di atas kaki kirinya. Bot besar yang dikenakan Raveen mendorong kaki kiri Diane hingga membuat pedal rem mobil bergerak ke bawah. Mobil mereka berhenti secara mendadak. Diane menyapukan pandangannya ke sekitar. Jalanan nampak senyap siang itu. Tidak begitu banyak mobil yang melintas di jalur ini. Karena itu ia tidak menepi. Diane membatu ketika bertemu pandang dengan Raveen. Pria itu mengulas senyum paling menawan yang pernah dilihat Diane sebelum mencondongkan tubuhnya untuk membisikkan sesuatu di telinga Diane. “Kau tahu apa yang ku sebut situasi khusus itu, Miss Hampton?” ketika Raveen bicara, napasnya menggelitik tengkuk Diane. Menyalurkan semacam gelombang yang menggelitik dan sensasi aneh yang langka. Selama beberapa saat Diane menginginkan Raveen lebih dekat. Lebih akrab dengan tubuhnya. Sampai membuat Diane lupa diri. Tapi fantasi itu berhasil ia singkirkan dengan segera. Kemudian Diane mendengar pernyataan itu. “Nama Raveen hanya disebutkan oleh orang-orang tertentu. Mereka yang sudah aku anggap spesial dan tentu saja tidak semua orang bisa memanggilku dengan nama itu.” “Sam dan tiga temanmu memanggilmu dengan nama itu?” batang hidung mereka hampir bertemu ketika Diane memutar wajahnya sampai berhadap-hadapan dengan Raveen. Raveen tersenyum lagi. Diane membatu memperhatikan bagaimana wajah dan rahang itu bisa terpahat dengan bergitu sempurna. Hidung yang panjang dan mancung. Bibir yang indah. Rasanya Diane ingin tenggelam mabuk dalam gairah bersama Raveen. Ah sial, sejak kapan ia membina pikiran liarnya itu? Tentu saja. Raveen adalah masalah besar. Pria ini tidak akan berhenti membuat Diane salah tingkah hanya karena kedekatan mereka. Jarak yang begitu romantis... “Terlepas dari empat orang itu kau satu-satunya wanita yang memanggilku dengan nama itu, Manis.” Diane semakin gugup. Ia tidak bisa mencegah tatapannya untuk terfokus pada rahang Raveen yang indah. “Tapi aku pikir tidak ada yang spesial dengan nama itu. Sama seperti namamu yang lainnya.” “Memang tidak untukmu, tapi spesial untukku. Apa kau mengerti?” Jantung Diane berdegup dengan kencang ketika Raveen maju hingga membuat wajah mereka begitu dekat. Diane mengira Raveen akan menciumnya, tapi yang terjadi, pria itu hanya menyapukan batang hidungnya dengan batang hidung Diane kemudian menjauh. Selama beberapa detik Diane hanya diam sambil melongo. Ia tidak sanggup bicara apa-apa sampai suara tawa rendah Raveen menyadarkannya. “Aku tidak bisa mengerti apa-apa, Detektif.” Raveen tertawa lagi. “Kalau begitu lupakan saja.” - BAGIAN 6
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD