Hanum yang sudah mandi, berdiri di tengah ruangan dapur rumah Pram. Ia menatap perabotan yang ada di sana. Ia tahu kompor gas, tapi tidak tahu cara menggunakannya. Ia juga tahu rice cooker, tapi ia tidak tahu bagaimana memakainya.
"Sambil menunggu Bibi datang, sebaiknya aku mencuci beras dulu," gumam Hanum sendirian. Ia membuka lemari yang diyakininya sebagai lemari tempat menyimpan perabotan. Hanum mengambil baskom plastik yang cukup besar dari sana. Lalu ia membuka pintu-pintu lemari di bawah meja dapur, mencari-cari ember, atau toples besar tempat menyimpan beras seperti di rumahnya.
Hanum berdiri kebingungan, ia tidak menemukan tempat beras di manapun.
"Apa Tuan Pram, Paman, dan Bibi tidak makan nasi ya," gumamnya sendirian.
"Apa yang kau lakukan!" Suara menggelegar dari balik punggungnya membuat Hanum terjengkit kaget, baskom di tangannya terbang melewati kepala. Hanum memutar tubuh, tepat saat baskom mendarat dengan tertelungkup di atas kepala orang yang mengagetkannya
"Ya Tuhan!" Baskom itu terenggutkan dari kepala Pram, dan dibantingnya hingga membentur lantai.
"Apa yang kau lakukan!?" Wajah Pram merah padam, matanya menatap Hanum seakan ingin menelan Hanum bulat-bulat. Tubuh Hanum mundur, ia gemetaran, namun begitu ia tetap mampu berbicara.
"Itu salah Tuan sendiri, kenapa mengagetkan saya," ujarnya membela diri. Pram semakin geram jadinya.
"Kau menyalahkan aku!"
"Saya tidak menyalahkan Tuan, tapi Tuan memang yang salah," sahut Hanum dengan terbata.
"Baru sebentar tinggal di sini, kau sudah membuatku hampir gila, Hanum!" Pram menatap Hanum dengan kemarahan berada di puncak kepala. Hanum merasa tubuhnya menciut karena tatapan Pram yang baginya seperti ingin menyihirnya jadi kurcaci saja.
Suara bell dari pintu depan menyelamatkan Hanum dari makian yang siap ke luar dari mulut Pram.
"Buka pintunya, biar aku membuat kopi sendiri. Aku takut mati meminum kopi buatanmu!"
Tanpa berkata-kata, Hanum langsung berlalu meninggalkan Pram di dapur sendirian.
Saat ia membuka pintu, tampak seorang wanita tua namun masih terlihat cantik berdiri di hadapannya.
"Kamu siapa?" Wanita itu mengernyitkan keningnya.
"Maaf Nyonya, yang tamukan Nyonya, jadi harusnya saya yang bertanya, Nyonya siapa? Mencari siapa? Dan ada keperluan apa?" Sahut Hanum dengan gaya super polosnya. Wajah wanita itu terlihat marah, ia menerobos masuk sambil memanggil-manggil nama Pram.
"Pram, Pram!"
"Eeh ... Nyonya, tidak sopan menyelonong masuk rumah orang tanpa dipersilahkan. Tuan Pram lagi membuat kopi di dapur, Nyonya tunggu di ruang tamu saja, biar saya panggilkan," ujar Hanum berusaha mencegah niat wanita itu yang ingin masuk lebih dalam lagi. Tapi wanita itu tidak menghiraukan ucapan Hanum, ia terus masuk lebih ke dalam.
"Pram, siapa anak kecil ini? Kenapa dia ada di sini? Mana si Cicih?" Wanita itu membombardir Pram yang berdiri di hadapannya dengan pertanyaan.
"Maaf Tuan, Nyonya ini ...."
"Dia Mamahku, Hanum!" Potong Pram.
"Ooh, aduuh saya mohon maaf ya Nyonya, saya tidak tahu kalau Nyonya Mamahnya Tuan Pram." Hanum membungkukan tubuhnya.
"Sudah, kamu masuk sana!" Perintah Pram.
"Saya mau masak nasi, tempat berasnya di mana ya Tuan?"
"Masaknya tunggu Bik Cicih saja."
"Tapi saya sudah lapar."
"Ya ampun, Hanum! Kamu bisa makan roti yang ada di lemari dapur dulu!"
"Saya bukan bule Tuan, saya ter ...."
"Hanum, pergi ke dapur sekarang!" Bentak Pram tidak sabar. Tanpa berkata-kata lagi Hanum langsung masuk menuju dapur.
"Siapa anak kecil itu Pram!?"
"Mamah, kenapa sepagi ini ada di sini?" Bukannya menjawab pertanyaan Mamahnya, Pram justru balik bertanya.
"Jawab pertanyaan Mamah, Pram!"
"Asisten rumah tangga baru Mah, Mamahkan tahu, Bik Cicih, dan Pak Basuki akan segera berhenti, mereka akan menyusul anak sulung mereka yang tinggal di Semarang. Karena itu, aku meminta mereka membawakan ART baru. Dia keponakannya Pak Basuki."
Pram menyeruput kopinya, lalu duduk di sofa ruang tengah, diikuti oleh Bu Astri, mamahnya.
"Berapa usianya?"
"Sembilan belas tahun."
"Dia tidak sekolah?"
"Cuma tamat SMP."
"Orang tuanya setuju dia bekerja, jangan sampai nanti jadi masalah Pram."
"Dia sudah yatim piatu."
"Ooh, ehmm ... Mamah ke sini cuma ingin menyampaikan undangan makan malam di rumah Om Kendro."
"Makan malam? Memangnya ada apa Mah?"
"Kamu masih ingat Kezia kan? Anaknya Kendro yang kuliah di Australia?"
"Masih, kenapa?"
"Dia sudah sarjana sekarang."
"Terus kenapa?"
"Pram, coba buka hatimu untuk wanita lain. Jangan hanya terpaku pada Evita saja. Mamah tidak suka melihatmu masih mengharapkan Evita." Bu Astri menatap Pram dengan seksama, berusaha menyelami perasaan putra tunggalnya.
Pram menghembuskan napasnya.
"Tidak semudah itu Mah, aku perlu waktu."
"Usiamu terus bertambah, kapan lagi kau akan memberikan Mamah cucu Pram? Kau satu-satunya anak Mamah, dan Papah, Pram!"
"Bila saatnya tiba, aku pasti akan memberikan cucu nanti."
"Nantinya itu kapan, Pram? Usia Mamah sudah 57 tahun, papahmu sudah 60 tahun. Teman-teman kami saja sudah pada punya cucu semua."
"Sabar Mah, kalau Tuhan belum memberi mau bagaimana lagi?"
"Makanya kamu jawab tantangan Evita dengan menikah lagi. Tunjukan pada dia kalau kamu itu sehat, bisa punya anak. Pokoknya mamah ingin kamu ikut ke acara makan malam besok, jangan menolak dengan banyak alasan, Pram!" Bu Astri berdiri dari duduknya. Pram ikut berdiri juga.
"Mamah pulang Pram, Cicih kemana kok belum datang?"
"Ada yang meninggal di dekat rumah Pak Basuki, jadi mereka melayat dulu. Tadi Pak Basuki sudah telpon aku Mah."
"Lah itu, anak orang itu kelaparan kamu suruh nunggu Cicih datang. Bisa mati kelaparan dia Pram!"
"Nanti aku beli sarapan di luar saja Mah."
"Hmmm, Mamah pulang ya."
"Iya, Mah."
Setelah mengantar Mamahnya sampai ke pintu, Pram masuk kembali ke dapur. Dilihatnya Hanum tengah menikmati roti dengan olesan s**u coklat.
"Maaf Tuan, saya tidak ijin dulu minta susunya," ujarnya dengan mulut masih berisi roti yang dikunyahnya. Melihat cara makan Hanum yang seperti sangat menikmati, apa yang masuk ke dalam mulutnya. Pram jadi menelan air liur, ia ikut duduk di kursi dapur. Dan ikut mengambil roti lalu menumpahkan s**u coklat di atasnya. Perlahan, Pram memasukan roti itu ke mulutnya.
"Enak ya Tuan, kita jadi seperti orang bule hehehe," Hanum terkekeh sendirian, Pram hanya diam saja. Ia tengah menikmati roti yang dimakannya.
"Tuan, kalau Nyonyah itu ibunya Tuan, berarti beliau ibu mertua saya ya?"
"Uhuuuk! uhuuukk!" Pram tersedak makanannya, cepat Hanum mengambilkan air putih, dan menyodorkan ke bibir Pram.
"Tuan makannya tidak baca doa dulu ya?" Hanum mengusap punggung Pram lembut. Pram hanya diam saja.
'Hhhh, gadis dusun ini awalnya sangat pendiam, makin kesini malah makin banyak bicara saja'
"Ibu Tuan cantik ya, Bapak Tuan pasti ganteng seperti Tuan," celoteh Hanum, Pram menatap Hanum yang kembali mengolesi roti dengan s**u coklat.
"Makan jangan sambil bicara, Hanum. Nanti tersedak."
"Hmmm, dari tadi saya bicara tidak tersedak. Tuan diam saja malah tersedak, menurut sa ...."
"Diaamm Hanuum" ujar Pram berusaha untuk bicara dengan nada rendah saja. Hanum mengatupkan mulutnya, tidak berani bersuara lagi.
*****************