Selamat membaca!
Dania berusaha kuat di hadapan Nathan yang seolah tak peduli akan masalah yang tengah menimpanya. Kedua mata wanita itu menatap tajam wajah Nathan yang ada di hadapannya.
"Oke, aku nggak akan ngebahas masalahku lagi. Aku akan bersikap profesional dengan perjanjian yang telah kita buat. Aku akan selalu siap melayanimu kapan pun saat kamu datang ke sini dan aku nggak akan nolak karena kamu udah ngasih semua kemewahan ini. Sekarang ayo, cepat buka pakaianmu, Than!" perintah Dania dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya hingga urat hijau di lehernya terlihat jelas menegang.
Nathan memicingkan kedua matanya, menatap Dania yang saat ini terlihat sangat kesal atas perkataannya tadi. Namun, Nathan benar-benar tidak tahu bagaimana caranya bersikap manis. Selain itu, ia juga takut jika ada cinta dalam hubungan mereka. Hal yang Nathan hindari, terlebih bayangan masa lalu masih sering mengganggu pikirannya. Bayangan ditinggal wanita yang telah menjadi tunangannya.
"Ayo cepat, Than!" ucap Dania mulai kesal karena Nathan masih diam dan hanya menatap tajam ke arahnya hingga sebuah pukulan keras mendarat di d**a pria itu. "Cepat, aku bilang!" Saat ini, intonasi suara Dania sudah terdengar tinggi karena sudah tak lagi bisa menahan amarah.
"Dania, kamu itu kan seorang wanita, harusnya kamu bisa bersikap lebih lembut, bukan malah kasar seperti ini!" protes Nathan tanpa peduli perasaan Dania.
"Kenapa? Kamu nggak suka aku kasar? Kalau kamu keberatan dengan sikapku, lebih baik buang saja aku ini, ambil semua yang udah kamu kasih ke aku. Ambil semuanya! Biarkan aku hidup di penjara, aku nggak masalah kalau harus mendapat hukuman mati sekalipun agar aku bisa pergi jauh dari dunia ini!" teriak Dania melawan protes Nathan. "Kamu tahu nggak sih, aku seperti ini karena hidupku itu keras, Than. Kehidupan yang keras ini mengajarkan aku biar nggak lemah agar orang nggak bisa menindasku semaunya! Dan, selama aku sama Vano, dia nggak pernah bersikap manis dan lembut sama aku, dia itu kasar dan selalu menyalahkan semua masalah yang terjadi dalam hidupnya sama aku. Jadi, wajar saja kan kalau karakterku terbentuk seperti ini, keras kepala dan kasar!" ucap Dania menuturkan semua isi hatinya sambil meratapi hidupnya dengan menangis.
Nathan mengembuskan napas kasar. Hatinya sakit melihat Dania menangis, apalagi suara isakan wanita itu terdengar sangat menyiksa. Namun, alih-alih menenangkan, Nathan coba bersikap cuek dan tak peduli.
"Tetap saja, harusnya kamu nggak boleh bersikap seperti itu. Semua sikap kamu itu hanya merugikan kamu!" Nada bicara Nathan terdengar tegas.
Dania tak menjawab. Alih-alih menenangkannya, Nathan malah lebih keras menggurui.
"Kalau kamu nggak mau aku layani sekarang! Pergilah, aku mau sendiri!" Dania coba menghentikan paksa isak tangisnya. Membuat Nathan tak kuat lagi menahan diri meski apa yang dilakukannya sejak tadi hanya demi bisa mengubah Dania agar jadi pribadi yang lebih baik.
Kedua tangan pria itu segera merengkuh tubuh wanita yang saat ini tampak begitu rapuh di hadapannya. Nathan mulai mendekap erat. "Sudah ya, jangan nangis lagi! Aku minta maaf kalau perkataanku tadi nyakitin kamu. Malam ini tidurlah, kamu nggak perlu layani aku." Nathan benar-benar tak percaya saat mendengar perkataannya sendiri.
Tentu saja Dania kaget. Tak menyangka jika Nathan akan menjawab seperti itu. "Apa kamu serius, Than?" Sambil mendongak, Dania menatap wajah Nathan masih dalam dekapan pria itu. Suara isak tangisnya mulai mereda saat Nathan menjawab dengan sebuah senyuman.
Setelah cukup lama saling memberi kehangatan satu sama lain, kini Dania mulai melepaskan pelukannya. Matanya yang sendu menatap wajah Nathan dengan lekat.
"Makasih ya, Than. Kamu tidur duluan saja ya, aku harus mempersiapkan diri untuk dijemput polisi entah berapa jam lagi."
Nathan tersenyum tipis. "Orang di penjara itu nggak perlu bawa apa-apa, Dan. Cukup menunggu kapan polisi akan menjemputmu, dibawa ke lapas tahanan, lalu kamu akan tinggal beberapa waktu di ruangan kecil yang dikelilingi jeruji besi."
"Sendiri?" tanya Dania dengan alis yang saling bertaut, raut wajahnya terlihat sangat ketakutan atas penjelasan Nathan.
"Nggak dong, kamu akan punya teman narapidana yang akan tinggal satu ruangan sama kamu."
"Satu orang, dua orang, tiga orang atau berapa orang, Than?" tanya Dania mulai meringis.
"Tergantung, bisa tiga, lima, atau bahkan bisa lebih, mereka semua berkumpul di dalam ruangan kecil, seperempatnya dari ruang toilet di kamar ini!" ucap Nathan menakut-nakuti Dania.
"Argh ... aku nggak mau di penjara kalau gitu!" Dania berteriak histeris. Ia segera memeluk Nathan dan membenamkan wajahnya pada d**a bidang pria itu.
Nathan pun kembali membalas pelukan Dania yang sedang merasa takut, jemari pria itu membelai lembut pucuk kepala Dania, memberikan kecupan berulang kali dan berkata, "Jangan takut, sekarang tidurlah! Aku akan selalu ada di sampingmu."
Dania mendongakkan kepalanya lagi dan pandangan mata mereka saling bertaut, wanita itu pun tersenyum karena merasa lebih tenang setelah Nathan berkata seperti itu.
"Makasih, Than. Aku benar-benar nggak tahu, apa jadinya kalau nggak ada kamu di sini," ucap Dania dengan kedua bola mata yang sudah berkaca-kaca.
Nathan melepaskan lengannya yang melingkar di tubuh Dania, lalu jemarinya mengusap wajah wanita itu dengan lembut. "Tapi maaf aku nggak bisa selamanya ada di sampingmu."
"Kenapa?" tanya Dania dengan dahi yang sudah mengerut dalam.
"Oma sudah punya rencana untuk menjodohkanku dengan wanita pilihannya. Makanya, aku harus segera mencari wanita untuk bisa kunikahi karena aku nggak mau menikah sama wanita pilihan Oma."
Air mata yang semula menganak di kedua mata Dania, kini menetes dan jatuh hingga membasahi wajah cantiknya. Dania menelan salivanya dengan susah payah. Coba menerima kenyataan bahwa pria yang ada di hadapannya tidak akan bisa ia miliki selamanya.
"Terus, apa kamu sudah punya calonnya?" tanya Dania tersenyum getir.
"Entahlah, aku nggak tahu, tapi aku akan segera mencarinya."
Baru saja Dania hendak bertanya, tiba-tiba Nathan menghentikan niatnya.
"Sudah, sudah, nggak usah dipikirkan! Sekarang kamu tidur, aku akan menemanimu sampai polisi datang. Setelah itu, aku akan pulang ke rumah dengan tenang."
"Tapi ... bolehkah aku tanya satu pertanyaan?" Dania coba memberanikan diri bertanya.
"Nggak boleh! Aku memintamu segera tidur, bukan malah bertanya!" cetus Nathan membuat Dania terdiam dengan rasa penasaran yang terpaksa harus dipendam.
"Oke, baiklah. Selamat malam." Dania menghela napas kasar sambil memutar tubuhnya dan mulai merangkak naik menuju posisi tidurnya di atas ranjang.
Setelah merebahkan tubuhnya, Dania meraih remote pada nakas untuk mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang tidak terang hanya untuk memberikan sedikit pencahayaan.
Tak lama kemudian, Nathan pun menyusul. Pria itu tampak menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang sambil melirik Dania yang tengah membelakanginya.
"Kenapa Dania kelihatan sedih seperti itu setelah mendengar rencanaku tadi, ya? Apa dia takut aku akan mengambil semua kemewahan yang sudah aku berikan ini? Ya, sepertinya begitu, wanita seperti dia pasti tidak akan menjalani hubungan ini dengan hati. Dia pasti sangat profesional seperti yang tadi dia katakan," batin Nathan menduga.
Bersambung✍️