Bab 4. Heran

1064 Words
Selamat membaca! "Aku hanya ingin makan siang, Bim!" kilah Nathan dengan raut membantah setelah sempat terdiam sejenak. "Tapi Nathan yang aku kenal tidak seperti ini, hanya cinta satu malam dan kau tidak akan pernah mau bertemu lagi dengan wanita yang telah memuaskanmu!" "Tutup mulutmu, Bim! Aku malas mendengar ocehanmu hari ini!" Nathan berlalu meninggalkan Bima yang tengah dibalut rasa penasarannya. "Baiklah, aku akan cari tahu sendiri tentang wanita itu," batin Bima penuh rencana. "Hati-hati di jalan dan selamat bersenang-senang, Dude!" teriak Bima agar Nathan mendengar ucapannya sambil terus menatap kepergian Nathan yang semakin menjauhinya. *** Mobil sport mewah berwarna putih dengan desain yang sangat elegan, membuat mata siapa pun yang memandang pasti akan iri untuk dapat memilikinya. Mobil mewah itu kini tepat berhenti di pelataran lobi Langham Residence. "Tuan Nathan, kita sudah sampai." Toni langsung keluar dari mobil. Membuka pintu untuk tuannya. Seperti biasa, majikannya itu tampak dingin. Tanpa menjawab perkataan sopirnya, Nathan keluar begitu saja dari mobil. "Untung gaji bekerja dengan Tuan Nathan lebih besar dari bekerja di tempat lain, kalau nggak pasti aku nggak akan sudi kerja sama dia," gerutu Toni merasa kesal dengan sikap angkuh tuannya. Setelah berada di dalam lobi apartemen, Nathan terus melangkah dengan penuh wibawa untuk menuju sebuah lift yang berada di sudut lobi. Kehadirannya kala itu, mengalihkan pandangan semua orang yang sedang lalu lalang di sekitarnya. Mereka terpana melihat seorang Nathan–pria tampan dan kaya raya yang wajahnya sering terpampang di media cetak dan elektronik itu datang ke apartemen tempat mereka tinggal. Kebanyakan di antara mereka tak sungkan untuk menegur sapa dengan senyuman saat berpapasan dengan Nathan. Pria tampan itu pun membalas senyuman mereka karena memang semua penghuni yang tinggal di apartemen berasal dari kalangan elite yang beberapa adalah relasi di perusahaannya. Apartemen yang megah dan indah dengan taksiran harga perunitnya mencapai kisaran 35 miliar. Sebuah harga yang fantastis hanya untuk sebuah hunian di apartemen. Lebih menakjubkan lagi, Nathan memberikannya pada seorang wanita yang hanya berstatus sebagai teman tidurnya saja, bisa dibayangkan jika wanita itu adalah istrinya, mungkin seluruh unit apartemen akan dibeli olehnya. Setibanya di depan pintu apartemen nomor 25, Nathan mengeluarkan access card cadangan dari saku jas yang ia kenakan. Pria itu sengaja memiliki kartu cadangan agar ia bisa leluasa datang kapan pun yang ia kehendaki. Setelah pintu terbuka, Nathan melangkah masuk dan mulai mengedarkan pandangan ke segala penjuru apartemen. Langkah kakinya terus menyusuri setiap ruang apartemen yang ada. Namun, pencariannya masih tidak membuahkan hasil. "Ke mana wanita itu?" tanyanya mulai geram saat wanita yang ia cari begitu sulit untuk ditemukan. Nathan mulai membuka satu persatu pintu ruangan yang ada di apartemen itu dengan deru napasnya yang mulai terdengar tak beraturan. "Argh ...." Nathan membanting salah satu pintu ruangan dengan keras karena kedua manik matanya belum juga menemukan sosok wanita yang dicarinya sejak tadi. Seorang wanita yang telah berhasil membuatnya merasa takut kehilangan. "Kenapa perasaanku jadi galau begini, ya? Apa karena aku takut nggak bisa ketemu lagi sama dia, ya?" gumam Nathan sambil terus menyusuri setiap sudut ruangan di lantai bawah. Namun, tetap saja dirinya masih belum menemukan Dania. Kini pria tampan itu dengan tergesa mulai menaiki anak tangga untuk melakukan pencarian selanjutnya hingga langkah kakinya berakhir di balkon apartemen. "Ternyata dia tidur di sini! Pantas saja dia nggak ada di kamar, tapi kenapa aku ketakutan sekali dia kabur, ya?" Kini Nathan dapat bernapas lega setelah kembali melihat wanita yang sejak di kantor tadi terus mengusik pikirannya. Pria itu terus memandangi sosok Dania yang saat ini sedang tertidur di sebuah sofa panjang dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya. Nathan pun mulai duduk di tepi sofa sambil terus menatap wajah Dania yang terlihat semakin cantik saat kedua matanya terpejam. "Wanita ini sungguh berbeda dari wanita lainnya yang pernah aku temui, dia terlihat sangat lugu dan menggemaskan. Bahkan dia juga mampu membuatku sampai merindukannya," batin Nathan dipenuhi decak kagum saat menatap wajah Dania. Nathan mulai mengusap pipi wanita itu dengan jemarinya. Namun, setelah menunggu beberapa menit, Dania masih belum menyadari kehadirannya. Nathan pun akhirnya berinisiatif untuk membangunkannya. "Hai, bangunlah! Apa kamu nggak lapar?" tanya Nathan, walau dengan perasaan tidak tega saat membangunkan Dania. Nathan tahu betul bahwa Dania saat ini pasti sangat mengantuk karena semalaman telah melayaninya. Perasaan tidak tega seperti saat ini baru pertama kali mengusiknya. Sebelumnya, Nathan tidak pernah mau peduli, apalagi memikirkan keadaan wanita yang telah dibayarnya. Namun, entah kenapa, kali ini sangat berbeda dari pengalaman sebelumnya. Sosok Dania benar-benar sangat istimewa untuknya. "Sial, kenapa perasaanku jadi sangat lemah seperti ini?" Nathan tampak geram dengan segala pikiran yang tak seperti biasanya. Seperti bukan dirinya dan itu sungguh aneh menurutnya. Nathan pun dengan cepat menggelengkan kepala berulang kali. Berharap segala pikiran yang sangat mengganggunya itu bisa hilang. "Ini pasti karena aku mendengar cerita dia yang hidup sebatang kara dan dikhianati Vano. Ya, pasti aku hanya kasihan, nggak mungkin lebih. Lagi pula wanita seperti dia, nggak akan mungkin setia dengan satu pria." Nathan langsung menampik perasaan yang sempat mengusiknya, terlebih saat ingatan masa lalu kembali hadir dalam pikirannya. Ingatan di mana Nathan ditinggalkan oleh wanita yang sangat dicintainya. Kenangan itu begitu membekas hingga membuat Nathan menjadi sosok pria yang sangat dingin berhadapan dengan wanita. "Ah, perasaan ini nggak boleh melemahkanku seperti dulu. Aku nggak ingin lagi merasakan sakitnya ditinggalkan wanita. Dulu aku pernah bodoh karena cinta dan aku nggak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya!" Tatapan mata Nathan pun kembali menajam, ia terlihat seperti sosok Nathan yang biasanya. Sosok yang dingin dan tak menggunakan hati dalam urusan apa pun, termasuk wanita. "Dania, bangunlah! Aku lapar!" perintah Nathan sambil melepas earphone pada telinga Dania. Mendengar suara bariton Nathan yang terdengar tegas, membuat Dania mulai terjaga dan segera mengerjapkan kedua matanya, lalu menatap sosok pria yang kini ada di hadapannya. "Hei, Nath. Apa ini sudah malam? Sejak kapan kamu datang?" tanya wanita itu yang masih kesulitan membuka lebar kedua matanya. Nathan pun tersenyum dingin, menutupi perasaannya yang sempat kalut. "Aku datang ke sini untuk makan siang. Apa kamu bisa masak?" tanya Nathan sambil menaikkan kedua alisnya. Dania pun terhenyak. Merasa kaget karena ia masih ingat betul jika Erik sempat mengatakan padanya kalau Nathan akan datang saat malam. "Padahal ini kan masih siang, tapi kenapa dia sudah datang? Apa mungkin dia merindukanku, ya? Ah, nggak mungkin! Ini pasti hanya perasaanku." Dania bermonolog sendiri. Sempat ragu tentang apa yang terbesit di pikirannya. Namun, itu hanya berlangsung singkat karena Dania dengan cepat menampik semuanya. Bersambung✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD