Selamat membaca!
Suasana jalanan malam yang cukup lengang, membuat mobil Nathan yang dikendarai oleh Toni-sopir pribadinya, melesat sangat cepat. Hanya perlu waktu 20 menit, mobil itu kini telah berhenti tepat sebuah lobi hotel.
Pengawal Nathan dengan sigap turun dari mobil yang lainnya karena memang mobil mereka selalu berada tepat di belakang mobil tuannya untuk tetap waspada dan berjaga-jaga. Kedua pengawal itu hendak membantu Nathan untuk membawa Dania ke dalam hotel. Namun, niat baik mereka mendapat penolakan dari sang majikan.
"Biar saya yang memapah wanita ini, kalian berjaga di belakang saja!" perintah Nathan dengan deru napas yang terdengar memburu karena menahan hasrat dalam dirinya yang sepanjang perjalanan ditahannya.
Nathan pun memapah tubuh Dania yang berjalan dengan sempoyongan, mereka mulai menaiki lift menuju lantai 12, menuju ke tempat pribadi khusus untuk sang pemilik hotel.
Setibanya di depan pintu kamar, Nathan menempelkan acces card dan seketika pintu kamar terbuka lebar. Sebelum pintu kembali tertutup, Nathan memerintahkan kedua pengawalnya untuk beristirahat di kamar yang berada di seberang kamarnya. Setelah pintu tertutup, Nathan segera merebahkan tubuh Dania di atas ranjang king size yang terdapat di kamar itu.
Dania pun perlahan mulai membuka mata setelah tubuhnya terhempas di ranjang yang empuk itu. "Ini di mana?"
"Kita sudah sampai di hotelku. Tenang saja kamu akan aman di sini." Nathan mengusap lembut pipi wanita itu.
"Ta-pi, kamu jangan berbuat macam-macam, ya!" Peringatan mulai terlontar dari mulut Dania yang ingin menjaga tubuhnya dari jamahan pria lain karena ia masih berpikir jika tubuhnya hanya milik Vano–mantan kekasihnya.
Nathan pun terkekeh geli mendengar perkataan Dania yang memang sudah dalam kondisi setengah sadar. "Mana mungkin dua orang dewasa yang berada dalam satu kamar, lalu keduanya sama-sama mabuk, tapi tidak melakukan apa-apa, Nona."
Dania langsung memicingkan kedua matanya dan menatap tajam wajah Nathan yang terlihat sangat menyebalkan karena sedang berusaha menggodanya. "Aku nggak mau ada yang menikmati tubuhku, selain Vano!" ketus Dania yang mulai mengumpulkan kesadarannya, walau memang terasa sangat berat.
"Aku akan membuatmu puas dengan permainanku. Dengan begitu, nanti kamu pasti dapat melupakan pria yang sudah menyakitimu itu."
“Benarkah? Apa bercinta denganmu akan membuatku lupa sama laki-laki sialan itu?”
“Aku janji.” Nathan tersenyum. Mulai menempatkan dirinya di atas tubuh Dania.
"Oke, lakukan! Buktikan kalau ucapanmu itu benar! Aku benar-benar ingin melupakan Vano."
"Baiklah, Sayang. Aku akan melakukannya sekarang. Mendesahlah yang keras, bila perlu berteriak sekencang-kencangnya, kalau permainanku lebih nikmat dari Vano!"
Tanpa membuang waktunya, Nathan langsung duduk di atas paha Dania untuk melucuti semua pakaian yang menempel di tubuhnya, lalu merobek dress yang dikenakan wanita itu dengan menggunakan giginya.
Dania pun menggigit bibir merahnya kuat-kuat. Ia hanya pasrah dengan apa yang akan dilakukan Nathan.
"Seperti dugaanku tubuhmu memang sangat seksi, Sayang. Apa kamu sudah siap?" puji Nathan diakhiri dengan sebuah pertanyaan.
Dania mengangguk sembari memejamkan matanya erat-erat. "Hei, jangan tutup matamu! Buka matamu lebar-lebar dan tatap wajahku! Aku ingin kamu bisa menikmati malam panjang ini, Sayang!"
Menuruti perintah Nathan, Dania perlahan membuka mata. Kembali menatap wajah tampan Nathan yang saat ini menampilkan senyuman yang begitu menggoda. Dania yang hendak berucap tiba-tiba saja terdiam kembali saat Nathan menyerang bibirnya tanpa aba-aba. Pria itu terus melampiaskan segala hasratnya dengan mencium bibir merah Dania yang membuatnya terlihat sangat rakus. Mereka pun menikmati malam panjang itu, berbagi peluh tanpa peduli bahwa keduanya baru saling mengenal.
***
Setelah melewati malam panjang, keduanya terkulai lemah di atas ranjang dengan tubuh yang masih dibasahi keringat. Adegan panas itu berlangsung hampir satu jam lamanya. Entah berapa banyak kenikmatan yang Dania rasakan akibat permainan Nathan. Wajah pria tampan itu kini tampak berseri karena baru malam ini ia bisa merasakan nikmatnya bercinta sampai berkali-kali lipat dengan Dania, tidak seperti wanita lainnya yang pernah ia tiduri.
Biasanya setelah berhubungan, Nathan akan langsung menyuruh wanita yang telah dibayarnya untuk pergi dari hotel karena ia ingin beristirahat dengan tenang setelah meluapkan hasratnya. Namun, saat ini ada yang berbeda dari Nathan, ia menggenggam erat tangan Dania yang sedang berusaha bangun dari posisi tidurnya.
"Lepas, Nathan!" perintah Dania saat pergelangan tangannya digenggam erat oleh Nathan.
"Mau ke mana?" tanya Nathan tanpa melepaskan tangan Dania.
"Aku mau ambil bajuku, terus mandi. Setelah itu, aku mau pulang!"
“Bajumu tadi robek, nggak mungkin kan kamu pakai lagi?”
"Pinjamkan aku kemeja yang kamu pakai semalam karena aku harus pulang."
"Nanti pagi anak buahku akan membawakan baju yang baru. Sekarang tidurlah dulu!" Nathan menepuk-nepuk ranjang agar Dania tidur di sebelahnya.
"Nggak bisa, Than. Aku udah ngambil job pemotretan lagi setelah Vano putusin aku. Jadi, tiga jam lagi aku harus terbang ke Singapura." Setelah berusaha lebih keras, akhirnya Dania berhasil melepaskan diri dari genggaman tangan Nathan. Wanita berparas cantik itu pun segera bangkit dan mengambil pakaiannya yang ternyata memang sudah tidak layak untuk dikenakan lagi.
Nathan pun segera menyusul Dania, ia bangkit dari ranjang dan memeluk tubuh wanita itu dari belakang. "Nggak perlu ngambil job model lagi karena aku akan memberikan semua yang kamu butuhkan."
Dania berhenti bergerak sejak Nathan memeluk tubuhnya. Permukaan kulit mereka menempel tanpa batasan dan Dania merasakan getaran yang berbeda di dalam hati. Getaran yang hampir sama rasanya saat Vano pertama kali memeluknya dulu.
"Nggak, Nathan ... aku nggak mau merepotkanmu! Lagi pula aku ingin dapat uang dari hasil keringatku sendiri." Dania berusaha melepaskan tubuhnya dari lilitan kedua tangan Nathan yang melingkar di perutnya.
"Kalau begitu, aku akan membayar keringat yang kamu keluarkan setiap bercinta denganku."
"Nathan, ini yang pertama dan terakhir. Aku nggak mau berhubungan sama kamu lagi." Dengan sekuat tenaga, akhirnya tubuh Dania terlepas dari dekapan Nathan. Kini, mereka berdiri saling berhadapan.
"Kenapa? Apa kamu nggak puas dengan permainanku atau ada sikapku yang salah?" Baru kali ini ia mendengar penolakan dari seseorang, meski baru pertama kali juga Nathan sampai menawarkan hal itu pada seorang wanita yang menjadi teman tidurnya.
"Katakan, Dania! Apa aku ada salah?" Nathan kembali bertanya. Kali ini terdengar lebih menuntut.
"Nggak, Nathan. Aku cuma nggak mau memulai hubungan yang lebih, aku masih trauma. Aku mau sendiri dulu." Raut wajah Dania semakin murung. Kepalanya kembali tertunduk lesu. Coba menutupi pandangan mata Nathan yang terlihat tidak puas dengan jawabannya.
“Apa kamu masih memikirkan Vano?”
Dania kembali mengangkat kepalanya hingga pandangan mata mereka saling bertaut. “Iya, aku masih sulit melupakan Vano, tapi setelah bersamamu, entah kenapa aku jadi nggak terlalu mikirin Vano. Makasih, ya.”
"Benarkah seperti itu? Kalau begitu kita cocok jadi teman tidur." Nathan terlihat sangat bahagia, ia begitu antusias menawarkan rencana kerja samanya pada Dania.
Mendengar itu, dahi Dania mengerut dalam. "Teman apa?"
"Iya, mulai sekarang, apa kamu mau jadi teman tidurku?"
Dania tercengang. Tawaran itu terdengar gila. Namun, entah kenapa ia mulai tertarik akan hal itu. Rasanya bukan hal yang salah jika menerimanya, apalagi saat ini Dania sadar jika ia butuh seorang pria yang dapat membantunya lupa dari rasa sakit karena dicampakkan Vano.
Bersambung✍️