Selamat membaca!
Dania mengerucut kesal karena awalnya yang ingin melakukan adalah Nathan. Namun, sekarang kenapa jadi dirinya yang seolah-olah menginginkan seks yang akan berlangsung di siang hari bolong.
Wanita cantik itu pun segera menuruti kemauan Nathan yang memintanya untuk memegang kendali saat keduanya bercinta yang akan mereka lakukan beberapa saat lagi.
Dalam sekejap, Dania telah melucuti semua pakaiannya termasuk pakaian yang Nathan kenakan. Keduanya pun mulai bercinta. Saling melepas segala hasrat tanpa dapat ditahan lagi.
Tak hanya di area d**a, Nathan juga mulai menciumi bagian perut Dania yang ramping dan sedikit berotot, tampak sekali bila tubuh Dania begitu terawat dan wanita itu memang sangat suka sekali berolahraga, terutama mengendarai sepeda. Tak ayal, paha dan bagian b****g Dania benar-benar seksi bila dipandang, layaknya sebuah gitar spanyol dengan lekuk yang indah. Namun, tiba-tiba suara gemuruh terdengar sangat mengganggu Nathan yang sedang menciumi bagian perut Dania hingga membuatnya terdiam, menjeda apa yang sedang dilakukannya.
"Kamu lapar banget, ya?" tanya Nathan dengan menautkan kedua alisnya.
Dania dengan polosnya mengangguk dan tak bisa lagi menutupinya dari Nathan bahwa saat ini rasa lapar benar-benar mengusik ketenangannya.
"Nggak apa-apa, Than, lanjutkan aja! Aku masih menikmati permainanmu."
Sebelum melanjutkan kembali, Nathan melihat ke arah juniornya yang kini tampak layu karena efek suara dari dalam perut Dania yang didengarnya. Nathan pun memutuskan untuk menunda hasratnya yang belum selesai terlampiaskan.
"Kenapa?" Dania merasa heran saat melihat Nathan malah bangkit dan tak melanjutkannya kembali. Pria itu memilih untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas ranjang.
"Nggak apa-apa, kamu kan lagi lapar. Jadi, aku ingin telepon delivery-nya udah sampai di mana makanan yang aku pesan tadi."
Dania pun jadi tersenyum saat mendengar perhatian manis dari Nathan yang membuat hatinya kian berbunga-bunga.
"Ternyata kamu sangat peduli sama aku. Itu tandanya dia nggak hanya menganggapku sebagai pelampiasan nafsunya saja, tapi bisa jadi lebih dari itu," batin Dania yang mulai merasakan getaran di hatinya atas perhatian yang Nathan tunjukkan.
Setelah menghubungi bagian delivery, tak lama kemudian makanan yang dipesan Nathan pun datang. Pria tampan itu sepakat untuk menunda segala hasrat dalam dirinya. Ia ingin memberikan waktu untuk Dania mengisi kekosongan perutnya yang sudah sejak tadi menuntut untuk minta diisi. Namun, bagi Nathan sendiri hal seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya karena ia sama sekali tak pernah memikirkan kemauan dari lawan mainnya. Pria itu benar-benar dingin, tak ada kompromi sama sekali, bahkan jika Nathan sudah menikmati tubuh seorang wanita, semua akan selesai ketika ia telah membayarnya. Tak ada pertemuan kedua dan lebih parah lagi, Nathan tidak ingin menikmati tubuh yang sama untuk kedua kalinya.
Saat ini, mereka sudah berada di ruang makan dengan makanan yang sedang Dania suguhkan di atas meja.
"Kamu juga pasti lapar, 'kan?"
"Iya aku juga lapar, tapi sepertinya kamu yang lebih lapar." Nathan menahan gelak tawanya rapat-rapat, teringat saat dirinya menciumi perut Dania tiba-tiba suara gemuruh terdengar berisik dari perut wanita itu hingga hasratnya seketika hilang.
"Kamu sedang menyindirku!" protes Dania dengan mengerucutkan bibirnya.
Nathan pun tak mampu lagi menahan tawanya, melihat raut wajah Dania yang lucu dan sangat menggemaskan.
"Udah, udah, ayo makan aja! Nanti cacing-cacing di perutmu, protes lagi lho!" Nathan mengusap lembut pipi Dania dengan sebelah tangannya.
Senyum pada wajah Dania pun mulai terbit dari kedua sudut bibirnya. Keduanya kini mulai menyantap makanan yang sudah tersedia di atas meja makan.
"Pria ini sangat perhatian, berbeda dengan Vano yang tak pernah memperhatikanku sedikit pun," batin Dania menatap diam-diam wajah Nathan yang sedang melahap makanan.
Setelah selesai dengan aktivitas makannya, kini Nathan tengah bersiap untuk pulang ke rumah. Pria itu memilih tak melanjutkan aktivitas bercintanya yang tadi sempat gagal. Ia pun memutuskan untuk melanjutkannya saat malam nanti. Kebetulan Nathan baru ingat jika sore ini ia memiliki sebuah janji dengan neneknya.
"Than, kenapa kamu nggak tinggal di sini aja?" tanya Dania yang merasa senang bila Nathan menemaninya tinggal di apartemen yang luas ini.
"Itu nggak mungkin karena omaku pasti nggak akan setuju kalau aku pergi dari rumah."
"Wah, kamu beruntung ya punya oma yang perhatian seperti itu." Dania mengulas senyum di wajahnya.
"Justru aku merasa seperti anak kecil yang masih diperlakukan seperti itu sama omaku. Apa saja yang aku lakukan di luar rumah, dia selalu ingin tahu dan ikut campur dengan urusanku."
"Justru itu bagus dong, tandanya oma kamu tuh sangat peduli sama kamu."
Nathan bersedekap sembari mengerutkan kening pada dahinya, ia tidak sepenuhnya setuju dengan perkataan yang terlontar dari mulut Dania. "Itu hanya dari sudut pandang kamu aja. Sebenarnya omaku itu sangatlah ribet, dia selalu memaksaku untuk menikah secepat mungkin dan paling hobby menjodohkanku dengan cucu dari sahabat-sahabatnya."
"Terus kenapa kamu nggak terima aja perjodohan itu?" tanya Dania penasaran dengan jawaban Nathan.
"Aku nggak mau nikah sama pilihan oma karena semua wanita yang dijodohkan denganku, tidak ada yang sesuai sama kriteria yang aku mau," ucap Nathan tanpa berpikir lebih dulu.
"Kalau ada, apa kamu akan menikah?" tanya Dania dengan rasa penasarannya, sembari menaikkan kedua alisnya.
Nathan terdiam dan memutar dua bola matanya untuk berpikir. "Mungkin, tapi tidak sekarang karena aku masih ingin fokus dalam karir dan pekerjaanku."
Entah kenapa mendengar jawaban dari Nathan, membuat Dania merasa puas hingga sebuah senyuman kembali mengembang dari kedua sudut bibirnya.
"Sekarang aku pulang dulu, ya!" Nathan pun pamit pada Dania sambil merapikan pakaiannya di depan sebuah cermin besar.
Dania bangkit dari ranjang dan berjalan menghampiri Nathan. "Boleh aku minta nomor handphonemu?"
"Untuk apa?" tanya Nathan mengerutkan keningnya dalam.
Dania bersedekap dengan sebelah alis yang terangkat. "Ya, untuk komunikasi dong, Nathan. Masa untuk menagih utang, memangnya aku debkolektor!"
Nathan pun menahan gelak tawanya rapat-rapat. Ia tak ingin, jika tertawa bahagia di hadapan Dania. Tak perlu waktu lama, raut wajah Nathan kini kembali datar dan terlihat sangat minim dengan senyuman. "Kamu nggak perlu menghubungiku, aku akan datang kapan pun yang aku mau Jika kamu butuh sesuatu, kamu hubungi Erik dan katakan apa keperluanmu, dia akan mengurus semuanya untukmu. Oh ya satu lagi, soal rumah yang aku janjikan, unitnya masih belum tersedia karena masih dalam tahap pembangunan."
Dania kecewa dengan penolakan Nathan. Namun, ia sadar bahwa tak bisa menuntut lebih karena posisinya di mata Nathan saat ini hanyalah teman tidur saja.
Bersambung✍️