Akuma No Ie adalah salah satu kerajaan iblis di dunia iblis utara. Sebuah dunia yang dihuni oleh para iblis keturunan Akuma. Dan kerajaan itu dipimpin oleh Sirzechs Dragneel, pemimpin iblis yang telah berkuasa sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam kepemimpinannya, Sirzechs merupakan raja yang tegas dan keras. Ia tak segan membunuh siapa saja yang melawan dan melanggar aturan juga akan melakukan apa saja untuk keselamatan klan iblis di dunianya. Meski jika itu harus membunuh anaknya sendiri sekalipun.
Tubuhnya tinggi dengan tubuh kekar dan besar dimana rambutnya yang panjang berwarna putih terikat ekor kuda. Wajahnya hampir menyerupai manusia, hanya saja ia memiliki dua tanduk di kepala yang serupa tanduk domba. Kuku-kuku panjangnya berwarna hitam. Sementara gigi taringnya tersembunyi di balik bibirnya yang berwarna hitam. Bola matanya berwarna merah dimana terdapat simbol kristal di tengah bola matanya.
"Ayah, coba lihat. Aku bisa melakukannya." Seorang iblis bertubuh kerdil berlari menuju ke arahnya yang tengah duduk tenang di singgasananya. Bocah iblis itu membuat pusaran api kecil dalam tangannya yang terbuka dan menunjukkan kemampuan pertamanya namun Sirzechs sama sekali tak peduli.
Tap!
Dengan kecepatan layaknya cahaya, Sirzechs telah berdiri di hadapan bocah iblis itu dan menepis tangannya kasar. Tak ada suara, tak ada ucapan yang sekiranya dapat bocah itu dengar kecuali tepisan kasar tangan Sirzechs yang seolah menyerang ulu hatinya untuk kesekian kalinya.
Regis Dragneel, nama bocah itu, merupakan iblis muda yang berbeda dengan iblis-iblis lainnya, dan dia adalah putra kedua dari Sirzechs. Bentuk tubuh dan rupanya nyaris sempurna menyerupai manusia dengan wajah tampan rupawan. Tak ada tanduk di kepala, tak ada kuku tajam juga tak ada aura kegelapan yang menyelimutinya. Kulitnya berwarna putih pucat, matanya lebar namun memiliki sorot mata yang tajam. Bola matanya yang hitam seketika berubah menjadi sepekat darah saat merasakan bahaya.
Regis terdiam merasakan rasa perih yang tercipta oleh tepisan tangan sang ayah. Namun rasa perih itu tak sebanding dengan luka di hatinya.
"Regis."
Bocah itu menoleh ke arah sumber suara tanpa menghilangkan raut wajahnya yang kecewa. Kemudian berjalan lesu ke arah sesosok iblis yang memanggilnya.
"Ada apa?" tanya sosok yang serupa Regis namun memiliki dua tanduk kecil di kepala. Kuku-kuku jarinya berwarna hitam panjang, dan kulit tubuhnya berwarna putih pucat dengan mata merah semerah darah dimana terdapat lima titik tomoe dalam iris matanya. Dan dia adalah putra sulung dari Sirzechs, kakak Regis.
"Kapan Regis bisa sekuat kakak? Lihat." Regis membuka telapak tangannya dan memejamkan mata. Beberapa saat kemudian muncul setitik api kecil dari tengah telapak tangannya kemudian setitik api itu mulai bertambah ukuran.
Wush ….
Namun sebelum api itu benar-benar membesar, tiupan ringan dari kakak Regis menghilangkannya dalam sekejap mata.
Sementara Sirzechs hanya diam tak bersuara. Sorot matanya yang tajam mengarah pada putra sulungnya yang sekilas menatapnya kemudian kembali menatap Regis.
Seolah mengerti arti tatapan sang ayah, Kranz segera mengambil tindakan. "Ayo ikut kakak." Dituntunnya Regis bersamanya menuju sebuah ruangan gelap di bawah tanah istana.
Kranz Dragneel namanya, Kakak Regis yang menjadi satu-satunya penolong bagi Regis saat ia mendapat perlakuan kasar sang ayah. Di dunia ini, hanya sang kakak lah yang selalu ada untuknya. Menemaninya bermain, melatih kekuatannya, juga mengajarkan beberapa teknik kekuatan dasar seorang iblis. Bahkan Regis sangat yakin, bahwa hanya kakaknya saja yang menganggapnya ada.
"Kakak, kenapa ayah sangat membenciku?" gumam Regis seraya menghentikan langkahnya.
Kranz menoleh dan dapat melihat raut kekecewaan terkumpul di wajah Regis. Tangannya yang sebelumnya tertaut dengan tangan Regis, terlepas kemudian mengusap pucuk kepalanya. "Ayah tidak membencimu," jawabnya.
Regis seketika menegakkan kepala. Matanya yang berkaca-kaca menatap Kranz dengan rasa sakit yang tersirat. "Tapi kenapa ayah tidak peduli padaku?" tanyanya dengan arah pandang pada pergelangan tangannya yang memerah bekas tepisan tangan ayahnya.
Kranz memejamkan mata sejenak tanpa menurunkan tangannya dari kepala Regis. "Ayah hanya tidak bisa mengungkapkannya. Apa kau tahu? Saat ayah bersama kakak, ayah selalu membicarakanmu," ujar Kranz memberitahu.
"Kakak bohong!" teriak Regis hingga tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya.
Sorot mata Kranz menjadi sendu. Diusapnya lembut pipi Regis yang terlihat merah karena marah. "Sudahlah. Bagaimana jika kita bermain?" tawarnya.
Regis hanya diam dan menunduk menyembunyikan wajahnya. Kemudian tangannya terangkat mengusap setitik air matanya dan mengangguk kecil lalu kembali melangkah mengikuti Kranz.
Langkah kaki keduanya berhenti di sebuah ruangan gelap yang hanya tersinari cahaya obor yang nyaris redup. Tangan Kranz terangkat dan mengarah pada sebuah tanda di tengah pintu batu besar di hadapannya. Mulutnya terlihat mengucap mantra dan selang beberapa saat, pintu itu mulai bergeser. Perlahan cahaya menyilaukan pun muncul dari dalam ruangan. Dan saat pintu telah terbuka lebar, Kranz diikuti Regis di belakangnya segera masuk dan perlahan pintu itu kembali tertutup.
Regis berlari dengan tertawa lebar dimana kedua tangannya terentang layaknya seekor burung tengah terbang. Ia berlarian kesana kemari sementara Kranz hanya melihatnya dengan tersenyum tipis. Melihat Regis kembali tertawa dan melupakan sejenak kesedihannya sudah mampu membuat Kranz lebih tenang.
"Kakak …." Regis melambaikan tangan memanggil Kranz untuk menyusulnya. Kranz pun hanya melempar senyum tipis kemudian menuruti keinginan Regis dengan berlari kecil ke arahnya.
Setiap kali Regis merasakan kesedihan karena ayahnya, Kranz akan membawanya ke dunia lain. Lebih tepatnya ke dimensi lain yang ia ciptakan hanya untuk menghibur Regis.
Regis terbaring di atas banyaknya bunga dandelion dan menatap langit yang terlihat begitu menenangkan perasaannya. Langit biru dengan hamparan bunga yang memanjakan penglihatan juga kupu-kupu cantik yang sanggup menghipnotisnya. Sesering apapun ia datang ke tempat ini, ia akan selalu merasakan senang tak terkendali terlebih jika ditemani sang kakak yang juga bermain bersamanya. Baginya, Kranz adalah ibu juga ayah untuknya. Perlahan tangannya terangkat. Dipandangnya jari-jari tangannya yang tampak berbeda dengan jari-jari iblis lainnya. Ia tak memiliki kuku hitam nan tajam, bahkan tangannya terlihat lemah tak seperti iblis lain yang terlihat begitu kokoh dan kuat. "Kak, kenapa Regis berbeda?" tanyanya saat Kranz telah duduk di sebelahnya dan mengikuti arah pandangnya.
"Karena kau istimewa," jawab Kranz yang kini menatap ke arah langit yang begitu bersih dari awan. Birunya langit yang cerah meski tak terlihat adanya matahari yang memancarkan cahayanya.
"Istimewa?" gumam Regis seraya menurunkan tangannya perlahan. "Bagaimana bisa berbeda disebut istimewa? Jika benar, aku tidak ingin istimewa. Aku ingin seperti kakak, juga ayah dan semua iblis lainnya. Karena dengan aku yang berbeda inilah, mungkin alasan ayah membenci dan mengurungku."
Kranz terkejut, ia segera menatap Regis yang tengah memejamkan mata. Rupanya Regis tahu bahwa ia diasingkan. "Siapa bilang ayah mengurungmu?"
Regis membuka mata dan menatap Kranz dari posisinya. "Jika tidak, tentu aku bisa keluar dari istana ini dan bermain dengan iblis lain," jawabnya dengan ekspresi tak terbaca.
"Ayah hanya tidak ingin iblis lain melukaimu," ujar Kranz sebagai alasan.
"Maka dari itu, Kak, kau harus melatihku. Meski aku berbeda, mungkin jika aku kuat, ayah akan membiarkanku bergaul dengan iblis-iblis lain," pungkas Regis yang terlihat lebih bersemangat.
Tuk!
"Awh … Kakak …." Regis meringis kecil saat Kranz mengetuk dahinya dengan tekukan jari telunjuknya.
"Tidak peduli apakah kau punya teman atau tidak. Jangan menjadikan ingin berteman atau agar diakui orang lain sebagai teman hingga mengorbankan segalanya," tutur Kranz agar Regis tidak berpikir ingin lebih kuat agar punya banyak teman dan diakui. Tidak selamanya kekuatan menjadikan seseorang diakui orang lain. Bahkan kekuatan bisa menjadikan seseorang dijauhi.
"Aku tidak mengorbankan segalanya, Kak. Aku hanya ingin kakak mengajariku agar lebih kuat," sergah Regis menggebu.
Kranz terkekeh kecil. "Nanti, ya," jawabnya dan kembali mengetuk dahi Regis.
"Kakak …." Regis menggembungkan pipi kesal dengan mengusap dahinya. Tidak sakit memang, itu ia lakukan sematan agar mendapat perhatian sang kakak.
Kranz kembali menatap birunya langit yang membentang dengan pikirannya yang tersembunyi memikirkan masa depan Regis. Ia hanya ingin lebih lama seperti ini, karena ia tidak tahu, kapan hari itu akan terjadi.
Puk!
Kranz terkejut saat Regis menerjang dan memeluk perutnya dari samping. Mengusap-usapkan wajahnya pada baju kulit hewan yang dipakainya dengan kedua kakinya yang memukul udara. "Regis sayang Kakak," ucapnya dengan menguatkan pelukan.
Pandangan Kranz seketika terlihat berubah. Ia menunduk mengusap kepala Regis dan mendaratkan kecupan hangat di sana. "Tentu saja, kakak juga menyayangi Regis."
Namun tidak ada yang bisa menebak akhir dari sebuah rasa sayang. Karena semakin besar rasa sayang, semakin besar kemungkinan menimbulkan kebencian.