7. Takkan Lolos

1856 Words
Tidak mengabaikan etika, Mahesa mengantarkan Ziya pulang. Waktu menjelang subuh ketika mobil yang dikendarai Mahesa berhenti di sebuah gang sempit di daerah permukiman padat penduduk. Tatapan skeptisnya menerawang gerak-gerik Ziya dari balik kemudi. Pertanyaan yang hendak ia kemukakan tertahan oleh rasa kesal yang menggerogoti dirinya. Sikap dan ucapan defensif Ziya di apartemen tadi sudah menyinggung perasaan dan mengurungkan niat Mahesa untuk mengetahui lebih banyak informasi tentang kehidupan wanita itu. Kembali ke tujuan awalnya, Mahesa hanya akan berurusan dengan Ziya mengenai Rafandra saja. Mahesa bertekad dalam hati. “Terima kasih sudah mengantarku pulang,” ucap Ziya. Mahesa hanya mengangguk menanggapi ucapan Ziya. Ia kemudian mengarahkan pandangannya lurus ke jalan memberi isyarat jika obrolan dan pertemuan mereka telah berakhir. Berusaha lebih tegas mungkin akan berguna sebagai terapi untuk sakit hati yang sedang dirasakannya. Sesaat kemudian dan tanpa berkata apa-apa lagi, Ziya turun dari mobil lalu berjalan memasuki gang sepi yang diterangi cahaya remang-remang dari lampu jalan. Sebilah kekecewaan mengiris hati dan menciptakan rasa perih. Ia cukup tahu diri untuk tidak menginginkan lebih dari yang sudah ia dapatkan. Pria seperti Mahesa tidak mungkin ingin berhubungan dengan wanita sepertinya jika bukan karena masalah adiknya. Ziya memuji Rafandra dalam hati karena ketulusan pria itu mencintainya. Rafandra mengetahui siapa Ziya dan kehidupan sederhananya tapi ia tetap menambatkan hati pada Ziya. Rafandra yang merupakan seorang pengusaha muda sukses tidak malu berjalan bergandengan tangan dengan wanita biasa seperti Ziya. Rafandra bahkan ingin mengikat janji seumur hidup dengan Ziya melalui pernikahan. Tidak Ziya sadari, tetesan air bening telah membasahi pipi. Ia segera menyapu air mata dengan punggung tangan dan sebisa mungkin kembali mengubah raut wajahnya yang muram menjadi tenang sebelum memasuki pelataran rumah sederhananya. Ia mengeluarkan kunci dari dalam tas selempang hitam yang tersampir di pundaknya. Ia kemudian membuka pintu perlahan agar tidak menciptakan suara yang akan membangunkan kakak dan kakak iparnya. “Kok baru pulang, Zi?” pertanyaan Damar mengejutkan Ziya saat wanita itu baru saja menutup pintu. “Iya, Bang. Ziya bantu beres-beres dulu. Malam Sabtu kelab sangat ramai, Bang.” Ziya berbohong. Matanya tertuju kepada Damar yang sudah rapi mengenakan jaket parasut merah dan celana jeans hitam. “Pagi-pagi buta begini Abang kok sudah rapi?” “Abang mau ke tokonya Haji Dul di pasar. Bantu bongkar muat barang.” “Emang Abang enggak kerja?” “Abang kerja, nanti jam 7.30. Lumayan kan ada waktu tiga jam untuk mendapat income tambahan. Haji Dul kemarin minta Abang bantu di tokonya kalau pagi.” Damar meraih kunci motor matic bututnya dari atas meja yang terletak di antara dua kursi kayu panjang di ruang tamu tersebut. “Kalau kamu ada waktu dan enggak ngantuk, kamu antar Mbak Diah ke rumah sakit ya nanti. Hari ini jadwal cuci darah.” “Iya, Bang.” Ziya melihat ketegaran yang luar biasa di wajah Damar. Kakaknya itu sudah berjuang sangat keras untuk hidupnya sendiri dan juga untuk Ziya. Sebelum orangtua mereka meninggal, Damar sudah menjadi tulang punggung keluarga. Sampai saat ini pun pria itu masih mempunyai tanggung jawab yang sama. Istri Damar yang menderita gagal ginjal telah menjadikannya pejuang super tangguh. ○○○ Di sudut lain kota. Mahesa membuka pintu kamar Essa. Ia melihat putrinya masih terlelap. Segelintir rasa sedih menempati ruang hati. Seumur hidupnya, Essa belum pernah mengenal sosok seorang ibu. Meskipun rasanya sangat berat merawat seorang anak sendirian, Mahesa tetap tidak ingin Essa jauh darinya. Essa menjadi satu-satunya pengingat dan warisan yang tidak ternilai dari almarhumah istrinya, Arini. Meskipun Sandra dan ayahnya terus memaksa ingin merawat dan membawa gadis cilik itu ke Rotterdam, tetapi Mahesa lebih memilih membesarkan Essa sendiri. Keinginan untuk memberi kehangatan keluarga yang sempurna pada gadis kecilnya masih belum bisa ia wujudkan. Impiannya masih jauh dari kenyataan. Beberapa wanita yang telah mengisi hatinya selama ini hanya mampu menjadi cameo dalam role kehidupannya. Mahesa menutup kembali kamar Essa. Sesaat, ia tertegun di depan pintu sambil menikmati kesunyian. Sandra dan ayahnya sudah kembali ke Rotterdam dan sedang menunggu kabar tentang Rafandra. Suasana rumah besarnya kini kembali sama seperti biasa. Senyap. Mahesa beranjak ke kamarnya. Ia berbaring di atas ranjang dan berusaha untuk tidur, tapi matanya menolak untuk memejam. Kepenatan kembali memenuhi kepala dan menahannya untuk tetap terjaga. Ia kembali teringat informasi yang diberikan pihak kepolisian Raja Ampat bahwa Rafandra sedang mengalami masalah di perusahaannya. Selama ini ia tidak tertarik untuk mengetahui bisnis dan pekerjaan adiknya. Bahkan, sampai Rafandra menghilang pun ia tidak berminat pergi ke Surabaya untuk mengetahui laju perusahaan yang dipimpin Rafandra. Ayahnya telah mengirim orang kepercayaannya ke sana untuk menyelidiki masalah yang sedang dihadapi Rafandra. Tiba-tiba sebuah ide terbersit di benak Mahesa. Ia bangkit, duduk di tepi ranjang, lalu meraih ponselnya dari atas nakas untuk menghubungi seseorang. “Selamat pagi. Maaf, Mas mengganggumu pagi-pagi begini,” ucap Mahesa pada seseorang di ujung telepon sana. “Begini, Papaku sudah mengirim Pak Steven ke sana untuk menyelidiki masalah perusahaan Mas Rafa. Namun, Mas mau minta bantuan kamu untuk menyelidiki aliran dana dari peminjaman bank Mas Rafa untuk perusahaannya, personally. Kamu kan punya akses untuk melakukan itu,” lanjut Maseha. Ia menunggu beberapa saat mendengarkan ucapan orang yang diteleponnya lalu mengakhiri pembicaraan mereka. “Oke, kalau begitu Mas tunggu kabar dari kamu ya. Terima kasih.” Mahesa mengembus napas lega setelah menutup sambungan teleponnya. Ia kembali berbaring. Angannya melayang tidak tentu arah hingga bayangan Rafandra dan kejadian di masa lalu yang hampir memutus tali persaudaraan mereka kembali melintas. Tindakan Rafandra dulu sangat tidak terpuji, bahkan bisa disebut biadab. Namun, Rafandra tetaplah adiknya. Di tubuh mereka mengalir darah yang sama. Jika hilangnya Rafa karena ulah seseorang, Mahesa tetap tidak akan memaafkan si pelaku. Bergumul dengan bayangan masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi penyebab menghilangnya Rafandra membuat kantuk Mahesa menghilang. Hingga hampir jam 07.00 pagi, pria itu masih bermalas-malas di atas tempat tidur. “Daddy!” Panggilan Essa membuat Mahesa bangkit. Putri kecilnya sudah mengenakan setelan olahraga berwarna merah muda dan rambut cokelatnya diikat ekor kuda. “Anak Daddy sudah cantik. Essa mau ke mana?” tanya Mahesa sambil membelai pipi tembem Essa. “Mau olah raga sama Mommy Andra dan Papa Aric.” “Oh, iya?” Mahesa berpura-pura memperlihatkan wajah kaget. “Iya. Papa Aric sudah ada di bawah tuh.” Mahesa menyatukan kedua alisnya sedikit terkejut. Hidup memang aneh. Ia sendiri tidak percaya kalau ia, Aric, dan Deandra bisa menjadi teman baik setelah Deandra mematahkan hatinya tujuh bulan silam lantaran lebih memilih Aric untuk menjadi pendamping hidupnya. Apalagi, mereka sekarang tinggal di komplek perumahan yang sama dengan Mahesa. Dengan kata lain, pasangan Aric dan Deandra sekarang menjadi tetangga Mahesa. Meskipun begitu, Mahesa sangat bersyukur. Pasangan yang belum dikaruniai momongan itu sangat menyayangi Essa. Bahkan, mereka meminta Essa memanggil mereka dengan panggilan Mommy dan Papa. Tidak nyambung , tapi itulah uniknya mereka. “Yuk, kita ke bawah!” Mahesa menuntun Essa menuruni anak tangga. Dari sofa panjang di ruang keluarga, Alaric yang biasa disapa Aric melambaikan tangan ke arah Mahesa. “Pagi, Mas,” sapa dokter muda itu. “Pagi. Tumben lu ngajak Essa olahraga.” “Biar terbiasa hidup sehat. Jangan kayak bapaknya yang hobi ngiler di hari libur,” canda Aric renyah. Mahesa mencebik. Ia membiarkan Essa menghampiri Aric. Wajah gadis kecil itu tampak semringah. Mahesa menyadari jika dirinya kurang memberi perhatian pada Essa. Melihat Essa tampak bahagia, ia merasa beruntung mempunyai tetangga seperti Aric dan Deandra yang sudah memberi keceriaan di wajah Essa. “Ibu negaranya mana, Ric?” Pandangan Mahesa mencari-cari sosok Deandra. “Masih di rumah. Lagi make up-an.” Mahesa tersenyum. “Eh, busyet deh. Mau jogging aja kudu make up-an dulu.” “Biasalah Mas. Kayak enggak tahu si Andra aja.” Aric menuntun Essa berjalan dan berhenti sejenak di depan Mahesa. Ia memperhatikan wajah kusut dan mata Mahesa yang memerah kurang tidur. “Sebaiknya elu tidur, Mas. Biar Essa sama gue dan Andra dulu. Abis jogging kita mau ke rumah emaknya Andra. Essa kita bawa ya, biar elu tidurnya nyenyak enggak mikirin Essa.” “Ntar Essa ngerepotin elu sama Andra.” Mahesa merasa tidak enak hati. Ia sudah terlalu sering merepotkan Aric dan Andra dengan menitipkan Essa. Aric menepuk pelan bahu Mahesa. “Tenang aja, Mas. Gue sama Andra kan sudah biasa direpotin.” “Thanks ya, Ric.” “You’re welcome.” Aric kemudian berbisik pada Essa dan anak perempuan itu mengangguk menanggapi permintaan Aric. Essa melambaikan tangan. “Bye, Daddy!” “Bye, Sayang. Jangan nakal ya!” Mahesa mengecup puncak kepala Essa. “Oke, Daddy.” ○○○ Bumi Jakarta sudah gelap ketika Mahesa terbangun oleh dering ponsel yang hampir menulikan telinga. Ia meremas rambut hitamnya. Kepalanya berdentam hebat dan terasa sedikit sakit lantaran tidurnya over dosis alias kelamaan. Tulisan nama yang tertera di layar ponselnya masih berbayang. Matanya masih belum terbiasa diterpa cahaya sehingga ia harus menunggu beberapa detik sampai matanya bisa fokus kembali. Aku tidur seperti orang mati, batin Mahesa saat melihat jam di layar ponselnya. Ia lalu mengangkat panggilan telepon tersebut. Rahangnya mengeras dan iris abu-abunya menggelap beberapa saat setelah ia berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Amarah tampak melekat dan kental dalam pancaran matanya. Berusaha mendinginkan kepala dan darahnya yang memanas dengan guyuran air dari shower tampaknya tidak berguna sama sekali. Ledakan emosi telah menariknya ke dalam pusaran kemurkaan. Tidak ingin menunggu sampai besok, Mahesa bergegas keluar dari kamarnya setelah mengenakan kaus Polo hitam dan celana jeans abu-abu. Rambutnya masih belum kering dan sedikit berantakan, namun tidak mengurangi daya tariknya. Kedongkolannya pada berita yang baru saja ia terima membuat pria itu tidak lagi memikirkan penampilan. “Bi Enah, Essa belum pulang?” tanya Mahesa saat berpapasan dengan asisten rumah tangganya di ujung tangga. “Non Essa sudah diantar pulang tadi sore. Tapi melihat Bapak masih tidur, si Non ikut lagi sama Pak Aric. Katanya, si Non mau nginep di rumah Pak Aric,” jelas Enah. “Oke. Terima kasih, Bi.” Mahesa melajukan mobilnya dengan kencang membelah jalanan malam kota Jakarta. Ia tahu dengan pasti tempat di mana ia bisa menemukan orang yang ia cari. Beberapa puluh menit kemudian mobil yang dikendarainya memasuki pelataran parkir kelab malam yang biasa ia dan teman-temannya kunjungi. Suasana di sana masih sedikit sepi karena kelab tersebut baru saja memulai jam operasionalnya. Sebagai anggota Elite Class di kelab tersebut, Mahesa dengan mudah masuk ke sana. Ia menemui manajer kelab dan meminta pria itu untuk memanggil karyawan barunya, Gaziya Qirany. “Apa ada masalah dengan karyawan kami yang membuat Bapak tidak nyaman selama berkunjung ke sini, Pak Mahesa?” selidik si Manajer dari balik meja kerjanya. “Tidak ada. Pelayanan di sini baik dan memuaskan. Karyawan baru Bapak itu tunangan adik saya yang menghilang ... tenggelam ketika bersnorkeling di Raja Ampat,” papar Mahesa. Si Manajer memandang prihatin ke arah Mahesa yang duduk di kursi tamu di seberang meja. “Iya, saya melihat berita tentang adik Bapak tersebut di televisi. Saya turut berduka cita.” “Terima kasih.” Suara ketukan pintu ruang manajer menghentikan obrolan Mahesa dan manajer kelab sesaat kemudian. Mahesa menoleh ke belakang. Ia melihat Ziya berjalan masuk. Wajah wanita itu tampak tegang dan keterkejutan terlukis jelas mewarnai mata cokelatnya yang bulat. Mahesa menatap tajam ke arah Ziya. Kamu tidak akan bisa lolos dari hukuman, Ziya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD