Bab 2

1012 Words
"Mas, kamu darimana? Kok dihubungi wa kamu nggak aktif? Telepon juga nggak dijawab? Kamu kemana aja sih?" tanyaku. Kutinggalkan Yuni untuk sementara dan bergegas menyusul Mas Arman yang sedang melenggang santai menuju kamar tanpa merasa bersalah sedikit pun telah pergi berjam-jam tanpa pemberitahuan padaku sedikit pun tadi. Mendengar teriakanku, Mas Arman menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya menghadapku. Ada kilat tak suka bermain di mata tajamnya saat mendapatiku terus mengejarnya dengan pertanyaan tentang kepergiannya barusan yang mencurigakan. Entahlah, aku merasa Mas Arman memang sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Sikapnya menjelaskan hal itu. Selama ini Mas Arman hampir tak pernah keluar rumah berjam-jam sendirian seperti tadi, tapi kali ini ia melakukannya. Wajar saja rasanya jika aku menaruh rasa curiga. Aku merasa Mas Arman memang sedang tak jujur padaku. Tapi apa yang membuatnya tega melakukan hal itu? Benarkah tadi ia pergi sendirian ke stadion? Atau sebenarnya tadi ia sedang berdua bersama Yuni, mengantar gadis itu yang konon katanya hendak pergi ke salon? Ah, semua ini memang menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan yang bukan tanpa alasan di hatiku. "Mas kan udah bilang tadi, Mas pergi ke stadion, cari udara segar sama teman-teman. Apa itu semua nggak jelas bagi kamu? Perlu bukti apa supaya kamu percaya, Nis?" Mas Arman justru balik bertanya dengan nada keras seolah tak suka dengan pertanyaan yang kuajukan tadi. Mata tajamnya menatapku tak berkedip. Entah mengapa lelaki yang biasanya berpembawaan diri tenang itu, kali ini seperti kehilangan kesabarannya menghadapiku karena privasinya dipertanyakan. Tapi aku sudah kepalang tanggung. Rasa curiga karena kepergian dan kepulangannya yang bersamaan dengan kepergian dan kepulangan Yuni dari salon, membuat benakku diliputi tanda tanya dan rasa curiga yang tak mampu ditepis. Namun, untuk terus mencecarnya dan meneruskan pertengkaran dengan Mas Arman rasanya juga tak tepat karena saat ini ART-ku itu pasti sedang mendengar pertengkaran kami ini. Bisa besar kepala dia jika benar Mas Arman tadi pergi bersamanya dan kami ribut karena suamiku tak mau mengakui hal itu serta memilih berbohong padaku demi membela dirinya. Berpikir begitu, akhirnya aku pun memilih untuk diam dan pura-pura percaya demi bisa menguak kebenaran semua perkataan Mas Arman nanti. Aku bertekad akan mengorek semua hal yang sepertinya memang Mas Arman sembunyikan dariku. Untuk itu aku harus bersikap tenang agar semua rencana yang ada di benak ini bisa segera terwujud. Tak berlebihan rasanya jika aku bersikap waspada seperti ini. Bukan mencari-cari masalah dan perkara dengan suami tetapi demi menyelamatkan rumah tangga kecil kami yang bisa saja saat ini sedang dihantui ketidakjujuran. Sebagai istri tak mungkin bagiku membiarkan semua itu terjadi begitu saja tanpa usaha untuk menghindarinya. "Baiklah, Mas. Aku percaya. Tapi lain kali jangan diulangi lagi ya. Aku kan sudah bilang tadi tolong gantian jagain Silla karena aku juga butuh istirahat, tapi bukannya dengerin, kamu malah pergi nggak pulang-pulang. Wajar jika aku kesal dan bertanya-tanya bukan? Tapi baiklah, maafkan aku jika aku berlebihan dan marah-marah seperti tadi, tapi ke depannya jangan diulangi lagi. Oke?" ucapku pada akhirnya. Enggan rasanya meneruskan pertengkaran ini. Aku tak mau keributan yang terjadi antara aku dan Mas Arman didengar oleh Yuni. Jika memang Mas Arman ada sesuatu dengan gadis asisten rumah tangga kami itu, aku tak mau ia bersorak gembira dan merasa berada di atas angin karena Mas Arman terlihat lebih membelanya dari pada aku, istrinya sendiri. Ya, aku akan berusaha mengorek kebenaran yang sedang disembunyikan Mas Arman dan Yuni dariku nanti. *** "Yun, tolong kamu terusin goreng ikannya ya, Ibu mau giling bumbu gulai dulu," perintahku pada Yuni yang baru saja masuk ke dapur. Ini hari Minggu. Hari ini masih menjadi jatahku untuk memasak buat Mas Arman dan Silla, sementara tugas Yuni masih sama, membersihkan rumah dan beres-beres. Namun, karena hari sudah siang dan kebetulan Yuni ke dapur maka kuminta pada gadis itu untuk meneruskan menggoreng ikan di atas kompor. Tetapi bukannya sigap memenuhi perintahku, gadis itu justru menatapku dengan tatapan tak suka dan protes. "Sebentar, Bu. Saya mau bikin teh panas dulu buat Pak Arman. Barusan Bapak minta dibikinkan soalnya," sahutnya sembari mengambil cangkir dan bungkus teh di atas lemari dapur lalu bersiap-siap menyeduh minuman itu, tetapi buru-buru kucegah. "Biar Ibu saja yang bikininkan, Yun. Kamu bantu Ibu goreng ikan saja ya," ujarku sembari mengambil alih pekerjaannya, membuatkan Mas Arman teh panas, tetapi gadis itu menolak. "Biar saya saja, Bu. Soalnya Pak Arman nyuruh saya, bukan Ibu...." ujarnya acuh tak acuh. Aku pun jadi meradang mendengar jawaban penolakan dari asisten rumah tanggaku itu. Apa maksudnya coba? Aku yang istri Mas Arman, tapi dia yang sok hendak melayani suamiku itu. Apa tidak kurang ajar namanya? Aku pun menyentuh pundak gadis itu kasar, lalu menghadapkan wajah gadis itu ke arahku. "Yuni, Arman itu suami saya. Wajar kalau saya mau melayani dia. Kenapa kamu jadi rese begini, sih? Saya harap kamu mengerti kedudukan kamu di rumah ini ya, Yun, jangan berlebihan!" sahutku dengan emosi yang mulai meluap sembari menatapnya tajam. Ya siapa yang tidak kesal jika ART sendiri terang-terangan membantah perintah majikannya? Meskipun yang memperkerjakan ia di rumah ini adalah Mas Arman tapi tak sepatutnya ia membantahku yang notabene adalah majikannya. Mendengar bentakanku, Yuni bersurut mundur. Wajahnya tampak pias. Namun, tak kutemukan rona takut di wajahnya. Entah apa maunya gadis ini? Ingin rasanya kupaksa ia untuk jujur, mengatakan tujuannya melakukan itu, tapi aku takut dibilang mengada-ada karena bukti-bukti yang mendukung kecurigaanku juga belum kumiliki. Hanya saja aku memang menaruh rasa curiga padanya, ia melakukan semua itu karena ingin memiliki Mas Arman. Jika sudah begini, haruskah kuputuskan ikatan kerja dengan gadis ini agar tak perlu lagi dihantui rasa curiga dan tak nyaman dengan keberadaan gadis itu di rumah ini? Agar tak ada lagi rasa curiga dan pertengkaran dengan suamiku lagi? Tapi kalau demikian bagaimana nanti aku masuk kerja sementara mencari ART baru itu sulit dan butuh waktu? Ah, pusing kepalaku memikirkannya. Yang pasti aku memang harus segera mencari solusi agar rumah tanggaku bersama Mas Arman tidak diganggu pihak ketiga, apalagi jika pihak ketiga itu adalah ART-ku sendiri. Ya, sepertinya aku harus segera memecat Yuni agar Mas Arman tak lagi bisa macam-macam di belakangku bersama gadis ini. Bagaimana pun juga menyelamatkan rumah tangga yang sudah tujuh tahun dibangun bersama Mas Arman adalah sebuah keharusan bagiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD