Selamat membaca
Leylin memutar kunci pintu dan melangkah masuk ke dalam flat house yang ia tempati selama empat tahun ini. Uang tabungannya hanya cukup untuk membeli flat house kecil ini. Memang tidak terlalu besar dan sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan rumah keluarganya. Tapi setidaknya ia mempunyai tempat untuk pulang dan tempat berlindung dari dinginnya hujan maupun panasnya matahari.
Ia melempar tas asal ke atas tempat tidur dan menjatuhkan tubuhnya lelah di sana.
Lagi-lagi Leylin menghela napas untuk yang kesekian kali. Pikirannya melayang jauh ke masa di mana ia masih tinggal bersama dengan keluarganya.
Hari-hari menyesakkan yang sama harus ia lalui saat tinggal di sana. Bagaimana ia bisa tetap tinggal di rumah itu di saat kedua orang tuanya justru terus memuji Cakra dan Intan serta membanding-bandingkan dirinya yang bukan apa-apa.
Mereka juga terang-terangan mengatakan jika lebih menyayangi anak yang berprestasi di depannya yang jelas tidak memiliki sesuatu untuk dibanggakan. Sikap mereka yang seperti itu bukannya membuat dirinya menjadi bersemangat untuk berubah menjadi lebih baik, tapi justru membuat mentalnya down. Karena ia justru merasa rendah dan tidak berguna.
Sikap pilih kasih kedua orang tuanya semakin terlihat saat menempatkan Cakra dan Intan di sekolah elit, sedangkan dirinya ditempatkan di sekolah biasa. Ia sendiri sebenarnya tidak masalah dengan itu, karena ia justru mendapatkan teman-teman yang memiliki solidaritas tinggi terhadap satu sama lain. Berbeda dengan anak sekolah elit yang mayoritas mereka lebih suka pamer dan membanggakan harta kekayaan orang tua mereka.
Sekarang saudara-saudaranya sudah menjadi seorang yang berhasil. Kakaknya telah diangkat menjadi direktur utama di perusahan ayahnya. Dan posisi general manager dipercayakan kepada Intan. Sedangkan dirinya? Ia hanyalah seorang fotografer biasa yang masih merintis karir dari bawah. Padahal usianya sudah menginjak 27 tahun, tapi ia masih saja belum menjadi apa-apa.
Itulah kenapa Leylin direndahkan oleh keluarganya sendiri. Karena hanya dirinyalah satu-satunya generasi dari keluarga Atmaja yang tidak sukses seperti anggota keluarga lainnya.
Ayahnya sama sekali tidak mempercayai dirinya untuk membantu mengelola perusahaan keluarga. Yah, mana mungkin ayahnya akan mempercayakan tanggung jawab yang sebesar itu kepada manusia bodoh ini. Sedangkan saat mengetahui ia tidak memiliki kelebihan apa pun, kedua orang tuanya justru membuangnya begitu saja.
Mereka lebih memilih untuk mengadopsi anak perempuan dari panti asuhan yang terkenal cerdas untuk menggantikan posisi Leylin. Mereka tidak berniat untuk mengasah atau pun mengembangkan potensi yang ada di dalam diri Leylin.
Andaikan mereka bisa sedikit saja bersabar, ia pasti akan terus berusaha dan tidak akan menyerah untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Namun, sikap mereka yang acuh membuatnya menyerah lebih dulu dengan keadaan ini.
Tidak ada satu pun yang bersikap baik dengannya, bahkan kakaknya sendiri juga malu saat teman-temannya menanyakan siapa ia.
Cakra akan selalu menjawab jika Leylin adalah salah satu teman Intan.
Leylin hanya bisa tertawa hambar saat mengetahui Cakra lebih menganggap Intan sebagai adik dari pada dirinya. Ternyata Cakra juga malu memiliki adik bodoh yang tak sama sepertinya yang bisa melakukan hal-hal luar biasa dibandingkan dengan anak-anak lain.
Leylin memejamkan kedua mata dalam-dalam. Setelah semua ini, kenapa ia harus kembali ke rumah itu? Lagipula jika ia datang, ia justru hanya akan semakin membenci keluarganya sendiri. Bahkan rasa empati dalam dirinya tidak ada saat mengetahui ayahnya sakit.
Menjadi seorang anak yang disia-siakan membuat dirinya terbiasa sendiri tanpa keluarga. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak ketergantungan dengan orang lain. Ia bisa membuktikan jika ia tetap bisa bertahan hidup tanpa mereka.
*****
Sore hari, tepat jam 17.45.
Jalanan begitu padat hingga membuat Reksa jenuh dan memilih mengalihkan pandangan ke arah kaca jendela.
"Siapa wanita itu?" Reksa bertanya kepada sopir pribadinya sembari melihat ke arah wanita yang tengah membagi-bagikan makanan kepada pengamen, pengemis, dan anak jalanan.
"Saya tidak tau, Pak. Tapi wanita itu sering membagi-bagikan makanan di sini," jawabnya sopan.
"Aku baru pertama kali melihat dia," ungkap Reksa tidak mengalihkan pandangannya dari wanita itu.
"Mungkin Pak Reksa tidak pernah memperhatikannya."
"Ya, mungkin,"sahutnya singkat.
Reksa mengeluarkan ponsel, lalu memotret wanita itu. Kemudian ia mengirimkannya kepada seseorang untuk mencari tau siapa sebenarnya dia.
Entahlah, wanita itu terlihat biasa dan juga tidak ada sesuatu yang istimewa darinya. Bahkan jika dibandingkan dengan para model yang berada di bawah agensinya, dia sama sekali bukan apa-apa. Tapi tak bisa dipungkiri jika keberadaannya mampu membuat dirinya terusik karena penasaran.
TBC.