Prolog
"Ganti baju kamu!" Tegas Erlangga dingin, cowok itu ikut masuk kerumah Qiana. Dan sekarang ia duduk di sofa. Tanpa membantah, gadis itu segera naik ke kamarnya dan mengganti bajunya dengan piyama berlengan panjang, dan celana panjang.
"Mana baju yang tadi? " tanya Erlangga lagi, ketika Qiana sudah turun ke bawah.
"A-aku simpan. Mau di cuci besok" jawab Qiana gugup.
"Sini!"
"Aku mau cuci be..."
"Aku bilang Sini! " Qiana memejamkan kedua matanya. Erlangga masih saja marah padanya. Lantas tanpa membantah, ia kembali ke atas untuk mengambil dress yang di kenakannya tadi.
"Ini..." Qiana menyimpan dress itu di atas meja. Lalu Erlangga mengambilnya, dan di bawa ke pekarangan belakang rumahnya Qiana.
"Lang mau di bawa kemana? " Qiana mengikuti Erlangga dari belakang.
"Lang?" tanya nya lagi, karena cowok itu sama sekali tidak menghuraukannya.
"Lang jangan please... " gadis itu hendak merebut dress di tangan Erlangga ketika cowok itu hendak membakarnya.
"Diem!" Tegas Erlangga dengan tatapan tegasnya.
"Aku enggak akan pake lagi. Aku janji enggak akan pake dress itu lagi, tapi jangan di bakar Lang, jangan... Itu kenangan dari Wiwi, please jangan... " gadis itu hampir menangis.
"Memangnya aku peduli ini kenangan dari siapa! Ini baju bawa malapetaka buat kamu! Buat apa di simpen, enggak ada gunanya!" cetus Erlangga. Ia mulai membakar baju itu,
"Jangan... Hik... Hik... " gadis itu mulai terisak . Merasa sedih, karena baju kenangan dari sahabatnya itu kini perlahan menjadi abu. Gadis itu sama sekali tidak bisa menyelamatkannya karena Erlangga menahannya kuat.
"Kamu tega banget... Kamu tega Lang..." Qiana hendak mengambil baju yang sudah terbakar setengah itu. Namun Erlangga segera menarik gadis itu dan memeluknya erat, membiarkan gadis itu melepaskan emosinya di sana.
"Itu kenangan dari Wiwi... Itu huhu... " gadis itu tak bisa melepaskan dirinya. Hanya bisa melihat baju pemberian Wiwi terbakar habis, dan kini menjadi abu,
Demi apapun, Erlangga tak tega melihat gadisnya menangis perih seperti itu. Tapi kembali lagi, ini semua ia lakukan demi kebaikan Qiana. Tidak menutup kemungkinan, gadis itu akan kembali memakai dress tersebut, jika Erlangga tidak membakarnya.
Qiana lemas, karena tenaganya yang terkuras ketika berontak dan menangis tadi. Perlahan Erlangga melepaskan pelukannya. Merangkup wajah cantik itu begitu lembut, menatap kedua matanya yang sembab dan bengkak karena ulahnya.
"Aku bisa belikan berpuluh-puluh baju, untuk menggantikan baju itu. Aku bisa memberikan apapun, yang kamu mau. Ini demi kebaikan kamu. Aku sayang kamu!" Erlangga mengusap airmata yang kembali merembes di kedua mata cantik itu.
Qiana menggeleng." kamu enggak paham, Lang. Kamu enggak ngerti. Ini bukan soal apa yang kamu punya, dan apa yang bisa kamu beri." gadis itu menunduk. Airmatanya kembali berkeroyok.
"Ini tentang siapa yang memberi, dan untuk apa sesuatu itu di berikan. Itu kenangan... Itu... " gadis itu kembali terisak.
"Kami... " Qiana menggeleng, di teruskan malah semakin membuat tangisnya meluap. Lantas ia segera berbalik dan berlari menuju kamarnya.