Perpustakaan

2126 Words
“Pak Panji! Gimana? Jadi ke perpus kan?” tanya Yuni dengan wajah sumringah. Ia tidak peduli jika saat ini sedang berada di tengah jam pelajaran dan Yuni kedapatan sedang membolos oleh guru BK yang seharusnya memberikan sanksi kepadanya. Ia justru dengan sukarela mendatangi Panji ke ruang BK demi menagih janji yang mereka buat kemarin. Padahal, hari ini Panji sedang tidak enak badan. Ia bahkan terpaksa masuk hanya karena merasa tidak enak hati. Sebagai orang baru, Panji tidak bisa seenaknya absen di hari-hari awal ia bekerja. Badannya masih terasa pusing dan lemas, tenaganya masih belum kembali seperti sedia kala. Kehadiran Yuni pagi ini pun, membuat beban pikiran Panji bertambah. “Yun … bisa gak kalau kita ganti lain hari aja? Kamu masuk gih ke kelas, Bapak kayaknya selalu lihat kamu berkeliaran di jam pelajaran. Emangnya kamu gak dicari sama guru?” bujuk Panji menolak permintaan Yuni. “Ya … gimana ya, Pak? Saya sih udah biasa keluar kelas di jam pelajaran gini. Yang penting, nilai mata pelajaran semua aman, saya bisa ikutin materi, beres kan? Bukannya sekolah di negara ini lebih mengutamakan nilai daripada kemampuan para murid? Bener gak, Pak?” ucap Yuni sambil tersenyum manis saat ia duduk di kursi depan meja Panji yang biasa digunakan para siswa bermasalah untuk berkonsultasi. “Tapi kalau Bapak gak mau hari ini juga gak masalah sih,” lanjut Yuni sambil berdiri dari tempat ia duduk. “Yang jelas, kalau Bapak menunda-nunda lagi, Bapak gak bakal tahu rahasia yang disembunyikan sekolah ini dari Bapak. Semua rahasia itu ada di perpustakaan loh Pak.” Yuni tidak segera beranjak dari ruang BK, sengaja menghentikan langkah menunggu reaksi Panji. Yuni hanya berbalik, berdiri membelakangi Panji sambil tersenyum licik. Yuni tahu, Panji memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap fakta-fakta yang disimpan pihak Tumimbal darinya. Yuni memanfaatkan itu untuk kepentingannya sendiri. Perkataan Yuni ada benarnya. Panji memang menganggap Yuni sebagai salah satu senjata rahasia untuk mengungkap semua misteri yang ada di sekolah, karena ia dinilai sebagai murid yang paling terbuka kepadanya. Bagi Panji, Yuni terlihat pintar dan bisa diberdayakan. Orangnya pun ramah dan terbuka kepada Panji yang notabene orang baru. Tidak salah jika akhirnya Yuni berpendapat bahwa Panji akan rugi jika menolak ajakan Yuni. Tapi, badannya saat ini benar-benar remuk akibat kejadian kemarin. Setelah berpikir panjang, akhirnya Panji menjawab ajakan Yuni. "Oke lah kalau gitu. Gimana kalau nanti aja pas makan siang?" bujuk Panji. "Enggak ah kalau makan siang, nanti di perpus juga rame," jawab Yuni sambil tetap memalingkan badan dari Panji. "Cih, yaudah lah ayo sekarang!" gerutu Panji kesal sambil berdiri dari tempatnya duduk. Senyum di bibir Yuni semakin mengembang saat mengetahui Panji jatuh ke dalam rencana yang ia buat. Yuni dan Panji pun berjalan bersama-sama menuju ke perpustakaan yang berada pada sisi lain Tumimbal International School, berseberangan dengan gedung olahraga. Perpustakaan adalah tempat paling sunyi di Tumimbal, setelah koridor kelas kosong yang berisi banyak sekali penampakan makhluk astral. Saat tiba di depan pintu perpustakaan, Panji tidak henti-hentinya takjub dengan bangunan perpustakaan yang tampak megah dari luar, sangat berbeda dengan perpustakaan di sekolah pada umumnya yang tidak lebih megah dari fasilitas lain. Perpustakaan di Tumimbal, seakan menjadi visual utama dibanding dengan bangunan gedung olahraga yang tampak polos. Masuk ke dalam perpustakaan, Panji dan Yuni disambut dengan interior modern dengan rak-rak buku yang tersusun rapi berdasarkan jenisnya. Mulai dari buku pelajaran, pengetahuan umum, hingga n****+ fiksi, tersusun lengkap di dalam perpustakaan ini. Kursi-kursi yang tertata rapi seperti cafe, kedai kopi, atau co-working space yang biasa ada di tengah kota, menambah nyaman suasana di dalamnya. Musik klasik yang dimainkan dengan volume rendah, membuat semua pengunjung betah berlama-lama di dalamnya. "Halo, selamat datang, lu pasti Panji ya? Guru BK baru di Tumimbal?" sapa seorang lelaki muda berkacamata yang menyambut Panji dan Yuni saat memasuki perpustakaan. "Oh–eh, iya, saya Panji," jawab Panji canggung. "Santai aja di sini, gak semua orang di Tumimbal itu kaku kayak orang-orang di kantor sana. Iya gak, Yun?" Lelaki berkacamata itu mengangkat alis sambil melirik ke arah Yuni yang disambut dengan senyuman nakal dan lirikan manja dari gadis yang berdiri di samping Panji. "Tunggu, kalian akrab?" Panji menunjuk Yuni dan lelaki berkacamata secara bergantian, terkejut dengan keakraban yang telah terbangun. "Iya lah, gue bestie-nya Yuni, dia sering datang ke sini kalau gabut," sahut pria berkacamata itu. "Kenalin, Edward, sarjana ilmu informasi dan perpustakaan dari Universitas Airlangga, Surabaya," ucap pria berkacamata itu sambil mengulurkan tangan kepada Panji. Senyum pria itu pun terlihat ramah dan hangat, membuat Panji tidak ragu untuk berkenalan dengannya. "Panji Baskara, sarjana bimbingan dan konseling dari Universitas PGRI Banyuwangi." Panji membalas uluran tangan Edward dengan menjabatnya. "Yuni, belum lulus dari Tumimbal." Yuni pun ikut mengulurkan tangan sambil tersenyum. Panji dan Edward pun tertawa tertahan melihat kekonyolan tingkah Yuni yang ikut mencairkan suasana. Sayangnya suara tawa mereka harus ditahan, karena ada peraturan perpustakaan yang tidak membolehkan siapapun yang ada di dalamnya bersuara keras. Meskipun saat ini tidak ada orang lain yang mengunjungi perpustakaan, tetapi Edward selaku pustakawan selalu menjunjung tinggi peraturan yang tertulis. Tidak enak memang menahan tawa, Panji sampai berlinang air mata karena perutnya terasa sakit. Panji tidak menyangka, Yuni bisa bertingkah serandom ini. "Oh iya, Pak Edward," ucap Panji sambil berusaha mengatur nafas. "Yuni emang biasa ngeluyur pas jam pelajaran gini ya?" "Panggil Edward aja, gak usah terlalu kaku gitu lah …," sahut Edward. "Ngomong-ngomong Yuni emang biasa gini sih dari zaman kelas satu dulu. Tapi emang anaknya yang pinter aja, makanya guru-guru juga gak ada yang protes kalau dia bolos. Nilainya juga selalu bagus kok, bahkan lebih bagus ketimbang anak-anak yang rajin, gue sering lihat laporannya." Telinga Yuni mengembang ketika mendengar Edward memuji tepat di hadapan wajahnya. "Tuh kan, Pak, apa saya bilang?" sahut Yuni menyombongkan diri. "Ngomong-ngomong, Pak Edward, saya mau baca-baca dulu ya?" Tanpa menunggu jawaban dari Edward, Yuni langsung menyelonong masuk menyusuri ribuan buku yang ada di dalam perpustakaan. "Iya oke, tapi inget jangan masuk seksi yang 'itu' ya?" ucap Edward sedikit berteriak. "Iya …," sahut Yuni yang sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Setelah berbincang basa-basi, Edward pun mengajak Panji berkeliling perpustakaan. Panji semakin dibuat takjub dengan koleksi buku-buku yang sangat lengkap. Bahkan buku-buku langka seperti terjemahan modern dari Kidung Sudamala, Serat Calon Arang, Kakawin Sena, dan banyak buku-buku kuno lain yang diterjemahkan secara modern. Sambil menemani Panji berjalan-jalan, Edward mengambil salah satu buku tersebut dan menunjukkan isinya kepada Panji. "Buku ini bagus, menceritakan tentang perjuangan Sadewa dalam melepas kutukan Batari Durga," ucap Edward sambil menunjukkan buku terjemahan modern dari Kidung Sudamala. "Kalau lu mau, lu bisa pinjem buku ini. Tapi hati-hati, buku ini langka, sekali hilang dendanya gak main-main." "Ah enggak deh, aku gak suka cerita wayang," sahut Panji sambil memberikan senyum canggung. "Sayang banget, padahal buku-buku dari zaman kerajaan kayak gini bisa jadi referensi bagus buat lu yang masih baru di Tumimbal." Edward meletakkan kembali buku Kidung Sudamala ke tempatnya, lalu mengambil buku lain untuk ia tunjukkan kepada Panji. "Atau buku ini, lu bisa baca ini biar lebih kenal sama Tuminbal," lanjut Edward sambil menunjukkan terjemahan modern dari Kakawin Sena. Panji yang memang tidak hobi membaca, merasa enggan untuk menerima tawaran dari Edward. Padahal, Edward adalah satu dari sedikit orang yang bersikap ramah kepada Panji di Tumimbal, mengingat sikap Jonathan pun berubah saat akhirnya ia bertindak sebagai kepala sekolah. "Aku tuh gimana ya … lebih suka dengerin orang cerita daripada baca buku." Panji menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sebenarnya Panji merasa malas bertemu dengan Edward, karena ia tidak suka dengan suasana perpustakaan pada umumnya yang selalu dipenuhi oleh orang culun kutu buku berkacamata tebal. Tapi, Panji harus tetap bersikap ramah dan profesional, demi membangun relasi di tempat kerja barunya. "Hemmm … pantes sih, namanya juga anak BK, selalu jadi tempat curhat orang. Wajar kalau lu gak suka baca-baca, hahaha," celetuk Edward. Panji tahu, Edward sebenarnya hanya bercanda tanpa berniat menyinggung, tetapi pemilihan kata yang dilontarkan, membuat Panji merasa sedikit diremehkan. Seakan Edward berkata jika Panji bodoh karena tidak hobi membaca, namun Edward mengatakannya dengan cara halus. Karena tidak ingin memperkeruh suasana, Panji pun ikut menertawakan lelucon yang Edward buat, meski tawanya terkesan dipaksakan. Perlahan sambil berjalan santai mengelilingi perpustakaan, Edward membuka lembar demi lembar terjemahan Kakawin Sena dan menceritakan isinya kepada Panji yang tidak suka membaca. "Ada satu korelasi antara Kakawin Sena dan Tumimbal." Panji bingung dengan apa yang Edward ceritakan, hingga Edward melanjutkan kalimatnya. "Diceritakan di masa lalu, Sena atau Bratasena yang merupakan satu dari lima Pandawa, pergi ke Setra Gandamayit untuk melawan pasukan demit dan mengalahkan Batari Durga yang merupakan pemimpin dari pasukan makhluk halus tersebut. Setelah berhasil ngalahin Batari Durga, Sena akhirnya mendapatkan kesaktian dan nama baru, yaitu Bima. Makanya dalam beberapa literatur, nama Bima ditulis dengan sebutan Bimasena. Cerita serupa yang tertulis di buku lain …." Edward mengembalikan Kakawin Sena ke tempatnya dan mengambil buku lain. "Buku ini yang gue tunjukin ke lu tadi, Kidung Sudamala. Ceritanya tentang kisah Sadewa yang meruwat Batari Durga, hingga kembali ke wujud aslinya sebagai Dewi Uma, istri dari Dewa Siwa, dan mengembalikan Setra Gandamayit yang menyeramkan menjadi taman bunga yang indah." "Bentar deh, aku masih belum paham maksud dari hubungan antara Tumimbal dan buku-buku kuno ini," ucap Panji yang masih berusaha mencerna semua ucapan dari Edward. "Hahaha … dasar anak BK! Jadi gini, lu tahu kan kalau sekolah ini angker?" "Iya … lalu?" Panji masih mencoba mencerna satu persatu ucapan dari Edward. "Ibarat Tumimbal ini adalah Setra Gandamayit yang dihuni banyak banget makhluk halus dari berbagai jenis dan golongan." "Oke … terus?" "Nah, seperti yang tertulis di Kakawin Sena, Setra Gandamayit punya pemimpin, yaitu Batari Durga. Gue rasa, makhluk-makhluk halus yang ada di Tumimbal pun punya pemimpin, makhluk terkuat di antara yang terkuat, terbaik di antara yang terbaik." Edward tersenyum yakin, ia merasa sangat percaya diri karena telah memberikan informasi bagus kepada orang baru yang kelak bisa menjadi rekannya dk Tumimbal. "Tunggu, maksud kamu di tempat ini ada bossnya? Dan yang aku hadapi dari kemarin itu masih kroco-kroconya aja?" Mata Panji terbelalak, ia baru menyadari jika referensi yang diambil oleh Edward benar-benar bagus. "Tepat sekali, Pak Guru BK, kalau kita bisa kalahin bossnya, sekolah ini gak bakal angker lagi." Edward menutup mata sambil mengacungkan jari telunjuk ke atas, senyum di bibirnya terus mengembang. Edward memang sangat suka berbagi pengetahuan dengan orang lain, terutama kisah-kisah kuno yang menjadi buku favoritnya. Mendengar penjelasan dari Edward, membuat Panji merasa campur aduk. Antara sedih dan senang, bersemangat dan takut, berani namun gentar. Setidaknya, ada sedikit gambaran tentang apa yang terjadi di sekolah ini. Cerita dari Edward memang hanya argumen satu sisi, cocoklogi antara Tumimbal dan Setra Gandamayit bisa jadi hanya pendapat pribadi dari Edward. Namun apa yang dikatakan oleh pustakawan itu memang benar-benar masuk akal, mengingat kondisi Tuminbal yang benar-benar menyeramkan bagi Panji. "Tapi, Edward, aku penasaran sama sesuatu deh …." "Apa itu, wahai Pak Guru BK yang terhormat?" jawab Edward sambil mengembalikan buku Kidung Sudamala ke tempatnya. Ada senyum tipis yang terukir di bibir Edward melihat Panji yang mulai tampak antusias dengan cerita yang ia katakan. "Kenapa kok orang-orang di sini gak ada yang takut sama setan, sih?" Raut wajah Panji terlihat sangat serius ketika menanyakan tentang tanda tanya besar yang ada di pikirannya. "Bhahahaha …." Edward justru tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang ia anggap konyol. Sudah sangat lama tidak ada orang yang bertanya tentang hal tersebut, karena memang sangat jarang ada orang baru di Tumimbal. Merasa terlecehkan, Panji hanya bisa mengernyitkan dahi, ia tidak ingin membuat suasana menjadi runyam karena memberikan respon menggunakan ego dan emosi. Sebagai orang BK, Panji harus bisa mengendalikan diri di depan orang lain, membuat orang lain nyaman sehingga mereka bisa terbuka kepadanya. "Gini, Panji, semua orang pasti takut lah sama setan. Tapi, sesuatu yang menyeramkan sekalipun bakal kelihatan biasa aja kalau kita udah lihat itu tiap hari. Coba deh lu lihat bokep, awal lu lihat pasti menarik kan? Lu pasti deg-degan pas pertama kali lihat. Tapi setelah lu lihat tiap hari, bokep yang awalnya menarik itu pun jadi biasa aja. Setan juga kayak gitu, meski awalnya menyeramkan, tapi lama-lama juga biasa aja." Panji hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Edward. Memang, Panji adalah orang yang awam jika berurusan dengan makhluk halus. Bahkan sebelumnya ia adalah orang cukup skeptis terhadap hal-hal supranatural hingga akhirnya ia mengalami sendiri di Tumimbal. Tapi lagi-lagi, Edward bisa memberikan penjelasan yang sangat masuk akal terhadap rasa ingin tahu yang ada di pikiran Panji. "Pak Panji, kita ke kantin yuk? Saya lapar," ucap Yuni yang tiba-tiba muncul dengan wajah cemberut sambil memegangi perut. Panji dan Edward yang sedang bercengkrama, serentak menoleh ke belakang, menatap Yuni dengan tatapan heran. "Udah, turutin aja tuh maunya si bocah. Kadang Yuni emang suka ngerepotin," sahut Edward sambil terkekeh dan menepuk bahu Panji perlahan. Panji hanya bisa menghela nafas, lalu mengiyakan permintaan dari Yuni. Tapi saat berjalan keluar dari perpustakaan, ada senyum tipis yang terukir dari wajah Panji dan Yuni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD