Sidang di Tata Usaha

1786 Words
“Pak Panji, Bapak tahu kenapa kita panggil ke sini?” Seorang perempuan paruh baya memanggil Panji ke ruang tata usaha setelah ada tragedi penampakan di ruang BK. Perempuan itu terlihat geram dengan tindakan tidak senonoh yang Panji lakukan kepada siswi Tumimbal. Sebagai guru BK, seharusnya Panji bisa mengajarkan budi pekerti luhur kepada siswa-siswi di sekolah ini, bukan justru melecehkan mereka. “Loh, Ibu gak tahu menahu apa yang terjadi di dalam sana dan sekarang bisa seenaknya menuduh saya melakukan sesuatu yang enggak-enggak?” Panji melipat tangan ke depan. Ia masih berlagak sombong meskipun seharusnya ia sekarang sedang takut. “Bapak masih berusaha mengelak? Kita punya rekaman CCTV loh, Pak!” Staf tata usaha itu meninggikan nada suaranya. Ia kesal dengan Panji yang tidak mengaku bersalah meski semua bukti sudah menunjukkan kebenarannya. Seluruh tempat di Tumimbal diawasi oleh kamera pengawas yang daring selama 24 jam tanpa henti. Staf keamanan yang mengawasi pun, ditugaskan secara bergantian agar seluruh kegiatan dan anomali yang ada di sekolah bisa terekam. Hanya ada beberapa titik yang tidak diawasi oleh kamera pengawas, seperti di dalam apartemen, kamar mandi, dan ruang kepala sekolah. Selain tiga tempat tadi, seluruh ruangan dan koridor di Tumimbal berada dalam pengawasan. “Bu, saya ingin ngasi tahu sesuatu kepada Ibu. Enggak semua hal yang terjadi di sekolah ini, diawasi oleh kamera pengawas. Ada banyak hal yang gak bisa direkam, seperti suara atau penampakan astral yang saya akui sangat mengganggu ketenangan saya selama mengajar di sini.” Panji mengeluarkan ponselnya dari saku, lalu ia mengotak-atiknya di depan staf tata usaha. “Pak Panji, penggunaan ponsel sangat dilarang di dalam lingkungan sekolah!” bentak staf tata usaha. “Ya … ya … saya tahu itu. Tapi kalau saya gak nunjukin ini, Ibu bakal terus nyalahin saya! Lagipula, gak ada jaringan seluler juga di sini, kok. Jadi gak perlu khawatir ada sesuatu yang nyebar ke luar!” Perkataan Panji membuat staf tata usaha mengernyitkan dahi kepadanya. Ucapan Panji mengindikasikan jika ia tahu sesuatu, namun sengaja disembunyikan dari orang lain, termasuk pihak Tumimbal. Sesaat kemudian, Panji menyodorkan ponselnya kepada staf tata usaha. Di layar ponsel itu, tampak sebuah rekaman suara sedang diputar. Panji sengaja memutar bagian yang menegaskan jika matanya terlalu mahal untuk melihat tubuh Lia yang terkesan murah. Kalimat itu membuat staf tata usaha semakin geram. “Pak Panji! Bapak tidak hanya melecehkan siswi kelas tiga itu secara fisik, tetapi juga secara verbal. Sekolah bisa menjatuhkan denda yang sangat besar kepada Bapak!” “Denda yang besar? Yakin? Oke, saya gak keberatan dijatuhin denda. Tapi sebelum itu, saya mau tanya satu hal,” ucap Panji yang tidak menjawab pertanyaan dari staf tata usaha sebelumnya. Tatapan Panji terlihat serius, ia ingin mengulik sesuatu tentang sekolah ini. “Jadi begini, Bu, saya merasa, sejak awal ia masuk ke Tumimbal, banyak pihak yang berusaha menyembunyikan sesuatu dari orang baru.” Di dalam hati, Panji berpikir, “hanya Pak Nyoman, pembantu umum sekolah ini yang sedikit terbuka ke aku. Itupun aku diminta untuk tutup mulut, atau Pak Nyoman akan kehilangan pekerjaan.” Saat mendengar apa yang dikatakan oleh Pak Nyoman, Panji berpikir jika sekolah menggunakan ancaman untuk membuat Pak Nyoman selalu mengabdi kepada Tumimbal. Semua keanehan yang terjadi di sekolah ini, membuat Panji ingin meninggalkan Tumimbal bahkan di hari pertama. Tapi sebagai orang yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, Panji ingin mengulik semua yang perlu ia tahu untuk menjadi alat bukti, jika memang Tumimbal mempunyai sesuatu yang bisa menjeratnya ke ranah hukum. Sebagai orang pendidikan, Panji memiliki relasi yang cukup luas. Masa lalunya yang kelam membuat Panji bersahabat dengan orang-orang yang bisa bergerak bebas di bawah ketimpangan hukum yang terjadi di negara ini. Profesi sebagai guru BK yang selalu berhadapan dengan siswa bermasalah juga membuat Panji memiliki relasi baik dengan petugas-petugas kepolisian di Banyuwangi. Jika Panji bisa mengulik informasi dan memanfaatkan relasi, bukan tidak mungkin Tumimbal akan jatuh ke dalam perkara. “Bu, sejak awal saya masuk ke Tumimbal, saya udah mencium sesuatu yang aneh. Penampakan yang ada di mana-mana, perundungan yang gak ditindaklanjuti, ketimpangan sosial yang terjadi di sekolah, seorang pria dewasa yang jadi siswa tingkat pertama, serta tingkat kenakalan tinggi di sekolah ini sangat-sangat gak masuk akal kalau dilihat dari predikatnya sebagai sekolah internasional. Dan lagi, saya melihat hampir seluruh siswa di sekolah ini tuh anak lokal. Gak ada tuh anak luar negeri yang sekolah di sini! Apanya yang sekolah internasional?” Staf tata usaha terdiam mendengar seluruh pertanyaan dari Panji. Ia justru membuang muka, seakan benar-benar sedang menutupi sesuatu. “Pak Panji, kita bisa selesaikan kasus Bapak secara baik-baik. Soal rekaman CCTV, kita bisa hapus. Tapi, Bapak cuma harus inget ini aja. Di sekolah ini, Bapak cukup kerja dan ngajar sesuai job desc dan tolong kurang-kurangin kekepoan di pikiran Bapak, kalau Bapak gak pengen ada sesuatu yang buruk terjadi.” Staf tata usaha merendahkan suara, seakan tidak ingin didengar oleh orang lain. Satu sisi, Panji pun menjadi bingung. Kenapa staf tata usaha justru menyidangnya? Apakah tidak ada staf kedisiplinan di sekolah ini? Ataukah staf tata usaha harus merangkap jabatan? Tapi saat ini, Panji tidak mengambil pusing dengan hal-hal rumit di dalam pikirannya. Panji menyungging bibir sejenak, “oke, kita anggap masalah ini selesai sampai di sini. Kayaknya masing-masing dari kita sedang menyimpan rahasia, ya?” Panji seakan menemukan titik terang terhadap rasa ingin tahunya. Staf tata usaha yang tampak gemetar di depannya, bola mata yang bergerak ke sembarang arah, serta jari tangan yang tampak gelisah, membuat Panji berpikir jika wanita paruh baya yang ada di depannya bisa menjadi senjata untuknya suatu saat nanti. “Kalau gitu, saya balik ke ruangan saya, ya?” Tanpa menunggu jawaban dari staf tata usaha, Panji segera beranjak kembali ke ruang BK. Dalam perjalanan kembali ke ruang BK, Panji kembali teringat tentang apa yang terjadi di ruang BK antara dirinya dan Lia. Sejenak, ada sesuatu yang terbangun di bawah sana karena teringat dengan kemolekan tubuh dari siswi tingkat akhir tersebut. Meski di mulut Panji berkata kepada Lia jika dirinya sama sekali tidak tertarik, namun jauh di dalam pikiran, Panji sebenarnya sangat tergoda dengan apa yang ia lihat di depan mata. Logikanya, kucing mana yang tidak tertarik jika ada tenderloin steak di depan mata? Mungkin hanya kucing yang sedang sakit perut yang tidak memakannya. Sayangnya, Panji harus menahan gejolak aneh yang muncul di pikirannya, karena harus menjaga nama baiknya sebagai seorang guru dan nama bak profesi yang ia emban. Ketika Panji melangkah semakin dekat dengan ruang BK, ingatan Panji tentang tubuh Lia yang mulus, apalagi saat Lia hanya berbalut pakaian Dalam karena kancing baju seragamnya terbuka seluruhnya, perlahan bergeser ke saat di mana ada perempuan berambut panjang yang tiba-tiba muncul dari bawah meja kerjanya. Panji menghentikan langkah di tengah koridor, khawatir jika ketika masuk ke ruangannya maka penampakan itu akan muncul kembali. Ketakutan yang perlahan muncul di dalam pikiran Panji, membuat suasana di sekitarnya berubah perlahan menjadi pekat dan gelap. Makhluk-makhluk aneh yang bersembunyi di sekitar Panji, mencium aroma ketakutan yang sangat kuat dari tubuh Panji. Bagi makhluk-makhluk itu, rasa takut yang ada di dalam diri manusia bagaikan aroma darah segar dari korban pembunuhan yang. Beberapa dari makhluk-makhluk itu bahkan merasa candu dengan rasa takut yang ada di dalam diri manusia. Sebagian dari mereka bahkan tidak bisa mengendalikan diri ketika sakau saat mencium aroma anyir tersebut. Ketika ketakutan kembali menyelimuti pikiran Panji, saat itulah makhluk-makhluk aneh itu kembali muncul. Sekelebat bayangan mulai berseliweran di sekitar Panji, suara pekikan aneh dan tawa renyah dari sosok yang tidak terlihat pun dapat didengar Panji dengan begitu nyata. Nafas Panji kembali tercekat, ia kembali teringat dengan ucapan staf tata usaha yang mengatakan jika dirinya tidak boleh takut terhadap penampakan aneh di sekolah ini. Jika hanya satu, mungkin Panji bisa sedikit menahan. Tetapi jika ada banyak sosok aneh yang ia hadapi, bisa-bisa Panji kencing di celana karena terlalu takut. Sejenak, Panji ingin melangkah pergi dari tempat ia berdiri saat ini. Tapi lagi-lagi, kakinya terasa sangat berat. Bahkan untuk sekadar bergeser pun Panji tidak mampu. Dalam keadaan terdesak seperti ini, hanya ada satu hal yang ia ingat, yaitu, “aku bakal mati … aku bakal mati … aku bakal mati ….” Kata itulah yang selalu terulang di dalam pikiran Panji. Kakinya sudah terlalu kaku untuk bergerak, tangannya terlalu gemetar untuk melawan. “Persetan sama kalimat harus berani! Aku takut banget, bangke!” Panji berteriak keras di lorong kosong. Air mata mulai terlihat menggenang di kelopak matanya, ia benar-benar tidak tahan dengan sekolah mengerikan ini. Persetan dengan sekolah internasional, persetan dengan gaji tinggi! Hari pertama Panji mengajar di Tumimbal memang mengalami banyak kejadian buruk. Bahkan di ruang BK pun, Panji harus berjibaku dengan penampakan mengerikan. Ketika sosok kelapa berambut panjang dengan mata hitam penuh darah dan aroma amis itu muncul, Panji berteriak histeris seperti anak kecil. Tidak hanya itu, karena merasa terlalu takut, Panji bahkan tanpa sengaja memegang tubuh bagian depan Lia. Saat itu, Lia justru tertawa semakin keras ketika mengetahui guru BK yang sok jual mahal itu menangis seperti anak kecil. Lia bahkan tidak berusaha untuk mengalihkan tangan Panji dari tubuhnya. Bukan menikmati, Lia hanya ingin melihat betapa munafiknya lelaki yang sok suci seperti Panji. Menurut Lia, Panji hanya berpura-pura takut terhadap penampakan mengerikan itu, sebagai modus untuk bisa dengan bebas memegang-megang sesuatu yang bukan menjadi haknya. “Semua cowok itu munafik, sok suci, sok nolak! Giliran ada kesempatan aja pada grepe-grepe!” Jujur, Lia tidak menikmati semua sentuhan yang diberikan Panji terhadapnya. Bukan hanya Panji, La juga tidak pernah menikmati sentuhan yang diberikan oleh lelaki-lelaki di luar sana. Ia hanya menjadi murah, demi bisa memanfaatkan hasrat lelaki demi kepentingannya sendiri. Sudah sangat banyak lelaki yang menjadi korban dari Lia. Hanya saja, kebanyakan dari mereka memilih bungkam karena Lia mengancam akan menyebarkan aib mereka dan menghancurkan karir dari para korbannya. Akhirnya, banyak lelaki yang menjadi kaki tangan Lia, di mana gadis licik itu bisa memanfaatkan mereka sesuka hati. “Pak!” Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Panji. Seketika, kaki Panji melemas dan ia terjatuh. Beruntung, tangannya masih sanggup untuk menopang berat tubuhnya sehingga Panji tidak langsung tersungkur. “Pak, Bapak gak apa-apa? Bapak ngapain ngelamun di sini?” Suara lembut dari seorang gadis yang membungkuk setelah menepuk bahunya, berhasil mengembalikan Panji ke dunia nyata. Keringat sebesar jagung yang menetes deras dari dahinya, menandakan jika Panji tidak baik-baik saja. Tetapi ketika mendengar suara meneduhkan itu, Panji sangat yakin jika seseorang yang menyadarkannya adalah manusia. Panji menoleh ke samping, di mana gadis yang menolongnya sedang menatapnya dengan khawatir. “Yu–Yuni?” ucap Panji terbata sambil terengah-engah. Lagi-lagi Yuni datang di saat genting. “Bapak bisa berdiri?” tanya Yuni khawatir. Panji hanya mengangguk pelan, lalu pelan-pelan ia mencoba untuk bangkit meski kakinya gemetar. Yuni dengan sigap merangkulkan tangan Panji ke pundaknya, lalu ia membantu Panji untuk berdiri. “Pak, kita ke UKS sekarang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD