Bab 3 : Kedatangan Tante Rossa
“Nak Hamid, ngapain di situ?” teriak seseorang dari arah jalan.
Aku segera menoleh ke arah sumber suara, Unggal Nonoi langsung menghampiriku dengan raut kaget campur bimbang. Dia adalah tetangga dekat rumah, wanita paruh baya. Unggal adalah panggilan daerahku yang artinya dia anak tunggal. Sedangkan Jang adalah panggilan untuk pemuda yang masih bujang, seperti Nek Sola sering memanggilku. Jang bisa diartikan dengan sebutan ‘Abang’ atau ‘Mas.’ Begitulah istilah panggilan di daerahku ini yang didominasi warga Melayu, karena kami tinggal di Kota Ketapang, Kalimantan Barat.
“Nak Hamid, ayo segera pergi dari tempat ini!” Unggal Nonoi menarik tanganku.
“Memangnya kenapa, Unggal?” tanyaku bingung.
“Nek Sola itu gila, nanti kamu diapa-apakan! Jangan pernah ke sana lagi!” ujarnya padaku dengan setengah berbisik.
“Oh, ya?” Aku mengernyitkan dahi.
“Iya, omongannya sering ngelantur. Gak ada yang berani dekat sama dia. Kamu kok malah aneh, berani sekali mampir ke sana? Jangan lagi ya, Nak!” ujarnya lagi.
Aku menghela napas, ada-ada saja tanggapan warga tentang Nek Sola. Menurutku dia nggak gila kok. Tapi, ya sudahlah. Sebaiknya aku menurut saja kepada Unggal Nonoi.
“Ya sudah, saya mau melanjutkan joging, Unggal Nonoi. Mari,” ujarku padanya lalu berlari kecil meninggal wanita paruh baya itu.
Sebaiknya aku mencari Si Putih yang berwujud manusia itu saja, membuktikan kebenaran perkataan Nek Sola. Tadi, kalau gak salah ingat, dia pakai jaket putih dengan celana olahraga putih juga. Rambut dikuncir ke atas, cuma wajahnya gak kelihatan jelas. Aku terus berlari menuju taman, rasanya sudah tak sabar mau menjumpai Si Putih. Perasaan aneh mulai menjalari hati, seperti hendak bertemu calon istri saja, eh!
Aku celingukan setelah sampai di taman, di sini lumayan ramai sehingga membuatku kesulitan mencari Si Putih. Kutenggak sebotol air mineral sambil mengedarkan pandangan ke segala arah.
‘Degggg’
Pandanganku tertuju pada seorang wanita di ujung sana. Seorang wanita berpakaian serba putih yang sedang digonggongi Anjing yang dibawa salah seorang di taman itu.
'Guk ... guk ... gukkk'
Anjing itu menatap Si wanita dengan garang, untung saja ia dirantai oleh sang tuan. Kalau tidak, wanita yang wajahnya mirip Si Putih itu sudah dimangsanya barangkali.
Tiba-tiba saja, Anjing menarik dengan keras rantai yang dipegang sang pemilik. Lalu lari mengejar Si wanita cantik dengan style putih itu. Dia berlari dengan ketakutan. Astaga, sungguh kasihan sekali melihat ia dikejar Anjing begitu.
Naluri super heroku mulai bangkit. Aku berlari kencang dan menarik tangan Si wanita, lalu membawanya berlari.
'Bruggg'
Wanita itu terjatuh tersungkur, ia tergelincir jalanan yang becek. Kedua lututnya kotor terkena tanah, juga dahinya. Kubantu ia untuk bangun, lalu menariknya untuk bersembunyi di balik pagar rumah orang.
“Kamu gak apa-apa?” tanyaku dengan cemas. “Ada yang terluka?”
“Meonggg .... Upsss .... “ jawab si wanita sambil menutup mulutnya.
Wah, kok 'meong'? Apa wanita ini jelmaan Si Putih? Aku menatapnya dengan kaget campur senang. Dahi si wanita terlihat berkeringat, ia gelagapan. Semakin kueratkan genggaman tangan padanya. Tak akan kulepaskan dia, aku yakin sekali, dia pasti Si Putih. Hatiku berkata demikian.
“Kamu .... “ Aku menatap tajam manik biru wanita di hadapanku.
Ia tertunduk dan tak berani beradu tatap denganku.
“I-itu .... “ ucapnya dengan wajah takut sambil merapatkan diri kepadaku.
Ternyata anjing itu sudah tepat berdiri di hadapan kami dengan tatapan nyalang. Astaga, bagaimana ini? Apa aku harus bertarung dengannya demi menyelamatkan Si Putihku?
“To ... tolong .... “ ujar si wanita dengan suara serak.
Kubuka sebelah sepatu dan kulempar ke samping anjing itu, dengan maksud ingin mengalihkan perhatiannya. Kemudian, segera kutarik tangan si wanita dan mengajaknya berlari lagi.
Beberapa saat kemudian, ketika menoleh ke belakang, anjing itu sudah tak terlihat lagi. Aku menghentikan langkah dengan napas yang tersengal-sengal. Syukurlah ia tak mengejar kami lagi.
“Kenapa, Bang?” sapa Anggi, ia menghentikan motornya di pinggir jalan.
“Eh, kamu. Itu, habis dikejar anjing,” jawabku sambil mengelap buliran keringat di dahi.
“Kok bisa, mana?” Anggi celingukan.
“Udah pergi,” jawabku. “Oh iya, kamu gak apa-apa?” Aku menoleh ke samping, baru teringat akan wanita yang kuduga jelmaan Si Putih.
Eh, kok malah gak ada. Ke mana dia? Aku celingukan. Anggi turun dari motor dan mendekat ke arahku.
“Nyari siapa, Bang?” tanyanya.
“Wanita yang tadi kutolong, tadi kami lari bersama,” jawabku dengan bingung.
“Perasaan dari tadi Bang Hamid cuma sendiri, aku gak lihat siapa-siapa,” jawab Anggi dengan wajah serius.
“Oh, ya?” Aku menghela napas. “Ya sudahlah, Abang masuk dulu, ya!” ucapku sambil membuka pintu pagar rumah.
Anggi kembali ke motornya dan segera berlalu. Setelah Anggi pergi, aku masih celingukan di depan rumah mencari wanita itu. Aku tak sadar kapan ia menghilang. Rasa penasaran akan sosok wanita yang wajahnya mirip Si Putih begitu membuatku gelisah. Aku ingin tahu kebenarannya siapa kucing putih itu?
***
Hingga sore tiba, Si Putih tak juga muncul. Tumben sekali hari ini ia tak ada main ke rumahku. Tiba-tiba, terdengar suara bel dari arah depan pintu utama dan segera melangkah dengan malas menuju sana. Tumben sekali Si Putih masuknya lewat pintu begini, pakai pencet bel segala pula? Aku tersenyum geli, di kepalaku hanya ada dia saja.
“Eh ... Put .... “ Aku tergugup kala mendapati Tante Rossa yang berdiri di depan pintu, bukannya Si Putih.
“Assalammualaikum, Hamid,” ucap Tante Rossa, dia adik almarhum mamaku.
“Waalaikumsalam, Tante .... “ Aku mencoba tersenyum sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Kamu lagi nunggu seseorang? Siapa 'Put' itu? Pacar kamu?” Si Tante langsung menodongku dengan pertanyaannya.
Hemmm, aku melengos. Kuabaikan semua pertanyaan itu, langsung kuajak ia masuk.
“Kok sendiri aja, Tan?” Aku duduk di hadapannya.
“Iya, semua lagi pada sibuk. Ya udah Tante jalan sendiri saja.”
Aku manggut-manggut saja mendengar cerita Tante Rossa.
“Oh, ya, kamu kapan mau nikah Hamid? Umurmu udah mateng loh ... untuk berumah tangga,” ujar Tante Rossa menatapku serius.
Aku tersenyum kecut kalau mendengar pertanyaan maut itu, bingung mau menjawabnya.
“Udah ada calon, belum?” sambung Tante Rossa lagi.
Aku menggeleng pelan sambil menghela napas panjang.
“Ya ampun Hamid, mau sampai umur berapa kamu betah membujang begini? Wajah ganteng, pekerjaan mapan, semua sudah ada tapi kenapa kamu gak laku juga, Nak? Kamu gak penyuka sesama jenis ‘kan? Yang seperti lagi trand sekarang itu .... “ Tante Rossa menatapku curiga.
“Amit-amit, Tante.” Aku sedikit tersinggung, wajahku langsung berubah muram.
“Habisnya Tante belum pernah liat kamu pacaran sih,” oceh Si Tante lagi.
“Meonggg .... “ Tiba-tiba terdengar suara Si Putih dari arah dapur.
“Putih, ckckckck .... “ panggilku padanya, hati langsung berubah riang kala mendengar kehadirannya.
Tak lama kemudian, Si Putih sudah menampakkan diri dan langsung menghampiriku. Kuulurkan tangan padanya, ia langsung melompat ke pangkuanku.
“Hey, Sayang .... Kok baru nongol?” Aku langsung mendaratkan ciuman di bulu lembut itu.
“Meonggg .... “ Si Putih menggosokan kepalanya di dadaku.
“Nah .... Tante, kenalin ... ini pacarnya Hamid,” candaku pada wanita berjilbab hijau itu.
“Ah, kamu ini. Oh, ya, kamu mau ya Tante jodohin sama anaknya teman Tante? Orangnya baik deh, pokoknya cocok sama kamu. Besok malam Tante ketemuin sama kamu. Oke?” ujar Si Tante sambil beranjak dari sopa.
Ya elah, Tante. Hari gini masih saja suka main jodoh-jodohan. Mau menolak, takut Si Tante tersinggung, ya sudah kuiyakan saja. Tante pun pamit pulang.
Si Putih masih dalam gendonganku, meskipun sejak dari tadi ia berontak ingin melepaskan diri namun aku masih memeluknya erat. Tak akan kulepaskan lagi, aku yakin dia jelmaan wanita cantik itu.
Aku ingin menyaksikan kucing ini berubah jadi manusia, rasa penasaran ini harus bisa kubuktikan. Apalagi, kotoran bekas tanah yang menempel di kepala dan lutut Si Putih yang semakin menguatkan kecurigaan ini.
Kumasukan Si Putih ke kandang besi yang sudah kusiapkan di kamar.
“Sayang, kamu masuk ke sini dulu, ya!” ujarku padanya. Ia sedikit berontak, namun akhirnya menurut juga.
Kupasangi kamera di dekat kandang Si Putih, agar saat ia berubah jadi manusia, aku bisa melihatnya jika aku tertidur dan tak sempat menyaksikan secara langsung peristiwa itu.
“Maafkan aku, Sayang. Bukan maksudku ingin mengurungmu seperti ini, aku hanya ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Agar aku bisa mengontrol perasaan aneh yang muncul setiap bersamamu,” ucapku lembut sambil mengelus kepalanya.
“Meoonggg .... “ Si Putih seperti memohon agar aku membebaskannya.
Bersambung .....