IBU

1402 Words
                “Bu… Kinan mau ngomong sama ibu” Ucap Kinan yang baru saja sampai di rumah nya, langit mulai gelap. Suara – suara jangkrik mulai terdengar. Membuat sepi nya malam semakin terasa. Di rumah itu hanya ada Kinan dengan ibu nya. Sementara Galih dan Harun, masing – masing sudah berada di rumah mereka sendiri, bersama keluarga kecil mereka.                 “Ibu selesaiin isha dulu” Jawab Tatih, kali ini Kinan mengangguk , kemudian berjalan menuju teras rumah , menunggu ibu nya selesai melaksanakan sholat. Suasana desa memang sudah sangat sepi jika sudah melewati waktu maghrib, berbeda dengan di kota, di desa jika masjid sudah berbunyi, maka orang – orang akan berhenti melakukan aktivitas nya , kembali ke rumah masing – masing. Untuk berkumpul dengan keluarga.                 Lima belas menit berlalu, Kinan tersentak karena mendengar suara pintu terbuka, Tatih datang sembari menyeret kaki nya katanya sangat sakit. Kinan memandang khawatir kaki ibu nya yang nampak membengkak tak biasa.                 “Mas Dokter kan sudah bilang bu… jangan makan nasi dulu, atau paling ndak yaa di kurangin. Ini loh penyakit ibu” Kinan mengelus pelan kaki ibu nya, menatap kaki wanita yang melahirkannya itu dengan tatapan nanar.                 “Yo mana bisa to ndukk ibu nda makan nasi, kalau nda makan nasi namanya ndak makan, yo percuma” Kinan menggeleng mendengarkan jawaban ibunya, tipikal orang Indonesia sekali , ketika tidak makan nasi, maka mereka tidak menganggap diri mereka telah makan.                 Setelah itu keduanya diam, tenggelam dalam pikirannya masing – masing. Kinan memikirkan bagaimana dengan permintaan ibu nya, apakah ia harus menyanggupi permintaan tersebut atau tidak usah, sementara Tatih, ujung mata nya menatap Kinan dengan tatapan yang sulit di artikan , rasa sayang yang menyeruak di dalam diri nya selalu hadir ketika melihat Kinan, anak gadis nya yang dulu masih ia timang – timang, sekarang sudah besar, sudah menjadi gadis cantik yang menjadi incaran para laki – laki di desa mereka.                 “Nduk…”                 “Bu…”                 Mereka berdua saling memanggil di waktu yang bersamaan, Kinan tersenyum kemudian mempersilahkan ibu nya untuk berbicara terlebih dahulu.                 “Ibu duluan” Ucap Kinan, sedetik setelah itu Tatih menarik napas panjang kemudian membuang nya kasar, Kinan menatap heran ibu nya, ada apa? Kenapa Ibu terlihat lesu seperti ini?                 “Nan… apa ndak bisa permintaan ibu di kabulkan? Ibu kepengen banget ngeliat Kinan nikah sebelum ibu meninggal. Ibu kepingin banget ngeliat Kinan udah jadi istri. Ibu ndak mau ninggalin kamu sendirian nduk” Ucap Tatih , Kini air mata nya bahkan sudah membasahi pipi.                 Kinan menghela napas dengan gusar “Apa ndak ada permintaan lain bu?” Tanya Kinan Tatih menggeleng                 “Kinan pikirin dulu ya bu” Ucap Kinan yang seketika mampu membuat Tatih kembali tersenyum hangat, keinginannya sederhana , melihat Kinan bahagia , sebelum ia menghembuskan napas terakhir nya.                 Tatih berdiri, menghampiri putri nya, kemudian memeluk Kinan hangat “Bahagia terus ya nduk, sehat – sehat terus. Maaf kalau ibu ada salah” Ucap Tatih sembari terus memeluk putri nya, yang di peluk pun merasa heran, namun tetap membalas pelukan ibu nya.                 “Ibu juga ya” Balas Kinan, namun Tatih tidak menjawab. Kinan mengeratkan pelukannya, rasanya tubuh ibu adalah sesuatu yang paling hangat yang pernah ia rasakan. *****                 Kinan kembali ke Jakarta , sebelum memberi jawaban kepada Ibu nya. Sebenarnya Kinan ingin lebih lama lagi di kampung bersama ibu nya.  Namun apa daya, tuntutan pekerjaan mengharuskannya kembali ke kota lebih cepat di banding rencana nya.                 Di Jakarta, Kinan tinggal sendirian. Ia tinggal di sebuah rumah kost sederhana yang jarak nya hanya beberapa puluh meter dari tempat nya bekerja. Kinan bekerja di salah satu perusahaan yang di rekomendasikan oleh temannya, melamar di hari terakhir , dan namanya menjadi nama pertama yang tertulis di papan pengumuman.                 Baru saja Kinan duduk di kursi depan kost nya, setelah memasukan barang – barang ke dalam kamar. Kini ia kembali duduk di teras kostan , berusaha membuat matanya kembali terbiasa dengan hiruk piruk ibu kota hari itu. Sebuah pesan singkat ia terima                 Mas Galih                         Ibu masuk rumah sakit nan                 Seketika Kinan berdiri, entah , ia harus berbuat apa, yang jelas dia tidak tahu harus berbuat apa, ibu nya memang selalu mengeluh sakit, namun tak pernah hingga masuk rumah sakit. Kinan panik, bertambah panik ketika mengingat perjalanan dari kota ke kampung nya memakan waktu delapan jam, butuh sepertiga hari untuk sampai ke kampung halamannya itu.                 Kinan menggigit kuku nya,panik. Memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut karena kaget sekaligus panik mendengar berita dari kakak tertua nya bahwa sang ibu sakit. Sedetik kemudian, Kinan kembali menerima sebuah pesan. Mas Galih             Nan, pulang sekarang. Jangan nunda, ibu nunggu kamu.                 Kinan membeku di tempatnya, berpegangan pada sebuah tembok yang tadinya ia tempati untuk bersandar, beberapa menit kemudian ia berlari menuju kamar, mengambil dompet nya, kemudian pergi menuju stasiun kereta api, dengan seribu doa dalam hati , semoga ibu nya baik – baik saja.                 Di perjalanan, Kinan sama sekali tidak merasa tenang, bahkan mengantuk pun tidak, padahal biasanya, baru duduk lima menit, dia sudah tertidur pulas. Delapan jam ia lewati dengan perasaan yang kacau, berulang kali ia menelfon kedua kakak nya untuk memastikan keadaan sang ibu, namun tak satupun ada yang menjawab nya., membuat Kinan semakin panik dan merasa kacau.                 Sesampainya di stasiun terdekat dari kampungnya, Kinan segera mencari kendaraan umum untuk ia kendarai menuju kampung halamannya, namun ia tidak menemukan sesuatu yang dapat mengangkutnya sesegera mungkin.                 Bahu Kinan ada yang tepuk dari belakang, Kinan berbalik. Ternyata Prasetyo, dengan peci hitam dan setelan serba hitam nya, ia memegang sebuah payung yang juga berwarna hitam. Apa – apaan Mas Pras ini, kenapa dia muncul dengan setelan seakan ia sedang berduka?                 “Ayo nan” Ajak Mas Pras, ada banyak sekali pertanyaan di dalam kepala Kinan, seperti, mengapa pria itu berada di sini , kenapa pakaiannya begitu , dan mengapa ia yang datang menjemput Kinan. Ada apa?                 Kinan masuk ke dalam mobil Pras, dinginnya AC seakan menusuk kulit nya. Pras sadar bahwa Kinan kedinginan, dan maka dari itu Pras segera mengambil sebuah jaket di jok belakang, kemudian memberikannya kepada Kinan                 “Di pakai” Ucap Pras dingin, Kinan hanya mengangguk, menuruti apa yang pemilik mobil katakan. *****                 Mata Kinan membelak, melihat sebuah bendera kuning telah terpasang di halaman rumah nya. Kaki nya bergetar, berusaha melawan pikirannya saat ini. Enggak, bukan ibu. Enggak, tadi ibu masih nganterin ke stasiun, bukan ibu, bukan ibu. Ucap Kinan dalam hati, namun air mata nya tak bisa berbohong, ia turun dari mobil, kemudian berlari, memasuki sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup nya.                 “IBUUU !!!” Kinan Histeris melihat ibu nya telah terbujur kaku, di tutupi dengan kain tipis. Kinan mendekat menangis di samping mayat sang ibu, seketika memori – memori tentang ibu nya terputar, bagaimana ibu nya menjemput Kinan ketika Kinan masih SD , menunggu gadis itu di depan sekolah, mengantarkannya bekal ketika Kinan lupa memasukan bekalnya, bagaimana ibu nya memeluk Kinan ketika Kinan sesekali pulang dari perantauan, Kinan kacau , betul – betul kacau.                 Harun mendekat ke adik bungsunya, memeluk Kinan saling menguatkan satu sama lain. Sementara Galih? Galih berada di ujung , menangis , menangisi kepergian wanita yang selama ini telah menjadi tameng sekaligus penguat untuk diri nya.                 Tatih di makamkan tepat satu jam setelah Kinan datang, tepat di sebelah makam ibu nya sendiri. Sekarang Kinan sedang berjongkok di tepi makam ibu nya, memegang batu nisan yang bertuliskan nama sang ibu, Kinan masih shock, sekaligus terpukul, ia belum siap di tinggal ibu nya secepat ini, ada rasa sesal yang menjalar di seluruh ruang perasaan Kinan, kenapa ia pulang, kenapa ia sempat marah kepada sang ibu, kenapa , kenapa Kinan tidak menuruti semua yang ibu nya minta, kenapa. *****                 Sekarang, sudah seminggu lama nya Tatih meninggalkan dunia, meninggalkan ketiga anak nya dengan perasaan yang kacau. Kinan mau tidak mau harus kembali bekerja di Jakarta. Walau ia masih terpukul karena kepergian ibu nya, namun, Kinan bisa apa, ia harus kembali bekerja agar ia bisa menyambung hidup.                 Ada satu hal yang memberatkan pikiran Kinan, tentang perjodohannya dengan Pras, Kinan terus memikirkan hal tersebut, karena hal tersebut adalah permintaan terakhir ibu nya. Kinan bahkan telah berpikir matang – matang, bagaimana pun juga, ia harus menuruti permintaan ibu nya.                 Kinan                         Mas, Kinan mau bicara. Bisa? Mas Pras kapan ada waktu?                                 Prasetyo mengerutkan keningnya, ini adalah kali pertama Pras menerima pesan dari Kinan                 Prasetyo                         Ya, nanti.                                 Kinan mendengus kesal membaca balasan pesan singkat dari Pras, bagaimana mungkin ia setuju dengan apa yang ibu nya minta jika Pras saja terlalu dingin, Kinan bergeridik ngeri membayangkan jika ia dan Pras menikah, bagaimana keadaan mereka setelah berumah tangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD