"Kamu dan keluarga kamu adalah orang-orang yang dicintai takdir." Kalimat ini terus terngiang di telinga Jelita. Semalam dia bermimpi bertemu seseorang yang tidak dia kenal. Orang itu terus mengatakan hal-hal semacam di cintai takdir yang tidak dia mengerti.
"Ta, Oliver udah nunggu dari tiga puluh menit lalu loh. Kamu buruan!" Teriakan Lisa membuat Jelita kaget dan segera beranjak dari depan cermin dan menyambar tas mungil miliknya.
Oliver terlihat sedang mengobrol dengan Regarta di ruang tamu ketika Jelita keluar. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum manis sekali. Jika biasanya dia selalu memakai pakaian formal, kali ini Oliver hanya memakai kaus putih dan celana jins. Yang membuatnya terlihat sangat tampan dan bersinar. Jelita sedikit kesal karena itu. Kenapa laki-laki yang harus dia waspadai harus setampan itu?
"Hari ini cantik banget tuan putri." Oliver memuji. Tidak lupa senyuman manis terukir di bibirnya. Tapi bagi Jelita, senyuman itu masih terasa begitu licik dan patut untuk diwaspadai. Jelita tidak tahu apakah pujian itu tulus atau hanya basa-basi saja.
"Belakangan ini kamu loh jutek banget sama aku, emangnya aku salah apa sih Ta?" Oliver bertanya lagi karena Jelita tidak bereaksi terhadap pujiannya.
"Bukannya biasanya kaya gini? memangnya apa yang kamu harapkan dari wanita yang terpaksa harus menikahimu." Jawab Jelita kejam. Nada suaranya biasa saja, tidak ada kesan menghina atau semacamnya. Tapi Jelita tahu, jika memang Oliver di awal kedekatan ini menyukainya laki-laki itu pasti sakit hati.
Dan anehnya Jelita sendiri juga merasa sakit hati karena melontarkan kalimat kejam itu pada calon suaminya. Karena itu setelah mengatakannya Jelita langsung mengalihkan tatapannya ke jalanan. Oliver diam untuk beberapa saat.
"Jadi aku emang belum diterima sama kamu yah? terus kenapa waktu itu kamu setuju menikah sama aku?" Tanyanya lagi. Jelita tidak merasakan ada nada sedih atau kecewa dalam kalimat jawaban Oliver ini. Yang entah kenapa justru membuat Jelita kecewa. Benarkah sejak awal Oliver memang tidak mencintainya sehingga kalimat sejahat itu tidak berhasil membuatnya sedih atau kecewa?
"Aku tidak seperti kamu yang memiliki banyak pilihan. Apalagi setelah banyak kesalahan yang aku perbuat sebelumnya dan membuat keluargaku khawatir. Calon lain juga entah kenapa tidak ada yang memenuhi syarat dan bahkan beberapa terjerat kasus berat. Aku bukan orang yang pandai menilai orang lain, karena itu aku terus-terusan bertemu orang yang salah. Dan aku sudah lelah bertemu orang yang salah. Karena alasan itulah aku akhirnya menyetujui pilihan orangtuaku. Jika ternyata pilihan ini salah juga, mungkin saja memang takdir membenciku." Jawab Jelita kemudian dia akhiri dengan senyuman miris.
"Entah kenapa aku seperti dijadikan tempat pelarian karena semua tujuan kamu sudah tidak bisa dituju." Ucap Oliver dengan kekehan yang terdengar sedikit kesal.
"Kalau kamu tidak berkenan, aku setuju jika kamu ingin membatalkan pernikahan ini. Bukankah sesuatu yang dipaksakan juga tidak baik?" Jelita merasa menemukan peluang untuk lepas dari pernikahan ini dalam pembicaraan mereka sehingga dia tidak akan menyia-nyiakannya. Tapi Oliver malah tertawa.
"Siapa bilang? justru pernikahan ini terasa lebih menarik. Aku suka sesuatu yang menantang. Seperti membuatmu jatuh cinta pad__"
"Lalu setelah itu kamu mencampakannya dan pergi dengan wanita lain?" Jelita memotong dengan suara datar membuat Oliver langsung menoleh sambil mendesah.
"Aku tahu gosip tentangku mengencani banyak wanita pasti sudah lama terdengar olehmu. Tapi aku bukan orang yang akan mempermainkan pernikahan Ta. Apalagi wanita yang aku nikahi adalah kamu. Mana berani aku main-main sama kamu." Ucap Oliver terdengar sungguh-sungguh. Jelita ingin sekali tertawa dengan kalimat yang dia nilai sebagai omong kosong itu tapi dia menahannya.
"Hanya waktu yang bisa menjawab." Balas Jelita singkat. Dan setelah itu tidak ada lagi pembicaraan hingga mereka sampai di rumah Oliver. Hari ini mereka memang hendak pergi melihat sample soufenir yang sebelumnya sudah mereka pesan, tapi Oliver mengajak Jelita pulang dulu karena Dante dan Desita ingin bertemu dengan Jelita.
"Calon mantu akhirnya datang, tante kangen banget sama kamu loh Ta." Sambut Desita ramah seperti biasanya. Jelita tersenyum kemudian menyambut pelukan calon mertuanya itu dengan ramah. Jika dulu Jelita selalu menghina senyuman kapitalis yang di tunjukkan Regarta dalam pertemuan penting yang tidak ingin laki-laki itu hadiri, sekarang justru Jelita seperti terkena karma. Karena senyuman tidak tulus itu kini menjadi senjata Jelita untuk bertemu keluarga Oliver.
Jelita masih ingat bahwa Desita dan Dante dulu tidak begitu peduli dengan rumah tangga Jelita dan Oliver. Atau bisa dikatakan justru menelantarkannya. Orangtua Oliver itu tidak pernah mengunjungi Jelita sekalipun sejak Jelita pindah ke Luar Kota bersama Oliver. Bahkan ketika Jelita hamil di masa depan yang wanita itu impikan, Desita tidak pernah membalas pesan atau menghubungi Jelita lagi. Entah kenapa ketidakpedulian mereka dan permusuhan Jelita dengan banyak orang saat itu, terasa sangat aneh karena orangtua Oliver sejak awal sudah sangat ramah padanya.
"Baru juga minggu lalu ketemu." Oliver mencibir. Membuat perdebatan antara ibu dan anak itu tidak bisa dihindari. Jelita tertawa ringan untuk mencairkan suasana. Tentu saja bukan tawa yang benar-benar ingin wanita itu lakukan.
"Ayo masuk Ta! kamu udah sarapan kan?" tanya Desita ramah sambil menggandeng calon menantunya itu menuju ruang keluarga besar di rumah itu. Di tengah Dante dan Olivia terlihat sedang mengobrol. Dan tepat seperti yang Jelita ingat, Olivia langsung menatapnya dengan tatapan kurang suka tapi wajah gadis itu langsung berubah ramah ketika orang lain menatapnya. Dulu Jelita pikir, hal itu wajar karena kakak laki-laki yang dia sayangi akan menikah dengan wanita yang tidak pernah dipacarinya. Tapi Olivia di masa depan yang Jelita impikan tidak menyukai Jelita hingga akhir. Bisa dibilang gadis itu adalah salah satu orang yang membuat Jelita menderita.
Jelita juga tidak mau beramah tamah pada orang yang terang-terangan memancarkan api permusuhan. Berbeda dengan dulu, di pertemuan kali ini Jelita tidak memberikan senyum sedikitpun pada gadis itu dan bersikap seolah-olah dia sibuk menanyakan kabar Dante. Olivia terlihat kesal karena dia pasti sadar, Jelita tidak mempedulikannya.
"Ta aku kamu tinggal disini bentar yah, aku mau bantuin Rega dulu, katanya mobilnya mogok." Pamit Oliver. Jelita tersenyum dan mengangguk.
"Hati-hati Ol, jangan lama-lama." ujar Desita lembut. Jelita ingat kejadian ini, mobil Regarta memang benar-benar mogok. Tapi nanti Oliver akan sampai rumah sudah hampir sore dan akhirnya mereka tidak jadi pergi ke tempat Soufenir karena jalanan sudah sangat macet. Jelita baru tahu setelah mereka menikah bahwa alasan kenapa Oliver tidak langsung pulang setelah menolong Regarta, karena laki-laki itu melihat Bulan di jalan. Kekasih yang Oliver pikir sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dan dari sana lah semua masalah berawal.
Karena itu Jelita berniat untuk tidak mau jadi orang bodoh kali ini. Jika jam sudah menujukkan pukul sebelas siang dan Oliver belum pulang, wanita itu berencana untuk pamit pulang. Karena jam sebelas siang Dante dan Desita harus pergi kondangan sementara Jelita ditinggal berdua dengan Olivia yang akhirnya menjahilinya tanpa ampun. Saat itu Jelita tidak berani mengadukan kenakalan adik Oliver itu, karena Jelita pikir lambat laun sikap Olivia akan berubah. Tapi sikap lembek Jelita saat itu justru merupakan sebuah kesalahan besar.
"Kamu ngobrol dulu sama Olivia yah Ta, tante lagi manggang roti. Pas Oliver ngabarin kamu mau ke sini buat diskusi masalah rumah yang sebelumnya tante udah bicarakan sama Oliver, tante langsung beeli bahan-bahan buat bikin kue kesukaan kamu." Ucap Desita ramah. Dan Jelita tahu jika Desita menuju dapur pasti Dante akan langsung mengikutinya. Orangtua Oliver mirip sekali dengan orangtua Jelita yang masih romantis bahkan di usia yang sudah tidak lagi muda itu.
"Terimakasih tante, gimana kalau Jelita bantuin?" Tanya Jelita berusaha melarikan diri dari kritik pedas Olivia.
"Nggak usah, kamu udah cantik gitu nanti malah kotor. Kamu disini aja yah! temani Olivia nonton film aja." Desita menolak dengan lembut membuat Jelita tidak bisa berkutik dan akhirnya setuju.
"Sampai kapanpun gue nggak setuju lo nikah sama kakak gue." Olivia mulai bersuara. Wajahnya terlihat dingin dan berkerut. Memancarkan ketidaksukaan yang terlihat begitu jelas. Jelita baru sadar bahwa wajah Olivia saat ini sangat mirip dengan wajah tidak suka Oliver di masa depan yang pernah dilalui Jelita.
"Kalau gitu coba aja batalin pernikahan gue. Kalau berhasil justru gue akan berterimakasih. Emangnya lo pikir cowok yang bisa gue dapatkan cuma Oliver? asal lo tahu yah adik kecil, kakak lo yang mohon-mohon mau nikah sama gue. Bukan gue yang ngemis. Jadi jangan bbersikap seolah gue ngasih pelet ke kakak lo yang sempurna itu biar mau nikahi gue. Kalau pernikahan ini batal justru gue seneng." Balas Jelita dengan berani. Dan tidak wanita itu duga, wajah Olivia terlihat memucat. Olivia terlihat kaget meihat perlawanan yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Jelita.
Selama ini Jelita selalu diam seburuk apapun perkataan Olivia padanya. Karena itu Olivia pikir kali inipun wanita itu akan diam dan hanya tersenyum memuakkan seperti biasanya. Tapi rupanya Jelita sudah tidak menjaga image seperti yang sebelumnya Olivia benci.
"Satu lagi. Emangnya sejak kecil lo nggak pernah dapet pelajaran tata krama yah? nggak tahu adab bagaimana memperlakukan tamu?" Tany Jelita lagi dengan senyuman mengejek. Wajah Olivia langsung merah padam.
"Beraninya kamu bilang kaya gitu." teriaknya marah dengan tangan terangkat hendak menampar Jelita.
"Olivia!" Tapi suara teriakan Dante membuat tangannya terhenti. Dan melihat situasinya Jelita langsung merubah raut wajahnya.
"Nggak papa kok om, wajar aja kalau Olivia nggak suka sama Jelita. Soalnya Olivia pasti mikirnya Jelita mau mencuri kakak satu-satunya milik Olivia yang sangat dia sayang. Jadi Jelita tidak marah dengan kalimat-kalimat menyakitkan yang tadi Olivia katakan pada Jelita." Ucap Jelita mendahului Olivia untuk bicara. Tidak lupa wanita itu memasang mimik wajah yang terlihat sedih. Tidak lama kemudian Desita datang dari dapur.
"Dia bohong Pa! dia yang bicara tidak sopan katanya aku nggak dapat pelajaran tata krama." Teriak Olivia tidak terima.
"Padahal aku cuma bilang kalau kamu nggak boleh bicara kasar, karena itu tidak sopan doang. Tapi ternyata kamu semarah ini yah? kalau gitu aku yang minta maaf." Ucap Jelita lagi dengan mata memerah seperti akan menangis. Olivia menganga tidak percaya, bagaimana keadaannya bisa seperti ini? kenapa wanita yang dia pikir penurut itu bisa sangat pandai beracting?
"Maafin tante yah sayang karena Olivia kasarin kamu." Desita langsung memeluk Jelita yang mulai terisak sedih. Olivia kehilangan kata-katanya. Apalagi melihat Dante melotot dengan wajah merah padam.
"Jelita nggak enak sama Olivia tante, kayaknya Olivia nggak suka banget sama Jelita. Padahal Jelita udah berusaha yang terbaik." Jelita terus berusaha mengambil simpati calon mertuanya itu untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa pada adik Oliver yang tidak menyukainya itu. Jelita tidak lagi peduli dengan penilaian baik dari Olivia yang dulu selalu dia harapkan. Mulai sekarang jika ada yang membuatnya tidak senang, Jelitaa bertekad akan memperkenalka Karma yang sesungguhnya pada orang itu.
"Kamu keterlaluan Olivia!" Teriak Dante marah. "Ikut Papa sekarang!" bentaknya keras. Olivia menatap Jelita dengan wajah kesal. Apalagi ketika diam-diam Jelita memberikan senyuman licik padanya.
"Kayaknya Jelita pulang aja deh Tan, mungkin Oliver juga bakal sampai sore soalnya mas Rega nggak bales pas tadi Jelita hubungi." Ucap Jelita setelah Desita menenangkannya dengan kalimat-kalimat penuh penyesalan. Memang seharusnya seperti itu, keluarga ini harus meminta maaf dan menyesal karena sudah memberikan Neraka kejam pada Jelita di masa depan yang pernah Jelita lalui. Jelita bersumpah akan membuat kalimat permintaan maaf dan penyesalan itu akan semakin sering dicapkan oleh keluarga ini. Sebanyak rasa sakit yang keluarga ini pernah berikan pada Jelita.
"Tante mau nahan kamu tapi tante juga sebentar lagi harus pergi kondangan. Sekali lagi tante minta maaf atas kelakuan Olivia sama kamu yah! Tante sadar sejak awal anak itu memang tidak setuju kakak laki-lakinya menikah. Mungkin dia masih ingin bermanja-manja. Tapi tante dan om pastikan kejadian kaya gini nggak akan terjadi lagi." Ucap Desita lembut. Jelita tersenyum tipis. Jelita tahu alasan kenapa Olivia tidak setuju dengan Jelita adalah karena gadis itu lebih suka Bulan yang jadi pasangan Oliver. Dan sejak Bulan dikabarkan meninggal, Olivia juga ikut sangat kehilangan. Bisa dibilang mereka dulu sangat dekat. Dan nanti ketika Bulan kembali, Olivia akan berada di pihaknya dan semakin kejam pada Jelita.
"Memangnya apa yang dilakukan Olivia ke Jelita?" Suara dingin Oliver membuat Jelita tidak jadi membalas ucapan Desita. Laki-laki itu berdiri dengan kaos sedikit kotor dan raut wajah dingin di dekat pintu. Membuat Jelita mengernyit bingung? Kenapa Oliver sudah kembali? Kenapa skenario masa depan bisa berubah? Jelita ingat jelas bahwa seharusnya Oliver baru pulang sore hari karena mengejar wanita yang mirip dengan Bulan. Tapi kenaa Oliver berubah?
Jelita mulai mempertanyakan lagi masa depan yang dimimpikannya. Benarkah itu nyata atau hanya mimpi saja.
***