"Aku mau makan soto deh, kamu mau nemenin kan Ta?" Tanya Oliver setelah perasaanya jauh lebih baik.
"Mau kok, tapi sambil makan es krim." Balas Jelita sambil tersenyum manis. Keduanya lalu melaju menuju salah satu Mall besar yang tidak jauh dari tempat itu. Di sana ada warung soto yang enak dan kedai es krim yang tidak kalah enak juga. Tempat itu adalah tujuan yang tepat untuk keinginan keduanya yang berbeda.
Jelita membawa satu cup es krim ke warung Soto tempat Oliver ingin makan. Tapi ketika melihat potongan daging di atas soto yang di sajikan, Oliver terlihat mual dan wajahnya kembali memerah. Laki-laki itu bahkan langsung berlari ke kamar mandi tanpa berpamitan. Jelita jadi merasa bersalah sekali.
"Maafin aku yah mas," wanita itu berbisik lirih dengan ekspresi seperti ingin menangis. Oliver tersenyum dan mengelus kepala calon istrinya itu dengan sayang.
"Aku nggak papa kok, besok juga udah lupa." kekehnya. Setelah itu Oliver berusaha menghabiskan soto daging miliknya karena tidak ingin melihat Jelita menangis. Untungnya Oliver tidak muntah lagi setelah itu. Tapi Jelita jadi sibuk memperhatikan ekspresi Oliver sepanjang laki-laki itu makan dan membuat es krimnya mencair dan tidak termakan.
"Mau beli es krim lagi?" Oliver bertanya saat mereka melewati kedai es krim yang tadi Jelita beli. Tapi gadis itu menggeleng. "Tadi es krimnya nggak kemakan kan? kalau mau beli lagi boleh kok Ta."
"Aku udah nggak pengen mas," cicit Jelita pelan. Hatinya masih merasa bersalah karena Oliver terlihat semenderita itu. Jelita semakin sadar bahwa sebenarnya dia sangat lemah hati jika dibandingkan dengan Oliver dan Bulan dulu. Untuk hal seperti ini saja Jelita tidak tega, padahal dulu Jelita sampai hampir mati barulah Oliver minta maaf. Bulan bahkan tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun setelah mendorong Jelita dengan keras sampai pendarahan hebat.
"Mau langsung ke rumah temen kamu?" Tanya Oliver tadi.
"Iya mas, alamatnya tadi aku udah sebutin. Kamu masih inget kan?"
"Iya masih inget kok." Balas laki-laki itu sambil menggandeng tangan Jelita.
Tangan Oliver sangat lebar dan besar jika dibanding dengan tangan Jelita yang mungil dan lentik. Karena itu saat bergandengan tangan, Jelita akan merasa sangat hangat dan menyenangkan. Seandainya tidak ada ingatan menyakitkan tentang kehidupan lalu, mungkin Jelita bisa menikmati rasa hangat dari genggaman tangan Oliver kali ini dengan bahagia. Nyatanya rasa hangat ini malah membuat Jelita semakin sesak karena terasa seperti harapan palsu yang Oliver berikan sebelum menorehkan Luka kelak.
Rumah Kiana cukup jauh dari Mall tempat Jelita dan Oliver makan tadi, jalanan juga cukup macet. Karena itu keduanya baru sampai di rumah mewah itu sekitar pukul empat sore.
Oliver dan Jelita langsung turun dari Mobil karena hari sudah sore. Kejadian kali ini juga berbeda dengan dulu. Mungkin karena Jelita mengajak Oliver jadi situasnya berubah.
Dulu, Jelita sampai ke rumah ini masih siang dan membuatnya harus menunggu Kiana satu jam lebih karena wanita itu sedang di luar. Mungkin karena sekarang sudah sore, Kiana ada di rumah sehingga Jelita tidak perlu menunggu dengan membosankan lagi. Tapi Oliver tiba-tiba menghentikan langkahnya dan membuat Jelita nyaris menabrak punggung calon suaminya itu setelah mendengar suara pintu di buka. Ternyata orang pertama yang keluar dari pintu itu bukanlah Kiana melainkan Bulan. Karena itu Oliver terlihat syok sekali. Kiana juga tidak kalah Syok, apalagi melihat Jelita ada di belakang Oliver saat ini.
Oliver mematung sambil menatap Bulan, sementara Bulan yang melihat Oliver terlihat salah tingkah. Wajah Kiana lebih menarik lagi, dia bahkan terlihat tidak berani menatap wajah Jelita seolah dia baru saja melakukan pengkhianatan besar. Benar-benar ekspresi yang sangat bisa Jelita nikmati dari tiga orang tersangka utama yang membuat Jelita menderita di masa depan kelak.
Jelita lalu berjalan dengan Anggun menghampiri Oliver dan menggandeng tangannya. Tidak lupa dia mengeluarkan undangan dari dalam tasnya. Jelita tidak ingin terlihat ikut terbawa dalan suasana canggung ini. Sebab dalam waktu ini belum saatnya orang tahu bahwa Jelita sebenarnya sudah mengenali wajah Bulan. Balas dendam baru dimulai, Jelita tidak ingin menghancurkan rencananya dengan perbuatan terburu-buru. Regarta pernah mengatakan pada Jelita bahwa kunci kepuasan dalam pembalasan ada sabar, bergerak pelan-pelan dan memainkan peran dengan baik. Pura-pura tidak tahu akan membuat lawan lengah sehingga kehancurannya kelak bisa lebih telak. Jelita percaya itu, karenanya sekarang dia sedang bersikap pura-pura bodoh.
"Aduh sorry, lo mau pergi yah Ki? gue cuma sebentar doang kok. Mau ngasih undangan pernikahan gue. Kalau lo emang sibuk banget gue bisa langsung pergi kok sama calon suami gue." Ucap Jelita dengan senyuman palling manis yang dia miliki.
"Ah, gue emang kebetulan mau pergi sih. Tapi kalau lo mau masuk dulu nggak papa." Kiana sedikit terbata. Bulan sendiri langsung terlihat menunduk kemudian mundur ke belakang tubuh Kiana.
"Ih nggak perlu, kalau lo sibuk gue langsung pergi aja sama calon suami gue deh. Tapi lo harus datang yah ke nikahan gue. Ajak temen lo yang di belakang juga boleh. Undangan ini berlaku untuk dua orang kok." Balas Jelita Anggun kemudian menyodorkan undangan pernikahan berwarna putih yang langsung di terima oleh Kiana. "Oh iya kenalin, ini calon suami gue namanya Oliver. Mas ini teman kuliah aku namanya Kiana."
"Ah iya salam kenal." Ucap Oliver terdengar kaku.
"Salam kenal." Kiana juga terdengar gugup sekali. Membuat Jelita sangat puas menikmati ekspresi mereka yang sangat pantas untuk dinikmati itu. Pura-pura tidak tahu memang nikmat sekali ternyata. Jelita bahkan ingin melakukannya lebih lama. Karena sikap itu membuat lawan merasa masih menang. Padahal dia sudah kalah sejak awal. Lawan juga akan merasa Jelita adalah pihak yang bodoh, padahal sebenarnya mereka lebih bodoh. Saat terbongkar bahwa Jelita sudah tahu sejak awal nantinya, mereka akan jauh lebih merasa kalah di banding ketika Jelita langsung menyelesaikannya sekarang. Karena itulah orang selalu merasa waktu adalah peluang. Jelita sedang memanfaatkannya sekarang.
"Kalau gitu kami permisi yah Ki, jangan lupa datang." Ucap Jelita kemudian menarik Oliver pergi. Oliver masih terdiam dengan ekspresi yang sulit Jelita tafsirkan maknanya. Mungkinkah ini pertemuan pertama mereka setelah kecelakaan dulu? Pertanyaan itu hinggap di benak Jelita setelah melihat betapa terkejutnya Oliver tadi.
Mungkinkah ini adalah awal perubahan sikap Oliver? pertanyaan ini juga muncul di kepala Jelita setelahnya.
Jika boleh jujur, sebenarnya Jelita mulai takut. Sekalipun Jelita sudah melakukan banyak persiapan untuk menghindari kerusakan parah pada masa depannya, wanita itu tetap merasa takut. Takut jika ternyata persiapannya tidak cukup. Takut jika hatinya akan goyah dan mengharapkan Oliver lebih besar dari yang dia bayangkan. Takut akan kalah sekali lagi dari orang-orang yang sudah menghancurkan hidupnya di kehidupan lalu.
"Habis ini kemana lagi Ta?" Tanya Oliver dengan nada suara yang sudah seperti biasanya. Eskpresi laki-laki itu masih terlihat tidak baik tapi Jelita tidak ingin menanyakan apapun terkait kejadian tadi.
"Kamu lupa kah? Mama kamu kan meminta kita datang ke rumah katanya mau bicara." jawab Jelita membuat Oliver terkekeh.
"Oh iya aku lupa banget loh Ta. Berarti teman kamu yang mau kamu antar undangan cuma satu doang?"
"Iya mas soalnya sisanya pasti datang ke Reuni, kabarnya Kiana tidak akan hadir di acara Reuni makanya aku kasih sendiri." Jawab Jelita berbohong. Tentu saja Kiana akan hadir di acara itu. Kiana paling suka berkumpul dengan teman-teman kuliahnya karena dia gemar menggosipkan Jelita. Apalagi setelah semua orang tahu bahwa Jelita adalah bagian dari Setyo Aji.
Dulu Jelita berpikir Kiana adalah sosok yang baik, dengan bodohnya dia tetap menganggapnya baik padahal Kiana sering menjelekkannya di belakang. Sekarang Jelita tidak akan tertipu lagi. Pengetahuan masa depan ternyata sangat berhartga melebihi apapun. Karena itu Jelita sudah mulai bisa berdamai dengan keadaanya dan bersyukur karena diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki hidupnya.
"Oke kalau gitu kita langsung pulang ke rumah aku. Sekalian aku mau kenalin ke kamu teman baru aku." Oliver terlihat bersemangat.
"Teman baru?"
"Iya. Aku punya Rusa Baru. Dia cantik banget Ta. Baru datang kemarin sore. Kayaknya kamu bakalan jatuh cinta deh. Kamu kan pecinta Rusa." Kekeh Oliver. Melihat ekspresi Jelita terlihat sangat tertarik, Oliver jadi lebih tidak sabar.
"Ihhh...aku pengen foto nanti." Ucap Jelita membuat Oliver kembali tertawa.
"Boleh, mau dibawa pulang juga boleh kalau nggak di marahi keluarga kamu."
"Tapi kok kamu tahu aku suka Rusa? aku kan nggak pernah kasih tahu kamu?"
"Aku punya sumber infiormasi terpercaya bernama Regarta dan Chiko malvino." Balas Oliver bangga. Jelita terkekeh geli. Dia lupa jika kedua kakaknya saat ini berada di pihak Oliver dan menjadi sumber informasi bagi laki-laki itu.
"Aku punya dua boneka Rusa di kamar. Tapi paling banyak boneka tikus dan kelinci. Hanya saja aku nggak suka tikus sih. Tapi kalau kelinci suka. Kata mas Rega, kamu punya banyak kelinci yah? cuma kemarin aku nanya sama mama kamu katanya kelincinya punya Olivia jadi aku nggak berani lihat. Nanti aku di amuk lagi." Ujar Jelita bercerita.
"Yang punya Olivia yang di kandang depan. Kalau yang di dalam kebun binatang mini itu punya aku kok. Ada tamannya juga. Nanti kamu boleh kok main sama mereka sepuasnya. Olivia nggak punya hak buat marah sama kamu dan aku nggak akan biarin dia marahin kamu lagi dengan alasan apapun. Kamu tenang aja." Kalimat Oliver terlihat meyakinkan. Dan obrolan tentang hewan ternyata jauh lebih menyenangkan dari yang Jelita bayangkan. Karena itu tanpa terasa tiba-tiba saja mereka sudah sampai di Rumah Oliver.
Desita langsung memeluk Jelita ketika wanita itu sampai di sana. Mereka memang sudah bertemu ketika membicarakan tentang perjanjian pra Nikah, tapi Desita belum sempat membahas tentang Olivia pada Jelita setelah kejadian saat itu. Karenanya Desita mengundang calon menantunya ke Rumah sekalian untuk makan malam.
Dante pulang tidak lama setelah Jelita datang. Tidak lama setelah itu Olivia juga pulang dan melihat ekspresinya ketika melihat Jelita, gadis itu terlihat masih tidak suka pada calon kakak iparnya. Tapi karena paksaan Dante, Olivia akhirnya memberi salam pada Jelita dengan tidak nyaman. Jelita membalasnya dengan ramah sekalipun perasaan ingin menjambak rambut calon adik iparnya itu sangat bergejolak di dalam dirinya. Jelita merasa belum saatnya dia membalas Olivia dengan kejam, karena Jelita masih ingin melihat sikap Olivia kedepannya.
"Kalau gitu Jelita boleh lihat Rusa dulu nggak Tan? kita bicaranya habis makan malam kan?" tanya Jelita sopan.
"Iya sayang, kamu boleh lihat Rusa dulu kok." Balas Desita lembut. Tidak lama setelah itu Oliver keluar dari kamarnya dengan lebih segar. Laki-laki itu habis mandi dan terlihat sangat tampan dengan setelan rumahannya itu.
"Ayo lihat Rusa!" Jelita sedikit merengek. Membuat Oliver tersenyum geli.
"Ayok calon mama Rusa, kita lihat anak baru kita." Ucap laki-laki itu sambil menggandeng Jelita ke pintu belakang tempat kebun binatang mininya berada. Desita tersenyum lebar melihat putra dan calon menantunya itu tampak akur.
"Ah iya ini Felicia, kamu ingat kan?" kata Oliver dengan nada meledek sambil menunjuk kuda hitam miliknya yang membuat Jelita jengkel.
"Kenapa sih harus Felicia?" ketus Jelita di tanggapi Oliver dengan tawa lepas.
"Soalnya dia kesayangan aku dan dia mirip kamu." kekeh Oliver geli. Berakhir mendapatkan tabokan di lengannya dari tangan lincah Jelita. Laki-laki itu kembali tertawa.
Olivia melihat pemandangan itu dengan ekspresi datar dari jendela kamarnya. Matanya tidak buta bahwa bersama Jelita, kakaknya terlihat sangat bahagia. Tapi Olivia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Jelita yang akan jadi kakak iparnya. Olivia pernah memiliki sejarah buruk dengan wanita itu dulu, sejarah yang mungkin Jelita tidak tahu. Karena itulah Olivia sangat tidak suka. Selain itu di mata Olivia belum ada wanita yang cocok bersama Oliver selain Bulan.
***