Fauzi berjalan gontai keluar dari kamar utama dan masuk ke dalam kamar anak sulungnya, ia paham betul jika ada masalah seperti ini pasti kedua anaknya akan berada di dalam satu kamar. Mereka berdua sibuk dengan pikirannya masing-masing dan terkejut saat melihat ayahnya masuk.
"Ayah," seru mereka berdua. Fauzi tersenyum dan mendekati kedua anaknya.
"Bagaimana, Ibun?"
"Belum sadar, biarkan saja istirahat dulu. Menenangkan hati, pikiran dan jiwanya yang kacau. Memang Ibun kalian butuh waktu untuk mengistirahatkan semuanya."
"Kenapa gak liburan saja, Ayah?" usul si bungsu.
"Seringkali Ayah berpikir sepertinya memang kita butuh liburan dan piknik, tapi banyak juga yang harus dipertimbangkan. Salah satunya keadaan kalian, keadaan kalian yang tiba-tiba tak terkontrol dan keadaan Ibun kalian yang sering kali merasa takut."
"Yah, sampai kapan Ibun seperti ini?" tanya si sulung parau.
"Sampai Ibun menerima semuanya, Nak. Sampai Ibun benar-benar ikhlas lahir bathin menerima keadaan kita yang berbeda."
"Kenapa, sih, Ibun seperti ini, Ayah?"
"Ibun kalian itu terlalu sayang dan mencintai kalian, maka dari itu sikapnya terkesan sangat berlebihan. Tetapi, jauh di lubuk hatinya berharap mental kalian bisa kuat tidak seperti dirinya."
"Maksudnya, Yah?"
"Nak, perlu kalian ketahui, Ibun kalian dulu bisa dibilang sangat menderita dengan apa yang dipunya olehnya. Setiap hari merasa takut dan waspada karena mereka yang tak kasat mata seringkali datang menampakkan diri secara tiba-tiba. Wujudnya beragam dan Ibun kalian tidak bisa mencegah mereka untuk menampakkan diri. Setiap waktu, hidupnya terasa ada yang mengawasi."
"Masyarakat banyak sekali yang memandangnya aneh. Kadang, Ibun sering bicara sendiri, marah sendiri, teriak sendiri bahkan menangis sendiri. Banyak orang yang berpendapat bahwa Ibun kalian itu gila, dan banyak juga yang berpendapat Ibun kalian itu aneh."
"Benar-benar tak bisa di kontrol pokoknya. Dan, mereka yang sering kali hadir meminta tolong tidak di waktu yang tepat. Sering kali meminta tolong di tempat umum dan yang melihat yang berpikir Ibun kalian aneh juga gila."
"Bukan hanya itu, pernah juga dirinya menolong salah satu temannya tapi ujungnya Ibun di hina, di caci, di maki."
"Kenapa, Ayah?" tanya bungsu dengan mata berkaca-kaca. Fauzi menghembuskan nafas panjang.
"Ibun di anggap anak setan, anak s**l dan semacamnya. Itu sebabnya, Ibun takut jika Tata menolong Mawar. Ibun tak ingin nasib Tata sama seperti Ibun. Maafkan Ibun ya, Nak. Tolong pengertiannya," jelasnya panjang lebar.
"Bang," ucapnya lirih.
"Nanti kita pikirkan lagi, Dik. Abang juga gak ingin nyakitin Ibun dan Adik. Abang sayang dan cinta kalian, Abang gak ingin kalian terluka apalagi melihat Ibun seperti tadi. Sakit hati Abang, Dik. Sesak d**a Abang, Dik," balasnya dengan suara yang parau.
"Kita tolak saja ya, Bang."
"Sudah, nanti lagi saja dipikirkan bersama. Yang terpenting, saat ini kita tenangkan diri Ibun dulu ya, Bang, Dik."
"Yah, terus tadi maksud Ayah gimana pas bilang bahaya kalau tidak ada ridho dari Ibun?"
"Gimana ya, Ayah juga bingung kasih pengertian ke kalian harus dengan kata-kata dan penjelasan seperti apa, tapi semoga saja kalian mengerti. Kita, jangan sampai membuat Ibun marah besar, karena nanti akan ada yang merogo sukmo dan itu benar-benar akan membuat kacau. Emosi Ibun akan menggebu dan berkobar, Ayah gak mau kalian melihat Ibun menjadi sosok lain. Itu sebabnya, kenapa Ayah selalu bilang Ibun harus kontrol dirinya sendiri."
"Pernah, ada kejadian Ibun marah besar sama salah satu orang yang bisa dibilang sangat tidak tahu diri, entah Ayah gak paham banget apa yang diucapkan orang tersebut tapi tiba-tiba Ibun nunjuk orang tersebut dan keluar api dari telunjuknya gak lama setelah itu orang tersebut kecelakaan dan meninggal."
"Astaghfirullah …," ucap Rey lirih juga terkejut.
"Serius, Ayah?" ucap Tata takjub.
"Iya, Dik."
"Wow, Ibun kereeennn!" serunya.
"Hus! Adik, gak boleh begitu, ih!"
"Maaf, Bang, tapi Ibun sungguh sangat keren sekali. Adik bisa begitu gak, ya," ucapnya berangan-angan.
"Kamu itu aneh, Tata! Ibun aja maunya gak seperti itu, eh kamu malah mau seperti itu! Dasar bocah istimewa," balas Ayahnya menggelengkan kepala mendengar penuturan anak bungsunya itu.
"Hehe, maaf, Ayah."
"Dasar kalian itu! Sudah istirahat saja, Ayah kembali ke kamar mau lihat Ibun."
Iya, Ayah," jawabnya serempak.
***
Sejak kejadian Fitri menangis histeris waktu itu, dirinya lebih banyak diam dan tak banyak tersenyum seperti sebelumnya. Kedua anaknya jadi merasa bersalah, mereka bersusah payah untuk mengembalikan kembali Ibun seperti biasa lagi namun selalu gagal. Fauzi pun sama, ini bukan hal baru untuknya jadi tak diambil pusing tetapi untuk kedua anaknya keadaan seperti ini adalah pertama kalinya.
Beberapa kali Fauzi menyakinkan kedua anaknya bahwa semua akan baik-baik saja dan Ibun mereka akan kembali lagi seperti sedia kala tetapi tetap hati mereka tak bisa tenang. Tak ada canda, tawa dan senyum mereka di rumah tersebut.
Memang benar adanya, seorang istri sekaligus Ibu adalah lentera di rumahnya. Jika lentera tersebut padam, maka keadaan rumah akan padam, sepi dan sunyi tetapi jika lentera tersebut bersinar terang maka keadaan rumah akan penuh dengan sinar kebahagiaan. Dan saat ini, rumah Keluarga Sukmaya dalam keadaan temaram sebab lenteranya padam.
Tata mempunyai ide untuk berlibur ke puncak dan disambut baik oleh Rey sedangkan Ayahnya masih berpikir sebab dan akibatnya. Tetapi, kedua anaknya itu menyakinkan Ayahnya kalau mereka akan mengontrol diri, tidak akan bersikap sembrono. Dengan terpaksa, Fauzi mengiyakan keinginan kedua anaknya.
Akhir pekan, mereka berangkat ke puncak dan menginap di salah satu villa keluarga. Karena ingin berlibur dan tak ingin ada gangguan, Fauzi membuat pagar gaib di sekitar villa. Tiga hari dua malam, mereka menghabiskan waktu dengan tenang, damai dan bahagia. Perlahan namun pasti Rey dan Tata berhasil membuat Ibun seperti awal kembali.
Tertawa bersama, bermain bermasak dan memasak bersama. Selalu ada kegiatan positif yang dilakukan oleh mereka. Keluarga Sukmaya benar-benar seperti keluarga normal lainnya, tak ada gangguan makhluk tak kasat mata, tak ada peperangan dengan makhluk tak kasat mata, tak ada makhluk tak kasat mata yang muncul tiba-tiba.
"Bahagia?" tanya Fauzi lembut saat mereka sedang berada di kamar berdua.
"Sangat bahagia. Makasih suamiku, Sayang."
"Berterima kasih pada kedua anakmu, Sayang. Sebab, mereka yang punya ide ini dan memaksaku untuk mengajakmu kesini. Awalnya, aku menolak karena tak ingin keadaanmu semakin kacau tapi mereka terus memaksa dan aku terpaksa mengiyakan. Meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan, aku mulai membuat pagar gaib di sekitar Villa agar kita semua bisa menikmati liburan dengan tenang dan damai."
"Dan alhamdulillah berkat paksaan dari mereka, kamu kembali lagi seperti sedia kala."
"Sayang, perlu kamu ketahui, kedua anakmu itu selalu sedih dan murung setiap kali melihatmu tak merespon mereka. Mereka selalu merasa bersalah, setiap kali melihatmu diam dan tak banyak bicara. Mereka selalu ingin menebus kesalahan , setiap kali melihatmu melamun dengan tatapan kosong. Sayang, sadarlah, mereka sangat menyayangi dan mencintaimu setulus hati tanpa syarat. Keduanya itu sama sepertimu, dapat merasakan apa yang orang lain rasakan terlebih orang yang dicintainya sedang tidak baik-baik."
"Ayolah, bangkit, Sayang. Mau sampai kapan kamu terus seperti ini? Sayang, aku tahu penderitaan mu sungguh sangat menyakitkan di masa lalu, tapi apakah tidak lebih baik ditutup rapat-rapat penderitaan tersebut? Ingat, kau sudah mempunyai dua anak yang sungguh sangat istimewa. Penjagaannya ketat dan harus selalu dibimbing dengan baik."
"Tolong, Sayang, kembali lagi seperti biasa, kasihan anak-anak," ucapnya lirih.
Mata istrinya nanar, tiba-tiba ia terisak dengan sigap suaminya langsung memeluk erat istrinya. Tangisnya pecah di dalam pelukan suaminya itu, Fauzi mengusap lembut punggung istrinya dan semakin membuat Fitri menangis histeris.
"Menangislah, Sayang. Menangis jika memang dengan menangis bisa membuatmu tenang, lepaskan bebanmu dan lepaskan gelisahmu. Disini, ada aku dan anak-anak yang masih membutuhkanmu. Bangkit, Sayang, demi aku dan anak-anak kita."
"Maaf. Aku masih belum jadi Ibu dan istri yang baik, aku masih jauh dari kata terbaik dan masih terlalu banyak salah karena mengedepankan emosi."
"Sudah, Sayang. Sekarang, semua itu tak penting. Yang paling terpenting adalah kamu bangkit kembali dan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Kami masih membutuhkanmu, Sayang."
"Aku akan berusaha lebih baik lagi dari sebelumnya, akan berusaha untuk menjadi ibu yang baik dan istri yang lebih baik lagi. Jangan pernah lelah untuk mengingatkanku, Sayang. Terus bimbing aku untuk menjadi lebih baik."
"Pasti. Aku akan selalu ada untukmu, kapanpun, dimanapun, dalam suka maupun duka, sakit maupun sehat, sedih maupun bahagia. Kita akan bersama-sama melatih mental kedua anak kita agar menjadi kuat dan tegar."
"Aku beruntung memilikimu, Ayah."
"Aku lebih beruntung mempunyai istri sepertimu, Sayang."
"Terimakasih atas cinta dan kasih sayangmu."
"Terimakasih sudah mengabdikan dirimu padaku dan anak-anak kita."
***