"Ih! Ngapain, sih! Sudah kubilang 'kan, jangan ikuti aku terus! Kenapa masih ikutin aja, sih!" bentak Tata.
Tata baru saja pulang ke rumah diantar oleh bus antar jemput dari sekolah PAUD. Bukan hal baru jika gadis mungil itu pulang membawa sesuatu. Ada saja yang dibawa olehnya dan itu beraneka macam bentuk. Dari yang bagus hingga yang rusak, dari yang cantik atau ganteng hingga yang jelek.
Awalnya Fitri cukup pusing dengan tingkah anaknya itu, tapi lambat laun mulai bisa menerimanya sebab anaknya itu semacam gambaran dirinya sendiri saat dulu.
"Pulang sana, ah! Aku gak mau bantuin kamu! Titik!"
Fitri seperti biasa akan menunggu anaknya pulang di depan pintu, tapi saat ia melihat ke jendela ada sesuatu yang dibawa oleh anaknya, ia mengurungkan niat dan kembali ke ruang tv.
"Gak mau! Aku gak mau bantuin kamu pokoknya!" sentaknya.
Tata berjalan masuk ke dalam rumah, langkahnya semakin cepat. Ibun yang sedang duduk di ruang tv menatapnya penuh kebingungan. Anaknya sedang kenapa? Dan lagi, bawa siapa kali ini? Kenapa postur tubuh yang dibawa olehnya sangat menyedihkan.
"Dik, kenapa?" tanya Ibun.
"Ibun, ini loh orang jelek ini ikutin adik terus!"
"Dimana adik bawa?"
"Adik gak bawa, dia aja ikut sendiri, ih!" jawabnya kesal.
"Iya, maksud Ibun darimana dia ikut?"
"Sekolahan."
Saat ini Tata sudah masuk sekolah PAUD, ini bukanlah kali pertama dia membawa seseorang pulang ke rumah. Biasanya, hanya mampir sebentar lalu pergi tetapi ini berbeda. Bocah yang dibawa oleh Tata sepertinya sangat menyedihkan, terlihat sekali dari cara menatapnya itu.
"Kamu kenapa?" tanya Fitri hati-hati.
"Sakit, Tante," lirihnya.
"Hei, jangan panggil Ibun, tante!"
"Ma-maaf, Putri," lirihnya lagi.
Putri? Bahkan dia tahu Tata dipanggil Nona Putri. Itu artinya, bocah ini memang sudah menunggu waktu yang tepat dimana ia bisa berinteraksi dengan Tata.
"Kenapa sampai ikut Tata kesini?"
"Tolong, bantu aku."
"Ih, Ibun! Jangan dibantu! Adik gak mau!" sergahnya dengan wajah cemberut.
"Dik, kalau bisa dibantu apa gak sebaiknya dibantu?"
"Ibun, dia dibunuh sama Ayahnya sendiri!"
Fitri tertegun dengan ucapan anaknya, tatapannya beralih pada bocah di sampingnya. Tetiba, bocah tersebut terisak dan menangis. Tangisnya terdengar sangat menyakitkan dan memilukan. Siapapun yang mendengar, pasti akan merasakan merinding.
"Sssttt, jangan menangis! Nanti Ibun takut," cegahnya.
"Siapa namamu?"
"Mawar, Ibun," jawabnya di sela-sela tangisannya.
"Nama kamu bagus, tapi ayah kamu jahat!" seru Tata. Fitri hanya menggelengkan kepala saja melihat tingkah anaknya.
"Dik, tidak boleh seperti itu bicaranya, Nak," tegur Ibun.
"Kenapa, Ibun? Ayah Mawar memang jahat! Adik sering melihat Mawar menangis di pojok kelas dan setiap Ibunya antar Melati sekolah pasti Mawar pegang kaki Ibunya erat sekali," ceritanya.
"Benar begitu, Mawar?"
"Iya, Ibun."
"Apa sebenarnya yang terjadi, Nak?" tanya Fitri.
"Aku, dibuang oleh Ayah, hiks," ucapnya lirih.
"Ah kelamaan, aku saja yang cerita. Boleh gak?" ucap Tata meminta persetujuan. Mawar mengangguk.
"Jadi, kenapa, Dik?"
"Ibun, Mawar tuh kasihan tapi adik gak mau tolongin, soalnya ayahnya jahat sekali. Mawar dibuang sama ayahnya, Ibun. Mawar dipukuli, dicambuk, ditendang karena gak punya kaki."
"Hah?"
"Mawar gak punya kaki, Ibun. Semua kakinya putus."
"Hah?"
"Jadi, ayahnya malu. Ibunya sakit dan mau gila waktu itu. Kasihan."
"Hah?"
"Ih, Ibun! Kenapa, hah, hah, hah, terus, sih!"
"Eh? Maaf, Sayang."
"Tunggu, Ibun cerna dulu cerita adik."
"Jadi, Mawar ini lumpuh dan ayahnya malu punya anak lumpuh? Begitu? Mawar dipukuli terus sama ayahnya sampai meninggal?"
"Iya, Ibun. Seperti itu pokoknya!"
"Astaghfirullah."
"Malang sekali nasibmu, Nak," lirihnya menatap nanar Mawar yang terus terisak.
Hening. Fitri dan Tata membiarkan Mawar menangis sepuasnya, deritanya selama hidup sungguh sangat menyakitkan. Dikala, orang tua seharusnya memberi dukungan mental ini justru sebaliknya. Gengsi berujung maut, sebuah gengsi yang ditanamkan oleh ayahnya mampu membuatnya menjadi sangat k**i.
Entah, bagaimana caranya orang tua Mawar melenyapkannya tetapi dilihat dari postur tubuhnya saat ini sungguh memprihatinkan. Pasti hatinya sangat sakit dan hancur. Bagaimana dengan ibunya? Apa kabar mentalnya? Apa kabar kewarasannya? Pasti sangat terpukul, terlebih lagi saat Tata bercerita Ibunya Mawar hampir gila karena kehilangan anaknya.
Itulah pentingnya menjaga kewarasan agar kita sebagai orang tua tidak bersikap di luar batas wajar. Sungguh, sangat keterlaluan sekali, tiba-tiba Mawar mendekat dan menyentuh punggung tangan Fitri. Sekelibat kejadian masa lalu berputar terus-menerus layaknya kaset rusak.
Sepertinya, Mawar bukan hanya menyentuh Fitri tetapi juga Tata, mereka berdua saat ini sedang bergandengan tangan. Menatap nanar pemandangan di hadapannya, seperti menonton sebuah adegan menyakitkan. Di hadapan keduanya saat ini, ada Mawar yang sedang dipukul oleh seorang lelaki gagah dan sepertinya itu adalah ayahnya.
Bukan hanya dipukul, rambut Mawar yang indah juga mulai digunting dengan cara membabi buta. Ibunya menangis di pojokan dengan posisi terikat, menjerit pun tak bisa karena mulutnya disumpal. Tangisan dan jeritan dari Mawar seakan tak didengar oleh lelaki k**i itu.
"Ampun, Pi. Ampun!" teriaknya minta ampun.
"Tidak! Kau adalah anak pembawa s**l! Kau membuatku malu! Dengan hadirnya kau ke dunia ini berhasil membuat salah satu bisnisku hancur! Dasar anak setan! Anak pembawa s**l!"
"Ampun, Pi! Ampun! Mawar gak nakal lagi, Pi. Jangan pukul, Mawar!" Tangisnya semakin menjadi. Tata merasa tak sanggup melihat adegan di hadapannya itu. Ia bersiap berlari untuk menyelamatkan Mawar.
"Jangan, Sayang," cegah Ibun.
"Ibun, kasihan Mawar."
"Iya, Nak. Tapi, kita gak bisa menolongnya, saat ini kita berada di dimensi yang berbeda."
"Hiks … hiks … jahat sekali, Ibun. Kasihan Mawar, pasti sakit," ucapnya lirih ikut menangis melihat derita teman barunya.
"Allahuakbar!" teriak Fitri saat melihat kursi roda Mawar di tendang dengan keras sehingga membuat gadis itu terpental dan terpelanting menghajar tembok.
Tubuhnya terjerembab, darah segar mulai keluar. Tangis Tata semakin kencang, teriakannya tak mungkin bisa di dengar. Mereka berdua menangis bersama melihat Mawar meregang nyawa.
"Ibun, Adik!" sentak Rey tiba-tiba membuat mereka kembali ke dunia nyata.
"Astaghfirullah … astaghfirullah … astaghfirullah …." Fitri terus menerus beristighfar, sedangkan Tata masih terisak menatap nanar teman barunya.
"Kenapa? Siapa dia?" tanya Rey menunjuk Mawar.
"Hu hu hu, Abang!" teriak Tata berhambur ke pelukan abangnya.
"Ada apa, Dik?"
"Kasihan, Mawar di bunuh ayahnya."
"Astaghfirullah … tapi apa salahnya?"
"Karena aku tidak punya kaki, Abang, hiks," ucap Mawar membuat hati Rey pilu dan langsung melihat ke kakinya.
"Tapi--"
"Karena aku sudah meninggal jadi punya kaki, Abang."
"Kamu ikut sama Tata pasti mau minta bantuan, 'kan?" tanya Rey, Mawar mengangguk.
"Bantuan apa?"
"Sebenarnya aku sudah lama ingin minta bantuan. Aku juga tahu Tata bisa melihat yang tak seharusnya dilihat, tapi aku menunggu waktu yang pas untuk meminta bantuan. Aku hanya ingin bicara sama Mami dan memeluknya. Itu saja, tapi Tata gak mau, hiks." Tangisnya pecah kembali.
"Benar, Dik?"
"Hiks, iya, Bang. Maaf, adik gak tahu kalau cuman minta tolong itu," jawabnya terisak.
"Lain kali, sebelum menolak lebih baik tanya dulu minta bantuan apa ya, Sayang," ucap Ibun menenangkan.
"Maaf, Ibun."
"Gak pa-pa, Sayang."
"Apakah cuman itu saja?" tanya Rey.
"Iya, Bang. Cuman itu dan aku minta di doakan terus oleh Mami. Sepertinya Mami lupa bahwa aku pernah hidup di dunia."
"Ibun, apakah orang tuaku gak sayang aku? Kenapa mereka seakan enggan punya anak seperti aku? Kenapa papi justru membenciku? Apa salahku? Apa karena aku gak punya kaki saat hidup? Tapi ini lihat, sekarang aku punya kaki. Aku bisa berjalan, berlari dan bermain."
"Ibun, apakah aku gak pantas hidup? Papi sangat malu punya anak seperti aku. Padahal, aku janji gak akan nakal lagi, tapi papi terus saja pukuli aku. Aku kesakitan, Ibun," keluhnya dengan suara bergetar.
Fitri terenyuh dengan setiap kata yang keluar dari bibir mungil Mawar. Ingin mendekap tapi rasanya tidak mungkin, ingin meringankan sakitnya pun tak bisa, ingin mengusap lembut kepalanya tak mampu. Fitri hanya tersenyum lembut seakan menguatkan bocah kecil itu.
"Kamu gak salah, Sayang. Kamu anak baik, kamu anak pintar, kamu anak kebanggan. Papi dan Mami sayang sama kamu, tapi Allah lebih sayang sama kamu, Nak. Itu sebabnya, kamu di ambil kembali oleh Allah."
"Ibun, papinya jahat!" bentak Tata gak terima.
"Dik, sssttt … diam ya, Ibun lagi menenangkan Mawar agar tidak terus-menerus menangis," bisiknya pada adik mungilnya itu.
"Maaf, Bang."
"Mawar, percayalah, Nak. Orang tuamu itu sangat menyayangi dan mencintaimu sepenuh hati. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya, Sayang."
"Ada, Ibun. Papi benci aku. Mereka gak sayang aku, Melati selalu di sayang, apapun yang diminta selalu dituruti, aku selalu melihat semua itu. Mereka membedakan aku dan Melati."
"Nak, jangan bicara seperti itu. Kamu harus bisa memaafkan mereka dengan tulus, ikhlas, Sayang. Mungkin, saat itu mereka khilaf. Maafkan mereka ya, Sayang."
"Apa memaafkan mereka akan membuat Mawar hidup lagi, Ibun? Sekarang, Mawar sudah punya kaki, pasti gak bikin papi malu lagi, 'kan? Ibun, bisa bilang sama mami papi untuk ambil Mawar dari Allah?"
Deg.
Fitri diam tanpa kata, ia menatap kedua anaknya yang juga kebingungan. Fitri memikirkan kata apa yang pantas untuk diucapkan agar tidak menyakiti hati Mawar.
"Kalau untuk saat ini, tidak bisa, Sayang--"
"Kenapa, Ibun?" tanyanya memotong ucapan Fitri. Ia menghembuskan nafas panjang.
"Sebab, dunianya sudah berbeda. Mawar bisa menunggu mami dan papi di surganya Allah, nanti Mawar yang nyambut mami dan papi datang dengan bawa mahkota."
"Tapi sekarang Mawar mau sama mami dan papi," lirihnya.
"Mawar, nanti aku bilang sama mami kamu ya untuk selalu doain kamu, jadi kamu selalu merasa dekat dengan mami dan papi. Kamu tunggu aja mereka di surga, kamu 'kan anak baik," ucap Tata menengahi.
"Gak pa-pa ya kalau aku gak sama mami papi, sekarang?"
"Gak pa-pa. Kamu 'kan aman sama Allah. Sama Allah 'kan selalu di sayang, gak harus kesakitan dipukuli papi. Nanti, kalau kamu kembali terus dipukuli lagi, gimana?"
"Oh iya, kamu benar. Ya sudah, aku di surga saja sama Allah. Tapi, kamu janji ya mau bantu aku ngobrol sama mami?"
Tata melirik Ibun dan Abangnya, keduanya mengangguk tapi Tata merasa kesal. Itu artinya, Mawar harus masuk ke dalam tubuhnya, tapi bagaimana lagi hanya itu satu-satunya cara.
"Ya aku janji."
"Makasih, Tata. Kamu adalah Nona Putri yang sangat baik."
"Tapi kamu jangan nakal lagi ya, jangan terus ganggu teman-temanku kalau aku gak ajak kamu ngomong!"
"Iya, aku janji gak nakal lagi, Nona Putri. Maaf."
***