Akhirnya mobil derek pun datang dan Narendra mengajak Dinara untuk pulang ke apartemennya. Awalnya wanita itu menolak, tapi dengan tatapan tajam yang dilayangkan oleh Narendra membuat Dinara akhirnya mau tak mau mengikuti langkah kaki sang atasan.
Suasana apartemen khas lelaki bujangan menyapa indra penglihatan Dinara saat keduanya masuk. Earna gelap seperti hitam dan biru navy lebih banyak menghiasi ruangan apartemen yang tidak bisa dibilang kecil ini.
"Ini penhouse bukan apartemen," gumam Dinara di dalam hatinya.
Balkon yang terlihat semakin menegaskan dugaan Dinara.
"Bawa belanjaan itu ke sini biar saya yang pilah mana yang perlu dimasukkan ke kulkas atau tidak," ucap Narendra yang kali ini benar-benar melepaskan dasinya dan melemparnya sembarangan.
Dinara yang risih melihatnya langsung mengambil dasi itu dan meletakkannya ke atas meja, tindakan Dinara tentu saja membuat Narendra mengerutkan dahi. Akan tetapi pria itu lebih memilih untuk mendiamkannya.
"Apa Bapak yakin saya akan aman jika bermalam di sini?" tanya Dinara sembari mengamati Narendra yang sedang memasukkan bahan makanan yang cepat basi ke dalam kulkas.
"Apa kamu meragukan keamanan di apartemen mewah seperti ini?" tanya Rendra dengan sinis.
"Tentu saja saya tidak meragukan keamanan di apartemen ini, Pak. Tapi tetap saja saya khawatir jika Ibu Bonita tiba-tiba datang kemari," jawab Dinara yang kini memilih untuk membantu Narendra.
"Kalau itu kamu tenang saja dia sedang asyik dengan teman-temannya. Lagi pula saya juga sudah memberikannya uang jajan seharusnya dia tidak akan protes," ucap Narendra dengan nada sombong yang membuat b
Dinara hanya mencelos di dalam hatinya.
Sungguh orang yang sangat percaya diri sekali. Sunggut Dinara di dalam hatinya.
"Putri Tidur, kamu mau tahu tidak apa yang terjadi dengan pria pemabuk itu setelah kamu kabur?" tanya Narendra dengan senyum seperti iblis.
"Sayangnya saya nggak peduli, Pak. Mau dia masih hidup atau sudah mampus sekalipun," jawab Dinara dengan ketus.
"Oh begitu." Narendra merespon dengan singkat.
"Tapi dibanding itu, saya lebih penasaran dengan mancis tua bermotif naga itu. Sepertinya saya pernah melihatnya tapi lupa di mana," ucap Dinara yang seketika kesal dengan kemampuan otaknya menyimpan memori.
"Ya jelas Kamu pernah melihatnya, 'kan waktu itu saya masuk ke ruangan itu untuk mengambil mancis saya. Cuma siapa yang sangka bukan hanya mancis yang saya bawa tapi kamu juga." Perkataan Narendra seketika membuat Dinara cemberut.
Kenapa sih pria ini senang sekali membully dirinya, memangnya tampang Dinara semelas itu sampai membuat Narendra semangat untuk mengerjainya. Rutuk Dinara di dalam hati.
"Tadinya saya pikir juga seperti itu, tetapi semakin lama saya merasa jauh sebelum itu pernah melihatnya," jelas Dinara yang tak mau dianggap lemot oleh Narendra.
"Sudah, jangan diingat lagi siapa tahu kamu melihatnya dari internet atau film celetuk Narendra yang membuat Dinara tidak lagi mengajukan pertanyaan.
"Sekarang sudah hampir jam 10.00 malam, lebih baik kamu tidur supaya besok kita tidak kesiangan." Titah Narendra yang hanya ditanggapi diam oleh Dinara.
Bagaimana mungkin dia bisa tidur dengan menggunakan pakaian kerja? Sudah pasti akan terasa risih dan lagi saat berangkat ke kantor esok hari pakaian apa yang harus dia kenakan? Tidak mungkin pakaian yang sama pada hari ini yang sudah pastinya kotor dan berbau keringat. Pikir Dinara lebih lanjut.
"Kenapa kamu diam saja kamu bisa tidur di kamar tamu atau kamu mau mencoba dulu tidur bersama saya?" tanya Narendra dengan menyunggingkan senyum tipis.
"Saya risih menggunakan baju ini untuk tidur, Pak. Dan lagi pula besok tidak mungkin saya memakai baju ini juga ucap Dinara yang memilih untuk jujur.
Narendra hanya mengangguk saat mendengarnya, tak lama kemudian dia menarik tangan Dinara untuk menuju ke kamarnya. Karena tenaganya sudah terkuras habis seharian ini, Dinara memilih untuk mengikuti saja apa yang dilakukan oleh Narendra.
"Pakai ini dulu malam ini, besok pagi-pagi sekali kita akan mampir ke kontrakan kamu supaya kamu bisa mandi dan berganti baju," ucap Narendra yang melempar kaus hitam yang baru saja diambilnya dari lemari.
Dinara sempat mengintip sekilas isi lemari Narendra yang sangat rapi, berbanding terbalik dengan lemari bajunya yang berantakan. Seketika Dinara merasa malu sebagai seorang perempuan yang kalah resiknya dengan laki-laki.
"Kenapa bengong apa? Cepat kamu ganti baju."
Suara Narendra membuyarkan lamunannya, dengan tergesa Dinara segera berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar utama.
Tadinya Dinara ingin mandi tapi mengingat tidak ada dalaman bersih membuat wanita itu mengurungkan niatnya. Mungkin yang dilakukannya di kamar mandi hanya sekadar membersihkan wajah dan area pribadinya.
10 menit kemudian, Dinara keluar dengan wajah yang lebih segar. Saat berjalan melewati pintu keluar, Dinara melihat Narendra yang sedang berkutat dengan laptopnya. Ingin memanggil, Dinara merasa sungkan karena takut akan mengganggu.
Akhirnya yang dia lakukan adalah mengendap-endap agar tidak mengganggu fokus Narendra, namun baru saja Dinara akan membuka pintu kamar suara Narendra terdengar cukup keras.
"Sudah selesai ganti bajunya? Kalau sudah saya mau mandi sebentar, kamu bisa tolong lanjutkan pekerjaan saya?"
Dinara hanya dapat menghela napas panjang, bukankah Narendra sendiri tadi yang mengatakan kepadanya untuk beristirahat. Tapi mengapa pria itu sekarang menyuruhnya untuk bekerja? Dasar pria yang tidak konsisten. Sunggut Dinara dalam hati.
Namun karena Narendra adalah bosnya maka Dinara harus mematuhi perintah pria itu, meskipun diperlakukan sebagai b***k korporat. Tak butuh lama bagi Dinara untuk memahami apa yang sedang dikerjakan oleh Narendra. Tangan lentiknya segera menari dengan lincah di atas keyboard, merampungkan pekerjaan sang atasan yang tinggal 10% lagi.
Dan tepat Narendra menyelesaikan mandinya, Dinara sudah rampung akan tugasnya. Wanita itu segera meminta izin kepada sang atasan untuk tidur karena tubuhnya sangat lelah dan tidak dapat diajak kompromi lagi.
Sebenarnya Narendra masih ingin berduaan dengan Dinara, akan tetapi melihat wajah kuyu yang ditunjukkan oleh sang sekertaris membuatnya mau tak mau mengizinkan Dinara untuk ke kamar sebelah dan beristirahat.
Melihat anggukan kepala yang dilakukan oleh Narendra tentu saja tidak disia-siakan Dinara, dengan cepat wanita itu berlari agar sang atasan tidak menyuruhnya lagi atau dia tidak akan tidur semalaman.
"Benar juga apa yang dikatakan oleh perempuan itu, Bonita jelas lebih seksi darinya. Tapi kenapa hanya dia yang dapat membangkitkan naluri kelelakian aku?" tanya Narendra dengan suara pelan.
Tak lama Narendra teringat akan sang tunangan dan berniat untuk meneleponnya tapi dia sanksi jika Bonita masih terjaga saat ini sementara nam sudah menunjukkan angka 11. Pantas saja Dinara bergegas untuk keluar dari ruangan ini karena takut dia akan memberikan pekerjaan.
Narendra akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan sembari menunggu kantuknya datang, yang pertama dia lakukan adalah mengecek pekerjaan yang diselesaikan oleh Dinara.
"Ternyata itu alasan Papa menunjuk dia sebagai sekretarisku. Wanita itu memang pintar meskipun agak ceroboh dan gampang terkejut," gumam Narendra yang puas dengan hasil pekerjaan Dinara yang sangat rapi dan mendetail.
Narendra lalu mengingat malam pertama mereka. Awalnya memang Narendra tersenyum mengingat nostalgia itu, akan tetapi saat mengingat permainan panas yang mereka lakukan 4 tahun yang lalu seketika membuat tubuh bagian bawah Narendra mengeras, bahkan napasnya tersengal menahan gairah yang tiba-tiba meluap.
"Sial! Bahkan dengan membayangkan tubuhnya saja membuat aku ingin menidurinya!" Maki Narendra sembari menggeram.