Bab 5. Iblis Berwajah Malaikat

1131 Words
Narendra masih menatap Dinara dengan penuh penghinaan, seakan hidup matinya wanita itu berada di tangannya. Wajah tampan Narendra kini terlihat bak iblis dalam pandangan Dinara. "Kamu tentu tahu apa pilihannya, Putri Tidur," ucap Narendra sembari menghapus jarak antara dirinya dan Dinara. "Pilihan yang sama-sama merugikan untuk saya," sahut Dinara tanpa sadar, giginya bahkan bergemeletuk menahan gejolak emosi yang menghantam dadanya. "Itu tergantung bagaimana kamu menyikapinya," tukas Narendra yang kini tepat berada di depan Dinara, napas keduanya bahkan saling beradu. "Kalau begitu untuk apa Bapak mengajukan pilihan jika akhirnya saya harus menjadi pelayan yang memuaskan hasrat Bapak di atas ranjang?" ucap Dinara dengan sarkas. Narendra tak lama meletakkan ibu jarinya ke bibir Dinara dan memutarinya sebelum kembali membuka suara. Tak sampai disitu Narendra bahkan memasukkannya ke dalam mulut wanita itu dengan paksa. Sekali lagi Dinara merasa harga dirinya sebagai seorang wanita dikoyakkan secara paksa, tanpa sadar dia menggigit ibu jari Narendra dengan kuat dan membuat pria itu tersentak lalu kembali menyeringai sinis. "Untuk pertanyaan ini saya tidak punya alasan untuk menjawabnya." Dinara hanya dapat mencelos dalam hati saat mendengar ucapan Narendra yang arogan itu. Pupus sudah harapannya untuk hidup damai karena tadinya Dinara masih berharap jika Narendra mau membatalkan keinginan gilanya itu. "Gigitan kamu masih sama luar biasanya seperti waktu itu," ucap Narendra sembari menghisap ibu jarinya dengan pose menggoda. Padahal yang dilakukan oleh Narendra semakin menjatuhkan harga dirinya dan Dinara benci untuk mengakuinya, tapi dalam pose seperti itu Narendra terlihat menawan dan mampu memukau siapa saja termasuk dirinya. Wajah tampan itu memiliki garis rahang yang tegas dengan alis tebal yang menghiasinya, membuat Narendra terlihat seperti malaikat ... malaikat pencabutan nyawa tepatnya. "Padahal kekasih Bapak jauh lebih cantik dan seksi dari saya, tapi kenapa ..." Belum sempat Dinara menyelesaikan kalimatnya, Narendra sudah memotongnya. "Kenapa ya?" Narendra balik bertanya dengan nada menyebalkan yang akhirnya membuat Dinara menyerah untuk bertanya lagi. Percakapan keduanya harus terhenti karena sekertaris William masuk dan memberikan panduan singkat agar memudahkan Dinara untuk melakukan pekerjaannya sebagai sekertaris Narendra. Awalnya semua berjalan lancar sampai waktu makan siang tiba, Dinara yang sudah merasa lapar berniat untuk makan di sebuah restoran cepat saji yang terletak di depan gedung kantor. "Pak, saya izin keluar makan siang dulu," ucap Dinara dengan suara agak keras sebab Narendra sedang fokus kepada laptopnya. Narendra yang merasa dipanggil langsung menengadah dan kedua netra mereka saling bersirobok. Narendra pun terpaku akan sorot mata Dinara dan mengingatkan dirinya akan alasannya menolong Dinara 4 tahun yang lalu. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, karena Narendra sudah berhasil menguasai keadaan. Pria itu tak lama membuang napas kasar sebelum berkata kepada sekertarisnya. "Kamu berani untuk pergi makan sementara atasan kamu masih sibuk bekerja?" tanya Narendra dengan sinis. Dinara hanya dapat terdiam tanpa berani menjawab apalagi membantah Narendra, pria yang memiliki kuasa atas dirinya. Dengan susah payah dia meneguk salivanya yang seakan mencekik tenggorokan. Suaranya pun tak dapat dia keluarkan meski setengah mati Dinara ingin melancarkan protes kepada Narendra. Rasa lapar yang semakin menjadi membuat perutnya terasa perih, namun sekuat tenaga coba dia tepis karena tak ingin terlihat lemah di depan pria itu. "Saya minta maaf atas kelancangan saya, Pak," ucap Dinara tak lama kemudian. "Bagus kalau kamu sudah mengerti, sekarang cepat kerjakan tugas kamu." Titah Narendra dengan nada memerintah. Dengan langkah gontai Dinara kembali ke meja kerjanya yang memang berada satu ruangan dengan Narendra. Setengah hati Dinara menyalakan laptopnya kembali di tengah rasa gemetar yang mulai dia rasakan, keringat dingin bahkan sudah mengucur deras dari pori-pori tubuhnya. Rupanya serangan itu juga menjalar ke kepalanya, Dinara merasa melihat bintang-bintang sejauh matanya memandang. Narendra yang tentu saja sibuk dengan pekerjaannya tak menyadarinya, dalam pikirannya dia harus segera menyelesaikan beberapa proyek yang William mulai percayakan kepadanya. Semua itu sengaja Narendra lakukan agar saat pelantikan dirinya menjadi CEO tidak terhambat oleh para pemegang saham yang terang-terangan menentang memusuhinya. Hingga saat perutnya merasakan lapar, Narendra berniat untuk memesan makanan melalui aplikasi perpesanan. "Putri Tidur, pesankan saya makan siang," kata Narendra tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptop. Beberapa menit terlalui dan Narendra baru menyadari jika Dinara tidak merespon panggilannya. Rasa kesal tiba-tiba menggelayut di dalam dadanya. Bentakan pun keluar dari bibir Narendra. "Hey! Kamu ngapain aja-" Pria itu tak jadi melanjutkan perkataannya karena melihat Dinara yang tergeletak di lantai, dengan berlari Narendra menuju ke arah sekertarisnya dan segera membopong tubuh kecil Dinara. Narendra mengernyit saat menyadari jika bobot tubuh Dinara lebih ringan daripada 4 tahun yang lalu. Tapi dia segera menyadari jika Dinara membutuhkan bantuan secepatnya. Pria itu akhirnya membaringkan tubuh ringkih Dinara di sofa sebelum memanggil bantuan. Dokter klinik datang tak lama kemudian dan memeriksa keadaan Dinara. Sang dokter menghela napas saat menyadari keringat dingin yang mengucur dari pelipis wanita itu, belum lagi saat memegang perut Dinara yang ternyata mengalami kembung. "Pak, Mbak Nara kena maag akut maka dari itu asam lambungnya naik dan membuatnya pingsan. Saya akan memberikan obat lambung dan mual. Dan usahakan agar Mbak Nara jangan terlambat makan lagi." Narendra hanya terdiam saat sang dokter memberikan penjelasan, membuat tenaga medis itu mencelos dalam hatinya. Sudah pasti Dinara pingsan akibat ulah penerus dari William itu. "Ganteng-ganteng koq sadis sama anak buah. Kasihan Mbak Nara mesti dapat bos gila macam dia," gerutu sang dokter dalam hatinya. "Kamu boleh keluar sekarang," ucap Narendra dengan nada dingin. "Baik Pak," sahut sang dokter yang lalu meninggalkan ruangan Narendra dengan perasaan masgyul akibat sikap seenaknya pria itu. Sepeninggal sang dokter, Narendra memandang Dinara yang sedang tidur. Wajah yang sekarang terpampang di depan matanya kini terlihat semakin dewasa. Tak tahan hanya sebatas melihat, Narendra membelai wajah Dinara, menyimpan profil wajah itu di dalam ingatannya. Benar kata Dinara jika Bonita lebih seksi darinya, tapi entah mengapa hasrat Narendra terpantik hanya dengan Dinara. "Hanya kamu seorang yang dapat melakukan itu, jadi mana mungkin saya akan melepaskan kamu begitu saja," gumam Narendra yang lalu mencium rambut Dinara yang menguarkan aroma mawar. Ketukan pintu terdengar dan disertai dengan kemunculan seorang office boy yang membawakan pesanan makanan Narendra. Semangkuk creamy soup hangat seharusnya dapat meredakan perut yang mengamuk bukan? Karena itu Narendra memesannya 2 porsi untuk disantap oleh Dinara. "Aduh!" Suara Dinara mengalihkan pandangannya ke arah sekertarisnya yang baru tersadar dari pingsannya. "Sudah bangun kamu? Ckckck, tak saya sangka kalau kamu itu lemah sekali," ucap Narendra dengan sinis tampaknya dia tak memikirkan perasaan Dinara yang semakin sakit. "Saya minta maaf untuk itu," kata Dinara yang memutuskan untuk merendahkan dirinya di depan Narendra. Dinara juga ingin menguji seberapa besar dia sanggup menghadapi kegilaan Narendra dan setelah dia pikir lebih dalam, dia hanya perlu melayani Narendra seorang, beda cerita jika dia kembali kepada sang paman. Sudah pasti tubuhnya akan menjadi santapan dari berpuluh-puluh pria sampai Anwar merasa jika Dinara sudah tak berharga lagi dan dibuang layaknya barang rongsokan yang tak dapat didaur ulang. "Tubuh ini milikku, jadi bagaimana pun caranya kamu harus dapat menjaganya," ucap Narendra tepat di telinga Dinara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD