Gelisah

1063 Words
Cinta tidak hadir untuk memuaskan dan menghilangkan rasa kesepian. Rasa itu ada untuk menuntaskan pencarian. Bagi Ken dan Kalila, dunia mereka tidaklah sama. Tetapi, jika Tuhan sudah menggariskan, mereka bisa apa? Hanya saja, keduanya belum menyadari hal tersebut dengan benar. Hingga waktu dan jarak hadir, lalu akan menimbulkan kerinduan yang kental. Sebenarnya, kedua anak manusia ini adalah tipe orang yang peka dan sensitif. Namun karena guncangan hebat yang menerpa hidup mereka, Ken dan Kalila tidak mampu menangkap sinyal jodoh yang telah Tuhan gariskan. Malam harinya, Ken masih memandang dan menikmati bros milik Kalila. Sentuhan jari jemari dari tangannya tampak lembut membelai perhiasan pemanis pakaian yang berkilauan tersebut. Sontak, kenangan akan sentuhan dan pelukan sesaat dari Kalila muncul di benaknya. Wanita itu, adalah satu-satunya yang berani menyentuh Ken tanpa izin darinya. Perasaan laki-laki tampan tersebut, menjadi bergetar dengan sendirinya. Apalagi wajah cantik Kalila, memang tidak bisa dihempaskan begitu saja. Entah dari mana asalnya, Ken menjadi sangat ingin bertemu Kalila, dengan apa pun alasannya. "Agh," gumamnya di dalam gemericik risau, sesaat setelah hanya tinggal beberapa orang saja di rumahnya. "Ken!" panggil Wisnu yang semakin mendekat, ia adalah sahabat kental dari Ken. Ken melirik Wisnu, dan menangkap wajah sahabatnya tersebut dengan tatapan gundah. "Ya?" "Kalau ada apa-apa, hubungi aku ya!" Wisnu menghela napas panjang. "Kapan pun kamu membutuhkan aku, aku siap." Lalu Wisnu menepuk pundak sahabatnya itu, sebelum berangkat untuk dinas ke luar kota. "Thanks, hati-hati!" "Ya." Wisnu meninggalkan Ken yang masih berduka. Semua karena tugas negara yang diembannya. Jika dituruti hati, mana mungkin ia mampu melakukannya. Apalagi Wisnu tahu, bahwa Ken tidak memiliki siapa-siapa lagi di dalam hidupnya. Sesaat setelah Wisnu keluar dari rumah duka, seorang wanita cantik yang suka memaksakan kehendaknya, datang menghampiri Ken. Ia berniat untuk memberi ketenangan melalui pelukan. Sayangnya, Ken langsung duduk dan menepis rencana Gea tersebut. "Kenapa sih, Ken? tanya Gea sambil melipat dahinya. " Kenapa kamu selalu saja menolakku? Sedangkan wanita asing itu, bisa memelukmu." Memori Ken terseret kembali pada dekapan hangat dari Kalila. Tiba-tiba saja, hatinya memanggil, seolah sangat menginginkan wanita molek tersebut. Ken menatap teduh, berusaha menahan diri agar tidak emosional. "Please, jangan memulainya!" "Tapi aku butuh alasannya, ini sudah satu tahun sejak saat itu, Ken." "Alasan?" Ken mengusap wajah, kembali berusaha membuang amarahnya. "Bukannya aku sudah lebih dari sepuluh kali mengatakannya? Kamu memang cantik, Gea. Tapi bukan berarti, kamu bisa mempermainkan hati manusia lain sesuka hatimu. Apalagi abangku." "Ken, tapi aku benar-benar mencintai kamu. Aku gak bisa membohongi diriku sendiri," sahut Gea sambil menekan intonasi suaranya. "Kamu memang pembohong, Gea. Kamu menjanjikan cinta untuk abangku, tapi di balik semua itu, kamu menargetkan diriku. Kamu ingin memiliki keduanya, lalu membiarkan salah satunya merana.". "Ken!" Ken bergerak cepat, untuk meninggalkan Gea. Semua ia lakukan, supaya bisa menjauhi wanita yang selama ini selalu menempel pada kakaknya, demi mendapatkan dirinya. "Ken, please!" pekik Gea dan langsung menarik tangan kanan Ken yang masih menggenggam bros pakaian milik Kalila. Ken menekan rahang, menggigit giginya sendiri, hingga berbunyi karena geram. "Mungkin, jika urusannya dengan laki-laki lain di luar sana, kamu akan berhasil. Tapi tidak denganku. Camkan itu!" tunjuk Ken dengan wajah marah. "Tapi, dia sudah tiada. Apa salahnya jika kita memulai semua ini dengan mudah?" Ken kalut, ia tidak tahan lagi. Rasanya, ingin sekali menendang Gea hingga perempuan itu terpelanting ke langit ketujuh. Tapi Ken mengingat pesan saudaranya. Bahwa tak boleh memukul seorang wanita yang bukan penjahat, dengan alasan apa pun. "Jika di dunia ini hanya ada satu wanita saja dan itu adalah kamu, maka lebih baik aku menggunakan boneka wanita untuk bercinta. Paham?" Ken menolak Gea sekali lagi, dan kali ini dilakukan dengan kalimat tajam nan menusuk dalam. Melihat Gea yang masih betah berada di dalam rumah dengan niat untuk mengganggu dan menempel seperti biasanya, Ken memutuskan untuk pergi keluar dan menikmati udara malam yang dingin. bersamanya, selalu ada bros milik Kalila yang tak pernah lupa dibawa kemana-mana. Sementara di sisi Kalila, perempuan cantik yang sudah meninggalkan kediamannya sejak tadi pagi, masih memutuskan untuk menikmati jalanan dengan aneka cahaya berwarna. Meskipun dunia tampak cemerlang dengan kelap-kelipnya, tetapi hati Kalila tetap saja kelam. Wanita modis itu tidak bisa merasakan apa pun, kecuali batu berukuran besar yang mengendap di dasar hatinya. Hanya ada kata sakit untuk perempuan yang satu ini. Sedang berhenti sejenak di belakang lampu merah. Kalila melihat banyak pasang muda-mudi yang berangkulan mesra. Bibirnya mencibir seolah terus saja menolak cinta. Namun dari tatapan matanya, tampak sekali rasa iri yang besar. Bibir indah itu terus saja mengatup dengan hati yang berbisik 'Tidak boleh lagi ada cinta!' Kata Kalila tanpa suara, seraya meluruskan pandangannya. Sembari menghela napas panjang, Kalila membuka tas berwarna hitam model segi empat dengan simbol C besar di kancingnya. Saat ini, ia tengah mencari sesuatu yang sangat berharga untuknya. Yaitu bros baju yang selalu dikenakan, disaat tengah merindukan Devan. Tetapi sayangnya, setelah mengobrak-abrik isi tasnya, Kalila tidak juga menemukan aksesoris yang berkilauan itu. Sebenarnya, Kalila merasa sangat sedih ketika mengetahui bahwa benda kesayangan telah hilang. Tetapi, ia mencoba untuk mengabaikannya dan kembali lagi pada satu kata. Ialah, 'Miliknya yang paling berharga memang akan selalu hilang. Tidak perlu dicari karena tidak akan pernah bisa ditemukan' Kata Kalila yang memang tampak sangat kecewa pada dunia. Frustasi, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi perempuan cantik ini. Setelah cukup berputar-putar dan bosan dengan dunia, Kalila pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Setibanya di kediaman yang sangat luas milik tuan Husain, Kalila membunyikan bel dan menunggu di depan pintu tanpa rasa apa pun. Ketika pintu dibuka dan Kalila ingin masuk, ternyata Elo lah yang membukakan pintu rumah untuk Kalila, sembari menyambut dengan senyum terbaik dari bibirnya. Elo menatap tajam seperti biasanya. "Selamat malam," sapanya lembut, penuh perasaan. Bibirnya pun tersenyum ramah, seolah menanti cahaya kembali menyinari hidupnya. "Kenapa kamu yang membukakan pintu?" tanya Kalila karena seharusnya asisten rumah tangga lah yang melakukannya. "Semua orang sudah terlelap. Coba lihat, jam berapa ini!" Kalila menurunkan kelopak matanya, memperhatikan jam yang bertengger di pergelangan lengan. Saat itu ia pun menyadari, bahwa saat ini sudah lewat dari waktu tengah malam. "Hmmm, sorry!" pintanya sambil mengurut dahi. "Tidak masalah. Kapan pun kamu membutuhkanku, katakan saja. Apa pun urusannya, aku siap." Kalila terdiam sejenak. "Tidak perlu, thanks." Lalu wanita molek itu masuk ke dalam rumahnya, dan langsung meniti anak tangga agar segera tiba di dalam kamarnya. 'Tatapan itu, apa maunya laki-laki itu?' Tanya Kalila tanpa suara. Sebab, ia menyadari ada yang aneh dari cara adik iparnya tersebut saat memandang dirinya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD