13 | Suami Sempurna Yuri

1130 Words
Mulya tengah memindahkan tas besar dan beberapa kotak kardus berisi barang-barang Ayah, dari mobil ke kapal yang akan ditumpangi Ayah menyeberang ke pulau. Otot lengannya terlihat sangat ‘laki’ ketika mengangkat kardus yang lumayan berat. Setelah semua barang sudah berpindah, Mulya membuang napas lewat mulut sambil menyusap keringat di keningnya. Tubuh Ayah tiba-tiba menghalangi pandangan Yuri. “Ayah senang bisa meninggalkan kamu tanpa beban.” Yuri tersenyum lebar, “meskipun aku sedih tinggal berjauhan sama Ayah, tapi aku juga senang Ayah bisa ngejar apa yang Ayah mau.” “Benar karena itu aja?” Ayah memicingkan mata menggoda Yuri, “bukan karena kamu punya kesempatan tinggal berdua saja sama Mulya?” “Ayah ih, ya enggah lah,” tampik Yuri berbanding terbalik dengan senyum malu-malunya. “Apa enaknya tinggal berdua doang sama Mas Mul? Mas Mul orang paling ngebosenin. Paling-paling Mas Mul akan sibuk sama kerjaanya sendiri.” Ayah tertawa kecil. “Seandainya pun Ayah nggak pindah ke pulau, Ayah tetap nggak mau tinggal serumah dengan kalian. Bukan karena takut merepotkan kalian, tapi memang begitu lah baiknya memulai sebuah rumah tangga. Ayah yakin, meskipun kalian sudah saling kenal sejak lahir, pasti kamu akan menemukan hal-hal baru dari Mulya.” “Tapi sepertinya nggak akan terlalu mengejutkan.” “Jangan salah. Di mata Mulya, kamu sebagai Yuli yang manja dan kamu sebagai istri pasti berbeda. Coba kamu lihat Mulya baik-baik, apa setelah dia jadi suamimu, kamu masih merasa dia seperti Kakaknya Tya?” Gara-gara mengikuti kata Ayah, jantung Yuri deg-degan padahal Mulya yang yang tengah dipandanginya kini cuma sedang berbicara dengan pemilik kapal. Saat tanpa sengaja Mulya melihat ke arahnya, Yuri buru-buru mengembalikan pandang ke wajah Ayah. Tiba-tiba merasa malu. “Nggak ah, sama aja," tampiknya. Tawa Ayah mengekeh lagi. “Tunggu sampai perasaanmu sudah 100 persen, nanti Ayah tanya lagi.” Ayah tidak tahu saja, Yuri hanya malu mengakui. Perasaan Yuri terhadap Mulya sudah 99 persen, 1 persennya adalah penyangkalan percuma. Mulya ikut bergabung dengan Ayah dan anak itu untuk memberitahu kapal sudah siap dan berkata mereka bisa menemani Ayah ke pulau dan pulang sore harinya. Tapi Ayah menolaknya. Ayah lalu mengajak Yuri dan Mulya ke dekat perahu. “Jaga diri kalian.” Ayah menatap Yuri. “Anggap sekarang yang kamu miliki cuma Mulya, kalau ada apa-apa, biarkan dia jadi orang pertama yang mendengarnya. Jangan bikin suamimu repot dan nurut apa kata dia.” Yuri mengangguk dengan mata berkaca-kaca, tapi masih berusaha menampakkan senyum ceria. “Mas Mul pernah bilang dia yang akan nurut semua kataku.” Yuri coba melucu. “Ayah yakin itu karena kamu yang memaksa.” Kemudian Ayah beralih menatap Mulya, ditatapnya mata sang menantu cukup lama seperti banyak pesan yang dingin dibisikkan. Tetapi, Ayah hanya mengucapkan satu kalimat pendek. “Tolong jaga Yuri.” Ayah memeluk Mulya dan Yuri bergantian, sebelum naik ke atas kapal. Saat perahu Ayah mulai bergerak pelan menjauh, barulah terasa momen perpisahannya. Air mata Yuri yang semula hanya sampai di pelupuk mata, mendesak keluar hingga bahu Yuri bergetar. Ia benar-benar akan berpisah dengan Ayahnya yang sepanjang usia Yuri sudah menjadi pengawal sekaligus pengasuh untuknya. Menjadi Ayah dan Ibu dalam waktu bersamaan. Yuri merasakan satu lengan Mulya merangkul punggungnya dan mengusap-usap lengannya. Yuri menatap Mulya dari samping, bisakah Yuri mengandalkan Mulya sebagai pengganti Ayahnya? Mulya mengalihkan pandangannya dari kapal Ayah yang kian menjauh, ke wajah Yuri. Tatapan mereka saling bertaut beberapa saat, sebelum Mulya mengembalikan tatapannya ke lautan. "Tolong jaga Yuri." Ayah sudah berkali-kali mengatakan itu, tapi entah kenapa yang kali ini sangat menganggu. Mulya tiba-tiba terbebani dengan satu kata itu, jaga. Mulya mendadak kehilangan kepercayaan diri, bisakah ia menjaga Yuri sepenuh hati? Mulya menoleh cepat pada Yuri saat istrinya itu dan mencium pipinya. “Aku nggak bisa bayangin harus berdiri di sini sendirian tanpa Mas Mul. Terima kasih, Mas.” Hati Mulya sangat sakit melihat senyum lugu Yuri. Mulya benci pada dirinya sendiri yang digoyahkan semudah ini oleh kemunculan Abigail lagi. Pikirnya, Abigail hanya bagian masa lalu. Faktanya, Mulya belum bisa sepenuhnya melupakan mantan pacarnya itu. Dan kenyataannya sekarang, Mulya sudah melangkah sangat jauh. Terlalu banyak yang akan terluka jika ia mundur, terlebih Mulya sendiri tidak mau kembali masuk ke pusaran tanpa titik temu. Ia akhirnya bisa keluar dari pusaran itu. Tidak ada jalan lain selain terus maju, meski di depan sana ada Abigail, kenangan mereka, dan mungkin sisa cinta yang belum bisa Mulya singkirkan semuanya. Namun di depan sana juga ada Yuri, seseorang dengan kepribadian jauh berbeda dengan Abigail yang Mulya harapkan kehadirannya bisa mendorong bayangan Abigail menjauh. Nampaknya itu bukan hal mustahil, asalkan Mulya mau membuka diri, dan belajar mencintai Yuri. Mulya menggerakkan satu tangannya yang terbebas turut melingkari punggung Yuri, menekan tubuh Yuri dalam pelukannya. Dirasakan Mulya kepala Yuri bersandar di dadanya. Mulya menempelkan dagunya di puncak kepala Yuri dengan pandangan menerawang jauh. Untuk beberapa waktu depan, Mulya mungkin akan jadi laki-laki paling b******k sedunia. *** Mulya lari-lari keluar dari kamar, ke arah tempat resepsinya tadi digelar. Pandangan Mulya mengedar ke seluruh penjuru, beberapa pekerja tengah membereskan perlengkapan sisa acara. Hingga Mulya menemukan seseorang yang memintanya turun menemuinya. Katanya, sebentar saja untuk yang terakhir kalinya. Orang itu tampak berdiri di depan salah satu bingkai foto prewedding Mulya dan Yuri, Mulya berjalan pelan dari arah belakang perempuan itu. “Bi...” panggil Mulya pelan. Perempuan itu membalikkan badan, dia tersenyum lantaran Mulya menemuinya. “Hi, aku belum ngucapin selamat.” “Ada apa?” tanya Mulya dingin. “Kalau kamu memang datang buat ngucapin selamat, kamu akan bilang tadi. Bukan di waktu begini.” Perempuan itu tersenyum lagi, “kok kesannya kamu yang marah, padahal aku lah yang dicampakan di sini.” “Abigail, nggak ada yang dicampakan dan mencampakan. Kita berdua udah sepakat ngelani hidup kita masing-masing.” “Sepakat?” Abigail mengulangi kata Mulya. “Seingatku kamu yang memutuskan dan kamu memaksa aku untuk setuju mau kamu.” Mulya menyipitkan mata. Demi Tuhan Mulya tahu tidak seharusnya ia berada di sini, membicarakan masa lalu dengan mantan pacar, dan sedangkan Yuri di kamar sendirian. “Aku udah terima ucapan selamat kamu, terima kasih. Anggap aku memang mencampakan kamu, aku minta maaf. Selesai.” Mulya hendak berbalik untuk pergi, ketika Abigail berkata lagi. “Apa istrimu tahu alasan kamu menikahinya?” “Bi, apa aku tidak salah dengar barusan?” Abigail menggeleng. “Aku tanya, apa istrimu tahu kalau kamu menikahi dia karena kamu—“ “Berhenti di sana,” potong Mulya, ia maju selangkah lebih dekat pada Abigail. “Abigail yang aku kenal nggak kayak gini. Aku yakin kamu sangat bijak dan paham apa yang barusan kamu katakan. Aku sedang memulai hidup baruku, Bi, dan sebaiknya kamu juga begitu. Kamu tenang aja, aku akan bilang ke istriku kalau aku yakin menikahi dia karena arah kapal kami sama.” “Kamu mungkin bisa lari ke banyak hati, atau mengunci diri di satu hati lewat pernikahan. Tapi nanti kamu akan sadar, Ya, kunci itu bisa dibuka kapan saja dengan mudah saat pada akhirnya nanti kamu rindu pulang ke rumah.” Senyum Abigail terlihat menyedihkan karena berlinang air mata. “Aku datang cuma mau bilang itu sebenarnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD