04 | Mengejar Restu Eyang

4499 Words
Mulya mengantar Yuri dengan selamat. Yuri keheranan saat Mulya menghentikan mobilnya di depan rumah Yuri, padahal biasanya boro-boro diturunkan di depan rumah, Mulya akan langsung memasukkan mobil ke rumahnya sendiri dan Yuri harus pulang dari rumah Mulya ke rumahnya. Ya memang cuma tinggal nyebrang, tapi apa susahnya juga sih Mulya berhenti beberapa detik untuk menurunkan Yuri di depan rumah, sebelum belok ke rumahnya. Bahkan kali ini Mulya juga ikut turun, menyapa Ayah yang kebetulan sedang duduk-duduk di teras memakai sweater tebal. "Ayah, kalau dingin ngapain duduk di teras, sih?" tanya Yuri kesal ayahnya suka menyiksa diri. "Ayah bosan di dalam." "Sudah tahu gampang bosan, kenapa malah suruh aku nikah cepat-cepat coba." Yuri menggerundel makin kesal sendiri jadinya. Ayah hanya tersenyum menanggapi. "Gimana acara ngedate kalian?" wajah Ayah cerah sekali saat menanyakan itu. "Ngebosenin. Mas Mul nggak tahu cara makan pecel lele." "Lumayan jadi tahu kesukaan Yuri, Om." Mulya menyahut begitu Yuri selesai. Sehingga Ayah Cuma memberi respon dari apa yang Mulya bilang. "Baguslah kalau begitu. Kalian harus sering-sering pergi berdua, jadi lebih dapat chemistry-nya sebagai pasangan." Sebagai pasangan? Yuri begidik geli sekaligus ngeri membayangkan. "Jadi gimana, Yur? Kamu udah ngasih Mulya jawaban?" Yuri menghembuskan napas berat, namun sebelum bibirnya terbuka, Mulya mendahuluinya bicara. "Alhamdulillah Yuri sudah setuju, Om. Kami bahkan udah ngomongin gimana kalau kami ngundang mantan di resepsi." Yuri melotot. Apa-apaan itu?! Ya Yuri memang sudah setuju, tapi penjelasan Mulya terlalu berlebihan. Mulya memberi lirikan sekilas pada Yuri, sebelum berkata lagi. "Karena Om dan Yuri sudah setuju, semoga kedepannya dilancarkan sama Allah." "Amin, Nak. Insya Allah." Yuri geleng-geleng kepala tak tahan mendengar jawaban bernada haru keluar dari bibir Ayah. Entah apa yang membuat Ayah begitu mengangumi Mulya, sampai sebegitunya pengen dijadikan mantu. Yuri melenggang masuk rumah, tak tahan lagi melihat sandiwara Mulya dan keterpesonaan Yah pada sang calon menantu. Mulya dan Ayah terkekeh kecil melihat tingkah Yuri. "Terima kasih, Ya. Karena kamu, sekarang Om bisa istirahat dengan tenang," ujar Ayah. "Om jangan bicara seperti itu, Om juga masih bisa jaga Yuri meskipun dari jauh." sahut Mulya tidak ingin perbuatannya dianggap sebagai hal luar biasa. "Sebenarnya, aku bersyukur Om bilang ingin Yuri menikah sama aku. Karena kalau pun bukan sama Yuri, Mama dan Eyang pasti menjodohkan aku dengan perempuan lain. Jadi sama saja, lebih baik aku menikahi orang yang udah aku kenal baik." "Aku mungkin masih butuh waktu buat mulai beradaptasi memandang Yuri sebagai perempuan dewasa, jadi maaf kalau mungkin nanti aku akan mengecewakan Om." Ayah menepuk pundak Mulya, memberi dukungan. "Om yakin kamu akan menjaga Yuri, malah Om khawatir Yuri yang mungkin membuat masalah nanti." Ya, dilihat dari karakter memang yang berpotensi besar menciptakan masalah adalah Yuri. Entah apa Yuri bisa berhenti sedikit-sedikit merengek dan mengurangi kebiasaannya nonton drama Korea sampai lupa waktu. "Om titipkan Yuri sama kamu, Ya. Kalau sekiranya nanti kamu nyerah dan nggak bisa jaga dia, Om harap kamu melepasnya baik-baik," pesan Ayah Yuri terakhir, sebelum Mulya pamit pulang. *** Keesokan harinya, Ayah mengucapkan selamat pagi pada Yuri dengan senyuman lebar. Ayah bahkan masak masakan kesukaan Yuri. "Yuliii..." tahu-tahu Mbak Rini muncul dari ruang depan. Sejak tidak lagi mengasuh Yuri, Mbak Rini cuma akan datang tiga hari sekali untuk bersih-bersih rumah saja. "Duh, yang mau jadi pengantinnya Mas Mul. Ke pasar, yuk, beli masker kunyit biar pas akad wajahmu glowing." "Ih, apaan? yang ada mukaku kayak Mbok-mbok jamu." Mbak Rini tertawa cekikikan, meski sudah lebih cocok dipanggil Ibu-ibu, Yuri masih lebih nyaman memanggil Mbak. Dan Mbak Rini pun masih memanggil Yuri dengan Yuli. Mbak Rini menoleh ke arah Ayah. "Pak, ini bener si Yul mau dinikahi Mulya?" "Insya Allah ya, Rin. Kalau nggak ada halangan." "Kalaupun ada halangan ya disingkirin dong, Pak, halangannya." Heran, kenapa Yuri jadi satu-satunya yang merasa perniakahan ini tidak benar. "Harus jadi ini mah." Ayah mengangguk menyetujui ucapan Rini. "Kamu pagi banget, Rin? Sarapan dulu sekalian, saya masak banyak ini." "Eh, nggak usah, Pak, udah sarapan tadi." Tolak Rini sopan, "tadi sengaja pengen cepat-cepat ke sini pas dengar si Yul mau menikah sama Mas Iya." "Jadi kapan, nih, Pak hari H-nya?" "Nanti masih akan dibicarakan lagi, Rin. Yang penting keduanya sudah sama-sama mau." Kebahagiaan ayah bertambah mengetahui bukan hanya dirinya yang berbahagia. "Semoga secepatnya ya, Pak. Takutnya keburu Mas Iyanya nyesel sebelum hari H." "Dih, hari H apaan sih, Mbak?" Yuri duduk di kursinya, menyendok banyak-banyak nasingoreng sosis kesuakaannya. "Ada satu orang yang belum ngasih restu, tahu!" Rini sontak menatap Ayah. "Benar, Pak?" Ayah mengangguk kecil, tapi sepertinya ia tidak menganggap itu sebagai halangan. *** "Eyang, jangan diem aja, dong." Eyang Weni membuang muka, tiba-tiba wajah rupawan Mulya tidak lagi menjadi wajah kesayangannya. Cucu laki-laki pertama dan paling perhatian padanya. Mulya berpindah ke sisi sebelah, agar berhadapan dengan Eyang. "Kan Eyang yang minta aku cepat-cepat nikah, kenapa sekarang pas aku mau nikah, Eyang malah larang?" "Eyang nggak larang kamu menikah, tapi kenapa harus sama si Yuri?" "Ibu, mungkin kemarin Yuri memang sedikit kurang sopan," mama ikut berusaha menjelaskan. "Ibu kan tahu gimana si Yuri, aslinya dia baik dan manis." Eyang melirik mama Mulya sinis. "Ibu nggak tanya sama kamu, Ibu tanya sama Mulya kenapa harus di Yuri yang dia nikahi." Eyang menatap wajah sang cucu lagi. "Kamu ini kuliah dua kali sampai ke luar negeri, papamu juga bilang kamu kerja di gedung tinggi, masa nggak ada satu pun perempuan yang lebih baik daripada Yuri? Jangan-jangan selama ini kamu cuma belajar-belajar dan kerja tok sampai lupa nggak bergaul?" "Bener banget itu, Eyang," celetuk Tya puas akhirnya ada yang mengingatkan pentingnya bergaul, disamping nilai-nilai bagus. Selama ini Tya menjadi bayang-bayang segala prestasi Mulya. Jika mentalnya tidak kuat dan tidak ada Eyang yang selalu membelanya, Tya mungkin milih tinggal di rumah sakit jiwa. Mama berdesis menyuruh Tya tidak ikut campur. "Aku juga bergaul, Eyang. Tapi memilih teman kan beda sama memilih pasangan." "Terus bedanya Yuri sama teman-temanmu itu apa?" Eyang mempertanyakan kualifikasi Yuri dibanding perempuan lain. "Yuri itu masih kecil, seumuran sama adikmu yang kalau nggak diingatkan, nggak akan mencuci bajunya sendiri. Dia juga nggak lulus-lulus kuliahnya tuh, waktu seumuran dia, kamu sudah ngejar S2 ke Inggris. Kalau mau ngomongin soal cantik, Yuri cantik karena umurnya masih muda." "Begini aja, gimana kalau aku tanya kenapa Eyang mau sama Eyang Lanang?" Eyang keberatan dengan pertanyaan Mulya, tapi Mulya tidak memberinya kesempatan menyuarakan. "Padahal kan, Eyang pernah cerita kalau dulu Eyang Lanang tukang mabuk dan keluarganya sangat miskin. Kenapa Eyang tetap memilih menikah sama Eyang Layang dan menolak semua laki-laki yang dijodohkan sama Eyang dari mandor pabrik sampai jurangan tanah." "Ya karena Eyang cintanya sama Eyang Lanang." "Nah, itu juga jawaban aku." Semua yang duduk di meja makan tercengang mendengarnya. Masih saja belum terbiasa dengan Mulya yang dengan entengnya bilang menyukai Yuri padahal selama ini mereka seperti Tom and Jerry. Ada saja yang diributkan setiap bertemu. Mulya selalu menemukan hal-hal kecil yang dikeluhkan dari Yuri, dan Yuri tidak pernah kehabisan ide menjahili Mulya. "Pokoknya Eyang nggak mau kamu menikah sama Yuli." Putus Eyang keras kepala. "Ya sudah kalau begitu, jangan minta-minta cicit dari aku lagi." "Mulyawan Muda!" *** Yuri menggeplak tangan Tya yang mencolek pisang yang sudah Yuri lumatkan untuk dijadikan adonan banana cake kesukaan Eyangnya Mulya. Tya mencibir kepelitan Yuri. "Lo yakin mau menikah sama Mas Iya?" "Sebenernya enggak, cuma mau gimana lagi?" "Kalau nggak yakin ya jangan, lah. Enak aja lo mau main-main sama Kakak gue." "Yang sebenernya kelihatan main-main bukannya Kakak lo, ya?" "Iya sih." Tya meringis kecil. "Aneh banget dia tiba-tiba sayang sama lo. Tapi ya udah, sih, siapa tahu memang bener. Nggak semua orang ngungkapin sayangnya ke orang yang dia sayang dengan sayang-sayangan, ada juga orang-orang kayak Mas Iya gitu, sok-sok benci padahal peduli." Yuri menggeleng, pikirannya tidak sampai sejauh itu. "Gue sebenarnya terpaksa bilang iya karena di mal kemarin gue ketemu sama Alvaro bareng sama si Renatta. Terus gue terlanjur bilang kalau mau nikah sama Mas Mul, ya udah daripada malu ternyata nggak jadi ngirim undangan." Tya menoyor kepala Yuri, sedekat itu mereka sampai-sampai Mulya pernah mengibaratkan jika Yuri menembak kepala Tya, Tya akan meninggal sambil tersenyum. "Cetek banget pikiran lo." "Ya gimana? Gue sebel banget lihat mukanya si Renatta yang kayak apa aja bisa dapetin Alvaro, gue mau nunjukin kalau Alvaro nggak ada apa-apanya dibanding Mas Mul." "Tapi lo bilang Mas Mul Om-om." Yuri mendesah berat. "Setelah gue lihat-lihat enggak kok, dia masih sekeren yang Mama lo bilang. Umurnya aja baru 33, belum tua-tua amat itu sih. Ideal lah buat cowok umur segitu." "Halah, karena situasinya udah beda aja makanya jawaban lo juga beda." Cibir Tya. "Kemaren lo masih bilang umur Mas Iya udah 33, bukan baru 33. Terus lo bilang dia tipe-tipe manusia kaku kurang eksplorasi." "Ya gimana? Selama ini gue ngarep pasangan yang seumuran, kalaupun selisih cuma 2 atau tiga tahun aja. Kalau gue nggak jilat ludah sendiri, gue makin kelihatan menyedihkan kalau masih menikahi orang begitu. Alasan sebenarnya sih, Ya, karena Ayah kelihatan berharap banget aku dinikahi Mas Mul." "Iya, benar. Mama aku juga." Mimik muka Yuri mendadak jadi sangat serius. "Terus lo tahu? Pas gue bilang gue udah ngasih jawaban ke Mas Mul, gue nggak pernah lihat wajah Ayah sebahagia itu. Akhirnya gue percaya aja, selama ini yang jadi pilihan Ayah, selalu jadi yang terbaik buat gue." Tya mengangguk memahami perasaan Yuri. "Nanti kalau kita udah jadi ipar, gue nggak mau ya, lo sok-sokan jadi Kakak gue. Kita tetap kayak gini aja." Yuri tidak mengerti, mengapa mendengar Tya mengatakan itu matanya mendadak panas. Padahal yang sedang diaduknya ini adonan kue, bukan gilingan cabai. Dan sepertinya Tya juga merasakan hal sama. Tanpa kata, keduanya saling mendekatkan diri dan bersatu dalam pelukan. Mereka sudah menjadi sahabat dekat sejak mereka belum bisa mengeja nama masing-masing, dan kini mereka akan makin dekat sebagai keluarga. Jika pun ada satu dua hal yang tidak Tya sukai dari Yuri sebagai calon kakak iparnya, setidaknya Tya yakin Yuri tidak akan punya pikiran menyakiti kakaknya. Apa pun alasan sebenarnya Mulya menikahi Yuri, Tya juga yakin Mulya akan bertanggungjawab akan keputusannya dan tidak akan menyakiti Yuri. *** Eyang Weni melirik satu loyang banana cake yang sebagian sudah dipotong dan dipindahkan ke piring kecil oleh Yuri, kemudian diletakkan di samping cangkir teh bunga kesukaannya. Lirikan Eyang kemudian naik ke wajah Yuri yang terlihat tegang. "Kamu mencoba menyogok saya pakai ini?" Yuri menggaruk belakang telinganya gugup. "Nggak nyogok, kan, biasanya Yuri memang sering membuat kue untuk Eyang dan Tante." Eyang membuang muka. "Dokter lagi suruh saya diet." "Ini gluten free kok, Eyang. Nggak pakai gula juga." "Nggak enak dong, rasanya?" "Coba dulu makanya, Eyang. Enak kok, kan, pisangnya udah manis." Sebenarnya Yuri ingin menambahkan, 'ditambah yang bikin juga manis' tapi takut Eyang makin kesal. Yuri memotong kecil kue dengan garpu dan diarahkan ke mulut Eyang. "Coba dikit saja, Eyang. Aaa..." "Eh eh kurang ajar ya kamu maksa-maksa orang tua. Nggak sopan." Seketika itu juga Yuri meletakkan garpunya dan kembali berdiri kaku. "Maaf, Eyang." "Kenapa? Sekarang akhirnya kamu sadar cucu saya terlalu baik buat jadi suami kamu?" Sindir Eyang membuat Yuri tercubit rasa bersalah. "Maksud aku kemarin bukan begitu, Eyang." Yuri menata kalimatnya, seperti ketika ia bicara dengan dosen pembimbing skripsi yang menentukan nasibnya. "Justru karena Mas Mul—ya terlalu baik buat aku, makanya aku nggak nyangka dia mau melamar aku." "Kalau memang menurutmu Mulya terlalu baik untuk kamu ya jangan terima dong lamaran dia, ini kamu malah menerimanya." Duh, Yuri tidak tahu harus menjawab bagaimana lagi. Baru tiga tahun terakhir Eyang tinggal di rumah Mulya, tepatnya setelah suaminya meninggal dunia. Yuri tidak terlalu dekat dengan Eyang Mulya ini karena orangnya terlalu prosedural, mestinya begini lah, tidak boleh begitulah. Manusia-manusia belia berjiwa muda seperti dirinya dan Tya tentu tidak tahan, sering sekali Eyang menyebut jadi perempuan itu harus begini dan begitu. Astaga, setahu Yuri, mau itu perempuan atau laki-laki udah penting jadi dirinya sendiri saja. "Kamu bisa masak?" Yuri mengangkat wajahnya cepat. "Bisa." Jawabnya penuh percaya diri. Dari segala keterbatasannya, cuma itu yang bisa Yuri lakukan dengan baik. "Masak apa saja? Terlur dadar sama sambal bisa?" Wah, Eyang masih saja meremehkannya padahal Yuri sering masak bersama Mama Mulya. "Apa saja bisa, Eyang. Karena sudah tahu dasar-dasarnya dan terbiasa, tinggal lihat resep sekali, semua makanan bisa aku masak." "Beberes rumah, bisa?" "Kalau itu masih dibantu Mbak Rini, karena kan aku masih kuli—" Ucapan Yuri dipotong decakan Eyang. "Jadi perempuan kok malas bersih-bersih rumahnya sendiri, dikit-dikit nyuruh orang." "Bukan—" "Nyuci, nyetrika, bisa?" "Bisa." Jawab Yuri lugas dan tegas, akhirnya sadar Eyang sedang berusaha menggali keburukannya. "Jahit bisa?" Yuri menyeringai lebar. "Bisa, aku kan pernah kursus jahit, Eyang." Ya meskipun tidak bisa membuat pola, tapi kalau sekadar jahit kancing lepas atau celana robek, Yuri pasti bisa lah. "Kalau sulam?" Yuri berpikir lama. "Memangnya masih ada yang nyulam di jaman sekarang?" saat Eyang melotot, baru lah Yuri ingat Eyang punya kotak kayu keramat berisi jarum dan benang semua warna. Buru-buru Yuri menggeleng, membenarkan maksudnya. "Maaf, Eyang. Aku belum pernah belajar sulam sama sekali." *** Setelah menjadi korban negatif thinking Eyang, di sinilah Yuri sekarang. Duduk di depan laptop yang memutar video tutorial menyulam. Eyang membekalinya hoop sulam, jarum, benang warna merah dan hijau, dan selembar sapu tangan polos sebelum pulang, setelah diberi tugas membuat sulaman bunga di atas sapu tangan itu. Yuri diberi waktu tiga hari, dari yang tadinya hanya semalam. Setelah Yuri memohon dengan berbagai alasan. Yuri kesal, entah sudah berapa banyak video yang ia tonton, dari yang tidak ada suaranya sampai yang berbahasa Inggris. Dan entah berapa kali juga jarinya tertusuk jarum. Memanggil Tya pun percuma karena Tya sendiri katanya selalu cari-cari cara menghindari setiap kali Eyang mau mengajarinya. Dasar teman tidak berguna. Masa bodo! Yuri mencampakan cincin hoopnya dan mengganti tayangannya dengan drama Korea yang masih ada sisa 5 episode untuk ditonton. Baru saja Yuri mendapatkan posisi nyaman dan mulai masuk dalam suasana drama yang kelam, pintu kamar Yuri diketuk. Yuri berdecak kesal harus menjeda tontonannya. Ia membuka pintu dan menemukan Ayah di sana, memberikan Yuri beberapa hansaplas. "Ini, kamu bilang jarimu sakit tertusuk jarum sulam." Kekesalan Yuri seolah tersiram air hujan, meluruh oleh perhatian Ayah. Alih-alih menyuruh Yuri berhenti menyulam saja, persetan dengan restu Eyang daripada tangan Yuri harus terluka, Ayah malah pergi malam-malam begini membelikannya plester luka. "Ayah segitu pengennya ya aku nikah sama Mas Mul?" Ayah mengusap kepala Yuri sayang. "Ayah ingin kamu lolos dari tantangan Eyang, bukan cuma supaya kamu dapat restunya. Anggap ini sebagai pembuktian diri, kalau kamu bisa melakukan apa pun yang nggak pernah kamu bayangkan. Makin dewasa nanti, Eureka, kamu akan makin banyak menghadapi tantangan-tantangan lain." Yuri mengambil plester itu dari tangan Ayah sebelum masuk ke kamar. Ia benci karena apa pun yang dikatakan Ayahnya selalu terdengar benar. Kembali bersila di atas kasur, Yuri bimbang antara lanjut nonton drakor atau lanjut belajar menyulam. Sambil memikirkan, Yuri membuka ponselnya, melihat beberapa pesan masuk dari grup chat dan teman-temannya. Tapi tidak ada satu pun ada chat dari calon suaminya. Orang macam apa Mulya itu, mengaku sayang tapi kok tidak ada perhatian-perhatiannya. Dengan dongkol akhirnya Yuri putuskan lanjut belajar menyulam. Seperti kata Ayah, Yuri harus buktikan pada nenek cerewet itu kalau Yuri bisa melakukan apa saja. Biar dia tidak merasa cucunya lah satu-satunya yang terbaik di dunia. Suatu hari nanti Eyang akan menyadari Mulya lah yang beruntung menikah dengan Yuri. Lihat saja nanti. *** Hari berikutnya Yuri sudah akrab dengan jarum, ia sudah paham kemana jarum harus digerakkan agar tidak melukai jarinya. Yuri berlatih di kain lain, sebelum benar-benar menyulam di sapu tangan yang diberikan Eyang. Yuri harus menjeda sulamannya, ketika mendapat pesan tukang ojol yang mengantar makanannya. Berhubung hanya di rumah sendiri, Yuri jadi malas masak, pagi-pagi tadi Ayah sudah berangkat memancing ke pesisir. Sejak pensiun Ayah memiliki hobi memancing di laut. Saat Yuri menyarankannya memancing di kolam pemancingan saja agar tidak perlu jauh-jauh, Ayah berkata bahwa itu sama saja dengan membeli ikan di pasar tapi bedanya Ayah tidak bisa memilih ukuran ikannya. Padahal Yuri maunya Ayah lebih banyak istirahat dan bersantai di rumah. Saat mengambil makanannya di bawah, Yuri mengaduh dalam hati melihat Mulya dan Eyang sedang jalan-jalan sore. Yuri sedang malas pura-pura manis di depan Eyang. Untung Yuri memakai setelan piyama dengan celana panjang, biasanya ia lebih nyaman memakai celana super pendek dan kaos longgar yang sudah pudar warnanya karena terlalu sering cuci pakai. "Eyang lagi jalan-jalan?" Sapanya berusaha seramah mungkin. "Nggak usah dipaksa kalau nggak niat senyum." Sabar, Yuri, sabar. "Beli apa kamu?" Yuri mengangkat sedikit kantong plastik yang baru diberikan Abang ojol. "Makanan, Eyang. Ayah nggak di rumah, jadi nanggung kalau masak." jelasnya takut dikomentari malas masak. "Lihat itu, Ya. Dia aja nggak bisa jaga makanannya sendiri, gimana bisa jaga makanan kamu sama anak-anakmu nanti?" "Eh?" Yuri plonga plongo tak mengerti. "Kalau sesekali kan nggak apa-apa, Eyang. Mungkin Yuri lagi pengen makan McD." Ah, Yuri sadar logo Mc Donny terlihat jelas dari dalam plastik bening ini. "Biasanya aku masak, kok, Eyang. Ini cuma kebetulan aja." Eyang memandang Yuri sangsi, ya begitu kalau seseorang sudah benci, apa pun yang dilakukan pasti tampak salah. "Gimana sulaman kamu?" Sebelum menjawab Yuri sempat melirik Mulya, karena Mulya tidak terlihat bertanya-tanya, jadi Yuri asumsikan Mulya sudah tahu kalau neneknya menyiksa Yuri. Dasar laki-laki tidak punya hati nurani. "Nggak ada masalah, Eyang." Jawabnya menahan diri mengeluhkan bagian dimana jarinya harus jadi korban. "Ya sudah kalau begitu, besok kamu harus menunjukkannya ke saya." Ujar Eyang lagi sebelum mulai berjalan lagi, dan Mulya mengikuti di samping tanpa melirik Yuri sedikit pun membuat Yuri geregetan. "Kak, saya belum bisa pergi ya ini?" Yuri menoleh, baru ingat Abang ojol masih disana. "Ya pergi aja, Bang. Kenapa belum bisa pergi?" "Kakaknya kan belum bayar." Astaga, Yuri tepok jidatnya sendiri. "Maaf, Bang lupa." Yuri segera memberikan uang yang sudah ia siapkan. "Habisnya kalau ketemu mereka bawaannya kesel terus, adaaa aja saya salahnya." Abang gojek itu menertawakan keluhan Yuri. "Tapi beneran Mas-mas yang tadi calon suaminya Kakak?" "Sialnya iya." "Berati Kakak ini sabar lho. Saya saja meskipun sudah jadi istri, kalau saya cuek sedikit aja dia langsung ngambek. Segala bilang saya udah nggak cinta lagi, sampai ngancem-ngancem minta dipulangin ke rumah Bapaknya." "Nggak tahu, deh, Bang. Saya juga heran ada gitu orang bilang sayang tapi ngelirik aja enggak. Begonya lagi, saya mau-mau aja terima ajakan dia nikah." Si Abang tertawa lagi, senang sekali sepertinya mendengar keluh kesah Yuri. "Ya sudah ya, Kak, saya pergi dulu. Semoga lancar pernikahannya." Yuri mengangguk, tidak tahu harus mengaminkan atau tidak. *** Yuri baru selesai makan Mc Donny-nya ketika seorang kurir berteriak dari luar rumah. Yuri tidak merasa sedang menunggu kiriman apa-apa, rupanya paket itu atas nama Ayah. Yuri terkejut sata kurir itu menurunkan sebuah kotak, tidak besar, namun terlihat cukup berat. “Apaan isinya, Mas?” “Buku kayaknya, Mbak.” Ayah benar-benar. Rasa-rasanya baru minggu lalu Ayah pulang bawa dua buku baru, sekarang buku-buku apa lagi ini yang dia beli. Dengan susah payah Yuri membawa paket itu ke sebuah ruangan yang dulunya semacam ruang serbaguna. Sebenarnya itu ruang kerja Ayah, tapi Yuri kecil minta meja belajarnya juga dipindahkan ke sana. Lama-lama mainan Yuri menumpuk di sana dan Ayah tidak pernah lagi mengerjakan sesuatu di sana. Sementara sekarang seluruh aktivitas Yuri dipusatkan di kamar, kadang makan pun Yuri membawanya ke kamar. Ruangan ini jadi milik Ayah lagi. Ayah memesan sebuah rak buku yang menutupi seluruh salah satu sisi dinding. Hanya melihat buku-buku itu saja kepala Yuri pusing. Yuri penasaran apakah Ayah bisa ingat setiap buku yang pernah dibacanya. Yuri meletakkannya di atas meja sofa yang terbuat dari kayu. Karena penasaran buku apa yang Ayah beli, Yuri membuka paket itu. Yuri beranjak ke meja kerja Ayah, mencari gunting atau apapun yang bisa dipakai untuk membuka plastik pembungkus paket itu. Namun perhatiannya terlihkan oleh tiga buah bingkai foto di atas meja. Yang satu foto Yuri dewasa tersenyum ke arah kamera, Yuri menggagumi betapa cantik wajahnya di foto itu. Foto ke dua adalah foto Yuri lulus dari sekolah dasar memakai baju toga lucu, dan foto terakhir adalah foto Ayah bersama Bunda yang saat itu perutnya membuncit mengandung Yuri. Yuri mengambil foto ke tiga itu, mengusap wajah Bunda yang belum pernah ia lihat seumur hidup. Bunda sangat cantik, pantas saja Ayah sangat mencintainya. Yuri meletakkan foto itu kembali dengan hati-hati. Yuri tidak pernah mendeskripsikan perasaanya jika ditanya tentang sosok Ibu lantaran tidak punya kenangan sama sekali, Yuri hanya mengenal Bunda lewat cerita-cerita Ayah saat Yuri kecil sebagai pengganti dongeng sebelum tidur. Yuri menemukan sebuah cutter, alat yang memang dicarinya. Di dalam paket itu ada empat buku, sejenak Yuri terpaku membaca judul-judul buku itu. Dua buku tentang cara mandiri menjaga kesehatan di usia senja, dan dua lainnya buku religi tentang kehidupan setelah kematian. Perasaan Yuri mendadak sentimentil. Ia baru benar-bener menyadari kalau Ayah sudah semakin tua. *** Yang dikatakan Eyang saat menyuruh Yuri menyulam sapu tangan adalah, “...istri itu ibaratnya rumah. Ada makanan saat dia lapar, ada ranjang tempat dia istirahat sepulang kerja, ada pakaian yang menunjang kewibawaannya. Tapi saat suami pulang, hal pertama yang harus dilakukan istri setelah mencium tangannya itu mengusap keringatnya. Kadang suami tidak sadar badannya dibasahi keringat karena terlalu keras bekerja.” Dan sekarang Eyang tengah membolak balik, sulaman bunga sederhana sebesar kurang lebih 5 cm dan dua daun yang bentuknya lebih mendekati kategori lonjong. Meraba permukannya sangat pelan, entah untuk apa. “Bagus sekali, Yuri.” Mama Mulya memuji, sepertinya sengaja agar Yuri tidak terlalu tegang menunggu reaksi Eyang. Yuri hanya bisa tersenyum kaku. “Ini masih kasar dan tidak rapi.” Eyang melepaskan kaca matanya, membiarkannya tergantung di rantai emas yang menggalumg di leher. “Kamu lihat ini, garis sketsa yang kamu buat masih terlihat.” Yuri menghembuskan nafas, lega sekaligus lelah. “Tapi sudah lumyan sekali untuk pemula, kan, Bu?” Mama berusaha membesarkan hati Yuri. “Biasa saja.” Memang dasarnya Eyang Weni tidak ingin memudahkan urusan Yuri, apa susahnya sih memuji usaha orang lain? Kalau sampai setelah ini Eyang Weni masih memberinya kesulitan, Yuri bersumpah akan menyerah. Mulya yang ngebet mau menikahinya, kok Yuri yang harus kerja keras usaha? Bentuk tidak tanggungjawab lain seorang Mulyawan Muda kebanggan keluarga besar Yuliardi Mulyawan adalah dengan absennya dia di saat sidang pemberian restu Eyang. Mulya beralasan masih ada pekerjaan di kantor, tapi Yuri tahu itu hanya alasan saja. Kalaupun memang ada pekerjaan, kalau memang Mulya memikirkan Yuri, Mulya akan melakukan sesuatu agar bisa pulang lebih awal malam ini. Kenyataan Mulya lebih memilih pekerjaannya dibanding Yuri harusnya membuka mata semua orang kalau pernyataan sayang Mulya kepada Yuri perlu dipertanyakan lagi. “Tapi ya sudah lah, cucu saya sudah terlanjur memilih kamu. Mau saya cegah bagaimana pun, kalau sudah jadi kemauannya saya bisa apa.” Eyang melirik Yuri sekilas. “Meskipun jujur saja, baru pertama kali ini saya meragukan keputusan yang dia buat.” Lega? Sama sekali tidak. Yang terlihat paling lega justru Mamanya Mulya. “Karena Eyang udah memberi restu, berarti kita bisa langsung bahas kelanjutannya. Ayah kamu di rumah, kan, Yur?” “Ayah baru pulang dari pesisir, Tante. Katanya Ayah terjebak cuaca buruk jadi kapalnya baru bisa nyandar tadi siang.” “Oh, ya sudah biar ayahmu istirahat dulu. Besok saja kita bahas.” Yuri pun pamit pulang, karena Mulya sialan, rumah ini tiba-tiba menjadi tempat asing yang canggung. Juga membuat Yuri merasa perlakuan baik kedua orangtua Mulya hanya untuk membuatnya nyaman, tidak benar-benar natural sayang seperti sebelumnya. *** Di rumah, Yuri mendapati Ayah sedang menyeduh teh untuk dirinya sendiri. Alasan mengapa Yuri terpaksa mendukung hobby memancing Ayah, karena Ayah terlihat sangat bahagia meski pulang-pulang badannya gosong kebakar matahari. Katanya, akhirnya Ayah bisa mewujudkan cita-cita kecil menjadi seorang pelaut. Mbak Rini juga bilang agar Yuri tidak melarang-larang Ayah, katanya puluhan tahun Ayah hanya menghabiskan waktunya untuk kerja dan mengurud Yuri sebagai seorang single parent. Jadi ini waktunya Ayah melakukan hal-hal yang dulu tidak bisa Ayah lakukan. Jika Yuri menikah, siapa yang akan mengurus Ayah? Delapan tahun setelah Ayah dan Bunda menikah, Yuri baru hadir di kehidupan mereka. Sayangnya Bunda harus pergi tanpa sempat menimang Yuri, lantaran Bunda meninggal sesaat setelah Yuri lahir. Maka tak heran jika Ayah memberi Yuri nama Eureka. Hingga saat ini Ayah selalu menolak setiap kali Yuri menyuruhnya mencari pengganti Bunda, Yuri takut Ayah akan menghabiskan masa tuanya dalam kesepian, di saat Yuri memiliki keluarga sendiri nanti. Ayah memikul peran ganda dengan luar biasa sempurna. Sekali pun Yuri tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Namun ada saat-saat dimana Yuri merasa kelahirannya sebagai penyebab kematian Bunda. Jika Yuri tidak pernah lahir, Ayah tidak akan jadi laki-laki kesepian. “Ayah sudah makan?” Yuri keluar dari balik dinding. Senyum Ayah mengembang begitu melihatnya. “Sudah. Gimana di rumah Mulya? Eyang bilang apa?” “Ya gitu, deh.” Yuri malas membahasnya. “Besok Tante sama Om mau ketemu Ayah katanya, mau ngomongin masalah itu.” Ayah mengangguk mengerti, tentu saja dengan wajah berseri-seri. “Ayah sepertinya benar-benar senang aku akan menikah? Kenapa? Supaya Ayah bisa bebas mancing ke mana-mana?” “Kamu tahu saja. Ayah memang punya keinginan bisa coba mancing di tempat-tempat bagus seluruh Indonesia.” “Ayah!” Yuri menghentakkan kaki kiri kesal. Kekehan tawa keluar dari bibir Ayah. “Jangan khawatirkan Ayah, Eureka. Bukan tugas kamu menjaga Ayah, kerjar kebahagiaanmu sendiri.” “Gimana bisa aku nggak bertugas menjaga Ayah, sementara Ayah merasa harus menjaga aku?” “Karena kamu anak Ayah.” “Kalau Ayah melarangku mengkhawatirkan Ayah, terus gimana caraku nunjukin bakti sebagai anak?” Sesaat Ayah terdiam, menyadari putri kecilnya sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Anak tunggal yang selalu merasa hanya dirinya yang bisa Ayah andalkan. “Hiduplah bahagia.” Jawab Ayah akhirnya. “Kalau kamu bisa hidup bahagia, Ayah nggak menginginkan apa-apa lagi.” Yuri mendecakkan lidah. “Angin laut lama-lama membuat Ayah aneh.” Yuri hendak balik badan menuju kamar, ketika suara Tya terdengar dari luar pagar memanggil-manggil namanya. Saat malam hari, pagar memang selalu dikunci. Tya memberinya satu gelas minuman favorit sejuta umat, boba. “Ada angin apa lo beliin gue? Lo nggak suruh gue ganti, kan?” Yuri menerimanya dengan sanksi. “Bukan gue yang beli. Si Mas Iya, tuh.” “Dia pulang ke sini?” “Enggak, cuma mampir anter ini aja. Katanya tiba-tiba keingat gue pas lewat di depan Xing Fu Xing. Eyang sama Mama Papa juga dibeliin. Aneh banget orang itu.” “Eyang juga? Bukannya dia diet?” “Diet apaan?” Tya sempat menyedot minumannya lagi sebelum melanjutkan. “Eyang itu pemakan segala. Katanya, orang tua kok dilarang makan makanan enak padahal anak-anaknya dulu selalu diberi makanan enak.” Benar-benar. Tidak akan ada habisnya kejengkelan Yuri pada Eyang Weni. “Terus sekarang Mas Mulnya mana?” Yuri celingukan tiak melihat mobil Mulya. “Udah pergi lah, dia bener-bener cuma antar ini doang.” Kekesalan Yuri naik di ubun-ubun. Kalau masih sempat berpikir membelikan Yuri boba, apa susahnya mampir sebentar memberinya langsung. Banyak hal yang harus mereka bicarakan, jika Mulya memang tidak bercanda dengan lamarannya. Seketika Yuri berlari masuk ke dalam rumah, mengabaikan teriakan Tya yang memanggilnya keheranan. Yuri hanya masuk ke rumah untuk mengambil kunci mobil dan pamit ke Ayah hendak menemui Mulya. Ia tidak membawa apa-apa selain diri dan boba yang masih tersegel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD