"Aku nggak mau nikah sama Om-om."
"Ya kamu kira aku kegirangan nikahin anak ingusan?"
"Aku nggak lagi pilek."
Mulya mendengus, meski umur bertambah, perkembangan otak Yuri mentok segitu-segitu saja. Yuri juga membuang muka, umur Mulya makin tua, tapi tidak dewasa-dewasa.
"Yuri, mana ada Om-om sekeren Mulya."
"Tante bilang begitu karena Mas Mul anak Tante." Yuri protes. Keren versinya itu laki-laki bertubuh tinggi, tidak perlu berotot, yang penting punya d**a bidang dan terlihat bugar. Rambutnya sedikit gondrong dan memakai kaos-kaos distro kekinian. Ada nilai tambahan kalau dia suka up to date dengan sepatu-sepatu ori.
Sementara lelaki yang duduk di depannya ini tidak memenuhi satu pun kriteria. Mulya memang tinggi, tapi badannya terlalu atletis. Kulitnya bersih karena hampir semua aktivitasnya dilakukan di dalam ruangan, baik itu bekerja dan olahraga, tipe-tipe manusia kurang eksplorasi dan membosankan tentunya. Yuri berani bertaruh Mulya setiap hari mengalokasikan waktu lebih untuk menata rambutnya biar tetap klimis sepanjang hari.
"Yuri!" Ayah mengingatkan dengan siapa Yuri bicara tadi.
Tapi bukannya menunjukkan rasa penyesalan, Yuri malah merengek ke Ayahnya. "Kenapa Ayah nggak nahan aku? Aku, kan, anak Ayah satu-satunya. Ayah nggak sedih kehilangan aku? Nanti siapa yang larang-larang Ayah makan mie instan lagi kalau aku dibawa pergi sama Mas Mul."
Ayah Yuri melirik pasangan calon besannya itu sungkan, dengan tenang ia memberi anaknya pemahaman. "Kenapa Ayah harus sedih, dengan kamu menikah dengan Mulya, anak Ayah jadi bertambah satu lagi."
Tak berhasil membujuk ayahnya, Yuri meralih ke wanita sangat cantik di usianya yang sudah melebihi separuh abad, yang mana jika Yuri tidak melakukan sesuatu, dalam hitungan bulan wanita itu akan jadi Ibu mertuanya. "Tante yakin mau melepas anak Tante yang ganteng, sukses, dan sopan ini buat aku?"
"Kenapa Mama harus ragu-ragu, Sayang." Yuri memejamkan mata, seumur hidup ia belum pernah memanggil seseorang dengan sebutan itu.
"Aku kan masih suka nonton drakor, malas bangun pagi. Belum lagi skripsiku nggak selesai-selesai."
Mama Mulya tersenyum manis, orang-orang bilang senyumnya itu menurun ke Mulya. Sayangnya Mulya jarang tersenyum, jadi kayak percuma saja Tuhan menganugerahi senyuman enak dilihat. "Tapi kamu cantik, ramah, pintar masak, jago nawar di pasar. Dan yang paling penting, Mama dan Papa menyukai kamu."
"Tapi Mas Mul nggak suka sama aku." Yuri menyahut cepat. Buru-buru ia menoleh ke arah Mulya, matanya mengedip-ngedip berharap Mulya bisa menbaca pesannya. "Iya, kan, Mas Mul?"
Mulya memutar bola mata malas, tak ingin terlihat sama konyolnya dengan Yuri.
"Mana mungkin, orang yang minta dinikahkan sama kamu Mulyanya sendiri."
Yuri menatap satu per satu orang yang berkumpul di ruang tamu rumahya yang mungil itu. Satu-satunya harapan terakhirnya hanya Tya, adik semata wayang Mulya, sekaligus sahabatnya sejak masih sama-sama belajar merangkak. "Ya, gue yakin lo ogah, kan, gue jadi Kakak ipar lo?"
"Sebenernya sih, iya." Senyum Eva mengembang, baru saja melihat secerca sinar harapan. "Tapi mau gimana lagi, daripada Mas Iya jadi perjaka tua terus gue ikutan nggak bisa sama Richo karena Mama nggak ngasih izin gue nikah sebelum Mas Iya nikah. Keduluan guenya monopouse."
"Tapi kenapa mesti gue?"
"Memangnya cucu saya kenapa sampai kamu segitunya nggak mau sama dia?"
Semua mata teralihkan dari Eva ke arah Nenek Mulya yang duduk di samping sang cucu kebanggaan. Semuanya membeku, sampai jam dinding seolah ikut berhenti berputar. Kalau Eyang Weni sudah angkat suara, berarti keadaan tidak baik-baik saja.
"Maksud aku, Eyang-"
"Kalau kamu nggak mau nggak apa-apa." Eyang memotong usaha Yuri memberi penjelasan dengan keji. "Kok bisa-bisanya kamu membuat cucu saya kelihatan seperti laki-laki tua bangka penyakitan yang nggak punya dana pensiun. Kalau kamu nggak mau ya sudah, masih banyak kok yang mau sama cucu saya."
Nah, itu. Kalau banyak yang mau, kenapa yang dipilih justru Eva? Berhubung Eva terlalu takut mempertanyakan itu, jadi ia menelannya lagi untuk diri sendiri.
"Eyang, bukan itu maksud Yuri." Sekalinya Mulya bicara, dia muncul bak sosok penengah yang bijaksana. "Selama ini dia menganggap aku Kakak, pastinya dia kaget tiba-tiba aku lamar."
Eyang mendengus, melirik Yuri sekilas, sebelum membuang muka dengan sinis. Membuat Yuri belingsatan diliputi rasa bersalah tapi tidak merasa bersalah.
***
Setelah gagal mengembalikan mood Eyang Weni, keluarga Mulya akhirnya pulang. Mereka hanya perlu menyebrang jalan komplek selebar 4 meter untuk sampai di rumah. Iya, mereka tetangga. Rumah mereka berhadap-hadapan persis.
Semua ini gara-gara ide konyol yang tercetus keluar dari bibir Mulya dan dukung penuh oleh mama papanya, dan terakhir disambut sangat baik oleh ayahnya Yuri. Heran, padahal seorang ayah biasanya tidak ingin anak perempuannya cepat-cepat diambil orang, apalagi umur Yuri baru 22 tahun, ini ayahnya malah sangat mendukung.
Padahal kedua belah pihak keluarga sama-sama orang Jawa dan percaya adanya larangan pernikahan jika rumah kedua mempelai saling berhadapan. Dengan entengnya Mama Mulya mengatakan akan merenovasi rumahnya agar pintu rumah mereka tidak lagi berhadapan. Mama Mulya juga beralasan pernikahan itu tetap bisa dilaksanakan karena sudah lima tahun terakhir Mulya tidak tinggal di rumah itu lagi.
Menikah dengan Mulya tidak pernah terlintas di pikirannya, sekali pun tidak pernah. Jadi ini seperti mimpi di siang bolong, disambar petir padahal nggak mendung, atau apa lah ibaratnya itu yang menggambarkan kekagetan luar biasa.
Saat Yuri tengah membeseskan cangkir-cangkir teh di meja, Ayah menyuruhnya duduk lagi. Dengan pasrah Yuri duduk sambil memangku nampan, mirip Inem siap-siap menerima teguran.
"Iya, aku akan minta maaf lagi sama Eyang Weni." Ujar Yuri sebelum Ayah berkata apa-apa.
Nafas berat berhembus keluar dari kedua lubang hidung Ayah. "Kenapa kamu nggak mau menikah sama Mulya?"
"Bukan cuma sama Mas Mulya, mau itu sama Kim Tae Hyung, Park Seo Joon, atau Rafathar sekali pun aku tetap belum mau menikah dulu." Ya meskipun mustahil laki-laki yang ia sebutkan itu akan melamarnya, Yuri harap Ayah bisa mengerti maksudnya. "Aku mau wisuda dulu, Ayah. Terus cari kerja, ceper-caper sama orang di kantor yang ganteng, nongkrong-nongkrong cantik sama teman-teman, mau puas-puasin masa muda dulu lah."
"Jadi kamu takut Mulya akan mengekang kamu setelah menikah?"
Dengan berat hati Yuri mengangguk. "Ayah tahu sendiri, umur kami beda 10 tahun. Pasti beda cara berpikirnya."
"Jadi karena masalah umur?"
"Kurang lebih." Yuri iyakan saja, toh itu memang perbedaan paling mencolok diantara mereka, selain perbedaan kepribadian, kebiasaan, dan cara pandang tentang kehidupan.
Sebenarnya, untuk yang terakhir itu Yuri tidak terlalu yakin. Ia belum pernah benar-benar meluangkan waktu khusus untuk serius memikirkan arti hidup.
Kepala Ayah manggut-manggut, itu pertanda baik, kan? "Kalau menurut Ayah, itu justru hal bagus."
"Maksudnya, Yah?" Semula Yuri kira Ayah sudah mengerti, sekarang malah Ayah yang membuatnya tidak mengerti.
"Bukankah bagus Mulya lebih tua dari kamu? Dia bisa mengayomi, membimbing, dan membagikan banyak pengalamannya pada kamu karena dia udah pernah melewati masa-masa yang sedang dan baru akan kamu lewati."
"Aku lebih senang belajar sama-sama sama yang seumuran." Yuri mencibikkan bibir ke bawah.
Ayah tersenyum lembut. "Yuri, coba kamu ingat-ingat apa selama ini Ayah pernah minta sesuatu ke kamu?"
"Pernah." Jawab Yuri spontan. Ia paling tidak suka Ayahnya sudah bicara dengan nada sok kelam begini. "Ayah minta aku kuliah padahal aku maunya kursus jahit saja, Ayah paksa aku belajar naik motor padahal ada Mbak Rini yang bisa bonceng aku kemana-mana, dan..." Yuri berusaha menggali ingatannya lagi.
"Dan Ayah selalu minta aku untuk menuruti permintaan Ayah. Seperti saat ini."
Ayah terkekeh, membuat kerutan di sekitar matanya makin banyak. "Ayah ternyata banyak permintaan, ya?"
Sejujurnya itu bukan permintaan besar, dan impact-nya pun dirasakan oleh Yuri sendiri. Dengan kuliah, Yuri jadi punya banyak teman dari macam-macam kalangan. Terus Ayah juga masih mengizinkannya kursus jahit, sayangnya Yuri menyerah di pertemuan ke empat karena bingung memotong pola. Lalu, dengan Yuri bisa naik motor, ia jadi tidak sedikit-sedikit menggandalkan Mbak Rini lagi. Dan, Yuri tahu apapun yang diminta Ayah, semua itu pasti untuk kebaikannya.
"Kalau begitu, boleh Ayah minta satu hal lagi?" Oh, tidak! Perasaan Yuri tidak enak kali ini. "Anggap saja, ini jadi permintaan terakhir Ayah."
"Ayah..." Yuri merengek merasa sudah tidak ada hal yang bisa dilakukannya lagi. Yuri tidak akan pernah bisa menolak permintaan Ayah.
Ayah memindahkan nampan dari pangkuan Yuri ke atas meja, agar Ayah bisa menangkup kedua tangan Yuri. Sejenak Ayah hanya memandangi tangan Yuri yang ada dalam tangkupan kedua tangannya. "Dulu tangan kamu cuma sebesar jempol tangan Ayah."
Kalau sudah begini, Yuri pasti berkaca-kaca. "Ayah memberi kamu nama Eureka karena saat pertama kali melihat kamu, Ayah seperti menemukan harta karun berharga, padahal Ayah dan Bunda sudah menyiapkan nama lain untuk kamu. Sampai sekarang pun kamu masih menjadi harta karun Ayah, makin dewasa Ayah menyadari nilai kamu lebih mahal dari apa pun di dunia ini.
"Kalau mau mengikuti kata hati, Ayah pastinya nggak akan mau melepaskan kamu. Tapi Ayah nggak boleh egois, suatu hari Ayah akan mati, dan Ayah nggak mau meninggalkan kamu sendiri. Karena itu Ayah ingin kamu dijaga seseorang yang bisa Ayah percaya."
"Maksud Ayah, Mas Mul orangnya?"
"Ketika Mulya bilang siap menikahi kamu, Ayah yakin dia bisa mengemban sisa tanggung jawab yang harus Ayah tinggalkan suatu hari nanti."
"Ayah kenapa ngomongnya jauh sekali, sih?" Yuri menggeleng-geleng kuat. Aku nggak mau ngerti ahhh."
"Ada laki-laki sebaik Mulya ingin menikahi kamu, keluarganya juga sudah menganggap kamu anak jauh sebelum ini. Kalau akhirnya Mulya menikahi perempuan lain, apa kamu bisa menemukan yang lebih baik dari dia?"
"Pasti ada, kok."
Ayah menghapus air mata Yuri dengan ibu jarinya yang kasar. "Ayah dan yang lain nggak akan memaksa kamu, Nak. Cuma, tolong pertimbangkan baik-baik. Ayah nggak yakin bisa memberikan restu ke laki-laki selain Mulya."
Sontak Yuri menjauhkan diri dari Ayah. Ya memang tidak memaksa, sih. Tapi kalau Ayah bilang begitu, artinya Ayah tidak akan memberikan restunya ke laki-laki manapun.
Apa Yuri sanggup jadi anak durhaga yang pilih kawin lari daripada tidak direstui?