Malam ini Yuri mulai menginap di hotel tempat akad dan resepsi akan digelar esok hari. Yuri belum bertemu Mulya lagi sejak mereka ngopi bersama minggu lalu. Mulya sepertinya tidak ada masalah dengan itu, dia sekalipun tidak berusaha menghubungi Yuri. Yuri juga tidak mau menghubunginya lebih dulu, meski geregetan setengah mati ingin setidaknya Mulya bertanya apakah Yuri gugup menjelang pernikahan mereka.
Tapi Mulya tetaplah Mulya, jangan pernah berharap dia akan menunjukkan perhatian dengan sukarela tanpa diminta. Yuri cukup berpegang pada ucapan Mulya bahwa dia menyayangi Yuri dan akan menjaga Yuri.
Tya masuk ke kamar Yuri, mereka sudah sepakat akan tidur bersama malam ini. Mereka bahkan sengaja memakai piyama sama, rencananya mereka akan nonton beberapa episode drakor seperti yang biasa mereka lakukan setiap tidur bersama.
“Lo bawa apa itu?” tanya Yuri menunjuk sebuah buku yang Tya bawa. “Bukan 101 menjadi istri sholeha, kan?”
“Ya nggak lah,” tampik Tya merangkak naik ke tempat tidur Yuri. “Kan dulu kita sering baca n****+ marriage life, gue yakin ilmu kita jadi istri yang baik udah cukup lah. Lo ingat ini nggak?”
“Wah, ini kan n****+ marriage life pertama yang kita baca,” Yuri berseru bersemangat mengambil buku yang Tya bawa itu. “Kok lo punya? Bukannya kita dulu pinjam di perpus sekolah, ya?”
Judul n****+ itu adalah Pernikahan Abu-abu. Pertama kali Yuri dan Tya membacanya saat mereka masih duduk di bangku SMP. Ceritanya mainstream di jaman sekarang, tentang sepasang anak SMA yang saling bermusuhan, namun harus terima dijodohkan dan terpaksa nikah diam-diam demi satu alasan. Setelah menyelesaikan membaca n****+ ini, Yuri dan Tya punya kebiasaan baru, mampir ke toko buku sepulang sekolah. Dengan tabungan mereka sendiri, setidaknya dua sampai tiga n****+ bisa mereka beli setiap bulannya lantaran orangtua mereka sebenarnya melarang mereka membaca buku cinta-cintaan.
“Gila, kok lo bisa dapet sih, Ya? Abigail Puri, kan, udah lama banget nggak nulis buku baru.”
“Demi buku ini gue keliling cari ke semua toko buku dan ternyata udah kosong dan nggak dicetak ulang lagi. Ini buku bekas, gue dapat beli online,” jelas Tya. Sangat sulit memang menemukan buku-buku karya Abigail Puri yang setiap rilis selalu laris, sedangkan buku Pernikahan Abu-abu ini terbitan lama..
“Lo ingat nggak Yul, karena buku ini kita dulu selalu ngayal punya jalan cerita cinta yang mirip n****+-n****+ yang kita baca?"
Yuri berbaring di sebelah Tya, sembari membolak-balik lembar buku uang sudah menguning. “Ingat, lah. Dulu kita ngarep ada kebetulan-kebetulan lucu, sebel-sebelan dulu sebelum bucin. Hubungannya dikasih cobaan, terus kita baikan. Seru banget kayaknya hidup kita kalau itu beneran terjadi.”
Dan mereka kembali mengenang jaman dimana yang ada di depala mereka hanya potongan adegan di n****+ yang menurut mereka menarik di bahas. Mereka tidak jadi nonton drama korea, Tya memaksa Yuri untuk tidur saja agar kantong matanya tidak menganggu riasannya besok.
“Tapi ngomong-ngomong kenapa lo cari n****+ ini lagi?” tanya Yuri saat seluruh ruangan sudah gelap dan selimut sudah mereka tarik ke leher.
“Nggak apa-apa, cuma sejak tahu lo akhirnya bakal nikah dengan cara nggak disangka-sangka. Gue jadi keinget n****+ ini. Selain karena proses nikahnya yang tiba-tiba, lo ngerasa nggak sih, karakter di n****+ ini mirip banget sama Mas Iya?”
“Masa, sih?” Kapasitas otak Yuri tidak sebanyak itu untuk mampu mengingat semua hal, sebagian mata kuliah yang ia pelajari saja ia sudah lupa begitu keluar kelas.
“Iya, coba deh lo baca ulang. Dari pendiamnya, dari cara dia bercanda yang jadinya malah bikin kesel, terus dari kebiasaan-kebiasaan yang serba teratur dan rapi. Semua Mas Iya banget.”
“Masa? Gue baca sekarang aja apa—“
“Nggak!” Tya melintangkan tangan di atas d**a Yuri. “Lo harus tidur sekarang. Jangan malu-maluin gue sebagai sahabat dan adik ipar lo karena lo jelek besok.”
“Ih, nggak nyaruh ya. Orang kalau udah cantik ya cantik aja.”
Tya membuang guling di tengah mereka, dan memutar kaki kiri menjadikan tubuh Yuri sebagai pengganti guling. “Tidur, Yul. Ingat semua n****+ yang kita baca, bisa jadi, besok adalah awal dimualinya drama hidupmu yang sebenarnya. Jadi bukan Cuma cantik, besok lo juga harus siap fisik dan mental."
Yuri tersentuh mendengar pesan Tya. Ia balas menepuk-nepuk lengan Tya yang memeluknya. “Gue udah siap, kok. Gue udah sepenuhnya percaya sama Mas Mul.”
***
Bisa dibilang Eyang adalah satu-satunya orang yang sinis dengan penampilan Yuri. Kebaya modern yang Eyang bilang jelek itu menjadi pelengkap kecantikan paripurna seorang Eureka yang dalam hitungan jam akan menjadi Nyonya Mulyawan Muda. Wajahnya dirias tipis-tipis tapi tetap memberi efek ‘manglingi’. Saat Yuri mengaca, bukannya mau narsis atau besar kepala, tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memuji betapa cantik dirinya.
Tya dari tadi keluar masuk kamarnya dan selalu bertanya bagaimana perasaan Yuri, hmm entahlah, Yuri masih merasa ini tidak seperti nyata. Rasanya seperti sedang main nikah-nikahan sewaktu kecil, tetapi segala kesibukan di sekitarnya menyadarkan Yuri bahwa ini bukan main-main. Sebentar lagi ia akan menyandang status baru sebagai seorang istri. Mungkin Yuri baru bisa menjabarkan perasannya setelah semuanya terlewati nanti.
Mendekati waktu akad nikah, barulah Yuri merasakan sensasi telapak tangannya basah. Ia dijemput oleh Tya dari kamar menuju tempat akad berlangsung.
Yuri didudukkan di sebuah kursi, di sampingnya sudah ada Mulya yang mengenakan jas. Beda dengan Yuri, Mulya tidak terlalu membuat pangling karena hampir setiap hari dia memakai setelan jas. Bedanya kali ini jasnya dijahit khusus untuknya. Salahkan Mulya yang menolak disuruh memakai baju adat Jawa yang menurut dia ribet.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Mulyawan Muda bin Yuliardi Mulyawan dengan putri kandung saya Eureka Dewindanya Rulli binti Rulli dengan mas kawin logam mulia seberat 23 gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Eureka Dewindanya Rulli binti Rulli dengan mas kawin logam mulya seberat 23 gram dibayar tunai.”
Setelah saksi menyepakati ijab yang diucapkan Mulya dalam sekali tarikan nafas itu dinyatakan sah, semua tamu yang hadir bersamaan mengucap hamdalah dan ekspresi kelegaan.
Yuri menangis sampai sesenggukan di samping Mulya, semua orang berpikir itu luapan kebahagiaannya. Padahal sebenarnya Yuri menangisi masa depannya yang kini tidak hanya ada di tangannya sendiri. Tapi nasi sudah jadi bubur, kalau tidak dimakan sekarang, besok akan basi. Yuri harus menerima kenyataan ini, sembari mengulang sugesti yang dibisikkan Mbak Rini semalam bahwa setidaknya ini bukan pernikahan kucing dalam karung. Yuri sudah mengenal Mulya hampir seluruh hidupnya, baik buruknya Mulya sedikit banyak sudah Yuri ketahui. Masalah konon katanya setiap orang akan berubah setelah menikah, mereka pasti bisa saling menyesuaikan diri nantinya.
“Yul, udah dong nangisnya.” Mulya berbisik di dekat telinga Yuri. “Nanti berkas-berkasnya basah.”
Sontak saja kepala Yuri yang semula menunduk menyembunyikan wajah, terangkat hanya untuk melotot pada Mulya. Lelaki itu lebih mementingkan berkas-berkas pernikahan mereka, daripada campur aduknya perasaan Yuri. “Siapa yang peduli? Ini cuma kertas.”
“Justru karena cuma kertas makanya gampang rusak.”
“Tinggal print lagi pasa susahnya?!”
“Sstt...” Jika Papa Mulya tidak menghentikan, dua orang yang kini resmi jadi satu itu pasti akan menghabiskan beberapa menit hanya untuk debat konyol.
Hilang sudah suasana haru biru akibat ulah Mulya. Saat Yuri menoleh ke arah ayahnya, mata Yuri kembali memanas. Yuri bersumpah, belum pernah sekalipun ia melihat mata Ayahnya berbinar seterang itu. Bibir Ayah melengkung tersenyum, hanya senyum tipis namun siapapun bisa merasakan betapa bahagianya lelaki tua itu. Pecah lagi lah tangisan Yuri.
Ketika petugas dari KUA meminta mereka menandatangai berkas-berkas pernikahan, Yuri tidak bisa memegang pulpen dengan benar lantaran langannya gemetaran belum bisa mengendalikan tangisnya.
“Tanda tanganmu kayak anak SD.”
Bola mata Yuri berputar lagi melirik Mulya dengan celetukannya. “Lihat apa? Itu masih ada satu lagi belum kamu tanda tangani.”
Pak penghulu di seberang meja Yuri terkekeh, kekehan tawanya menarik perhatian semua orang yang melingkari meja akad yang dihias dengan rangkaian bunga serba putih itu. “Selama saya jadi penghuku, sudah ratusan orang yang saya nikahkan. Tapi baru kali ini saya melihat cara suami menghibur istinya bukannya dielus kepalanya, tapi malah dibikin kesal.”
Tiba-tiba meja semua orang di sekitar meja itu ikut tertawa bersama sang penhulu, termasuk Mulya, terkecuali Yuri tentunya. Usaha menghibur apaan, mereka tidak tahu saja kalau memang itulah isi kepala Mulya.
“Mereka manis sekali ya, Bu.” Mama Mulya sedikit menyenggol lengan Eyang Weni, sebagai upaya tanpa henti membuatnya menyukai Yuri yang kini resmi jadi cucu menantu Eyang.
Eyang mendengus, meski begitu ada rasa haru dirasakan. Cucu pertamanya sekaligus cucu kebanggannya akhirnya menikah juga, meskipun akan lebih sempurna jika perempuan yang bersanding dengan Mulya adalah perempuan anggun dan cerdas.
***
Acara akad dilanjutkan dengan acara resepsi di hotel yang sama. Yuri mengganti kebaya putihnya dengan wedding dress yang membuatnya mirip putri raja. Mulya mengimbangi penampilan Yuri dengan setelan jas yang begitu pas di tubuhnya karena memang dijahit khusus mengikuti bentuk tubuhnya yang kata designernya memang sudah sempurna. Berbeda dengan Yuri yang harus menjalani diet ketat agar gaun ini tidak sia-sia dibayar puluhan juta.
“Duh, perasaan antreannya segitu-gitu aja dari tadi," keluh Yuri merasakan betisnya mulai pegal kelamaan berdiri. “Coba awasin Mas Mul, jangan-jangan ada yang mau salaman dua kali.”
“Kan aku udah bilang, nggak usah undang banyak-banyak," balas Mulya setengah berbisik, wajahnya tetap mengarah ke depan, menyapa tamu yang bergantian naik pelaminan memberi ucapan selamat.
“Memangnya mereka semua tamu aku aja apa?! Tamu Mama paling banyak, tuh.”
“Ada apa, Yuri?” Mama mencolek lengan Yuri. “Mama nggak dengar, tadi kamu sebut-sebut Mama.”
Yuri gelagapan. “Eh enggak, kok, Ma. Mas Mul pegal katanya.”
Mulya seketika menoleh hanya untuk memberi Yuri gelengan tak habis pikir. Tahu begini, Yuri akan mendukung usulan Mulya untuk menggelar pesta kecil dengan keluarga dan teman-teman tedekat saja sebagai tamu undangan. Lagipula, lebih dari separuh tamu yang datang adalah orang-orang yang baru ia lihat pertama kali.
Antrean tamu masih mengular, Yuri tidak punya pilihan selain bersabar.
Wajah Yuri mendadak berseri melihat teman kampusnya yang datang bersamaan. Diantara kelompok pertemanannya, Yuri menjadi orang pertama yang menikah. Mereka sangat bersemangat sampai-sampai menyiapkan kejutan pesta lajang beberapa hari lalu. Yuri memeluk mereka satu per satu, dan mengambil banyak foto bersama di pelaminan, hingga Mulya berbisik mengingatkan masih banyak yang mengantre salaman.
“Makasih ya udah pada dateng, jangan lupa makan dulu sebelum pulang. Tapi maaf, nggak ada seblak sama cireng.” Mulya geleng-geleng sebab sambil mengisap air mata haru, Yuri masih sempat-sempatnya melempar lelucon.
Mulya terkesiap tiba-tiba Yuri memeluk lengannya dengan erat, saat dia menoleh ke arah yang dilihat Yuri, Mulya mengerti. “Senyum lebih lebar, Mas Mul. Kita harus bikin mereka iri.lihat kita bahagia."
“Kayaknya kamu yang iri.”
“Enak aja.” Tepat saat itu Renatta dan Alvaro memberi ucapan selamat ke mereka yang pastinya hanya sekadar template basa basi. “Terima kasih, ya, udah pada datang.”
“Sebenarnya kita sibuk sih, tapi ya udah nggak enak udah diundang tapi nggak datang,” jawab Renatta yang dandanannya terlihat lebih niat daripada pagar ayu Yuri.
“Ya gue sih nggak ngerti ya ukuran enak nggak enak lo kayak gimana. Soalnya setahu gue dulu lo enak-enak aja tuh ngere—“
“Terima kasih udah menyempatkan datang.” Mulya terpaksa memotong omongan Yuri sebelum Yuri mempermalukan diri sendiri.
Alvaro menyalami Yuri lagi sebelum turun pelaminan menyusul Renatta. “Selamat ya, Yuri. Semoga kamu bahagia. Jujur, aku nggak nyangka kita akhinya bakal ada di jalan berbeda. Tapi aku harap kamu lebih bahagia daripada aku, dan maaf—“
“Terima kasih atas doanya dan nggak ada yang perlu Yuri maafkan,” Mulya menjadi tukang jagal ucapan orang lagi. “Tuh, pacarnya nungguin di bawah.”
Alvaro terang-terangan menatap Mulya tak suka, sebelum menyingkir dari hadapan Yuri dan Mulya. Bukan bermaksud apa-apa, Mulya hanya tidak mau menghabiskan lebih banyak waktu berdiri di sini hanya karena mantan Yuri itu.
“Apa sih yang kamu lihat dari cowok model begitu?” bisik Mulya sambil menyalami para tamu orangtuanya. “Cowok labil begitu aja kok diperebutkan."
“Pas masih jadian sama aku, Alvaro ganteng, tahu! Pas dia sama si Renatta jadi jelek. Aku juga heran kok bisa begitu,” Masih sambil menjaga senyum di bibir, Yuri lanjut berbisik agar orang di sekitar mereka tidak mendengar. “Aku nggak tahu appa ini termasuk hukum alam, atau Cuma perasaanku aja. Menurutku semua yang udah jadi milik kita pasti kelihatan jadi yang terbaik diantara semuanya. Sama kayak Mas Mul, di mataku Mas Mul baru kelihatan ganteng belum lama ini.”
Yuri malu melirik pada Mulya, di saat yang sama ia juga penasaran terhadap responnya, lantaran hingga sekian menit Mulya belum menanggapi. Padahal Yuri kira, setidaknya Mulya akan menjawab dengan ejekan besar kepala. Akhirnya Yuri beranikan menoleh pada Mulya, lelaki itu tampak bengong memandang satu titik. Meski tangannya menyalami tamu.
Yuri menyikut lengan Mulya, membawanya kembali ke dunia sadar. “Ngelihat apa, sih, Mas, sampai bengong begitu?”
“Terima kasih,” Mulya sempat menjawab ucapan selamat tamu di depannya, sebelum membalas Yuri. “Nggak ada.”
“Awas kesurupan. Aku nggak mau setan jadi bintang di pesta kita.”
Yuri bermaksud bercanda, tetapi Mulya sama sekali tidak menanggapinya. Karena penasaran, Yuri melihat ke arah yang Mulya lihat tadi. Tidak ada apa-apa, kecuali stand dekorasi. Mulya benar-benar mendadak jadi diam sampai acara selesai, dia hanya merespon Yuri sekadarnya. Candaan Yuri dibiarkan kering, celoteh Yuri hanya dibalas dengan kata 'iya' yang sama artinya dengan selesai.