Bab 4

2089 Words
Rane membawa Angela ke paviliunnya dan mengantarkan gadis itu ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Kamar di depan kamar Nola. Rane merebahkan Erica hati-hati di tempat tidur yang terletak di tengah ruangan. Sebuah kamar yang luas, hampir sama luas dengan kamarnya di Angel Palace. Mungkin lebih besar kamar ini, hanya saja warnanya yang kurang terang membuat kamar ini terlihat suram. Angela tahu kalau ia hanya tawanan di sini, tapi bolehkah ia meminta cat di dalam kamarnya diganti? Seandainya bukan Rane yang mengantarkannya ke sini, mungkin ia akan mengatakan keinginannya itu. Berhubung yang mengantarnya Rane dan kamar ini berada di paviliun milik pemuda itu, jadilah Angela diam saja. Ia takut pada Rane. "Beristirahatlah!" Hanya kata itu dan Rane langsung keluar. Angela melongo. Gadis itu sedikit kesal, banyak lega. Tawanan adalah kata yang sangat buruk. Dan menjadi tawanan merupakan hal yang tidak pernah dibayangkan Angela sebelumnya. Gadis itu mengembuskan napas pelan. Menghampiri Erica yang masih saja tertidur pulas. Erica memang seperti ini, tidurnya tidak akan terganggu kalau keadaan baik-baik saja. Angela bersyukur dengan yang satu itu. Mendapatkan kamar pribadi yang luas dan cukup indah juga hal yang melegakan Angela. Tidak terbayang bagaimana jadinya kalau ia dimasukkan ke dalam penjara seperti para tahanan yang lain. Angela merinding tanpa sadar. Gadis itu memeluk tubuhnya yang menggigil karena membayangkan suasana di dalam tahanan yang mengerikan. Angela mengusap pelipis Erica. Berpikir apa yang akan dikatakannya pada keponakan kecilnya ketika dia bangun nanti dan mendapati mereka tidak di rumah. Angela menggigit bibir. Ia rindu rumah, rindu kamarnya yang semuanya berwarna merah muda, rindu Bibi Audrey, rindu Alicia dan juga Leon. Apa mereka tahu kalau mereka ditawan musuh? Apa mereka menyadari ketidakberdayaannya di Angel Palace? Angela menutup mulut menahan isak. Ingat rumah membuat dadanya sesak. Ia ingin pulang, ingin istirahat di kamarnya. Tak ingin di tempat mengerikan ini. *** "Bagaimana dia?" Rane menatap kakaknya yang bertanya. Alisnya mengernyit. "Siapa?" Curtis Johnson tersenyum maklum. Sepertinya Rane masih belum mengerti arah pertanyaannya sehingga adiknya itu balik bertanya. "Gadis itu. Siapa namanya?" Curt mengerutkan alis, berusaha mengingat nama gadis yang dibawa Rane. "Aku lupa." Rane juga mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Nola yang tahu namanya, mereka berteman." "Dan Ayah," sambung Curt. "Aku tidak heran." Rane mendongak menatap langit. Ayahnya memang memiliki kekuatan untuk mengetahui jati diri seseorang. Bukan seperti membaca pikiran, lebih spesifik dari pada itu. Bukan juga paranormal. Ayahnya juga dapat mengetahui suatu keadaan apakah berbahaya atau tidak. Sebut saja Ayahnya menguasai telekinesis dan lainnya. Curt juga memilikinya, tapi tak sehebat Ayah mereka. Mr. Arnold Johnson yang terkuat dalam mengendalikan semua yang berhubungan dengan pikiran dan teleportasi. Curt lebih kuat dalam mengendalikan air, itu sebabnya pria itu selalu terlihat tenang. "Apa menurutmu Ruu sudah tahu?" Rane mengangkat bahu. "Entahlah," jawabnya. "Yang pasti pria itu akan mencariku kalau tahu aku membawa adik dan putrinya." "Aku baru tahu kalau Ruu mempunyai seorang anak perempuan." Rane mengernyit menatap Curt. "Maksudmu?" tanyanya. "Anak si b******k itu hanya laki-laki?" "Bukan begitu." Curt menggeleng. Tersenyum kemudian menatap langit seperti yang tadi dilakukan Rane. Para pemilik kekuatan angin dapat dengan mudah terbang. Mereka juga bisa memanipulasi udara, membuatnya menjadi tercemar. "Aku bahkan tidak tahu kalau pria yang kau sebut b******k itu sudah memiliki anak." "Apa menurutmu gadis kecil itu anak pungut?" Tawa kecil menghambur dari mulut Curt. Bagaimana mungkin Rane bisa berpikir demikian? Pria seangkuh Ruu Thomas tidak akan mau melakukan hal seperti itu. Bukan bermaksud menghina atau menjelekkan karena Ruu musuh mereka, tetapi memang kenyataannya seperti itu. Sejauh yang ia tahu, seorang Ruu Thomas selalu menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih kuat dari siapa pun. "Kenapa kau berpikir Ruu mau melakukannya?" Curt menatap Rane. Berusaha membaca jalan pikiran adiknya itu. "Jangan coba-coba!" sentak Rane. Ia dapat merasakannya. Curt sedang mencoba untuk memasuki pikirannya. Curt tertawa lagi. "Kau memang selalu tak bisa k****a," ucapnya. "Tentu saja!" balas Rane. "Jangankan kau yang masih amatiran, Ayah saja yang sudah sangat kuat tidak bisa membaca pikiranku." "Sombong!" Curt meninju bahu Rane pelan. Tawa masih menghiasi wajah tampannya yang lembut. Rane tak menanggapi candaan kakaknya. Pikirannya masih tertuju pada perkataan Curt tadi yang menyebutkan kalau ia tidak tahu tentang Ruu yang ternyata sudah memiliki anak. Curt terdengar akrab menyebutkan nama pria itu, seolah ia sudah mengenal lama si b******k itu. "Apa kau tau, Curt? Warna mata anak itu sangat cantik. Biru keunguan, dengan ungu yang lebih dominan." Tawa Curt seketika berhenti. "Apa kau ingin mengatakan kalau anak itu hasil perpaduan dua klan?" tanya Curt dengan suara lirih. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang sensitif. Sesuatu yang berhubungan dengan klan merupakan hal yang sangat penting dan sensitif. Tak bisa dibicarakan sembarangan. "Aku tidak mengatakan seperti itu!" bantah Rane. "Aku hanya mengatakan warna matanya. Satu hal, dia sangat lucu dan menggemaskan." Curt terhenyak. Seorang Rane yang tak pernah memahami apa arti lucu dan menggemaskan sekarang menyebutkan dua kata itu? Dan apa tadi, apa ia tidak salah lihat? Rane tersenyum. Kedua sudut bibirnya naik dua derajat ke atas. Semuanya hanya karena seorang gadis kecil berusia empat tahun. Curt sangat penasaran dengan gadis kecil itu. Ia yang biasanya tidak pernah menunggu makan malam keluarga saat ini malah sangat menantikannya. Ia yakin, Ayahnya pasti akan mengundang kedua tamu mereka untuk makan bersama. *** Curt benar, Arnold Johnson memang mengundang Angela dan Erica untuk makan malam bersama mereka. Angela sangat kaget saat seorang pelayan memberitahu mereka. Bukan bingung karena harus memakai baju apa, tetapi Angela tidak mau di sini, ia ingin pulang. Ia rindu keluarganya. "Angela, astaga! Aku baru tahu kalau kau berada di seberang kamarku!" Angela segera mengusap matanya yang kembali berair. Gadis itu berbalik dan tersenyum melihat Nola memasuki kamarnya dengan wajah cerah. Nola langsung memeluknya erat. "Aku senang sekali." Nola mengurai pelukan sedetik, kemudian kembali lagi memeluk Angela. Ia sangat senang ternyata sahabatnya juga ikut ke kediamannya, bahkan kamar mereka berseberangan. Kalau saja ia tidak melihat Bibi pelayan yang baru saja keluar dari kamar ini dan bertanya, tak mungkin ia tahu kalau Angela-lah penghuni kamar ini. Angela tersenyum dalam pelukan Nola. Hatinya menghangat karena bertemu gadis ini. Dadanya yang tadi sesak sekarang sudah mulai terasa lega. "Sir Arnold yang meminta Rane memberikan kami kamar ini," ucap Angela sambil mengurai pelukan. "Wah, Pamanku ya." Mata ungu Nola terlihat membesar sedetik, kembali normal di detik berikutnya. "Pamanku memamg orang yang baik, berbeda dengan sepupuku pemilik paviliun ini." Wajah cantik Nola menekuk tatkala membicarakan sepupunya. "Rane maksudmu?" tanya Angela memastikan. Karena ia tak kenal sepupu Nola yang lain. Lagipula tadi Nola mengatakan sepupunya pemilik paviliun ini kan? "Siapa lagi kalau bukan dia," jawab Nola dengan bibir meruncing. "Aku hanya memiliki dua orang sepupu. Yang satu namanya Curt, dia kakak Rane, sepupu idolaku. Yang kedua ya si Rane itu, wajah tampan tapi sangat menyebalkan." Angela tersenyum. Nola gadis yang sangat menyenangkan. Blak-blakan dan bicara tanpa dibuat-buat. Angela tertawa kecil dengan ekspresi wajahnya yang sangat cepat berubah. Dari yang berbinar saat membicarakan sepupu tertuanya, kemudia langsung menjadi suram ketika membicarakan Rane. Sangat lucu di mata Angela. "Asal kau tahu saja, Angela, Rane itu tak pernah tersenyum." "Benarkah?" Angela mengerjap. Nola mengangguk semangat. "Seumur hidupku, aku belum pernah melihat Rane tersenyum. Entah saat ia masih bayi." Nola mengangkat bahu. "Aku..." "Bibi?" Suara kecil itu membuat Angela dan Nola yang duduk di sofa menoleh ke tempat tidur bersamaan. Mereka berdiri dan melangkah ke arah tempat tidur, di mana Erica duduk dengan tangan kanan mengucek matanya. Gadis kecil itu baru bangun tidur rupanya. Erica menguap. "Halo, Sayang, kau sudah bangun?" tanya Angela lembut. Gadis itu memindahkan Erica duduk di pangkuannya. Erica tak menjawab. Gadis kecil itu hanya mengangguk, kemudian menguap lagi. "Wah, Erica masih mengantuk ya?" Pertanyaan Nola membuat Erica kecil menatap ke arahnya. Mata biru keunguan itu masih terlihat redup. Nola tersenyum ketika melihat Erica mengangguk. "Bibi Nola kenapa ada di sini?" tanya Erica. Kedua tangan mungilnya memeluk leher Angela. Angela dan Nola berpandangan. Mereka bingung harus menjawab apa. "Karena Erica sekarang di rumah Bibi Nola." Kedua gadis itu mengalihkan pandangan menuju pintu. Begitu pun Erica. Gadis itu menoleh begitu mendengar suara yang sudah familiar di telinganya. "Paman Rane." Erica melepaskan pelukannya di leher Angela dan langsung berbalik. Menjulurkan tangan pada Rane, meminta pemuda berwajah dingin itu untuk menggendongnya. Dengan senang hati Rane mengambil alih Erica dari pangkuan Angela. Rane membungkuk, meraup tubuh mungil Erica dan membawa ke dalam gendongannya. Saat akan menggendong Erica tadi, tak sengaja matanya bertemu dengan mata biru Angela. Hanya sekejap, karena Angela segera memalingkan muka dengan wajah memerah. "Paman Rane juga di sini?" tanya Erica sambil tangannya mengalung di bahu Rane. Rane mengangguk. "Ini rumah Paman," jawabnya. "Rumah Paman Rane?" ulang Erica bertanya. Mungkin ia masih bingung dengan semua ini. Ia bangun tidur dan menemukan dua orang yang baru dikenalnya beberapa jam lalu. Biasanya ia hanya menemukan Angela atau Ibunya atau nenek Lucille. "Erica menginap di rumah Paman Rane." Erica mengerjap. Menginap? Apa boleh? Papa tidak pernah membolehkannya menginap di rumah siapa pun. Kata Papa berbahaya. "Tapi..." "Halo, apa aku boleh masuk?" tanya sebuah suara di depan pintu. Nola langsung sumringah begitu tahu siapa yang bertanya. "Curt!" seru Nola gembira. "Masuklah!" Nola menggerakkan tangannya meminta Curt untuk masuk. "Jangan menyuruh orang sembarangan masuk. Ini bukan kamarmu!" tegur Rane tajam. Nola memutar bola mata. "Curt lebih sopan darimu yang langsung masuk saja tanpa bertanya!" balas Nola tak peduli. Curt mengembuskan napas. Adik dan sepupunya memang kerap bertengkar, tapi Curt tahu kalau mereka saling menyayangi. Buktinya, Nola kalau perlu sesuatu pasti Rane yang dicari. Begitu juga Rane, adiknya selalu mengkhawatirkan sepupu mereka. "Hai, kau Angela kan?" tanya Curt pada Angela yang berdiri di samping Nola. Curt mengukurkan tangannya. Kedua gadis itu tampak sangat cocok. Dengan usia dan postur tubuh yang sama, tak heran mereka berdua bisa akrab dengan cepat. Angela mengangguk takut-takut. Menyambut uluran tangan pria tinggi di depannya ragu. "Tidak perlu takut." Nola menyenggol lengan Angela. "Curt tidak jahat. Ia tidak akan menggigitmu, tidak seperti orang itu." Nola melirik Rane yang entah berbicara apa dengan Erica. Mereka berdua berbisik. "Aku Curt, kakak sepupu Nola," ucap Curt begitu Angela menyambut uluran tangannya. "Rane itu adikku." Curt menatap Rane sekilas. "Maafkan atas ketidaksopanan adikku." Rane mendelik mendengarnya. "Kenapa setiap orang selaku minta maaf padanya?" Rane menatap Angela tajam. "Apa aku memang sangat tidak sopan padanya?" Angela menunduk dalam, tak berani membalas tatapan tajam Rane yang menghunjamnya. "Kau masih tidak sadar?" Curt balik bertanya. "Sekarang saja kau juga tidak sopan. Tidak ada seorang pemuda menatap seorang gadis dengan tatapan setajam itu. Kalau terus seperti ini, kau tidak akan mendapatkan pasangan. Lalu siapa yang akan meneruskan klan kita?" "Kenapa tidak menanyakan hal itu pada dirimu sendiri?" balas Rane pedas. Sekali lagi Curt mengembuskan napas. Sungguh ia tak ingin membuka luka lamanya. Tapi sepertinya Rane memang perlu diingatkan lagi. "Kau tahu aku tidak bisa," ucap Curt pelan. "Perempuan yang kucintai sudah tidak ada." Angela terhenyak. Mata ungu Curt tampak terluka. Tapi pria itu masih berusaha tersenyum. "Maafkan aku," ucap Rane menyesal. Suaranya mekembut. Rane juga kembali melihat kelebat luka itu di mata sang kakak. "Tak seharusnya aku tidak mengatakan hal itu padamu." "Tidak apa-apa," sahut Curt tersenyum. "Seharusnya kita tidak membicarakan ini di depan tamu." Angela lagi-lagi terhenyak. Perkataan Curt membuatnya semakin takjub pada pria itu. Curt tidak menganggapnya tawanan, melainkan tamu. Angela sangat terharu mendengarnya. Rane tidak menanggapi. Pemuda itu kembali mengajak Erica berbicara. "Dan siapa Nona kecil ini?" tanya Curt dengan tatapan takjub pada gadis kecil yang berada di gendongan adiknya. Rane benar, warna mata Erica tidak lazim. Tidak biru, tidak juga ungu. Melainkan campuran dari keduanya. "Namaku Curt, kau bisa memanggilku Paman Curt. Aku kakak dari orang yang menggendongmu itu, Gadis Kecil." "Paman Curt?" ulang Erica sambil memiringkan kepalanya. Curt mengangguk cepat, gemas dengan tingkah Erica. Apalagi ketika gadis kecil itu mengulurkan tangan padanya. Curt langsung menyambut uluran tangan itu dan mengambil alih Erica dari gendongan Rane. Tak peduli dengan tatapan tak suka Rane yang ditujukan padanya. "Namaku Erica," ucap Erica dengan suara khas anak kecilnya. "Aku suka Paman Curt." Erica memeluk leher Curt. Angela tersenyum tipis. Naluri tajam Erica sepertinya tidak berfungsi dengan baik di sini. Dengan mudahnya keponakannya itu mengatakan menyukai Curt yang merupakan musuh mereka. Meskipun Curt baik –Angela tidak meragukan itu karena Erica yang langsung akrab dengan Curt– tapi pria itu tetap musuh mereka. Curt nerasakan dadanya menghangat. Perkataan Erica membuatnya sangat bahagia sampai Curt meneteskan air mata tanpa sadar. Rane yang melihatnya mengernyit. Entah apa kekuatan Erica ia masih belum mengetahuinya. Tapi gadis kecil itu bisa dengan mudah merebut simpati orang. Jangan-jangan Erica memiliki kekuatan seperti Curt dan Ayah mereka. Tapi bagaimana bisa, karena kekuatan seperti itu hanya dimiliki oleh keluarga inti klan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD