"Saat ini, saudara Skylar dirawat di rumah sakit...." Polisi lalu lintas yang mengabarkan musibah kecelakaan yang menimpa Skylar masih bicara melalui sambungan telpon, namun Jianina tidak bisa mendengar kata-kata polisi itu. Ponsel yang semula ada dalam genggamannya terlepas, jatuh berderak membentur lantai, dan bersamaan dengan hal itu, tubuh Jian merosot, dia seolah kehilangan seluruh kekuatannya.
Sonya yang melihat hal itu, segera memapah Jian, mendudukkan Jian di bangku terdekat, dan terburu-buru mengambil ponsel Jian yang jatuh, lalu menyambung percakapan dengan Jonathan, sang polisi lalu lintas. Sonya menatap Jian khawatir saat telinganya mendengar bahwa Skylar mengalami kecelakaan dan luka-lukanya cukup parah. Sonya mendengarkan dengan seksama semua informasi yang disampaikan Jonathan, agar ia bisa membantu Jian menangani keadaan ini.
Sonya menyerahkan kembali ponsel Jian setelah pembicaraan telpon dengan Jonathan selesai. Sonya menatap Jian dengan rasa prihatin, dia tahu benar apa yang dirasakan Jian saat ini, seperti musim semi yang indah, tapi mendadak, dibuyarkan begitu saja oleh hujan badai yang tidak pernah diduga. Sonya menggenggam tangan Jian, berusaha menyalurkan kekuatan bagi sahabatnya itu.
"Jian, Sky pasti akan baik-baik saja. Kau tenang oke? Aku kenal dia sejak kecil, dia bisa melalui cedera seberat apapun."
"Sky--lar...." Jian hanya bisa menggumamkan nama suaminya. Otaknya blank, kosong dan seolah tidak mampu memikirkan apapun. Kebahagiaan yang baru saja menyelimutinya mendadak digantikan oleh kesedihan yang pekat, yang bahkan Jian tidak bisa melihat ada harapan di sana.
"Skylar akan baik-baik saja."
"Aku akan mengantarmu melihat Skylar, rumah sakit internasional adalah rumah sakit yang terkenal dan bagus, semua dokter dan semua peralatannya adalah yang terbaik, Sky pasti akan segera pulih dirawat di sana. Kau jangan khawatir, oke?"
Jian tidak menjawab, lidahnya terasa kelu, dan dia tidak memiliki kata-kata untuk diucapkan, tubuhnya gemetar oleh rasa takut, dan pikirannya kosong, air mata mengalir membasahi wajahnya, membuat hidungnya tersumbat oleh lendir dan semakin membuat dadanya terasa sesak. Begitu banyak pikiran buruk melintas dalam benaknya, mengingat kondisi Skylar dikatakan cukup parah, bahkan dirawat di ICU.
Jian sama sekali tidak siap jika sesuatu yang buruk terjadi, selama ini, ia dan Skylar hanya memiliki kebahagiaan, namun sekarang, seolah duka ditumpahkan begitu saja kepadanya. Jian berpikir, bagaimana jika Skylar mengalami cacat tubuh permanen karena kecelakaan ini? Mungkin, itu masih lebih baik, tapi bagaimana jika Skylar meninggal? Bagaimana nasibnya dan anak yang ada dalam kandungannya? Jian sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana masa depannya tanpa Skylar, dan ia begitu takut bahwa Skylar akan pergi meninggalkannya.
Jian berulangkali berdoa memohon agar Tuhan menyelamatkan Skylar, Jian sama sekali tidak ingin kehilangan Skylar dalam hidupnya. Skylar Wistara, adalah satu-satunya pria yang ingin Jian pertahankan selamanya, hingga maut memisahkan dan Jian menyesal telah menaruh curiga pada Skylar. Hanya karena aroma parfum mawar yang mungkin banyak digunakan semua orang, Jian sempat berpikir kemungkinan perselingkuhan Skylar dan Thania. Jian merasa dirinya sangat bodoh dan menyesali tindakannya di masa lalu, kini Jian takut kehilangan Skylar, dan dia akan melakukan apapun untuk membuat Skylar tetap ada di sisinya.
Hari ini, adalah hari di mana Jian mengalami sebuah paradoks, dua hal yang bertentangan, berada di hadapan Jian.
Kabar bahagia yang didengarnya karena hadirnya seorang janin yang dinantikannya selama bertahun-tahun dalam rahimnya diterimanya pagi ini. Jian begitu bahagia hingga tak mampu berkata-kata. Lalu, saat dia hendak mengabarkan kebahagiaan ini pada Skylar, pria yang dicintainya, kabar buruk mendadak didengarnya, memberitahukan bahwa pasangan hidupnya berada dalam batas antara hidup dan mati. Semua terjadi begitu mendadak, seperti angin yang tidak akan bisa ditebak kemana arahnya berhembus.
Berita kecelakaan yang menimpa Skylar bahkan Jian anggap sebagai berita paling buruk dalam hidupnya, bahkan lebih buruk dari sebuah perselingkuhan. Jian berpikir, jika kecurigaannya hari kemarin terbukti, Skylar berselingkuh, maka Jian bisa menutup mata, menganggap itu tidak pernah terjadi dan Skylar akan tetap di sisinya, membesarkan anak mereka berdua, tapi jika Skylar meninggal, maka apapun yang Jian lakukan tidak akan bisa membuat Skylar kembali di sisinya. Skylar akan meninggalkannya dan meninggalkan bayi mereka yang bahkan belum lahir, membuat bayi tidak berdosa itu menjadi anak yatim yang tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian seorang ayah.
Jian menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak. Ia tidak mau anaknya menjadi anak yatim, seorang anak yang tidak mengenal kasih sayang seorang ayah. Air mata Jian mengalir deras, dalam hati Jian memohon pada Tuhan untuk memberi Skylar lebih banyak waktu. Jian menyesali, bahwa ia mencurigai Skylar sebelumnya. Saat ini tidak ada yang Jian inginkan selain, Skylar kembali di sisinya dalam keadaan sehat.
***
Jianina segera berlari kecil menyusuri selasar rumah sakit setelah ia turun dari mobil yang dikemudikan Sonya. Jian tidak peduli pada teriakan Sonya yang memanggilnya, yang dia tahu hanyalah berlari, dan menemukan Skylar, mengetahui bagaimana kondisi Skylar secepat yang dia mampu.
Perasaan Jian tidak menentu, dia ingin segera menemui Skylar, melihat bagaimana keadaan Skylar, dan terus berdoa agar Skylar baik-baik saja.
Jian memperlambat langkahnya saat sampai di ruang ICU, dan kegamangan kembali melanda dirinya, tubuhnya mulai gemetar kembali, karena merasa sedih yang tak tertanggung. Melihat kondisi Jian yang nampak cukup kacau, dan berdiri di depan ruang ICU, seorang perawat menghampiri Jian.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya perawat itu ramah.
"Sa--saya, keluarga dari pasien Skylar Wistara," ucap Jian terbata, air matanya mendadak mengalir menyusuri pipi putihnya.
"Saya istrinya."
Perawat itu mengangguk, dan paham mengapa kondisi Jian nampak kacau. Siapapun akan mengerti jika seorang istri nampak kacau saat suaminya terbaring tidak berdaya berjuang antara hidup dan mati di rumah sakit.
"Dokter akan menemui anda sebentar lagi, dan beliau akan menjelaskan kondisi Bapak Skylar Wistara."
Jian hanya mengangguk tanpa kata. Sebenarnya, ia ingin segera menemui Skylar, ia tidak ingin mendengar apapun lagi, bahkan penjelasan penting dokter yang menangani Skylar, karena, Jian tahu, apapun yang dokter itu katakan, Jian tidak akan bisa mencerna dan memahami setiap kata-katanya, yang Jian inginkan saat ini hanyalah melihat kondisi Skylar dan berada di sisinya.
Seorang dokter muda menemui Jian, nametag yang tersemat di snelli yang digunakan dokter itu adalah Belinda.
"Selamat pagi. Anda istri bapak Skylar Wistara?" Belinda menyapa Jian.
Jian mengangguk.
"Saya dokter Belinda, yang menangani pak Skylar. Saya ingin menjelaskan kondisi pasien saat ini. Jadi, saat ini pasien harus mendapatkan perawatan intensif di ICU karena cedera yang dialami dalam kecelakaan cukup fatal, beliau saat ini mengalami koma, hal itu terjadi karena benturan di kepalanya yang cukup keras, selain itu, beliau mengalami retak di tulang rusuk. Kondisinya memang jauh dari baik, tapi, sejauh ini kondisinya stabil, jika dilihat dari detak jantung dan organ vital lainnya. Kami akan terus berusaha agar kondisi pasien terus membaik."
Penjelasan dokter Belinda seolah hanyalah sepoi angin yang bersiut, tidak terlalu jelas semua didengarkan oleh Jian. Jianina berada di hadapan dokter Belinda, namun pikirannya tidak berada di sana. Otaknya hanya mengambil satu kata yang lalu memenuhi segala pikiran Jian dengan rasa khawatir yang bertambah hebat.
Koma.
Skylar mengalami koma, suaminya itu berada di ambang hidup dan mati, dan tidak ada yang memastikan apakah Skylar bisa kembali sadar, dan melanjutkan hidup bersama Jian, atau vice versa, kebalikannya, Skylar mungkin akan menutup mata untuk selamanya. Dokter di hadapan Jian memang mengatakan bahwa ia akan mengusahakan semua hal yang terbaik agar Skylar kembali sehat, tapi tidak ada jaminan. Jian merasakan ketakutan perlahan tapi pasti menyelubungi dirinya. Jian takut Skylar tidak akan pernah bangun dari tidurnya, dan meninggalkannya sendirian, seperti semua orang meninggalkannya.
Tubuh Jian lemas, dan tubuhnya terasa dingin mengigil. Sonya, yang akhirnya berhasil menyusul Jian, menopang tubuh Jian, mengusap punggung Jian, mencoba memberi kekuatan, dan terus membisikkan kata-kata bahwa Skylar akan baik-baik saja, tapi apapun yang Sonya katakan, hal itu tidak membuat kekhawatiran Jian mereda, Jian tetap berada dalam kegundahan dan kesedihan yang mendalam. Skylar Wistara, suami tercintanya, mendadak berada dalam keadaan koma, dan berada dalam ambang maut. Dalam sekejap, keadaan berbalik demikian kejam seperti ini, layaknya sekeping uang dengan dua sisi, kebahagiaan Jian atas kabar kehamilannya harus bertukar dengan kabar buruk soal Skylar.
"Apa saya bisa menemui suami saya dokter?" tanya Jian pilu.
"Tentu. Perawat akan membantu anda untuk masuk ke ruang ICU dengan prosedur yang telah ditentukan."
"Terima kasih, dokter."
"Dengan senang hati, Bu. Saya yakin, Pak Skylar akan sehat tidak lama lagi, selalu ada harapan dan keajaiban yang menanti di saat seperti ini." Belinda berusaha menghibur Jian, meski dia tahu bahwa kata apapun tidak akan terdengar jelas di telinga Jian yang sedang berada dalam kekhawatiran.
"Terima kasih, dok."
Belinda tersenyum, dan berlalu dari hadapan Jian, sementara seorang perawat mengantarkan Jian dan Sonya ke ruang ICU dan memberitahukan prosedur untuk memasuki ruangan ICU.
Jian dan Sonya masuk ke ruang ICU, menemukan Skylar tertidur di ranjang dengan alat bantu pernafasan, alat pemantau detak jantung, infus, selang-selang terpasang di tubuhnya, Jian tidak tahu alat apa saja yang dipasang di tubuh Skylar untuk mempertahankan kehidupan pria itu, yang pasti melihat kondisi Skylar, Jian merasa separuh nafasnya melayang. Dia sangat takut Skylar tidak bisa bertahan dan meninggalkannya sendirian.
Jian menggenggam tangan Skylar yang terasa dingin, dan terpasang jarum infus, seketika air mata mengalir di pipi Jian. Banyak kata yang Jian ingin sampaikan tapi lidah Jian kelu, sulit menyampaikan kata, meski hanya sepatah kata. Hati Jian terasa hancur melihat kondisi Skylar.
Jian tidak menyangka bahwa pembicaraan di telpon malam itu adalah saat menjelang Skylar akan mengalami musibah dan kehilangan kesadaran. Jian tidak bisa mengeyahkan pikiran buruk yang menghantui. Berapa banyak pasien koma dan kritis bisa melewati masa buruk dan kembali sehat? Tidak banyak, dan hanya keajaiban yang bisa membuat seseorang kembali dari kondisi antara hidup dan mati, apakah Skylar akan mendapatkan mukjizat itu?
Tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Skylar pada akhirnya nanti, apakah Skylar akan bertahan dan sembuh, ataukah dia tidak akan pernah bangun lagi, bahkan dokter yang menangani perawatannya juga tidak tahu. Hanya harapan yang terus dipupuk, bahwa Skylar akan sadar, dan pulih, dengan memberikan pengobatan semaksimal mungkin atau keadaan menjadi sebaliknya. Membayangkan hal itu, Jian merasa tubuhnya dingin, telapak tangannya menyentuh perutnya yang masih datar.
"Skylar, cepatlah sadar. Ada bayi kecil yang menunggumu, yang akan memanggilmu dengan sebutan ayah, kamu harus melihatnya lahir dan tumbuh dewasa." Jian berkata pelan, kata-katanya tenggelam dalam isakan. Jian membawa telapak tangan Skylar menyentuh perutnya, dan merasa hatinya dipenuhi kemasygulan.
Mata Sonya berkaca-kaca oleh air mata saat melihat kondisi Skylar sepupunya, dan juga kesedihan yang Jian rasakan. Sonya tahu bahwa apa yang dialami Skylar membuat Jian shock dan tertekan oleh kesedihan dan kekhawatiran. Jian adalah sahabatnya, dan saat Jian menikah dengan Skylar, Sonya merasa senang karena Jian sahabatnya kini menjadi anggota kelurganya. Kini Jian berada dalam kesedihan seperti ini, Sonya benar-benar turut merasakan apa yang dirasakan Jian.
Kebahagiaan Jian karena kehadiran bayi mungil dalam rahimnya harus berganti dengan kabar bahwa Skylar mengalami kecelakaan parah.
Sonya memeluk punggung Jian, mencoba memberi Jian kekuatan, Sonya tahu, banyak kata tidak akan membuat Jian merasa lebih baik karena semua kata saat ini sia-sia, saat kesedihan dan kekhawatiran melingkupi Jian, jadi, Sonya hanya berdiri di sisi Jian, memeluk Jian, memastikan bahwa dirinya ada untuk Jian, kapanpun, Jian memerlukan seseorang untuk bersandar, berkeluh kesah dan memberikan bantuan.
***
"Kau pulanglah Ji, istirahat, aku akan menunggu Sky." Sonya berkata pada Jian yang wajahnya nampak sembab, karena terlalu banyak menangis.
Jian menggeleng lemah, menatap Skylar melalui jendela kaca ruang ICU.
"Aku tidak bisa meninggalkan Skylar dengan keadaan seperti ini, aku tidak bisa melewatkan satu detikpun jauh dari sisi Skylar, aku takut...." Tangis Jian kembali pecah, dan Sonya menghampiri Jian memeluk Jian hangat, membiarkan Jian menumpahkan kesedihannya dalam tangis agar dia mendapatkan kelegaan.
"Aku tahu hari ini sangat berat, tapi, kau harus ingat, bukan hanya kau saja yang harus istirahat, ada si kecil juga." Sonya mengingatkan Jian saat tangis Jian mulai reda.
Jian terhenyak saat mendengar ucapan Sonya. Hari ini, ia begitu sibuk bersedih, menangis dan khawatir tentang Skylar, sampai melupakan bayi dalam rahimnya. Jian sampai lupa makan, dan kurang istirahat, dia bahkan mengabaikan tanda tubuhnya yang kelelahan, terasa nyeri di pinggang dan pusing di kepala.
Jian mengusap perutnya perlahan dengan perasaan bersalah.
"Maafkan ibu, nak."
Sonya menatap Jian prihatin.
"Setidaknya kau harus beristirahat demi Skylar kecil. Aku rasa Sky juga pasti marah besar jika ia tahu kau mengabaikan anaknya."
"Sekarang pulanglah, beristirahat dengan baik, besok pagi, kondisi Sky pasti akan lebih baik, aku akan menunggui Skylar, kau bisa tenang, aku berjanji menjaganya dengan baik," ucap Sonya meyakinkan Jian.
"Apa tidak apa-apa kau menunggui Sky di sini seorang diri?"
"Di sini aman. Banyak perawat, dan juga ada ruang istirahat, kau tidak perlu khawatir."
"Kalau begitu aku pulang."
Sonya mengangguk.
"Istirahatlah dengan baik. Aku akan memastikan Sky baik-baik saja."
"Sonya, terima kasih," ucap Jian, air matanya kembali mengalir. Dia benar-benar terharu karena Sonya sahabatnya adalah orang yang selalu di sisinya. Jian hidup sendiri sejak nenek yang merawatnya meninggal, ayah dan ibunya bercerai dan telah memiliki keluarga baru. Terakhir mereka menemui Jian adalah saat Jian menikah dengan Skylar, setelah itu, Jian tidak pernah lagi berhubungan dengan ayah maupun ibunya. Dengan kondisi keluarga seperti itu, Jian tidak memiliki siapapun untuk berkeluh kesah dan bersandar saat keadaan begitu buruk, untunglah, dia memiliki Sonya, sahabat yang begitu mendukungnya dalam keadaan apapun.
"Kau ini, jangan menangis terus, kasihan bayimu, dia tentu merasa sedih karena ibunya menangis terus. Besok kau harus mengunjungi dokter Leo, dan memeriksakan kondisi si kecil."
Jian mengangguk, lalu memeluk Sonya.
"Sonya, terima kasih!"
"Berhentilah berkata terima kasih, aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan sebagai sahabat, cepatlah pulang, lalu istirahat. Jangan berpikir macam-macam, all is well," balas Sonya.
Jian melepaskan pelukannya.
"Aku pulang dulu."
"Iya. Istirahatlah."
Jian berbalik meninggalkan Sonya di depan ruang ICU. Saat Jian sampai di pintu ICU, Jian berpapasan dengan seorang pria tinggi yang Jian kenal. Pria itu Yodha Chandana, suami Nathania Rozeanne, pria itu tampak kuyu, segelas kopi berada dalam genggaman tangannya.
Jian bertanya-tanya, sedang apa Chann di rumah sakit ini? Apakah sesuatu yang buruk terjadi? Melihat kondisi Chann yang tampak suram dan lelah. Tapi, Jian menepis semua keingintahuannya, kondisinya juga tidak lebih baik, untuk apa ingin tahu tentang keadaan orang lain, di saat dirinyapun sedang berada dalam musibah.
Chann dan Jian saling menatap, lalu keduanya mengangguk, serta tersenyum. Jian terus berjalan setelah menyapa Chann dengan anggukan, namun belum jauh Jian berjalan, sebuah suara memanggilnya.
"Jianina."
Jian menghentikan langkahnya dan berbalik, menemukan Chann sedang menatapnya.
"Ya?" tanya Jian.
"Boleh aku menganggu waktumu sebentar?"
Jian mengangkat alis, agak heran. Ia dan Chann tidak terlalu mengenal, memang benar Jian mengenal Thania, tapi Chann, hanya sekali ditemui Jian saat mengantar Thania mengambil gaun, dan juga memesan jas. Jian pikir mungkin Chann ingin menanyakan soal jas yang dipesannya, tapi dalam kondisi di rumah sakit seperti ini, sepertinya itu bukan pembahasan yang penting.
"Ada yang bisa kubantu?"
Chann tersenyum, namun senyumannya terasa tawar menurut Jian.
"Ada suatu hal yang ingin aku tanyakan."
"Soal apa?"
"Suamimu."