Chapter 4

1249 Words
Pagi harinya, di kosan Ivanka. Ivanka menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut sembari menggigil kedinginan. Hari ini dia memilih untuk tidak masuk kuliah karena kondisinya tiba-tiba drop. Sebenarnya Ivanka sudah mulai merasa tidak enak badan sejak pulang dari rumah Arthur. Selain karena jarak rumah Arthur dan kosannya cukup jauh, dia juga kedinginan karena pulang malam-malam tanpa memakai jaket. Tetapi alih-alih meminum obat agar tubuhnya membaik, Ivanka justru lebih memilih untuk tidur karena sudah sangat kelelahan. Alhasil, kondisi kesehatannya semakin memburuk, dan suhu tubuhnya juga naik. Karena sudah tidak kuat, Ivanka akhirnya memaksakan diri untuk meminum obat. Dia perlahan turun dari tempat tidur dengan tubuh lemas, dan kepala yang terasa berat. Ivanka mengisi perutnya dengan roti yang dia punya sebelum meminum obat. Meskipun tak memiliki nafsu makan, namun dia tetap memaksa dirinya untuk makan. Setelah meminum obat penurun panas, Ivanka kemudian kembali naik ke atas tempat tidur dan segera memakai selimut karena merasa kedinginan meski tubuhnya panas. Sebenarnya Ivanka sedikit merasa kasian terhadap dirinya sendiri, karena tidak ada yang merawatnya ketika dirinya sakit. Bahkan, dia hanya bisa makan dan minum obat seadanya karena harus menghemat. Di tambah lagi, dia tidak memiliki kekasih yang memperhatikannya. Tetapi memang itulah derita anak perantauan. Dituntut harus hidup mandiri di tengah kerasnya kehidupan. Meskipun tak mudah hidup jauh dari keluarga dan tinggal sendiri di kota besar seperti Jakarta, tetapi hidup harus tetap di jalani. Jam menunjukkan pukul 13.07. Ivanka membuka mata perlahan ketika mendengar ada yang mengetuk pintu kamar. "Sebentar," sahutnya dengan suara lemah. Dia kemudian perlahan turun dari tempat tidur, dan berjalan menuju pintu dengan tubuh yang terasa berat. Saat pintu terbuka, Ivanka hanya diam ketika mendapati seseorang yang datang ternyata adalah Arthur. "Saya tidak bisa menemani Epril hari ini," ujar Ivanka datar seakan mengerti maksud tujuan Arthur menemuinya. "Tidak, saya datang ke sini bukan untuk itu," sahut Arthur. "Keadaan Epril sudah cukup membaik. Pagi tadi dia juga sudah mau makan dan minum obat tanpa nangis. Jadi saya datang menemui kamu untuk berterimakasih," ujarnya. "Sebenarnya tadi saya datang ke kampus kamu. Tapi teman kamu bilang kamu tidak masuk karena sakit. Jadi saya tanya alamat kosan kamu," imbuhnya. Ivanka menatap Arthur lurus. "Sudah?" "Kalau tidak ada lagi yang Anda bicarakan, lebih Anda pergi. Saya mau istirahat." Ivanka berniat menutup pintu. Tetapi Arthur menahannya. "Tunggu!" "Saya bawakan bubur untuk kamu." Arthur memberikan kantong plastik terhadap Ivanka. "Saya juga beli obat dan vitamin untuk jaga kesehatan kamu," imbuhnya. "Buburnya masih hangat, jadi langsung dimakan, ya?" Arthur menarik tangan Ivanka untuk menggenggam plastik karena Ivanka tak kunjung mengambilnya. "Semoga cepat sembuh," tutur Arthur. "Kalau begitu, saya pulang sekarang. Takutnya Epril nyariin saya," pamitnya. Ivanka tidak membalas ucapan Arthur. Dia hanya berdiri di tengah pintu sembari menatap kantong plastik itu tanpa ekspresi. Ketika melihat ada tetangga kosan yang lewat. Ivanka justru memberikan bubur yang diberikan Arthur kepada orang tersebut. "Serius ini buat gue?" tanya Sesil memastikan. "Iya, buat lo aja. Gue nggak suka bubur," sahut Ivanka. "Wah, aneh lo. Kok ada manusia nggak suka bubur," ujar Sesil heran. "Nggak tau, enek gue. Apalagi kalau lagi sakit liat bubur malah tambah nggak nafsu," ungkap Ivanka. "Ya udah, thank you, ya? Kebetulan gue juga belum makan siang, hehe." "Oh iya, kok lo nggak masuk kuliah?" tanya Sesil heran saat menyadari Ivanka masih berada di kosan. "Lagi nggak enak badan gue, makanya nggak masuk," jawab Ivanka dengan suara serak. "Pantesan pucet gitu mukanya. Mau gue kerokin?" tawar Sesil. "Enggak, ah. Nggak kuat gue kalau kerokan. Yang ada malah kayak cacing kepanasan, goyang-goyang mulu," sahut Ivanka. "Lagi sakit sempet-sempetnya ngelawak lo," ujar Sesil. "Biar mendingan kalau kerokan," imbuhnya. "Nggak usah, gue minum obat aja nanti," tolak Ivanka. "Yakin?" tanya Sesil memastikan. Ivanka mengangguk. "Ya udah deh kalau gitu. Semoga cepet sembuh, ya? Makasih banget buat makanannya," ujar Sesil. "Iya, sama-sama," sahut Ivanka. "Lo nggak berangkat ke pabrik?" tanyanya. "Shift malem gue," jawab Sesil. "Owalah," gumam Ivanka. "Kalau gitu, gue balik kamar ya, Van? Mau langsung unboxing buburnya," pamit Sesil. Ivanka tertawa. "Ya udah, sono." Arthur yang melihat Ivanka memberikan bubur pemberiannya kepada orang lain dari kaca mobil hanya bisa terdiam. Ada rasa sesak yang bergelenyar di sudut hatinya ketika mengetahui Ivanka hanya bersikap dingin kepadanya. Padahal dulu Ivanka selalu mencari perhatian dan mengejarnya tanpa henti. Tetapi kenapa sekarang wanita itu berubah? Dia sama sekali tidak pernah menyangka jika Ivanka yang dia kenal ceria dan periang ternyata bisa berubah menjadi orang yang pendiam dan dingin seperti itu. Bayangan senyuman Ivanka yang dulu tiba-tiba muncul di benak Arthur. Suara tawanya yang khas memenuhi pikiran pria itu. Bukankah ia sendiri yang meminta Ivanka untuk berhenti mengejarnya? Tetapi setelah wanita itu benar-benar berhenti, kenapa ia justru merasa ada hilang? ***** "k*****t! Ngapain tadi gue kasih buburnya ke Sesil, sih?" pekik Ivanka menyesal sembari menekan perutnya yang terus berbunyi karena kelaparan. Sedangkan ia tidak memiliki persediaan makanan apa pun di kosan. Ketika Ivanka tengah mengoceh tidak jelas, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kamar. "Ngapain lagi sih dia dateng?" tukas Ivanka kesal. "Udahlah, biarin aja. Nanti juga pergi sendiri," gumamnya tetap berbaring di atas kasur sembari memejamkan mata, dan tidak berniat untuk melihat siapa yang datang. "Vanka!" panggil Sesil. Ivanka membuka mata ketika mendengar suara Sesil. "Oh, si Sesil ternyata," gumamnya. "Masuk aja, Sil! Pintunya nggak gue kunci," sahut Ivanka dari dalam. Sesil pun menekan ganggang pintu dan masuk ke dalam kamar Ivanka sembari membawa dua kantong plastik besar. "Buset! Bawa apaan lo?" tanya Ivanka kaget ketika melihat plastik besar yang dibawa Sesil. "Lo pasti laper, kan? Nih, gue bawain makanan buat lo." Sesil meletakkan dua plastik tersebut di atas kasur. "Karena gue nggak tau lo suka apa, jadi gue beli beberapa biar lo milih sendiri. Ini ada soto, nasi padang, ayam bakar, sama cemilan biskuit dan s**u buat lo," jelas Sesil. Alih-alih senang, Ivanka justru menatap Sesil dengan tatapan curiga. "Kesambet apa lo tiba-tiba beliin gue makanan sebanyak ini?" "Kan lo tadi udah ngasih gue bubur, jadi sekarang gantian. Kebetulan gue juga lagi ada duit," sahut Sesil. "Jangan-jangan lo beliin gue makanan karena ada maunya." Ivanka memicingkan kedua matanya. "Ya Allah, negatif mulu pikiran lo. Udah, ayo cepetan dimakan. Terus obatnya diminum biar cepet sembuh. Kalau nggak habis, nanti makanannya dimasukin ke kulkas. Jadi nanti kalau lo mau makan malam tinggal dipanasi aja," ujar Sesil. "Oh iya, ini tadi di plastik bubur ada obat dan vitamin. Karena gue lagi nggak butuh, jadi obat dan vitaminnya gue balikin," imbuhnya. "Serius ini semua buat gue?" tanya Ivanka memastikan. "Iya, buat lo," sahut Sesil. "Btw, kapan lo belinya? Gue nggak denger suara motor lo lewat," tanya Ivanka heran. "Emm." Sesil terlihat bingung. "Pokoknya ada, deh. Udah, ya? Gue mau beresin kamar." Sesil langsung bergegas pergi dari kamar Ivanka. "Eh? Sil!" "Thank you makanannya!" teriak Ivanka ketika Sesil berlari pergi begitu saja. "Aneh banget tuh orang," gumam Ivanka heran dengan sikap Sesil hari ini. "Gimana? Dia mau?" tanya Arthur ketika Sesil menghampiri mobilnya. "Beres, Kak. Udah aku kasih semua makanannya," sahut Sesil. Arthur tersenyum. "Terima kasih sudah mau bantu." Sesil membalas senyuman Arthur. "Kenapa Kakak nggak langsung kasih aja ke Vanka?" tanya Sesil heran. "Mungkin dia merasa tidak enak kalau saya yang kasih," jawab Arthur. "Oh." Sesil hanya manggut-manggut. "Ya sudah, saya pergi dulu. Lain kali kalau saya minta bantuan kamu tidak apa-apa, kan?" "Santai aja, Kak. Aku siap bantu pokoknya," sahut Sesil penuh semangat. Arthur tersenyum lebar, lalu dia menyalakan mobil dan meninggalkan halaman kosan Ivanka. Setelah Arthur pergi, Sesil langsung memekik seperti orang tidak waras. "Argghh! Ganteng banget kakaknya!" teriaknya histeris hingga membuat orang yang melihatnya terlonjak kaget. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD