Bab 6

1651 Words
HAPPY READING *** Naomi menatap Tigran sedang memanuver mobil, tangan kiri pria itu berada di audio dan tangan kanannya di setir. Tigran melirik Naomi yang memperhatikannya. “Kita lunch ya,” ucap Tigran membuka topik pembicaraan, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.00, ini sudah hampir masuk jam makan siang. “Lunch di mana?” “Apa kamu punya rekomendasi? Biasa kalian makan di mana?” Tanya Tigran lagi. “Di mana aja, asal tempatnya enak.” “Bagaimana kalau rumah saya?” Alis Naomi terangkat, ia lalu menoleh menatap Tigran. Ia tidak menyangka bahwa pria itu menawarkan diri makan di rumahnya. “No, jangan.” “Why? Rumah saya dekat dari sini, tinggal belok saja, nanti langsung masuk rumah saya.” “Enggak Tigran, saya nggak terbiasa di rumah orang lain.” Tigran menatap Kayla, “Kayla mau ke rumah papi?” “Mau, mau, asyik ke rumah papi,” ucap Kayla kegirangan. “Oh God, jangan membawa Kayla dalam hal apapun. Kayla masih kecil dalam memutuskan ini,” desis Naomi, ia tidak suka Tigran menjual nama Kayla di hadapannya. Tigran menarik nafas, ia menyungging senyum, ia melihat ekpresi kaget Naomi, “Kayla harus tau rumah papinya di mana, jika sewaktu-waktu weekend atau liburan, Kayla main ke rumah saya. Kamu tahu di mana jemput Kayla.” “Enggak bisa gitu Tigran. Saya nggak mau tau rumah kamu di mana. Main ke rumah kamu itu sudah terlalu jauh. Kita nggak ada hubungan apa-apa.” “Bagi saya, kamu dan Kayla sekarang bagian dari hidup saya.” “Sebaiknya kita mulai jaga jarak.” Tigran lalu tertawa, ia melirik Naomi, “Hanya karena saya mengajak kamu mampir ke rumah saya, lunch di sana, kamu lalu mengambil kesimpulan menjaga jarak dengan saya. Come on, inilah yang terjadi di antara kita bertiga.” “Saya nggak mau terjadi ke salah pahaman antara kamu dan saya.” “Salah pahamnya di mana?” Tanya Tigran diplomatis. Naomi dan Tigran lalu beradu pandang, tatapan mereka bertemu. Hatinya seketika berdesir menatap iris mata tajam itu. Naomi menelan ludah, bibirnya seketika kelu, ia bingung akan menjawab apa. Sebenarnya kesalah pahaman itu terjadi ketika kemarin Kayla melabeli pria itu dengan sebutan papi. Lalu sekarang, seakan-akan Tigran sudah menjadi ayah dari anaknya. Beberapa detik kemudian, ia alihkan pandangan ke arah Kayla, ia tidak seharusnya berdebat seperti ini di hadapan Kayla. “Kita makan di food court Pondok Indah saja,” ucap Naomi seketika. Tigran menyungging senyum, ia lalu mengarahkan mobilnya ke mall Pondok Indah dua. Ia menuruti kemauan Naomi. Ia tidak memaksakan diri untuk makan siang di rumahnya. Beberapa menit kemudian mobil Tigran sudah berada di Pondok Indah. Ia memarkir mobilnya di plataran mobil. Suasana mall belum terlalu ramai. Tigran mematikan mesin mobilnya, ia membuka sabuk pengaman begitu juga dengan Naomi. Mereka keluar dari mobil, lalu melangkah menuju ke lobby. “Papi gendong,” ucap Kayla. Tigran lalu menggendong tubuh Kayla, menelusuri mall, mereka masuk ke dalam. Naomi tahu bahwa mall ini sangat besar, lantai yang akan mereka tuju lantai paling atas, karena food court ada di sana. Ia melihat Tigran masih menggendong Kayla. Ia tahu betul berat badan Kayla, ia saja enggan menggedong Kayla, karena di rasa berat. “Kamu nggak capek gendong Kayla? Kayla berat loh,” Tanya Naomi, ia saja biasa menyuruh Kayla jalan sendiri, apalagi di escalator seperti ini. Bibir Tigran terangkat, “Jangan kan gendong Kayla. Gendong kamu aja saya mampu.” Naomi mendengar itu nyaris menganga, “Kamu …!” Ia melihat senyum nakal pada diri Tigran. Sepanjang perjalanan menuju food court ia hanya diam, hanya Kayla lah yang berbicara kepada Tigran, dan Tigran dengan senang hati menjawab setiap pertanyaan putrinya. Mereka melewati beberapa gerai boneka dan mainan anak-anak. “Papi.” “Iya sayang,” ucap Tigran. “Kayla mau boneka.” “Iya, nanti kita beli. Kita makan dulu ya.” “Asyik.” “Kayla, bonekanya sudah banyak, jangan beli lagi,” ucap Naomi. “Enggak apa-apa.” “Tapi saya nggak tau mau taruh di mana. Kamarnya Kayla sudah banyak boneka.” “Kita akan tetap beli,” ucap Tigran tanpa ingin di tolak. Naomi tidak bisa berkata-kata, ia menyeimbangi langkah Tigran. Beberapa menit kemudian mereka tiba di ruang restoran. Restoran di sini tidak terlalu ramai, mungkin karena mall baru di buka. Mereka memilih restoran Marugame Udon, karena suasananya masih sepi. Tigran masih menggendong Kayla dan sementara Naomi memegang tray memesan menu. “Kamu mau makan apa?” Tanya Naomi, sambil menatap ke arah menu. “Beef curry udon. Kalau kamu apa?” Tanya Tigran. “Niku udon, kalau Kayla saya pilihin chiken katsu rice. Kamu mau gorengannya juga nggak?” Tanya Naomi. “Iya, mau. Saya mau, udang tempura, tori tempura, kakiage, dan nori.” Naomi memberitahu server atas pesananya, dan server itu mulai melayani pesanan Naomi dengan cepat. Tiga mangkuk sudah tersedia di tray. Tigran yang menggendong Kayla, melihat Naomi nampak kewalahan. “Sayang, papi bantu mami dulu ya, bawa makanan.” “Iya, pi.” “Kamu ambil tempat di ujung sana, papi bayar dulu,” tunjuk Tigran memberi arahan kepada Kayla. “Iya, pi,” ucap Kayla lalu berlari menuju tempat yang ditunjuk Tigran. Tigran mengambil Tray lagi, ia mengambil piring kosong, menaruh beberapa gorengan, begitu juga dengan Naomi, ia mengambil gorengan kesukaanya. Sejujurnya beberapa hari yang lalu Naomi memang menginginkan makan di sini, namun selalu full. Untung saja mereka datang lebih awal, jadi pengunjung belum ramai. Tigran melihat tray sudah berisi makanan, ia membayar melalui kartu debitnya. Ia memandang Naomi menghampiri Kayla dan meletakan makanan mereka di sana, lalu di susul dengan dirinya berisi beberama makanan. Ia menatap Naomi mengambil cabai dan minuman dingin di meja prasmanan. Tigran memilih duduk di samping Kayla, karena Kayla ingin duduk dengannya. Ia menatap Naomi di hadapannya, wanita itu menyesap ice lemon tea dingin. “Kayla mau makan sendiri atau di suapin?” Tanya Tigran. “Makan sendiri pi,” ucap Kayla. Tigran menatap hidangan di depan matanya, ia mengambil gelas dan meneguk minuman itu. Ia melihat Naomi memasukan cabai ke dalam mangkuk, dia terlihat bersemangat. “Saya dari beberapa Minggu yang lalu memang pingin makan di sini, tapi setiap kali mampir ke gerai ini selalu penuh,” ucap Naomi membuka topik pembicaraan, ia melihat kuah segar niku udon pesananya dan sambil menyumprut hasil racikannya. “Kamu sering makan di sini?” Tanya Tigran, ia mengambil sumpit dan makan dengan tenang. “Dulu sering, sama sahabat saya Reni. Karena kita sama-sama suka makan makanan Jepang. Hanya sekarang sahabat saya lagi sibuk banget ngurus nikah.” “Dia punya kehidupan tersendiri dengan pasangannya. Well, kalau mau makan-makan seperti ini, saya sering sama Kayla,” ucap Naomi, ia mengambil sumpit dan memakan udonnya dengan tenang. “Sekarang kamu enggak sendiri lagi, kamu bisa ajak saya kalau kamu pingin makan sesuatu.” Naomi melirik Tigran, pria itu tersenyum dan memakan makanannya. Ia tidak menjawab ucapan pria itu, ia memilih memakan udon. Ia melihat mereka makan bertiga lagi seperti kemarin. Mereka bertiga makan dengan tenang, dan Kayla juga tidak rewel ketika bersama Tigran, seolah sudah menemukan ketenangan. Dia selalu nurut atas ucapan Tigran. “Kamu berapa saudara?” Tanya Tigran, sambil mamakan nori goreng, ia hanya ingin tahu kehidupan Naomi seperti apa. “Tiga, saya anak pertama.” “Adik kamu cewek atau cowok?” “Cewek semua.” “Sudah menikah?” Tanya Tigran penasaran. Naomi memakan tempura, ia mengangguk, “Iya, semuanya sudah.” “Jadi hanya kamu yang belum. Maksud saya belum menikah lagi?” “Iya belum.” “Kamu sudah lama sendiri?” Tanya Tigran penasaran. “Sejak melihirkan Kayla, saya sudah sendiri.” Tigran menatap Naomi, ia tidak menyangka bahwa Naomi selama itu sendiri. Sekarang ia taksir umur Kayla sudah hampir enam tahun. Tigran tidak perlu bertanya di mana mantan suaminya, alasan kenapa mereka berpisah, karena itu dalam membuka luka batin Naomi. Ia tidak bisa membayangkan hidup Naomi seperti apa. Mengasuh serta mendidik anak dengan status single parent, sekaligus menjadi ayah seorang Kayla, itu bukanlah hal yang mudah. Ia tahu bahwa Naomi pasti mengalami namanya titik terendah dalam hidup. Bagaimana cara dia menghasilkan uang sendiri, menambah pemasukan, membaca buku tentang pengasuhan anak, karena dia sadar ada banyak keterbatasan dalam dimensi ngasuh anak dibanding diri sendiri. Apalagi Naomi harus memainkan karakter dalam satu waktu. Kadang anak memang harus didik tegas, menerapkan disiplin pada anak, kadang juga harus bersikap lemah lembut dalam memberikan penjelasan sederhana tentang hal-hal di tanyakan anak. Ia tahu bahwa menjadi single parent seperti Naomi sangat tidak mudah, harus mewajibakan stanbay membagi waktu antara kerjaan dan anak. Ketika waktu liburan menemani anak. Belum lagi Naomi harus menerima stigma masyarakat prihal jodoh dan status janda. Naomi menyadari Tigran memeperhatikannya, ia mengambil tempura dan memakannya. Pria itu tidak bertanya lagi tentang dirinya. “Apa ada yang ingin kamu tanyakan lagi?” Tanya Naomi. Tigran meraih gelasnya, ia menyesap minuman itu, “Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan, tapi nanti saja tunggu tidak ada Kayla.” “Tidak pantas rasanya berbicara seperti ini di hadapan Kayla,” ucap Tigran, ia kembali memakan udonnya. Naomi melirik Tigran, ia tahu bahwa pria itu pasti akan bertanya-tanya tentang dirinya. “Kamu nggak kerja?” Tanya Naomi penasaran. “Kerja. Tadi sudah menghubungi sekretaris saya, bahwa saya memang tidak datang ke kantor hari ini. Meeting hari ini saya cancel besok pagi.” “Saya ingin menghabiskan waktu saya bersama Kayla hari ini.” “Come on, kamu harus kerja Tigran. Hanya karena Kayla kamu mengundurkan meeting kamu.” “Meeting nggak terlalu urgent, hanya pertemuan biasa sama manager, hanya evalusi kerja saja,” ucap Tigran, ia menyudahi makannya, ia melirik Kayla yang makan dengan tenang. “Kalau kamu?” Tanya Tigran. “Saya harus kerja setelah ini dan Kayla harus pulang ke rumah. Jam tiga nanti Kayla jadwalnya les piano.” “Saya antar kamu ke tempat kerja setelah makan, dan Kayla bersama saya.” “Tapi Tig …” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD