PDG 02

1568 Words
Tak berapa lama Rocelin datang ke ruang tamu. Menyusul ke dua pria yang tengah berbincang di ruang tamunya. "Astaga! Aku ada meeting penting hari ini. Em, Angga. Bisakah aku minta tolong padamu? Jaga putriku sebentar saja. Aku akan pergi menemui klienku." pintanya. Karena Baron sudah menganggap Anggara sebagai kerabatnya sendiri. Dan mungkin, dia juga bisa menganggap Rocelin sebagai putrinya. Pikir pria tersebut. Tanpa menunggu permintaan untuk yang kedua kalinya, Anggara segera mengangguk setujui. Baron pun pergi, menyisakan sang sahabat dengan putrinya. Rocelin tersenyum malu, mendudukkan tubuhnya di samping sang kekasih. "Om, aku merindukanmu." Anggara tersenyum dan menarik tubuh sintal gadis itu, mendudukkan di atas pangkuannya. "Benarkah? Aku pikir hanya diriku yang merindukan kekasih cantikku ini." bisiknya, sembari mencium ceruk leher putih sang kekasih. Rocelin mengalungkan kedua tangannya di leher sang pria. "Om, aku sangat mencintaimu. Jangan pernah pergi meninggalkanku." "Aku lebih mencintai dirimu, aku harap kita bisa bersama selamanya." terbesit rasa sakit di dalam d**a Anggara. Ketika ia mengucapkan kata-kata itu. Ia tau dirinya salah, karena telah mencintai seorang gadis yang umurnya terpaut jauh dengannya. Terlebih, sosok itu merupakan putri dari sahabatnya. "Om, aku takut. Jika sampai papa mengetahui hubungan kita. Aku takut jika papa tidak merestui hubungan kita berdua." sedihnya. Anggara ikut merasakan hal yang sama dengan apa yang sang kekasih rasakan. "Jangan pikirkan hal itu. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Apapun caranya, aku akan mencoba berbicara dengan papamu. Dan meminta restu darinya." Rocelin tersenyum, dan mendekatkan wajahnya dengan wajah pria di hadapannya. Rasa sesak di dalam dadanya terasa semakin membuncah. Rasa cinta dan takut bersatu menjadi satu. Ia hanya ingin meluapkan rasa gelisahnya pada sosok pria di hadapannya. Anggara sedikit menarik tengkuk gadis tersebut. Hingga kini bibir keduanya bersatu, memejamkan kedua mata mereka, menyalurkan perasaan masing-masing. Hingga tiba-tiba. "ANGGARA!!" Teriakan menggema mengagetkan atensi mereka berdua. Dengan gerakan cepat, Rocelin berdiri dari pangkuan sang kekasih. Anggara hanya bisa meraup wajahnya kasar. Sudah ia duga, cepat atau lambat, hubungannya dengan sang kekasih akan tercium oleh sang sahabat. Dengan mengambil langkah lebar. Baron berjalan mendekati tubuh Anggara. Merepalkan kedua genggaman tangannya dan siap menghantam wajah pria di hadapannya. BUGHH!! Satu bogeman mentah tepat mengenai wajah pria di hadapannya-Anggara. Membuat pria itu terhuyung jatuh, dengan sudut bibir pecah. Tanpa ada pembalasan dari Anggara. "Aku tak pernah menyangka, jika kamu tega mengkhianati persahabatan kita Ang! Katakan padaku! Sudah kau apakan putriku, b******n!" emosi Baron, tersungut-sungut. Pria itu murka, tak menyangka jika sahabatnya tega melakukan hal tersebut. Rasa benci Baron kian membara. Ingin ia memukul sosok pria itu lagi, jika saja Rocelin tak mengehentikan pergerakannya. "Pa ... jangan pukul Om Angga, aku mencintainya. Dia tidak salah," tangis Rocelin, seraya memeluk sebelah kaki sang ayah. Bagai disambar petir di siang bolong. Rasanya Baron tak percaya, saat sang putri mengatakan semua itu. Baron menarik pundak sang putri, kasar. Mensejajarkan dengan tubuhnya. Menatap kedua iris berkaca-kaca sang denganputri. "Rocelin! Apa kamu sadar apa yang kamu katakan, hah?! Lihat dia! Dia pria berumur. Umurmu dengannya terpaut jauh. Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?! Apa tidak ada pria lain selain dia?!" tunjuk Baron, pada sosok pria yang terlihat menunduk pasrah di sana. "Umur tidak menjadi alasan untuk semua orang merasakan jatuh cinta, Pa. Aku mencintai Om Angga, dia baik padaku. Lagipula, dia juga belum mempunyai istri. Lalu, apa salahnya jika kami saling mencintai?" "Kau berani membantah Papa, hanya karena pria itu?!" bentak sang ayah, tak percaya. Rocelin semakin sesenggukan. Ia tak ingin berpisah dari kekasihnya. Baron beralih mendekati tubuh sahabatnya, menarik krah baju pria tersebut. "Pergi dari hadapanku! Lupakan tentang persahabatan kita. Aku muak melihat wajahmu!" desis Baron. "Ron, jangan begini. Maafkan aku, aku salah. Tapi, aku mohon padamu, jangan putuskan hubungan persahabatan kita." "Pergi dari hadapanku!!!" teriak Baron lagi. Anggara menggelengkan kepalanya. Dan memilih pergi dari tempat tersebut. Melirik sebentar ke arah sang kekasih, yang terlihat berderai air mata. "Om, jangan tinggalin aku." tangis Rocelin, meluruhkan tubuhnya. Isak tangisnya semakin menjadi. Rocelin memutuskan untuk berlari mengurung diri di dalam kamarnya. Meninggalkan sang ayah. Baron kesal, bagaimana semua ini bisa terjadi? Semau bagaikan mimpi buruk. Keesokan harinya. Rocelin terduduk di hadapan sang ayah. Dengan kedua mata sembab sehabis menangis semalaman. "Ada yang ingin Papa bicarakan padamu." ucap sang ayah, kedua netranya bergerak gusar. Seperti tak tega mengutarakan isi hatinya. "Katakan, Pa," sahut sang putri dengan suara paraunya. "Papa ingin memindahkan pendidikanmu ke luar negeri." DEGG!!! Jantung Rocelin terasa jatuh merosot hingga ke perut. Apa ia tak salah dengar? Bagaimana bisa ayahnya mengambil keputusan sepihak seperti ini?. "Pa, aku tidak mau. Aku--" "Keputusan Papa sudah bulat. Kemasi barang-barangmu. Karena besok, Papa akan mengantarkan keberangkatanmu." final sang ayah, melenggang pergi meninggalkan sang putri yang terlihat kembali menangis. Rocelin berlari ke kamarnya, menutup pintu kamarnya kasar. Gadis itu tak bisa menahan air matanya yang kini sudah berderai begitu derasnya. Dengan punggung tersender di daun pintu, berlahan merosot. Seolah kedua kaki jenjangnya tak mampu menumpu berat badannya. "Papa ... kenapa papa begitu egois. Hik ... om Angga, aku tidak mau berpisah denganmu." tangis Rocelin, meraung. Berlahan gadis itu mengangkat tubuhnya. Berjalan lunglai, tak punya tenaga. Kedua tangan bergetar nya, meraih knop lemari baju. Membukanya berlahan, dan mengambil baju-baju yang masih menggantung di gantungan baju. Mengambilnya satu persatu, dan meletakkannya di atas kasur. Mengambil koper besar yang sedikit berdebu di bawah kolong kasur besarnya. Membukanya, dengan perasaan tak rela. Memasukkan potongan baju-bajunya ke dalam koper besar tersebut. Air mata tak henti berderai, hati Rocelin hancur tak berbentuk. Ia marah, melempar koper besar di hadapannya. Dan menjatuhkan tubuhnya ke atas kasurnya. Rocelin mengambil lembaran foto dirinya dengan sosok pria dewasa yang terlihat tengah berpelukan mesra. Rocelin meremat erat lembaran kertas tersebut, memeluknya. Seakan ia sedang meluapkan kesakitannya dipelukan sang pria. "Om Angga ...," isaknya, sebelum kemudian ia terlelap, karena kelelahan terlalu lama menangis. Beberapa jam kemudian. Baron merasa begitu bersalah, tapi semua ini demi kebaikan putrinya. Ia tak ingin jika suatu saat putrinya menyesal. Karena telah memilih pilihan yang salah. Rocelin masih begitu labil, gadis itu belum bisa berpikir dewasa. Dengan gerakan pelan, Baron membuka pintu kamar sang putri. Waktu sudah menunjukkan pukul 23:00. Pria itu berjalan mengendap-endap, memasuki ruangan gelap tersebut. Melihat atensi sang putri, yang kini terlihat tengah tertidur pulas. Baron mendudukkan tubuhnya, di samping tubuh putrinya. Menyingkap rambut panjang yang menutupi separuh wajah gadis itu. Terlihat masih ada bekas air mata yang membasahi pipi putihnya. "Maafkan Papa, Nak. Maafkan Papa," lirih Baron, mengusap pucuk kepala sang putri. "Papa melakukan semua ini demi kebaikanmu. Papa tak ingin nasipmu seperti kedua orang tuamu ini. Papa menikahi mamamu di usia muda, dan berakhir dia meninggalkan Papa. Papa tidak ingin, kau merasakan hal yang sama. Seperti apa yang telah Papa rasakan." Baron tak kuasa menahan isakan. Buru-buru ia meninggalkan ruangan tersebut. Ia tak ingin sang putri melihat dirinya begitu lemah. Bunyi pintu tertutup, menandakan jika Baron sudah keluar dari ruang kamar itu. Rocelin membuka kedua mata sembabnya. Menatap nanar pintu yang terlihat sudah tertutup rapat di sana. Gadis itu tak punya harapan lagi, ia memilih menutup matanya. Agar air matanya tak kembali berderai, namun nyatanya air mata itu tetaplah keluar tanpa seijinnya. Keesokan paginya. Rocelin keluar dari kamarnya, ia sudah siap. Menyeret koper besarnya. "Pa, ijinkan aku bertemu dengan om Angga, untuk yang terakhir kalinya." pintanya lesu. Baron mengangguk, tak ada salahnya ia mempertemukan sang putri dengan pria yang berstatus sebagai mantan sahabatnya itu. Tapi tidak, ia tak bisa melakukan hal itu. Terpaksa ia harus membohongi putrinya. "Baiklah. Papa akan menghubunginya dan menyuruhnya untuk menemuimu di bandara." bohongnya. Rocelin mengangguk, sedikit ada rasa bahagia. Setidaknya ia bisa bertemu dengan pria pujaannya sebelum pergi. Di sinilah sekarang Baron dan Rocelin berada. Di bandara XXX. "Apa om Angga masih lama?" tanya gadis itu. "Papa sudah menghubunginya. Jika dia benar-benar mencintaimu, dia pasti akan datang." Santai sang ayah. Rocelin bergerak gusar, keberangkatannya kurang setengah jam lagi. Tapi Anggara belum juga datang. Rocelin mulai berpikir buruk mengenai pria tersebut. Apa benar jika Anggara hanya main-main dengannya? Kenapa pria itu seolah tak peduli dengan dirinya?. Rocelin ingin menghubungi pria itu sendiri, jika saja sang ayah tak menyita ponselnya. Setengah jam telah berlalu. Anggara tak kunjung datang ke bandara. Terpaksa Rocelin berangkat tanpa bertemu dengan pria tersebut. Meninggalkan luka dalam yang tersimpan di dalam hatinya. Cinta yang awalnya begitu indah berubah menjadi semu, tanpa ada kepastian. Tanpa adanya titik terang, entah dirinya putus atau masih berhubungan dengan pria tersebut. *** Sedang di kantor milik Anggara. "Ang. Tadi pak Baron memberikan pesan padaku. Jika dia tidak bisa menghadiri rapat hari ini." ucap sahabat pria tersebut. Anggara yang sibuk dengan laptop di hadapannya sontak menghentikan kegiatannya. "Kenapa? Apa dia sakit?" khawatirnya. "Aku dengar dia sedang mengantar putrinya ke bandara." Anggara membolakan kedua bola matanya. "Maksudmu Rocelin?!" "Siapa lagi jika bukan gadis itu, kau tahu sendirilah, jika Baron hanya memiliki seorang putri." Tanpa berpikir panjang, Anggara segera meraih jas kebesarannya yang tersampir di kursi tempatnya terduduk. Dengan langkah tergesa ia berlari? Mengabaikan teriakan sang sahabat. Sesampainya di bandara. Anggara segera mencari keberadaan sang kekasih. "Sial!" Pria itu mengusak rambutnya acak. Melampiaskan kekesalannya. Hingga tanpa sengaja ia melihat atensi Baron. Yang mungkin sudah akan pulang dari tempat ini. "Baron!!" teriaknya. Sosok pria tersebut menoleh, mengehentikan langkahnya. "Di mana Rocelin?!" tanya Anggara, mengguncang kedua bahu pria di hadapannya. Tanpa menjawab, Baron menolehkan kepalanya ke arah pesawat yang mulai lepas landas di kejauhan sana. "Tidak, ini tidak mungkin." Anggara berlari ke arah pembatas. Berteriak memanggil nama gadis yang kini sudah berada di dalam pesawat. Meninggalkan dirinya dalam kesepian. "ROCELIN!!!" teriaknya, berharap jika gadis itu mendengar jeritannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD