Butuh waktu satu pekan untuk memikirkan semuanya, apalagi sempat mendapat tentangan orang tua karena aku selalu sibuk bekerja. Setelah meyakinkan mereka bahwa aku tidak akan terlalu sibuk sekarang dan lebih banyak handle pekerjaan dari rumah, akhirnya mereka menyetujui.
Aku tidak tahu, mengapa dorongan ini begitu kuat setelah melihat Shazna. Padahal, aku sebelumnya pernah beberapa kali melihat anak perempuan, tetapi tidak ada yang semanis Shazna. Dorongan itu akhirnya membawaku memarkirkan mobil di samping gerbang sebuah panti asuhan 'Ar-Rayhan'.
Sebelum turun, aku memastikan bahwa pesan konfirmasiku pada Mirza sudah dibalas. Ia mengizinkan untuk bertemu, sehingga aku bisa meyakinkan diri untuk keluar dari mobil.
Sebelum melangkah memasuki pelataran panti, aku memastikan sekali lagi bahwa celana panjang warna krem dan sweter rajut senada dalam kondisi rapi. Rambut aku tata dengan baik, agar tidak memberikan contoh yang buruk untuk anak kecil. Ponsel aku masukkan ke dalam tas selempang warna cokelat, lalu mulai melangkahkan kaki yang dibalut Chelsea boots warna krem memasuki area gerbang.
Awalnya, aku ingin menanyakan keberadaan Mirza, tetapi ternyata tidak sulit menemukan pria itu. Ia berdiri di bawah sebuah pohon rindang mengawasi beberapa anak berusia lima tahunan yang sibuk bermain. Aku datang menghampiri, dan sejenak kikuk harus mengawali dengan kalimat jenis apa.
Halo, atau salam?
Namun, mengingat bahwa Syakila sangat religius, jadi kupastikan bahwa suaminya tidak akan beda jauh. Aku akhirnya memutuskan untuk mengucap salam, tetapi karena terlalu lama berpikir, pria itu sudah berbalik dengan ekspresi kaget samar, lalu menunjukkan senyum ramahnya.
"Assalamualaikum," sapaku kikuk.
"Wa alaikumussalam," jawab pria itu. "Silakan duduk." Ia menggeser posisi duduknya ke sudut kursi, sehingga ketika aku memenuhi arahan itu, masih ada ruang tiga jengkal di antara kami.
"Sendiri?" tanya pria itu, setelah melihat di sekitarku. "Mau adopsi anak?"
Aku mengangguk dua pertanyaan tersebut, lalu memperjelas jawaban, "Ya, saya sendiri."
"Sudah menikah, 'kan?"
Aish, kenapa harus bertanya seperti itu? Apa Syakila sengaja ingin mengujiku melalui suaminya, atau memang ketidaktahuan lelaki ini. Susah payah, aku menahan diri untuk tetap tenang.
"Belum, Pak."
Pria itu tampak kebingungan sebentar, dan itu membuatku tidak nyaman. Beberapa kali, aku membawa rambut yang menjuntai di depan, ke belakang telinga, atau sekadar memainkan tas untuk membuka-tutup demi mengalihkan fokus.
"Syakila kayaknya belum paham masalah syarat adopsi anak ...." Pria itu menggantung kalimatnya, membuatku kebingungan. Ketika ia menaikkan sebelah alisnya, aku secara ragu menyebutkan nama.
"Mahira," ucapku.
"Mahira," lanjut pria itu. "Tapi adopsi anak cuman bisa dilakukan oleh orang yang sudah menikah, minimal berusia 31 tahun dengan usia pernikahan minimal 5 tahun."
Aku balas terkejut mendengar hal ini. Aku sempat mengepalkan tangan di atas tas, merasa dipermainkan Syakila. Mustahil dia tidak tahu informasi dasar seperti ini.
"Tapi nggak masalah," kata Mirza, yang membuatku segera menatapnya penuh harap.
Sialnya, aku malah salah fokus ke senyum manis yang pria itu tampilkan. Ini pertemuan kedua kami, dan yang pertama kalinya kami bicara, tetapi entah mengapa aku bisa menemukan gambaran bijaksana dari pria ini. Well, terlepas dari umurnya memang dewasa, banyak pria di luaran sana sudah tua, tetapi masih seperti remaja puber. Sementara pria ini ... aku bingung mencarikan kata yang sesuai.
Dibandingkan mendengarkan penjelasannya, aku malah sibuk mengerutkan kening untuk mencari kata yang sesuai untuk menggambarkan pria ini. Apa ... ya?
"Mahira?" Pria itu memanggil, membuatku mengerjap beberapa kali demi mengembalikan fokus. "Kamu dengar saya?"
"Ah iya?" Aku kebingungan, dan tidak menangkap apa pun sebelumnya.
"Kamu bisa asuh anak saja, tidak perlu dokumen rumit seperti adopsi anak, tapi anak yang orang tuanya memang sengaja titipkan di sini, sehingga kalian bisa bicara langsung."
Aku kebingungan sebentar, belum memahami dengan baik. Terlebih, pada perbedaan adopsi dan asuh. Kupikir hanya tinggal pilih anak, bawa pulang, selesai.
"Saya ... nggak paham," ucapku jujur.
"Tidak masalah, nanti saya bantu bertemu orang tua anak yang bersangkutan. Kamu mau kenalan dulu dengan anak-anak mungkin, biar tahu mau yang mana?" ucap Mirza. "Tapi di sini—kata Syakila—kamu bener-bener siap jaga mereka kan, ya? Kasihan kalau anak sekecil mereka ditelantarkan, dan cuman disayang pas butuh saja. Mereka harus diperhatikan 24 jam."
Yah ... yah ... ketahuan kalau aku hanya ingin mendapatkan boneka hidup secara instan di sini. Aku meneguk ludah secara kasar, tetapi tetap mengangguk. Toh sudah kepalang tanggung. Nanti bisa sambilin belajar.
Asal niat, mau berusaha, pasti bisa. Itu motoku.
"Bisa, saya bakalan perhatiin 24 jam. Bisnis saya juga sudah bisa diatur sama karyawan kepercayaan saya, jadi bisa saya pantau dari rumah sambil jaga anak itu nanti," kataku yakin.
"Baik kalau begitu," ucap Mirza sembari bangkit dari posisi duduknya. "Ayo. Saya saranin kamu asuh anak perempuan saja, ya?"
"Iya," jawabku sembari mengekori pria itu. "Saya memang mau yang anak perempuan. Hm ... yang ... sejenis Shazna, ada?"
Pria itu sempat menoleh karena terkejut, sekaligus bingung. Putrinya aku bawa-bawa. Awalnya segan, tapi karena sudah kepalang tanggung, ya sudah.
"Saya mau gini, karena lihat Shazna. Manis banget, kayak ... bisa jadi pelipur beban banget gitu," ucapku lirih, jujur.
Mirza hanya mengangguk, lalu lanjutkan perjalanan. Aku sedikit mempercepat langkah, agar bisa sejajar.
"Anak memang jadi penghibur begitu, di saat kita lagi kesepian atau suntuk," kata Mirza. "Kalau lagi capek-capeknya pas pulang, terus disambut sama anak yang lari-lari nyambut, lihat dia ketawa, perhatiin dia main, sambilin diajarin ... itu capek kayak hilang gitu aja, dan bakalan jadi kenangan paling manis dalam hidup manusia."
Aku hanya bisa mengangguki ucapan pria itu, karena tidak memiliki memori dengan anak kecil sedetail dirinya.
"Kalau boleh tahu, kenapa ... bukannya punya anak sendiri saja?" tanya pria itu, sembari menoleh sebentar padaku. "Tapi tidak perlu dijawab. Saya cuman ... agak heran begitu ya. Selama masih normal dan bisa mengandung serta melahirkan bayi, agak sayang menyia-nyiakan karunia seperti itu. Tapi juga, saya senang kalau anak di sini ada yang urus seperti orang tua kandung sendiri."
"Saya ... agak trauma sama laki-laki, Pak," ucapku lirih, jujur. Entah mengapa, baru kali ini aku tergugah mengatakannya dengan benar. Padahal biasanya, aku selalu mengelak di balik jawaban, 'kalau aku sendiri bisa, ngapain harus nampung laki-laki?'.
"Nggak ada laki-laki di sekitar saya yang ... beneran bertanggung jawab." Aku melanjutkan, tetapi kemudian sadar bahwa pria ini mungkin berbeda. "Ini di sekitar saya, ya. Pak Mirza mungkin beda."
"Eh-hem." Mirza memberi isyarat agar aku melanjutkan.
"Ayah saya dulu selalu selingkuh. Dimaafin, ulangin lagi. Begitu beberapa kali, sampai akhirnya memilih selingkuhannya," lanjutku, curhat. "Laki-laki di sekitar saya yang sudah menikah, sering KDRT, atau main judi. Banyak juga yang pemalas, dan maksa istrinya yang urus beberapa anak sambilin kerja buat nyari nafkah keluarga. Dari sini saya mikir, ngapain saya harus nambah beban pikiran dengan menikahi laki-laki yang kemungkinan seperti itu semua."
Mirza mengangguk-angguk, tampak serius mendengarkan ceritaku.
"Wajar kamu trauma," kata pria itu. "Tapi, Mahira, dari ratusan juta penduduk di Indonesia, dan milyaran manusia di dunia, saya yakin, jutaan dari mereka adalah orang baik. Hanya perlu sedikit usaha untuk mencari yang tepat, dan sedikit membuka mata. Kadang, ada jodoh manusia terselip di antara orang sekitar secara tidak sadar."
"Saya sudah bilang, orang sekitar saya, bermasalah semua," balasku.
"Kalau begitu, pilihan pertama. Kamu harus sedikit berusaha buat mencari orang yang sesuai itu."
Aku agak ragu dengan tawaran itu, mengingat circle perkenalanku tidak terlalu sempit, dan ... benar-benar tidak ada yang bisa menarik perhatian. Selalu ada mines di semua sikap lelaki yang pernah kutemui. Entah itu bertanggung jawab, tetapi wajahnya bukan seleraku. Ada yang dewasa dalam berpikir, tetapi cuek ke pasangan sendiri. Ada yang ... yeah, seperti kukatakan tadi: KDRT, judi, dan hobi selingkuh.
"Ini kawasan anak perempuan usia dua sampai enam tahun," kata Mirza, ketika kami ternyata sudah sampai di depan sebuah ambang pembatas ruangan. "Silakan, kamu bisa kenalan, dari cari Shazna kamu sendiri."
Aku mengangguk kecil, tetapi pikiranku masih tidak luput dari obrolan tadi. Sebelum melangkah masuk, aku sempatkan melirik Mirza sebentar dengan tatap ragu.
"Omong-omong, kalau cari orang kayak Pak Mirza, itu di mana, ya?"
Pria itu syok.
*
Seharusnya aku punya malu untuk tidak datang berkunjung ke sini, tetapi sudah kepalang basah. Jadi ya, tahan malu karena mengingat pertanyaan anehku pada Mirza, agar bisa mengembalikan suasana seperti semula.
Aku bertemu wanita yang merupakan orang tua tunggal dari Mikayla—anak yang akan aku asuh. Mudah mengambil persetujuannya, karena sedari awal tidak bisa mengurus Mikayla dengan baik sehingga menyerahkannya ke sini.
Alamat rumah aku berikan pada wanita itu sebagai penutup kesepakatan kami yang disaksikan langsung oleh Mirza dan dua pengurus lainnya.
"Ini alamat saya, nanti kapan-kapan bisa mampir buat lihat Mikayla," ucapku, kemudian berdiri.
Aku tidak bisa terlalu lama di sini, karena masih canggung dengan Mirza. Ini saja, aku berusaha menghindar dengan mencari tahu informasi dari pengurus perempuan bernama Fatma.
"Ayo sini, Sayang." Aku sudah menunjukkan senyum pada Mikayla, agar gadis pendiam itu mau mendekat pada tanganku yang terulur.
Namun, Mikayla malah semakin mempererat pelukannya pada sang ibu. Aku menegakkan punggung, malas. Jujur saja, gadis itu masih tidak sesuai dengan Shazna secara sempurna. Ia tidak seimut Shazna. Hanya karena sifatnya pendiam, sehingga aku memilih gadis itu agar tidak diganggu, tetapi sepertinya, anak ini juga bukan yang terbaik.
"Mikayla sama Tante Mahira, ya?" Wanita itu mencoba membujuk, tetapi Mikayla malah semakin menjerit dan memeluk ibunya.
"Mau pulang ... pulang ... pulang sama Ibu ... mau pulang."
Aku sampai harus mundur untuk mengurangi kadar berisik yang gadis itu berikan, tetapi tidak berguna karena kami masih satu ruangan. Gadis itu meronta dengan sangat kuat, melompat-lompat saat ibunya hendak memisahkan pelukan mereka, dan semakin histeris ketika tangan kecilnya sama sekali tidak berguna menghalau kekuatan sang ibu.
Mendadak saja, aku merasa bersalah. Melihat anak ini sangat menyayangi ibunya, sangat tidak tega jika harus memisahkan mereka.
"Ini," kata wanita itu padaku, ketika secara paksa mengarahkan tangan Mikayla ke arahku. Ia berdiri, hendak pergi.
Mikayla sudah aku tahan, tetapi hanya sekadar itu. Aku tidak berniat membujuk atau menghibur, hanya menatap kepergian wanita tadi dari ruangan ini. Rontaan Mikayla kian kuat, sampai akhirnya aku merasakan bobot gadis kecil itu lebih berat dari sebelumnya.
Mikayla jatuh pingsan, dan beruntungnya segera aku tahan. Aku menatap bingung pada pengurus itu, dan Fatma bergerak cepat untuk membawa Mikayla dalam pelukannya, keluar dari ruangan ini.
"I—itu kenapa?" tanyaku pada Mirza. Karena hanya dia yang tinggal di sini, sementara dua pengurus lainnya sudah pergi. "Mikayla nggak papa, kan? Kok saya jadi, nggak enak gini. Berasa jadi orang jahat yang pisahin anak sama ibunya."
"Kamu baru," kata Mirza, "Baru datang kemarin. Cuman perkenalkan nama saja, bukan sifat dan karakter kamu. Apalagi di pertemuan kedua, kamu memang seperti mau pisahkan dia dari ibunya dan dari tempat ini. Jadi ya, bagi Mikayla ... kamu tidak beda jauh dari penculik."
"Hah?" Aku jelas tidak terima hal itu, tetapi Mirza malah tersenyum, sembari berjalan keluar dari ruangan. Aku turut menyusul.
"Awalnya pun, Mikayla di sini susah beradaptasi. Selalu mengurung diri, dan tidak mau dekat dengan temannya yang lain. Dulu, dia takut juga sama pengurus-pengurus di sini, sampai akhirnya bisa dibujuk dengan halus, dan akhirnya bisa beradaptasi," jelas Mirza. "Kamu bisa coba cara itu. Cuman ya ... beberapa pekan awal, dia agak sedikit keras dan pendiam, plus takut sama kamu. Dekati dengan pelan-pelan saja."
"Kok ribet, ya?"
"Tidak ada yang instan, Mahira. Entah melalui jalur hamil atau asuh anak, semuanya butuh proses," jawab pria itu, tenang.
Aku hanya bisa menghela napas panjang. Lalu mengangguk kecil sebagai jawaban.
"Ada cara lain nggak? Saya kurang tega kalau lihat anak kecil murung kalau saya bawa pulang secara paksa. Hewan saja bisa stres dan mati kalau dipaksa ke tempat yang sulit buat dia adaptasi, apalagi saya yang berurusan sama anak kecil, untuk pertama kalinya. Saya masih minim pengalaman, takut salah langkah."
"Hm ...." Pria itu bergumam panjang, tampak berpikir. Ia menghentikan langkahnya, membuatku melakukan hal sama. Mirza berbalik menghadapku. "Kamu bisa luangkan waktu ke sini setiap hari? Satu-dua jam, cukup. Main sebentar sama Mikayla, seenggaknya sampai dia yakin kamu bukan orang jahat. Anak kecil mudah dipengaruhi kok."
Ide yang bagus, tetapi tidak dengan jarak jauh yang harus kutempuh untuk datang ke sini. Saran tersebut aku tolak.
"Lumayan jauh dari rumah saya, Pak. Bisa hampir dua jam, kalau nggak macet. Kemarin pas pulang, sempat macet, lama sampai rumahnya," jawabku jujur.
Kami berdua saling kebingungan, sampai aku mengingat satu nama.
"Bu Fatma ... pengurus di sini, tinggal di sini?" tanyaku penasaran, dan Mirza mengangguk. "Iya, sama suaminya."
"Karena saya bisa kendalikan kerjaan dari jauh, bisa nggak ya, kalau saya tinggal di sini juga? Sambilin adaptasi, belajar urus anak, sama tarik perhatiannya Mikayla?"
Mirza tidak langsung menjawab, tetapi akhirnya ia mengangguk.
"Boleh juga, nanti saya diskusikan dengan pengurus lain," kata pria itu, menerima. "Nanti kalau diizinkan—karena di sini masih minim fasilitas pendukung seperti kamar baru apalagi untuk orang dewasa—kamu bisa tidur di kamar saya."
Eh?
*